EXODUS (Part 24)
Title : EXODUS
Author : Duele
Finishing : Januari – Maret 2014
Genre : Fantasy
Rating : PG15
Chapter(s) : 24/on
going
Fandom(s) : Dir
en Grey
Pairing(s) : Die
x Shinya, Kaoru x Toshiya
Note Author : Thank's for keep waiting! You’re AWESOME! :Db
*****
Shinya membuka matanya secara perlahan. Ia berada di pinggir sungai
dengan kondisi badan setengah kering. Ia menarik kakinya dari dalam air dan
duduk sebentar untuk memulihkan kondisinya. Ia memegangi kepalanya yang sedikit
pusing. Matanya mengamati tempat itu. Sampai kemudian matanya membeliak tatkala
melihat seonggok tubuh terkulai tak jauh dari tempatnya. Shinya segera bangkit
dan mendekatinya. Ia semakin kaget saat melihat sosok Die-lah yang sekarat.
“Jenderal Die…!” Shinya menarik tubuhnya dari air. Dengan susah payah,
ia menepikan tubuh pria itu ke dekat pohon. Ia segera memeriksa denyut nadi
pria itu. Lemah. Shinya segera mengecek napasnya. Dia tidak bernapas. Shinya
sedikit panik. Langkah selanjutnya, ia membuka pakaian perangnya yang berlapis
hingga semuanya terlepas. Kemudian ia berlutut tepat di samping pria itu, kedua
tangannya ditumpukan pada dadanya dan mulai menekannya sekeras mungkin.
Berulang kali hingga kemudian mulutnya memuncratkan air. Belum cukup, Shinya
terus melakukannya, hingga akhirnya suara batuk terdengar keras keluar dari
mulut Die. Die mulutnya segera menghirup oksigen kembali.
“Uhuk!! Uhuk!!”
Die mulai siuman. Shinya menepuk wajahnya lembut agar dia sadar
sepenuhnya. “Kau tidak apa-apa..?”
“Uhuk!!” Die sadar dan melihat bayang penyihir itu. “Shi..nya?” Die
memerjapkan matanya berulang kali. Tapi ketika dia hendak bergerak ia merasakan
sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. “Ugh!”
“Jangan banyak bergerak, lukamu banyak sekali.” Kata Shinya. Die
merebahkan dirinya di tanah sementara Shinya memeriksa luka-lukanya. Luka yang
paling parah tentu saja telapak tangannya. Darahnya bahkan masih mengucur,
hebat Die masih bisa bertahan. “Kau masih menyimpan pil itu?”
Die menoleh pada Shinya. Pil itu ada di dalam kantung yang Shinya
berikan. Ya, dia masih menyimpannya. Sambil menahan rasa sakitnya, Die merogoh
sebuah kantung kecil di pinggangnya. Shinya kemudian mengambilnya dan
memberikannya pada Die. “Telan ini…”
Die memejamkan matanya, walaupun baru bangun tapi rasanya ia ingin
sekali tidur. Namun badannya terasa tak enak sehingga ia sangat terganggu.
Shinya membuka perban dari luka di telapak tangan Die. Ternyata lukanya menjadi
lebih parah dari sebelumnya. Ia harus segera mencari obat untuk mengeringkan
luka ini. Jika tidak lukanya bisa terinfeksi dan membusuk.
Tapi di mana dia harus mencarinya? Shinya memerhatikannya sekitarnya.
Mereka berada di hutan, itu melegakan sekaligus menakutkan. Karena di tempat
seperti ini bisa muncul hewan buas ataupun monster seperti yang mengejar
mereka, tapi sisi baiknya mungkin ada tanaman obat yang mereka butuhkan. Shinya
menoleh pada Die yang sedang mengatur nafasnya, matanya terpejam. Sepertinya ia
sangat kelelahan. Rasanya tidak mungkin untuk memaksanya pergi dari tempat ini
untuk sementara waktu.
“Kau tunggu di sini.”
“Kau mau ke mana?”
“Aku akan mencari tanaman obat.”
Tapi Die menahannya. “Jangan pergi sendiri. Akan aku temani.” Ujarnya
lalu berusaha bangun, namun usahanya sia-sia. Badan Die tidak ada tenaga sama
sekali. Shinya prihatin. “Aku hanya akan mencarinya di dekat sini. Aku berjanji
tidak akan lama.”
*****
Saat Shinya kembali dari mencari tanaman obat, dia terkejut melihat Die
yang sudah bisa bangun dan duduk. Padahal tadi kondisinya sangat lemah, bahkan
untuk menggerakan badannya saja dia tidak mampu.
“Apa kau sudah merasa baikan?” Shinya mendekat.
“Iya, karena obatmu.” Jawabnya. “Terima kasih.”
Tapi Shinya menoleh pada luka di telapak tangannya yang masih berdarah.
“Kita harus segera menghentikan pendarahannya.”
Maka Shinya segera mengeluarkan tanaman obat yang ia dapat. Lalu
mendekat ke anak sungai dan menumbuknya di bebatuan. Tidak lama ia kembali dan
mengobati luka Die. Die meringis saat obat itu ditempelkan ke atas lukanya.
Rasanya pedih hingga ingin menangis.
“Selesai.” Shinya menatapnya, “Kau baik-baik saja?”
“Hum…” Die mengangguk.
“Aku rasa kita belum bisa ke mana pun, setidaknya menunggu sampai
kondisimu pulih dulu.”
“Aku tak apa-apa.”
Shinya beranjak. “Aku akan melihat-lihat sekitar sini dulu, siapa tahu
ada tempat yang bisa kita jadikan tempat sembunyi.”
“Kurasa sebaiknya tidak usah. Kau sendiri baru pulih, kan?” ujar Die.
Shinya diam. “Baiknya kita berdua beristirahat dulu di sini.” Ujar Die sambil
kemudian merebahkan badannya ke tanah lagi.
****
Ketika Die sadar, hari sudah sore. Ia tidak melihat Shinya di
sekitarnya. Lalu ia bangun, kondisinya sudah sedikit membaik walaupun rasa
sakit masih ia rasakan di sekujur tubuhnya.
Krsskk!!
Die mendengar sesuatu dari balik semak. Tak ada senjata yang dapat ia
gunakan, ia pun mengambil batang kayu yang ada di dekatnya. Kemudian, dia
mendekati semak dan mengintipnya. Ternyata Shinya di sana sedang membakar
sesuatu. Menyadari Die berdiri di situ, Shinya menoleh.
“Kau lapar?” tanyanya.
Die melihat sesuatu yang Shinya masak, ewh.. nampak buruk. Tapi perut
Die keroncongan.
Selesai makan, Die beristirahat kembali. Kali ini dia mengistirahatkan
tubuhnya dengan bersandar pada sebatang pohon besar yang rindang. Sementara
Shinya masih nampak sibuk meracik obat. Penyihir itu sejak kemarin tak bisa
diam. Banyak hal yang ia kerjakan.
Malam berlanjut, udara dingin mulai mengusik mereka. Suhunya benar-benar
berubah drastis di malam hari. Shinya menggigil, demikian pula Die. Keduanya
duduk berjauhan. Shinya memandang angkasa, sangat gelap. Tak ada bulan ataupun
bintang.
“Kurasa sebentar lagi akan hujan.” Celetuk Die. Shinya mengangguk.
Memang benar apa yang dikatakan Die, dengan suhu dan angin sebesar ini
rasa-rasanya akan turun hujan. Shinya menghangatkan kedua tangannya dekat
perapian. Tetapi sama sekali tak mengurangi rasa dingin yang menusuk ini.
“Aku pikir kita harus segera pergi dari sini sebelum hujannya,” baru
saja Die bicara, petir besar menggelegar.
JDEEERRR!!
Bwossshh!! Ssrrr!!
Diikutin dengan guyuran hujan yang deras.
“Whaaa!!” Die dan Shinya panik bersamaan xDD
Keduanya segera mengungsi mencari tempat yang lebih aman. Di manapun
boleh. Nasib baik akhirnya memihak keduanya ketika Die melihat sebuah mulut gua
saat petir memberikan mereka cahaya.
“Lihat! Di sana ada gua!”
****
Wajah Shinya datar melihat hujan yang masih turun dengan derasnya. Petir
dan suara guntur seperti meraung-raung.
“Mau dilihat seperti apapun juga hujannya tidak akan berhenti. Kau sudah
hampir dua jam memandanginya, apa enaknya?” kata Die di belakangnya. Shinya
tidak menghiraukannya. Sepertinya ada yang sedang dipikirkannya. Die menghela.
“Tidakkah kau jenuh berdiam diri di sana? Kalau kau mau, kau bisa
menceritakannya padaku.” Shinya menoleh, Die berubah pikiran, “Err… kalau kau
mau, sih.”
“Aku cuman sedang berpikir soal Toshiya.”
“Ck! Penyihir itu ternyata,”
“Kau bilang Kaoru menyukainya?”
Die mengerutkan keningnya? Kenapa Shinya jadi konsen memikirkan tentang
Kaoru? Apa mungkin dia…? Pikiran Die mulai dipenuhi
pertanyaan-pertanyaan aneh.
“Ya, Kaoru suka sekali padanya.” Jawab Di sewot.
“Tapi sejak kapan?”
“Kau itu kenapa, sih? Malah memikirkan hal yang tidak penting sama
sekali!”
Shinya diam, wajahnya merengut. Die lagi-lagi memarahinya. Tetapi kali
ini Shinya tidak mau bertengkar dengannya dulu. Maka ia acuhkan pemuda itu.
Melihat sikap acuh tak acuhnya Shinya, Die menjadi kesal. Dia merutuk dalam
hati.
Masa iya, Shinya suka pada
Kaoru? Batin Die kesal. Padahal Shinya tahu, kan, Die suka padanya. Kenapa
masih memikirkan orang yang sama sekali tak memikirkannya? Die meliriknya lagi,
Shinya masih menatap hujan. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Tetapi itu
jelas membuat Die kesal. Membicarakan Kaoru di saat mereka sedang hanya berdua?
Tidak lucu.
Sementara Shinya masih termangu, ia tidak tahu Die menatapnya dengan
pandangan mata yang sebal. Shinya berusaha tidak menghiraukannya. Berdua saja
di tempat seperti ini sangat menganggu pikirannya. Memang, sih, mereka sering
berdua, tapi sekarang kondisinya sangat berbeda. Tak ada seorangpun di sana
selain dirinya juga Die.
****
Hakuei mendekati Kaoru yang masih menatap perahu kremasi di depannya.
Dengan gerakan yang lambat, Hakuei menyerahkan obor api kepada Kaoru. Pria itu
menatapnya, Hakuei mengangguk pelan. Kaoru mengambil obor api itu dari
tangannya sambil memandangnya sejenak, kemudian dia berjalan mendekati perahu
kremasi yang telah mengapung di pinggir laut.
Di perahu itu terbaring jasad Toshiya yang telah tewas beberapa hari
lalu. Dengan dihiasi bunga-bunga pada peristirahatan terakhirnya, Toshiya
nampak cantik seperti tertidur. Kaoru menunduk. Tangannya mulai mendekatkan api
pada sisi perahu yang sudah dilumasi minyak. Perlahan, api mulai menyala dan
menjalar. Kaoru memandangi wajah Toshiya yang sudah memucat. Dua orang prajurit
melepaskan tali penahan perahu dan mendorongnya ke tengah laut. Api mulai
melahap perahu kremasi itu.
Keheningan senja kala itu menjadi saksi di mana Kaoru tidak akan pernah
menemuinya kembali di kehidupan ini. Sosok cantik dengan senyum menawan dari
seorang musuh, serta cinta yang tak pernah diduga sebelumnya. Semua itu telah
terlelap. Setenang tubuh Toshiya yang terbakar menjadi abu.
Hakuei tertegun melihat Kaoru yang masih berdiri di sana. Meratapi
penyihir yang kini telah binasa. Hati Hakuei terenyuh, memikirkan bagaimana
segalanya menjadi mungkin. Bagaimana perasaan cinta itu tumbuh dan bersemi di
hati dua orang yang saling membenci dari dua kubu yang berbeda. Yah, ia melihat
semua kenyataan itu tepat di depan matanya. Jenderal tangguh yang memimpin
perang dan bersumpah untuk menghancurkan para penyihir hitam kini berdiri
dengan tubuh gemetar, meratapi musuh yang telah merenggut kedamaian negerinya,
namun juga berhasil merenggut potongan hatinya yang tersisa. Hakuei menundukan
kepalanya ikut berduka.
****
Berdua saja dengan Jenderal Die selama beberapa hari adalah cobaan yang
sangat berat. Shinya sudah melewatkan lima hari bersamanya dengan segala pertengkaran
mulut dan adu otot. Dari masalah makanan, api, tempat tidur, bahkan selimut
usang yang sebenarnya sama sekali tidak penting untuk diributkan. Die
benar-benar sangat menjengkelkan. Jika saja Die tidak terluka, Shinya akan
langsung meninggalkannya di sana dan pergi untuk mencari jalan pulang sendiri.
“Shinya, kau belum mengganti perban dan obatku…?”
Shinya, mana makanannya?
Shinya, aku kedinginan.
Shinya, tambah kayu bakarnya.
Shinya, aku haus.
Shinya, aku lapar.
Shinya, aku lelah.
Shinya… Shinya… Shinya… Shinya… Shinya… Shinya…!
“Hiih!” Shinya kesal. Setiap hari harus mendengar rengekan dan
permintaannya. Die benar-benar membuatnya sibuk dan lelah. Die tidak berhenti
untuk mengganggunya sebentar saja. Dia selalu ribut ingin ini dan itu. Dan
sekarang demi memenuhi kebutuhan Pangeran manja itu, Shinya harus pergi ke
sungai untuk mengambil air minumnya dan mencuci kain perbannya. Sial!
Shinya datang ke tepian air dan mengisi wadah airnya. Sambil merutuk dia
mencuci kain perban. Shinya tidak tahu ada bahaya yang sedang mengincarnya.
Seekor monster pengerat yang entah dari mana datangnya.
Crrssshh!
Shinya menoleh ke belakangnya. Sepi. Tetapi ia jelas mendengar suara air
beriak. Apakah itu Die? Shinya menggelengkan kepalanya dan kembali mencuci.
Tetapi suara itu terdengar lagi. Sewaktu Shinya menoleh ia masih tidak
menemukan apapun. Namun Shinya sudah merasa curiga, maka iapun segera keluar
dari air. Saat Shinya berjalan, ia diserang.
Brukk!!
“Aaakkhh!! Aaaahhh!!” Shinya dijatuhkan, monster pengerat itu berada di
atas badannya. Wajahnya mengerikan dengan gigi-giginya yang runcing dan liur
yang menetes. Shinya tidak bisa menggerakan tubuhnya sama sekali. Monster itu
membuka mulutnya, Shinya meringis dan memejamkan matanya kuat-kuat.
Crassshh!!
Shinya merasa beban di atas tubuhnya hilang. Ketika dia membuka mata,
monster pengerat itu jatuh di sebelahnya. Ia melihat Die yang berada tak jauh
dari semak. Ia telah melempat monster pengerat itu dengan batu hingga ia
terluka. Shinya segera beringsut menjauh. Die membantunya berdiri.
“Dari mana datangnya monster ini?” Die bingung.
“Aku rasa itu adalah monster yang ikut jatuh bersama kita dulu.” Jawab
Shinya.
“Tapi bukankah aku sudah membunuhnya?”
Die terdiam, kemudian dia mengambil sebuah batu yang ukurannya lebih
besar dari yang sebelumnya.
“Kau mau apa?”
“Apa lagi? Aku harus membunuhnya sebelum dia yang membunuh kita.”
“Ta-tapi dia sudah sekarat. Kasihan, kan.”
“Huh? Kasihan?”
“Iya. Kau tidak bisa langsung membunuh makhluk yang sudah sekarat kan?
Itu kejam sekali.” Shinya memegang tangan Die yang memegang batu. “Tapi Shinya,
kalau aku tidak membunuhnya makhluk ini akan menjadi masalah untuk kita.”
Shinya menggelengkan kepalanya sambil mengeratkan pegangan tangannya.
Die menghela, ia menyerah. Akhirnya, dia membuang batu tersebut. Shinya
tersenyum lega. Die berjalan lebih dulu, Shinya menoleh pada tubuh monster
pengerat yang sepertinya akan mati. Rasa kasihan jelas tergambar di wajahnya.
Ia berbalik mengikuti langkah Die yang berjalan di depannya.
Ketika mereka berjalan menyusuri semak belukar tiba-tiba sesuatu
bergerak cepat ke arah mereka dan menyerang dengan cepat. Die yang segera
berbalik dan menarik Shinya dari sana. Tapi terlalu cepat hingga Shinya tidak
mampu melihat dengan jelas apa yang terjadi. Yang mampu ia lihat hanyalah saat
Die mengambil sebongkah batu dan melemparkannya ke arah monster pengerat itu.
Shinya tercengang ketika melihat tubuh monster itu ambruk ke tanah dengan
lubang besat di dadanya. Tetapi ia segera sadar bahwa Die terluka. Die jatuh
membungkuk ke tanah.
“Ugh!” Die meringis, keringatnya mulai bercucuran.
“Je-jenderal,” Shinya memegangi tubuhnya.
Tubuh Jenderal Die gemetaran, hingga kemudian ia pun ambruk ke tanah. Shinya
panik.
*****
Tengah malam Jenderal Die terbangun. Ia bangkit dan duduk bersandar pada
bebatuan. Perban baru sudah melingkar di tubuhnya. Shinya sudah mengobatinya.
Ia mengedarkan pandangannya dan melihat Shinya yang duduk sendiri di depan
pengapian. Siluet bayangannya terlihat teduh, membuat Jenderal Die betah
berlama-lama untuk memandanginya. Tiba-tiba Shinya menoleh ke belakang,
sepertinya dia baru menyadari bahwa Jenderal Die sudah siuman.
“Bagaimana lukamu? Masih sakit?” tanyanya sambil memeriksa luka-luka di
tubuh Die.
Saat itu Die hanya membalasnya dengan senyum. Ia seperti tidak mendengar
suara kecemasan di suara Shinya. Yang ia lihat hanyalah sesosok penyihir cantik
dengan kerudung yang menatapnya dengan simpati. Die benar-benar senang memandanginya
saat itu. Apalagi ketika dia menyadari bahwa bulir-bulir air mata itu masih
tersisa di kelopak matanya. Shinya menangis untuknya.
“Maafkan aku,” kata Shinya kemudian. “Aku benar-benar lemah, sehingga
membuatmu terluka,” ujarnya, kali ini suaranya mulai parau.
Jenderal mengambil tangannya, memeganginya hingga Shinya tak berkedip
melihat ke arahnya yang masih tersenyum. Seolah tak terjadi apa pun. Shinya
memalingkan wajahnya.
“Jangan kau palingkan wajahmu dariku, itu menyakitkan.” Kata Die. “Lebih
sakit saat kau tidak mau melihatku, daripada semua luka yang kuderita.”
Perlahan Shinya menatap Jenderal Die, kini genangan air mata di kelopak
matanya seolah meluap keluar. Die masih memegang tangannya, Shinya lepas
kendali. Ia menjatuhkan diri di dada pemuda itu dan menangis di sana.
“Maafkan aku, aku mohon, maafkan aku…”
Die balas mendekap penyihir itu dalam-dalam. Membungkusnya dengan kedua
tangannya yang sigap memeluknya. Rasanya ia tidak mau melepaskannya sampai
kapan pun. Die terlalu senang saat itu. Saat tangis Shinya mereda, Die mencoba
menenangkanya. Tapi tak ayal Die sangat bahagia bahwa orang yang ia sukai
sangat mencemaskannya.
Shinya menyeka air matanya ketika Die mendaratkan sebuah kecupan kecil
di kepalanya. Shinya merasa malu, tapi Die tidak mau melepaskannya begitu saja.
Kini wajah Shinya memerah saat Die mencium pipinya. Shinya membeku. Die
menciumnya lagi, kali ini di bibir plumya yang lembut dengan sedikit tekanan.
Shinya pun meragu, “Kau tidak bisa melakukan ini.”
“Katakan padaku, apa kau tidak menginginkannya?”
Shinya terlalu berat memikirkan sesuatu hingga tak menyadari tubuhnya
kini telah berbaring di atas tanah ketika Die mencumbuinya. Setelahnya, Shinya
merasa segalanya berputar dan penglihatannya mulai kabur dengan air matanya yang
menggenang.
*****
Setelah beberapa hari dirudung duka, Kaoru dan Hakuei memutuskan untuk
meninggalkan istana. Tugasnya kali ini adalah pergi mencari keberadaan Jenderal
Die, Shinya dan Kyo. Walau pun mereka tak yakin bahwa Kyo masih hidup setelah
peperangan usai, namun mereka tetap berniat mencarinya. Melihat kemantapan dari
keduanya, Raja Yoshiki tidak bisa menahan kedua kesatria itu.
“Bawalah ini, untuk berjaga-jaga.” Raja Yoshiki menyerahkan sebuah
pedang bersarung emas yang kelihatan sangat kuat. Kaoru menerimanya dan melihat
pedang tersebut. “Itu adalah peninggalan terakhir dari Jenderal besar
kepercayaanku yang menghilang beberapa tahun lalu. Dia mengatakan, pedang itu
terbuat dari tulang makhluk besar yang ketajaman dan kekuatannya tak bisa
dipatahkan. Aku harap ini bisa sedikit membantu kalian.”
“Terima kasih Yang Mulia.”
“Maafkan aku karena tak bisa membantu kalian mencari mereka.”
“Anda memiliki tugas lebih mulia untuk membawa rakyatmu menemukan tempat
yang lebih baik dari tempat ini. Kami berhara suatu saat, kami bisa bertemu dan
bertandang ke negerimu lagi.”
“Jaga diri kalian baik-baik.” Raja tersenyum.
Setelah berpamitan, Kaoru dan Hakuei melanjutkan perjalanan. Ketika
mereka keluar dari perbatasan gerbang istana, mata Kaoru memandang nanar ke hamparan
tanah di seberang mereka. Benar-benar mengerikan dan tandus bak tanah orang
mati.
“Pangeran,” Hakuei mendekati Kaoru. “Apakah kita bisa menemukan mereka?”
“Tak peduli berapa sulitnya perjalanan kita, dengan atau tidak adanya
mereka, kita sendiri yang harus membinasakan Penyihir jahat itu.”
Itu tekad Kaoru.
*****
Ketika Die terbangun, Shinya tidak berada di sampingnya. Pria itu bangun
dan mencari-cari sosok penyihir cantik itu dan menemukannya duduk di bebatuan
yang ada di depan gua. Die mengambil selembar pakaiannya dan memakaikannya pada
Shinya yang termangu menatap bulan.
“Apa yang kau lihat?” tanya Die.
Shinya menggeleng, “Tidak ada.”
Die memeluknya. Menenggelamkan kepala lunglai itu di dadanya. Shinya
terenyuh dan menikmati lembutnya belaian Die di kepalanya.
“Ayo, masuk ke dalam. Di luar sangat dingin.” Ajaknya.
“Sebentar lagi,” Shinya mengurai senyum. “Aku mau di sini sebentar lagi.”
Die terdiam, kemudian menyingir dari sana. Memandangi punggung Shinya
yang rapuh merunduk seorang diri. Apakah Shinya menyesal dengan perbuatannya?
Die merasa ragu kali ini.
Sementara Shinya termangu dalam kesunyiannya. Shinya telah menyadari
bahwa ada sesuatu dari dirinya yang menghilang. Walau pun tak seorangpun yang
memberitahunya mengenai hal ini, namun Shinya sadar ia telah kehilangan
sesuatu. Itu sebabnya di berada di sini untuk memastikan sesuatu. Shinya
berusaha membaca garis bintang tetapi semuanya nampak sama.
Shinya sudah tidak bisa meramal sekarang. Lebih dari itu, ketika ia melihat
kedua tangannya, ia tahu sebagian kekuatan sihirnya menghilang. Shinya
memejamkan matanya dan diam dalam depresi yang menaunginya. Ia tak ingin
Jenderal Die mengetahui hal ini. Setidaknya Shinya tidak ingin membuatnya
merasa bersalah, karena penyebab menghilangnya sebagian kekuatan sihirnya
adalah Die.
To be continued…
Hiks... Shinya-kun
BalasHapusPart 25 thor due...