expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

11 Agustus 2013

EXODUS (Part 18)

Title : EXODUS
Author : Duele
Finishing : Juli-Agustus 2013
Genre : Fantasy, Action
Rating : PG15
Chapter(s) : 18/on going
Fandom(s) : Dir en Grey, Hakuei (Pennicilin), Hyde, Uruha (The GazettE)
Pairing(s) : DiexShinya
Note Author : I lost my mind for a while. Fuh! Thanks to GOD I can continue this story. For you guys, thanks for keep reading J
 

 

****

 
Shinya selesai mengobati luka mereka semua. Kaoru ditemukan pingsan di pinggir pohon. Beruntung, luka Hakuei tidak terlalu parah. Hyde tidak terluka sama sekali walaupun ia mengeluh kelelahan sehabis bertarung. Luka Die yang kelihatannya lumayan parah dengan sayatan pedang di sekujur tubuhnya.

Shinya duduk di dekatnya sambil meremas ramuan obat yang sudah ia tumbuk. “Kau tidak apa-apa?” tanya Die. Ia idak menjawab pertanyaan itu, tetapi Die tidak marah. Shinya baru mengetahui bahwa Kyo pergi mencarinya, tetapi mereka tak bertemu. Dalam diam, Shinya mengolesi luka Die yang masih merah dan membalutnya dengan kain.

Hampir dini hari saat Shinya selesai melakukannya. Hal yang selanjutnya ingin ia lakukan adalah mencari Kyo. Namun hal itu segera dicegah oleh Die.

“Dia akan kembali sendiri kemari. Aku yakin insting hewannya bekerja dengan baik.” Kata Die.

Saat itu Shinya benar-benar tidak mampu mengatakan sesuatu pun karena ia sendiri sebenarnya kelelahan. Matanya setengah mengantuk, dan kemudian terpejam perlahan-lahan. Die yang melihatnya segera menariknya ke dekatnya. Mungkin saat itu Shinya benar-benar lelah dan tidak menghiraukan bagaimana  Die memperlakukannya saat itu. Yang ia rasakan saat itu hanyalah sebuah sandaran nyaman dengan hawa hangat yang membuatnya semakin terbuai dalam tidur. Die menyelimutinya dengan kain dan membiarkan Shinya terkulai di bahunya.

“Kau pasti lelah.” ujar Die membenarkan selimutnya. Tetapi Shinya menjawab lain, “…aku…takut…” sesuatu yang membuat Jenderal Die tercenung lalu memeluknya dan mencium kepalanya cepat.
“Maaf…”

 
****

 
Perjalanan kembali dilanjutkan setelah istirahat beberapa hari untuk memulihkan kondisi mereka. Tetapi perjalanan hari itu terasa begitu sepi. Entah kenapa. Tak ada satupun di antara mereka yang bicara. Shinya sepertinya masih memikirkan keberadaan Kyo yang pergi mencarinya, juga kemunculan peri cermin yang datang membantunya kala itu. Sementara kebisuan lain juga terekam jelas dalam sikap Kaoru yang kelihatan sama sekali tidak bersemangat seperti biasanya. Ia masih memikirkan orang bercadar yang telah menolongnya. Karena saat ia sadar, ia telah bersama dengan yang lainnya. Saat ia menanyakan orang bercadar itu, tak ada satu pun dari mereka yang mengetahuinya karena pada saat itu mereka pun tengah sibuk bertarung. Mungkin suasana hati yang sedang baik hanya Jenderal Die saja ^^

“Di sana sepertinya ada desa.” Die menunjuk pada kepulan asap dan atap-atap rumah yang kelihatan menyembul di sela-sela rimbunan pohon. “Ada apa dengan kalian?” kemudian wajahnya berubah bingung ketika melihat semua orang sepertinya tidak sesemangat dirinya.

Dengan cepat mereka berjalan menuju ke arah desa kecil tersebut. Desa itu ternyata desa yang cukup luas dan memiliki seorang kepala desa sebagai pemimpin mereka. Saat mereka datang ke desa itu, tatapan penasaran seperti sedang menelanjangi mereka. Terlebih lagi dengan pakaian-pakaian perang yang mereka kenakan. Hal yang membuat Hakuei merasa sedikit senang saat itu adalah desa ini memiliki banyak sekali gadis cantik, hehe…!

Setelah berganti pakaian dan mendapatkan penginapan, mereka mulai menyusun rencana. Membeli berbagai perlengkapan untuk perjalanan. Satu benda yang menarik perhatian Die saat itu adalah sebuah kereta yang teronggok di pinggiran jalan. Die mencari sang pemilik untuk bernego harga dengannya. Sayangnya, ketika Die telah berhasil menemukannya sang pemilik kereta yang ternyata adalah kepala desa itu tidak mau menjualnya pada Die.
 
“Anda sudah tidak memakainya lagi. Dan aku membutuhkannya. Aku bisa membelinya dengan harga mahal.” Tandas Die saat itu.

Tapi si Kepala Desa sama sekali tidak mengindahkan perkataan Die. Dia tetap tidak mau menjual kereta bekasnya. Akhirnya Die menyerah dan kembali ke penginapan.


“Dia tidak mau menjualnya.” Kata Die selesai menceritakan kejadian itu kepada teman-temannya yang lain.
“Mungkin dia masih membutuhkannya.”
“Dia bilang kereta itu sudah tidak dipakai lagi. Makanya aku mau membelinya.”
“Mau kau apakan?” tanya Hyde.
“Aku mau membuat itu menjadi kendaraan kita. Kau tidak mau terkena sinar matahari kan, vampire manja?” ledek Die. “Dan kita lelah terus berjalan atau hanya menunggang kuda. Aku pikir dengan membeli sebuah kereta dan beberapa kuda sebagai pemacunya itu akan lebih efektif mengangkut kita semua lebih cepat beserta barang-barang kita yang lain.”
"Ah, benar juga!” Hakuei baru sadar.
“Tapi Pak Tua itu tidak mau menjualnya. Dia sombong sekali!”
“Kau tidak bilang bahwa kau Pangeran?”
“Mana mungkin aku bilang begitu. Aku hanya bilang kita ini kelompok pengelana.”
“Mungkin ini saatnya untuk Pangeran Kaoru beraksi.” Sahut Hakuei.
“Ya, kupikir ini memang keahlian Kaoru. Benar, kan, Kaoru?”

“….” Tak ada jawaban. Kaoru sedang melamun saat itu bahkan tidak mendengar namanya disebut-sebut dalam pembicaraan mereka.

“Oy, Kaoru..?” Die mengibaskan tangannya sehingga pemuda itu sadar. “Ah, yaa? Apa?”
“Kau melamun?”
“Huh? Ti-tidak, aku hanya sedang berpikir.”
“Ooh, bagaimana kalau kau saja yang maju.”
“Maju? Kemana?”

 Mereka semua memutar bola matanya. Kaoru menjadi bingung, sepertinya dia melewatkan hal yang penting. Barulah setelah Die menjelaskan ulang, otaknya mulai bisa berpikir benar.

“Baiklah, aku yang akan maju nanti. Semoga dia mau menjualnya pada kita.”

Keesokan harinya, seperti yang dibicarakan. Kaoru mencoba bernegosiasi dengan sang kepala desa. Tetapi hal yang sama dialaminya. Permintaannya ditolak mentah-mentah. Tanpa alasan yang jelas, Kaoru diusir dari sana. Mendengar cerita mengenai kejadian itu dari Kaoru, Die kelihatan sangat marah. Mulanya ia sempat emosi, tetapi teman-temannya yang lain pandai membuatnya kembali tenang. Bahkan Hakuei mencoba menghiburnya dengan mengajaknya ke tempat hiburan. Awalnya, Die menolak karena dia tidak suka dengan tempat seperti itu. Namun bukan Hakuei namanya kalau dia tidak mengetahui kelemahan Die. Dengan iming-iming rasa arak yang luar biasa, Hakuei berhasil memboyong mereka semua ke sebuah pondok yang penuh dengan wanita penghibur.

“Aku juga ikut…?” Shinya bergumam. Melihat terangnya cahaya lampion yang berbinar-binar dan riuhnya suasana di tempat tersebut. Kepalanya sedikit pusing karena tidak biasa, sehingga dia hanya duduk saja di depan meja sambil merebahkan kepalanya.

Hal yang tak ia mengerti dari tempat ini adalah kenapa semuanya terlihat mesum. Tempat apa sebetulnya ini? XD

Mungkin karena terlalu lama memejamkan mata, Shinya tidak sadar bahwa teman-temannya yang lain berpindah tempat dan mencari kesenangan sendiri, termasuk Die!

Namun itu tak lama ketika pemuda berambut tebal itu muncul dengan menenteng sebuah guci kecil berisi arak. Ujung hidungnya kelihatan agak merah. Matanya agak sembab dan mimiknya seperti yang sedang senang. Sepertinya dia mabuk.

“Aku tidak tahu ada tempat sebagus ini di desa kecil seperti ini, hihihi…” Katanya duduk di samping Shinya yang hanya menelengkan kepalanya ke arah lain. Ia berusaha untuk mencari Kaoru atau Hakuei yang hilang dari pandangannya. “Kau mau minum?” Die tiba-tiba menyodorkan cangkir berisi arak padanya. Shinya menggeleng.
“Kenapa kau tidak mau menerima apapun pemberian dariku?” Die meletakan cangkirnya, kemudian dia menarik kedua tangan Shinya dan menggenggamnya erat. Sial, pria ini mabuk! Pikir Shinya khawatir. “Kau masih membenciku?! Heh?”
"Ti—tidak…”
“Lalu kenapa kau selalu menjaga jarak denganku.”
“Aku…tidak…”
“Kau benci padaku?” pekik Die. Shinya terlonjak. Beberapa orang yang duduk di sana menoleh ke arah mereka. Shinya tidak punya ide apapun untuk menghentikan ini. “K-kau mabuk...”
“Aku tidak!”
“Dengar, kau masih punya seguci lagi arak. Kenapa tak kau habiskan?” Shinya menoleh ke arah guci kecil yang Die bawa tadi. Die terdiam.
"Oh, kau benar…” dengan cara itu Shinya bisa melepaskan diri darinya. Tapi ternyata tidak, salah satu tangannya masih dipegangi. “Hehe…”


Ugh!

 

“Hyaaa! Aku suka tempat ini!!! X)” Hakuei bergumam senang saat beberapa gadis mengelilinginya. Di sudut lain Hyde mengiyakan perkataannya.
“Aku pun. Sepertinya darah para gadis enak sekali untuk diminum.” Ucapnya pelan.
“Eh? Mana Pangeran Kaoru?” Hakuei mencari-cari.
“Eh? Kalian adalah sekelompok Pangeran?” seorang gadis kelihatan terkejut.
“Oh, bukan…maksudku, temanku. Dia bukan Pangeran kok.”
“Ooh…”


Hakuei hampir lupa bahwa mereka tidak boleh membongkar identitas. Tetapi sungguh, kemanakah Kaoru saat itu?

Kaoru berniat untuk kembali ke penginapan. Tetapi di tengah jalan, ia berhenti karena sekelebat dia melihat sosok Toshiya berdiri di antara ramainya orang. Kaoru berjalan semakin cepat ketika Toshiya beranjak dari sana. Entah apakah ini hanya ilusi atau memang kenyataan, namun Kaoru kelihatan minat sekali. Dibenaknya saat itu adalah orang bercadar yang menolongnya saat itu adalah Toshiya.

Tetapi hingga ia menepi ke tepi danau, ternyata Kaoru kehilangan jejaknya setelah mencoba mengejarnya. Mungkin yang tadi ia lihat hanyalah orang yang mirip dengannya saja.

 “Hh, ada apa denganku.” Katanya sambil menepuk kepalanya dengan kedua tangannya. Akhir-akhir ini pikirannya memang agak kacau. Bayangan antara Tashiya, Toshiya dan orang bercadar itu silih berganti memenuhi kepalanya. Apakah ia sedang merindui Tashiya atau…?

“Sebaiknya aku segera kembali.” Putusnya saat itu.

Tapi sewaktu dia berbalik, di sebrang matanya Toshiya berdiri dengan wajah dingin. Kaoru terkejut, tapi ada perasaan aneh menyelinap ke hatinya saat melihat penyihir itu muncul kembali. Namun ini bukan saatnya dia untuk berdiri dengan terpana sesaat Toshiya mendekatinya dengan mata pedang yang berkilat-kilat mengancamnya. Kaoru mundur perlahan.

Trak!

Perhatiannya berubah ke tanah melihat sebuah pedang mengkilat jatuh di bawah kakinya saat Toshiya melemparkannya.

 “Ambil pedangmu dan berduel-lah denganku.” Kata Toshiya.

Kaoru terpana. Tapi Toshiya seperti tidak memberikannya jeda untuk menjawab dan segera melancarkan serangan. Kaoru menghindari serangan demi serangan yang ia lancarkan padanya. Tetapi sama sekali tidak berniat untuk membalasnya, bahkan pedangnya saja tidak ia sentuh.

“Kenapa kau berubah begitu lemah? Apakah pertarungan-pertarungan sebelumnya sudah membuat mentalmu kendur, hei, Pangeran Kaoru?”

Kaoru tak bisa segera menjawabnya, karena setiap kali dia bergerak Toshiya sudah menghujaninya dengan serangan-serangan yang berbahaya.

 

“Angkat pedangmu!” pekiknya.
"Kenapa?!”
“Karena aku ingin membunuhmu!” tandas Toshiya.

Kaoru berguling ke tanah sebelum penyihir berparas cantik itu berhasil menusuknya. Dan tanah dan rumput itu membuat seluruh pakaiannya menjadi kotor.
 
“Jika kau tidak mengangkat pedangmu kau akan mati!”
“Bukankah itu yang kau mau?”

 

Mata Toshiya membelalak, wajahnya berubah menjadi kesal. Kaoru menghindar lagi saat serangannya semakin lama semakin ganas. Ia kelihatan bernafsu untuk melenyapkannya. Tetapi satu hal yang tidak bisa Kaoru enyahkan dari pikirannya. Untuk kali ini ia ingin tetap seperti ini.

 

Trang!

Mata pedang itu hampir saja mengenai kepala Kaoru jikalau ia tidak cepat mengangkat pedangnya dan menahannya. Sehingga pedang mereka beradu tepat di atas kepala Kaoru.

“Huft!” Kaoru melompat mundur, menjaga jarak sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengambil pedang dari Toshiya. Keadaan ini bukanlah keadaan dimana semuanya bisa ia hadapi hanya dengan tangan kosong belaka. Senyum sinis terukir di wajah Toshiya sesaat Kaoru mengeluarkan pedang itu dari sarungnya. “Akhirnya kau sadar juga bahwa kau memang harus menggunakannya sebelum kau mati.”

Akhirnya pertarungan itu pun pecah. Kaoru tak ada pilihan lain untuk melawannya. Tetapi ia sama sekali tidak bertindak untuk menyerang dan tetap bertahan di posisinya sementara Toshiya menyerangnya terus menerus.

Crash!

Kaoru terluka, tepat pada dadanya yang terkena serangan Toshiya. Walaupun lukanya tak parah, tetapi darah mulai merembes dari bajunya. Kaoru mendesis menahan sakit yang mulai terasa pada lukanya. Tapi lagi-lagi Toshiya tak memberikannya jeda. Ia terus menyerangnya hingga Kaoru terpojok pada tepian danau. Namun pada satu kesempatan Kaoru berhasil menjatuhkan Toshiya dengan satu pukulannya sehingga penyihir itu terkapar ke tanah.

“Toshiya!” Kaoru berlari mendekati penyihir itu dan berusaha membantunya.

Kesempatan itu dipakai oleh Toshiya untuk melukainya sekali lagi. Ia menendang pria itu hingga terpental beberapa kaki jauhnya. Toshiya bangkit perlahan, begitupun dengan Kaoru. Toshiya datang dengan pedangnya dan berniat untuk menyudahi ini semua. Saat ia mencoba menghujamkan pedangnya, Kaoru hanya memejamkan matanya pasrah hingga serangan itu berhenti tepat di depan lehernya.

“Kenapa kau tidak melawan?”

Tak ada jawaban dari Kaoru saat itu kecuali hanya pandangan penuh arti darinya. Toshiya tertegun sesaat sampai akhirnya dia sadar bahwa Kaoru sedang melakukan trik ini untuk menjatuhkannya balik.


Jduk!

Tubuhnya membentur tanah. Toshiya membalasnya dengan menjegal kaki pria itu hingga hal yang sama terjadi padanya; terjerembab ke tanah. Toshiya bangkit dan bergumul dengannya di tanah. Ia berusaha mencekiknya dan terjadilah pergumulan sengit di antara keduanya. Mereka tak memperkirakan bahwa di dekat mereka ada sebuah jurang kecil yang mengarah langsung ke danau. Mereka terlambat menyedari kemudian setelah akhirnya keduanya jatuh dan tercebur ke danau.

Byurr!

Di dalam air mereka masih berusaha untuk menjatuhkan satu sama lain. Toshiya yang masih memegangi pedang berusaha keras untuk membunuhnya, tapi tertahan karena Kaoru memeganginya terus. Berat massa air memperlambat dan menyulitkan mereka sehingga Kaoru ataupun Toshiya sulit bergerak. Namun pertarungan yang seharusnya membunuh salah satu di antara mereka kini berubah. Toshiya terjatuh dalam pelukan Kaoru yang begitu cepat dan erat. Keinginan membunuhnya sirna seketika saat bibir mereka bertemu dan ia terenyuh dalam perasaan yang menenggelamkannya seperti air. Pedang di tangannya jatuh, dan ia lebih memilih untuk mencengkram punggung kokoh yang sedang memenjarakannya saat itu.


****

Shinya menarik nafas panjang setelah berhasil membawa tubuh Die kembali ke penginapan. Pria itu mabuk berat dan bena-benar kepayahan. Hal yang membuatnya kesal adalah Hakuei dan Hyde sama sekali tidak bisa diandalkan ketika dia membutuhkannya. Menyeret pria ini bukanlah hal yang mudah bagi Shinya karena berkali-kali mereka jatuh bersamaan karena Shinya tidak kuat memapahnya sendirian.

“Ugh!”

Shinya mendorong pria besar itu jatuh ke ranjang kamarnya. Penampilannya benar-benar kusut dan bau arak tercium pekat. Shinya membuka sepatunya dan mengangkat kakinya ke atas ranjang, tetapi pemuda itu malah terbangun dan mulai meracau. Shinya kesal sekali!

“Kembalilah berbaring!” pintanya sambil terus mendorong pemuda itu untuk kembali tidur.
“Aku tidak mau!”
“Kau bangun pun tidak berguna, menyusahkan orang!”
“Apa kau bilang?”
“Uwaah!!” 

Shinya jatuh terjungkal setelah didorong oleh pria itu. Kesalnya sudah mencapai ubun-ubun. Ia sudah tidak mau peduli lagi dan memutuskan keluar dari sana. Tapi ketika dia berbalik, sesuatu yang besar menimpanya. 

“Uwaahh!!! Sakiitt!!” pekiknya saat tubuhnya terdorong dan kembali terjatuh ke lantai kayu. Dekapan erat terasa begitu menyiksanya di pinggang karena sekarang Die memeluknya di sana. “Pria dungu! Lepaskan aku!” tapi Die tidak menjawab.

Shinya berusaha berbalik dan melepaskan pemuda itu darinya. Ini seperti menghadapi anak beruang yang sedang bermanja pada induknya. Shinya bertambah kesal.

“Hey, lepaskan aku!” ia berusaha melepaskan lengan-lengan kekar itu dari tubuhnya. Tapi nihil, itu justru membuatnya kelelahan. Antara kesal dan lelah, Shinya akhirnya hanya bisa terbaring di lantai dengan Die di atasnya. Tapi ini menyiksanya!

 Shinya berusaha tenang dan mencoba kembali melepaskan pria itu darinya. Sampai akhirnya ia benar-benar bisa membangunkan pemuda tersebut dan memintanya untuk berpindah tempat tidur. Setengah sadar, Die bangun dan menepi ke ranjangnya. Kepalanya terasa sangat berat dan berdirinya pun sempoyongan sehingga Shinya harus membantunya agar tak limbung.

“Tidurlah di ranjangmu.” Kata Shinya mendudukannya di sana.
“Shinya…” Die menarik jemari Shinya dengan mata tertutup. Shinya termangu, “Kau membenciku?”
“Tidak…” Shinya memeriksa kembali apakah Die sedang mengigau atau…
“Sungguh?” Die mendongakan kepalanya. Shinya terdiam. “…iya.”

Die tersenyum. Perlahan matanya menutup dengan senyum yang masih mengukir di sana. Pegangannya pun sudah tak lagi erat, dan perlahan terlepas. Namun dalam diam, Shinya menarik salah satu jemarinya dan menggenggamnya.

 
****

Hari itu awan mendung menghias langit sejak subuh. Gerimis kecil seolah semakin mendariamatisir cuaca yang kelihatan murung. Desa terasa dua kali lebih sepi karena tidak banyak orang yang keluar dan terlalu malas untuk bergerak dari tempat tidur mereka.

Di salah satu kamar di sebuah penginapan, suara dengusan nafas yang terdengar keras mengusik senyapnya pagi. Suhu kamar itu terasa jauh lebih panas daripada biasanya. Bahkan si penghuni kamar yang tengah tertidur kini berkeringat begitu banyak. Pakaiannya terlihat basah dan lepek. Wajahnya memerah dengan bulir keringat yang bercokol melesat turun keningnya yang sudah banjir.

“Hhh..! Ahh..!” suara desahan nafasnya yang keluar dari mulut dan hidungnya terdengar begitu tegang. Garis-garis mukanya bergurat membentuk mimik yang resah dan gelisah. Walau matanya terpejam dan tidak sadar, namun tubuhnya bergerak ke sana dan kemari. Tubuhnya tidak tenang. Dan sedetik kemudian, matanya terbuka paksa dan tubuhnya dipaksa melompat naik karena terkejut.

 
“Aaahk!”


Wajahnya telah banjir dengan keringat, mulutnya terbuka dan menganga. Nafasnya naik-turun, perutnya terasa begitu aneh dan setengah kesadarannya seolah belum pulih. Beberapa menit ia terdiam dengan posisi yang sama, akhirnya ia bisa mencerna bahwa yang baru saja menganggunya hanyalah sebuah tidur.

Pria berambut panjang itu mengusap dahi dan wajahnya yang lembap. Kelelahan tersirat jelas di wajahnya saat itu. Ia melihat ke sekelilingnya yang sepi. Hanya ia sendiri di kamar berukuran kecil itu. Perlahan ia turun dari ranjangnya, mengenakan sepatu kulit tingginya dan berjalan ke arah jendela. Ia melihat keadaan desa yang telah ramai. Hilir mudik orang berjalan memulai siklus kehidupan. Ia telah kembali pada dunia nyatanya. Sejenak ia terdiam, melamun. Mengingat kembali mimpi yang baru saja ia alami. Sungguh aneh dan terasa begitu nyata.

 
Tok! Tok!

Ia menoleh ke arah pintu yang dibuka pelan oleh seseorang.

“Kau sudah bangun Jenderal? Kau tidur seperti orang mati.” Kata Hakuei.
“Ciss! Seperti kau sudah sadar dari mimpi? Sombong sekali kau.” Ejeknya. Hakuei tersenyum malu. “Oh iya, ayo kita bersiap-siap berangkat. Kau pasti suka pada barang yang kami temukan semalam.”
“Apa?” Die bertanya retoris.
“Haha, lihat saja nanti.”

 Hakuei keluar dari sana, meninggalkan Die yang masih malas keluar dari kamar ini. Ia kembali mendekati jendela dan melihat ke jalan. Tiba-tiba matanya menangkap sosok berkerudung merah yang sedang berdiri dengan sekantong makanan dan isi perbelanjaan. Die termangu, beberapa kali ia menghela dan mengusap wajahnya kaku. Ada sesuatu yang berdesir hebat di dadanya saat itu. Saat Shinya mendongak, Die segera menjauhi jendela.

 
****

Die menoleh ke arah Hakuei dan Kaoru serta Hyde yang baru muncul setelah beberapa hari menghilang karena tertidur. Di depannya ada sebuah kereta kuda sudah siap dengan segala peralatannya.

“Shinya yang mendapatkannya,” jawab Kaoru saat tatapan Die tertuju padanya. Itu semua diakui oleh mereka semua. Die memandangi Shinya yang tidak berani melihat balik.

"Bagaimana kau bisa mendapatkan ini?" tanya Die. Shinya memulas senyum tipis. "Sihir?" Shinya menggeleng, "aku bilang bahwa kalian butuh bantuan."
"Aku juga sudah bicara dengan orang tua itu, tapi dia tidak memberikannya padaku."
"Memang tergantung sih siapa yang bicara," Hakuei menyindir. Die menyipitkan matanya pada si pengendali kuda kereta.

Beda dengan Kaoru yang masih tenang. Hyde bersembunyi di balik selimut selama siang hari dan tertidur selama mungkin sampai gelap. Akhir-akhir ini ketakutannya pada siang hari semakin menjadi-jadi.

"Kita beruntung sekali mendapatkan kereta ini." kata Kaoru, yang diiyakan oleh yang lainnya. Kembali Die menatap Shinya yang sengaja memgalihkan perhatiannya pada yang lain. Sejak semalam Shinya sama sekali tidak bicara apapun pada Die. Die juga tidak ingat dengan kejadian setelah dia mabuk, karena saat terbangun dia sudah ada di kamar penginapannya.

Kereta kuda kini dikendalikan oleh Hyde. Pria itu sudah terbangun sejak hari petang. Sekarang malam sudah gelap dan semua otang kelihatan sedikit lelah dengan pejalanan ini. Hakuei segera menyingkir dan beristitahat sebelum berganti gilirannya mengendalikan kereta. Kaoru juga telah sempat bergilir dengannya. Sekarang dia sedang asyik melihat pemandangan di luar. sama seperti Shinya, dia juga bersikap tenang seperti Kaoru. Namun Die jadi gelisah sendiri.

"Kau tidak lelah?" tanya Die pelan. Shinya menoleh ke arahnya kemudian bergeleng lalu ia melanjutkan kegiatannya seperti tadi; memandang ke luar. Kebisuan itu sempat terjadi beberapa saat ketika Die menunggu kesempatan bicara dengannya. Entahlah, ia merasa lebih senang bicara dengan Shinya saat semuanya tidak menyadari itu semua. Dan saat Hakuei dan Kaoru mulai tertidur, Die kembali bicara.

"Apa kau yang membawaku dari tempat hiburan kemarin?" saat itu Shinya tidak menatap Die walaupun ia mengangguk. Dari luar, Hyde mencoba menguping tetapi perhatiannya teralih pada jalan di sekitarnya. "Apa aku melakukan hal yang tidak-tidak?" Die kuatir terjadi sesuatu yang membuat Shinya jadi diam sperti ini. Memang sih, bukan urusannya tapi lama-lama dia takut sendiri. Shinya menatapnya lagi, kali ini cukup lama. Die semakin cemas, jangan-jangan dia memang sudah melakukan sesuatu yang membuat Shinya sebal lagi.

Tiba-tiba saja jantungnya hampir melompat rasanya saat kereta mereka mendadak berhenti. Kaoru dan Hakuei yang sdh lelap pun terperanjat bangun.

"Ada apa? Ada apa?!" suara penasaran menyembul dari dalam kereta beserta rautan bingung yang mencuat dari sana.
"Hyde?" Hakuei muncul di sampingnya. saat dia menunjuk ke arah jalan.


Di depan jalan yang mereka lewati, sesosok manusia berjalan sempoyongan. Badannya tidak terlalu tinggi. Dan ia tidak mengenakan pakaian kecuali celananya. Tubuhnya seperti bergetar dan ia terluka. Tak ada yang mengenali siapa pemuda itu, sampai kemudian Shinya memekik, "Kyo-nii!"

"Hah!? Kyo?!"

****

Kaoru dan Die saling menatap dalam diam. Kemudian berpindah ke pojok sudut kereta dimana Shinya sedang mengobati luka Kyo. Ini Kyo? Pria ini adalah srigala perak yang usilnya minta ampun itu? Die hampir tidak berkedip, Kyo menggeram.

"Apa yang kau lihat, huh!" mata Kyo menyipit, mukanya galak.
"Oh, ternyata memang kau." Die menjawab santai.
"Kyo, kenapa kau bisa terluka?" tanya Kaoru.
"Aku... bertemu dengan penyihir."
"Toshiya?!" tebak Die, Kaoru meliriknya.
"Bukan, aku tidak tahu siapa dia. Tapi dia bisa mengendalikan apapun yang ada di sekitarnya."
"Lalu kenapa kau bisa terluka? Dia menyerangmu?" sahut Hakuei.


Kyo menatap mereka semua. Wajah Shinya menandakan kecemasan yang tidak bisa ia sembunyikan. Kyo bercerita mengenai penyihir yang ia temui. penyihir itu benar-benar gelap. Bahkan Kyo tak mampu melihat wajahnya karena kerudung dan cadar hitamnya yang menakutkan. Namun dari auranya Kyo mampu merasakan kekuatan yang sangat besar. Hanya dengan auranya saja Kyo bisa merasakan betapa dingin dan menakutkannya dirinya.

Kyo tak sengaja bertemu dengannya yang sedang membantai kelompok saudagar yang baru pulang berdagang. Ia menghisap sari dari mereka semua dan mengumpulkannya pada sebuah botol. Lalu terjadilah perkelahian di antara mereka. penyihir yang tidak kelihatan wajahnya itu menyerangnya dengan cara mengerahkan makhluk hidup di sekitarnya. Bahkan Kyo kewalahan karena seluruh hutan ikut menyerangnya. Kyo berhasil kabur setelah ada seseorang lain yang berhasil mematahkan sihir itu.

"Walau tidak kuat itu menjadi kesempatanku untuk kabur. Dan ugh! tiba-tiba tubuhku berubah."
"Jadi ini bentuk aslimu?"
"Ya, tapi ini tidak akan bertahan lama. biasanya hanya dua-tiga hari selama setahun."
"Apa ini dipengaruhi oleh bulan purnama? srigala jadi-jadian kan begitu." ujar Hakuei, mereka menoleh padanya, "menurut buku yang kubaca, hehe..."
"Dasar kutu buku" rutuk Die.
"Yang jelas sepertinya kita akan bertemu dengan penyihir yang lebih mengerikan dari Toshiya atau Uruha."
"Apakah mungkin itu Ursula?"


****

"Bukan." Toshiya menggelengkan kepalanya, "kurasa itu bukan Ursula."
"Lalu Ursula?"
"Dia terkena kutukan dan tidak bisa pergi kemanapun. Tubuhnya meleleh dan menyatu dengan akar pohon. Tapi itu tidak mengurangi kekuatannya, dia bisa mengendalikan siapapun asalkan dia pernah melihatnya ataupun tahu nama dan asalnya."
"Itu seperti sihir jarak jauh."
"Berhati-hatilah. aku tidak bisa membantumu lebih banyak." Toshiya beranjak. tapi Kaoru menahannya. "apakah kau yang menolong Kyo?"


Toshiya menatapnya dengan wajah yang bisa ditebak. Kaoru jadi panik.

"Kau yakin itu bukan Ursula?"
"Jikapun benar, mungkin sudah saatnya aku melawan balik." Toshiya tersenyum simpul.


Kaoru menghela, menariknya dalam pelukan. Sebenarnya ia senang Toshiya sudah berpihak padanya. Tetapi caranya adalah berpura-pura. Jika saja Ursula tahu mengenai hal ini, Toshiya akan menjadi korban yang paling mudah dilumpuhkan.

"Aku harus memberitahukanmu satu hal," Toshiya melepaskan pelukannya dan menatap Kaoru serius, "aku tidak yakin dengan apa yang aku ketahui, tapi... aku merasa Ursula sedang menyembunyikan sesuatu yang lebih mengerikan daripada apapun."
"Apa itu?"
"Aku tidak tahu, tapi Ursula sudah mengorbankan hampir segala sihirnya untuk membuat sesuatu."
"Itu mengerikan,"
"Aku berpikir dia akan membuat seekor monster atau makhluk yang jauh lebih kejam daripada makhluk apapun."



Die terdiam menatap bandul kalungnya. Sejak tadi ia merasa bandul kalungnya mengeluarkan sebuah sinar. ia mengusapnya, pikirannya tanpa sadar melambung ke kejadian beberapa waktu yang lalu saat kalungnya memancarkan sinar yang begitu menyilaukan. Sinar yang bahkan mampu membakar dan melukai vampire seperti Camui dan Hyde.

Dan sejak saat itu Die dihantui oleh mimpi-mimpi yang aneh. Mimpi yang sama sekali tidak bisa ia artikan apa maksudnya. Sebenarnya dia ingin sekali bertanya kepada Shinya, tapi setiap kali melihatnya Die tak bisa melakukan apapun kecuali dia memandanginya. Dan setiap kali pikirannya berpindah memikirkan Shinya hatinya jadi tidak tenang. Jantungnya jadi berdegub kencang. Ah, ini membingungkan.

Tiba-tiba seseorang mengejutkannya karena menepuk bahunya dari belakang. Die kaget setengah mati, dan Hyde yang tidak berniat mengejutkannya pun ikut kaget.

"Kenapa denganmu?"
"Tidak apa-apa." jawab Die agak tergesa-gesa.


Hyde melihat kalung yang menggantung di lehernya. "Kau masih belum mengetahui soal kekuatan kalung itu?"

"Maksudku, mungkin sepeti asal usulnya, bagaimana kalung itu diciptakan."
"Kenapa aku harus peduli?"
"Tidakkah kau penasaran, bagaimana bisa kalung itu punya kekuatan sebegitu besarnya? Mungkin jika kau tahu sesuatu, kalung itu bisa menjadi petunjuk atau mungkin bisa jadi membantumu untuk mengalahkan Ursula." jelasnya. "kau manusia biasa, hanya bangsa hobbit yang sebetulnya tidak memiliki kekuatan apapun kecuali kenekatan dan keberanian. Kalau lawanmu adalah seorang penyihir kejam seperti Ursula, kau harus memiliki suatu kekuatan besar untuk bisa kau jadikan senjata yang ampuh. Bukankah kau tidak ingin perangmu berakhir sia-sia?"
"Kenapa kau begitu peduli dengan kekuatan kalung ini?" Die sewot. "kalau kau mau kau bisa memilikinya." Die berusaha melepaskan kalung itu darinya, Hyde sedikit panik dan mundur selangkah. Tetapi Die sama sekali tidak bisa melepaskan kalung itu darinya. Kalung itu seperti melekat dan tak bisa diputuskan, padahal tali kalung itu hanya terbuat dari sebuah benang yang begitu tipis. Die jadi bingung.
"Nah, apa kubilang. Bahkan kalung itu sendiri menolak untuk dilepaskan begitu saja." Hyde melengos sambil tersenyum penuh arti.


Die masih berusaha melepaskannya tetapi benar-benar susah. Dari jauh, ia tidak sadar pandangan Shinya menajam.

 

 

Continue…

1 komentar:

  1. Sepertinya saya terlewat lagi chapter sebelumnya. Mana yang 17!!?
    Add bibi Dudu.

    BalasHapus