expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

26 Agustus 2013

Magenta Mist


Title : Magenta Mist
Author : Duele
Years : Agustus 2013
Genre : Drama, fluff.
Rating : PG15
Chapter : Oneshot
Fandom : Dir en grey
Disclaimer : Happy Lesson - Duele

 
*****


“Yes! Akhirnya kita bisa liburan! Hore~!” Die kelihatannya senang sekali dengan liburan musim panas kali ini. Kedua tangannya sampai terangkat tinggi-tinggi ketika mereka keluar dari stasiun kereta. Shinya cuma bisa tersenyum saat sesekali ia melihat wajah Die yang kelihatan begitu gembira.

Beberapa minggu lalu Die memang sudah ribut merencanakan liburan musim panasnya. Dia memaksa Shinya untuk menghabiskan waktu liburan tanpa campur tangan siapapun. Diulang, siapapun!


“Toshiya, jauh-jauh, deh!” Begitu kata Die terakhir kali. Memang terdengar seperti sebuah peringatan paling berbahaya, pokoknya Say NO to Toshiya, deh! 

Maka dari itu Die sengaja membawa Shinya liburan lumayan jauh. Mereka liburan ke kota Matsumoto di prefektur Nagano. Die tahu tempat ini dari salah seorang rekan Ayahnya yang pernah liburan ke kota ini. Di Matsumoto ada sebuah danau bagus bernama Suwa Ko. Juga mansion yang murah dan tempat pemandian air panas yang bagus. Malamnya mereka bisa melihat pesta kembang api yang diadakan penduduk sekitar. Kalau menurut Die, sih, ini adalah rencana liburan yang sempurna bagi mereka.

Tapi… 

“HAH!!” 

Die dan Shinya terkejut melihat orang yang baru saja keluar dari pintu mansion. 

“Die..? Shinya…?” Kaoru melihat mereka dengan kaget. Di belakangnya muncul seorang pendatang baru. Hidung Die berkebat-kebit menebak si orang baru.

Toshiya!!
Urgh!
 

*****
 

“Jadi kalian bohong ya, katanya mau liburan ke Shanghai. Ternyata masih di Jepang juga…” cibir Toshiya.

Shinya tersenyum getir, Die mengalihkan matanya pada Kaoru yang minum bir dengan santai. Saat itu mereka makan di sebuah rumah makan murah dekat mansion tempat mereka menginap.

“Ya, tapi gak apa-apa, bagus dong sekarang kita jadi ketemu.” Toshiya senang. “Kan kita bisa pergi bareng-bareng, ya? Ya? Ya?” ujarnya melihat ketiga orang itu dengan mata yang genit. “Terus… bisa double date juga, iya kan Shiiiiiinn~~” Shinya merengket.
 

***** 

Malam itu mereka bertanding tenis meja. Die melawan Toshiya sekarang. Shinya dan Kaoru duduk di bangku kayu yang disediakan. Die melakukan pemanasan, ia terlalu menganggap serius permainan ini.

Toshiya melempar bola lebih dulu.
Tok!
Die menepuk bolanya dengan optimis.
Tak!
Bola melambung.
Tok!
Toshiya mengembalikan bola.
Tak!
Bola menghampiri Die, Die melakukan smash!
Tok!
Toshiya menyipitkan matanya, membalas memukul.
Tak!
Bola memantul semakin keras. Die bersiap melakukan smash akhir.
Tok!

Jdut!
            Namun bolanya memantul di ring net!

“YEAY!!” Toshiya kegirangan. Point untuknya. Kaoru menempelkan angka. Die melirik Shinya yang mengangguk-angguk memberi semangat. Die bertekad tak akan kalah kali ini. 

Tok!
Bola lagi-lagi memantul!
Permainan semakin seru!

…..
            …….... 

Skor seri 

Toshiya dan Die benar-benar serius ingin menang. Die sudah mengangkat lengan yukatanya tinggi-tinggi hingga kedua lengannya terekspos. Wajahnya sudah keringatan. Toshiya juga begitu. Rasanya malu kalau harus kalah di depan Kaoru. Fuhuhuhu! 

“Satu kali lagi yak, kalau kali ini ada yang masuk dia yang menang.” Kata Kaoru.
“Yang kalah harus bayarin makan besok!” celetuk Toshiya.
“Loh, siapa tuh yang bilang begitu?!” Die protes, memukulkan bet-nya ke meja tenis.
“Biar lebih seru!” tantang Toshiya.
“Gak bisa gitu!”
“Daidai takut, yaaaa?!” suara Toshiya meninggi.
“Toshiya~~” Kaoru melirik.
“Siapa takooot!?” balas Die.
“Diee~~~” Kaoru balik menoleh. 

Shinya hanya tersenyum kecut saat keduanya kembali bertanding. Die dan Toshiya memang senang bermain tenis. Jadi mereka kelihatan begitu pro saat bertanding. Menjadikan pertandingan ini semakin seru. Tapi saat Die hendak melakukan smash untuk mengembalikan bola, tangannya slip dan bet miliknya terlempar dari tangannya. Bet itu mengenai wajah Toshiya hingga membuatnya terkejut dan jatuh terduduk.

Bruk!
 
“Toshiya!” Die pun ikut panik bersamaan dengan Shinya dan Kaoru. Mereka membantu pria tinggi itu berdiri.
“Aduh..~” Toshiya mengerang sambil memegangi pelipis kanannya. Kaoru mencoba melihat lukanya. Tidak luka, hanya sedikit memar dan terasa agak nyeri.
“Maaf, maaf!” Die cemas.
“Iya, iya… gak apa-apa.”
“Tanganku licin karena keringatan. Maaf! Maaf!!”
“Hahaha… iya, iya…”

 Akhirnya permainan selesai. Mereka membawa Toshiya kembali ke mansion. Karena merasa bersalah, Die berniat untuk menraktirnya besok.

 
*****

 
“Duh, jadi nggak enak sampai ditraktir Daidai~ Yuhuu~!!” Toshiya mengacungkan botol minumannya.

Katanya sih nggak enak, tapi berbeda sekali dengan sikapnya yang seenaknya memesan makanan yang mahal-mahal di tempat itu -___-

“Eh, Shinchan, Shinchan! Aku jadi ingat gara-gara sesuatu soal Die waktu dia kecil,” Toshiya bercerita. “dulu, waktu kami kemping saat SD, Die penakut sekali.”
“Ee—” Shinya kelihatan tertarik.
“Heh! Jangan menyebar gosip!” Die sewot.
“Hihihi, seriusan, deh, Shin…” Toshiya kembali bercerita. “Waktu itu aku ingat sekali pernah ada jadwal berkeliling hutan di belakang sekolah, kemudian…”

Die habis kena bully!

 
*****
 

            “Masih tertawa?” Die muncul dari balik pintu. Dia baru selesai mandi, handuk masih bertengger di bahunya. Dia menyibakan sedikit yukatanya dan duduk di sebelah Shinya. “Masih sebal sama Toshiya?” Shinya tersenyum tersipu-sipu. Ingat cerita Toshiya tadi membuatnya jadi ingin tertawa lagi.

             “Ah, sial. Kenapa bisa ketemu sama mereka di sini, sih?” Die merutuk. Shinya terkikik. Die mendecak sebal. Pemuda itu jadi seperti anak kecil yang sedang kalah bertengkar.

             “Sudah, sudah. Lupakan Toshiya,” kata Shinya mengambil handuk yang bertengger di bahu Die. Mengelap rambutnya yang basah dan mengeringkannya seperti mengeringkan bulu Chihuahua kesayangannya. Sayang, liburan kali ini ia menitipkan Chihuahuanya pada tetangga dekat mereka. Die mematung saja saat Shinya mengelap sisa-sisa air yang menetes di ujung rambut dan wajahnya.

            Die menundukan kepalanya saat Shinya setengah berlutut menggapai kepalanya. Entah sejak kapan kebiasaan ini dimulai. Shinya senang membantu Die mengeringkan rambutnya, terutama saat rambut Die masih panjang dan lebat. Namun setiap menjelang musim panas yang terik, Die selalu memotong rambutnya lebih pendek.

Ini mungkin kekanakan, tetapi Die sangat menghargai waktu-waktu seperti ini. Karena jarang sekali ia dan Shinya bisa berlibur panjang seperti ini. Maka dari itu, liburan musim panas dan musim dingin seolah menjadi waktu yang sangat dinanti-nanti. Jadi Die tidak mau menyia-nyiakan waktu yang ada.

             “Hey,”

             Shinya mematung saat Die memeluknya. Titik-titik air yang masih menempel di rambut Die kini merembes pada yukatanya.

             “… aku mau,” bisiknya.

             Shinya menjatuhkan handuknya merunduk dan memeluk kepala Die yang menengadah.

 
*****

            “Panassss~~~!!!!” Die merebahkan dirinya di atas lantai tatami. Kipas angin yang ada di ruangan itu sudah disetel dengan angka yang paling besar. Tangannya juga memegang kipas yang sejak tadi ia kipas-kipasi terus. Die memang sangat lemah dengan hawa yang panas dan terik semacam ini. Ia jadi malas bergerak ke manapun.

            “Die-kuuuuun~ kenapa tidur saja?” Shinya muncul dari luar.
            “Panas, Shinchan~” Die mengipasi dirinya.
            “Ayo keluar,”
            “Tidak! Di sini saja sudah panas apalagi di luar. Tidaaaak!” Die berguling ke kanan-kiri.
            “Toshiya dan Kaoru mengajakmu memancing, nanti malam kita barbeque.”
“Aku ma—las...” sekarang Die tertelungkup. “Panasnya seperti mau kiamat…”
            “Ada bir dingin,”
            “OKE!”

 -___-


*****

           

            “Untung di sini ada tempat pemancingan. Aah~ aku suka banget tempat ini <3”

            Toshiya memang hobi mancing. Memancing baginya seperti penghilang stress, atau… tempat untuk melarikan diri. Tapi walaupun begitu, Toshiya jarang sekali mendapatkan ikan yang besar. Keberuntungannya tidak sebesar kecintaannya pada memancing.

             “Ikan apa yang paling susah dipancing?” Shinya bertanya pada sebuah kesempatan.
            “Banyak, sih..” Toshiya menjawab serius. “Tapi yang paling susah mancing ikan Kaoru, hihihi…”

            Kaoru terdiam, Die hampir batuk kemudian tertawa terbahak-bahak.

 
*****
       

            “Dah, Chinchaaaan~” Toshiya melambai pergi. Namun sebelum benar-benar menghilang ia berisyarat agar Shinya menelponnya nanti malam, “call meh~” bisiknya.

             Shinya dan Die masuk ke dalam kamarnya. Die merutuk kepanasan dan berlari ke kamar mandi. Suhu saat musim panas memang tidak terlalu dingin. Die yang tidak terbiasa dengan suhu panas mendadak berubah rewel sekali.

             Sambil menunggu gilirannya mandi, Shinya membenahi beberapa pakaian kotor yang telah dipakai dan dimasukan ke dalam plastik. Saat ia hendak memasukan plastik itu ke dalam tas, dompet milik Die terjatuh dan terbuka. Shinya sebenarnya tidak mau mengurus benda pribadinya, tapi melihat sebuah potret usang terpajang di sana, mau tak mau dia penasaran juga. Dan saat Die keluar dari kamar mandi, ia terkejut. 

            “Woaah!” Die buru-buru menyelamatkan dompetnya.
            “Ma-maaf,” Shinya menyesal.
            “Ka-kamu lihat ya?”
            “Apanya?”
            “Fotonya,”
            “Iya. Itu siapa?” tanya Shinya.
            “Hee?” Die bingung, “Siapa? Yang mana?”
            “Keluargamu, ya? Katanya kau anak tunggal??”

            Die mengeluarkan dompetnya dan memeriksanya. Ooh, ini! Mata Die berkilat optimis, kemudian dia mendekati Shinya.

            “Masa kamu nggak bisa nebak,” tantang Die.
            “Siapa?”
            “Ini… Toshiya.” Die menunjuk pada seorang anak manis di sebelahnya.
            “Hihihi…”      
            “Norak kan!”  
            “Kalian mirip,”
            “Hapanyaaaaaah!”
            “Ini waktu kami masih SD, dia seniorku. Waktu itu dia sudah kelas lima.”
            “Sou… aku tidak pernah melihat foto-foto kalian sewaktu kecil,”
            “Nggak penting,”
            “Buatku penting!” tandas Shinya. “Die-kun juga sudah lihat foto-fotoku waktu kecil!”

             Blush~!
            Tanpa sadar wajah Die memerah, ingat Shinya kecil bergaun perempuan dengan pita-pita yang lucu dan menggemaskan.

             “Ceritakan padaku waktu kalian kecil. Kalian pasti bahagia seperti Toshiya,”
            “Kata siapa?”
            “Bukankah begitu?” Shinya jadi ragu. “Karena Toshiya begitu ceria, semangat dan selalu tertawa. Aku bahkan bingung terapi apa yang dia pakai sehingga dia sampai seceria itu. Tapi aku tahu bahwa mungkin dia kaya dan orang tuanya sangat menyayanginya, makanya…” Shinya tidak melanjutkan kata-katanya saat melihat wajah Die yang berubah menjadi aneh. “Ke—kenapa?”

            “Ceritanya tidak begitu,”
            “Maksudmu?”
            “Apa yang kau lihat tidak seperti itu, Shin. Apalagi tentang Toshiya…”
            “Kenapa dengan Toshiya?”
            “Duh, bagaimana, ya. Soalnya ini bukan cerita bagus yang cocok diceritakan ulang sih,” Die melirik Shinya yang merunduk, bibirnya gemetaran seperti mau menangis, “…iya, deh, aku ceritakan…”

            Toshiya.

            Cowok berparas manis itu memang dibesarkan di kalangan keluarga berada. Ayahnya memiliki beberapa hotel dan saham di bidang yang sama. Bisnis berjalan dengan begitu pesat dan menjadikannya menjadi salah satu orang terkaya di Jepang. Sementara Ibunya adalah seorang designer kenamaan. Setelah melahirkan Toshiya dia menetap di Jepang dan tinggal bersama suaminya. Toshiya adalah anak tunggal. Sama seperti anak tunggal yang lain, Toshiya sangat dikasihi oleh kedua orang tuanya. Semua yang ia inginkan terpenuhi. Toshiya layaknya pangeran muda di kekaisarannya sendiri.

            Tetapi, kasih sayang terhadap anak itu berbeda terbalik dengan kasih sayang antar orang tuanya. Orang tuanya justru tidak menyenangi satu sama lain. Orang tuanya menikah dalam acara Omiai kekeluargaan. Karena kepentingan materi, mereka melupakan hal terpenting dalam membina sebuah keluarga. Sempat ingin bercerai, tetapi kandas karena Toshiya lahir sempurna. Ibunya begitu mencintai dan menyayanginya. Ayahnya yang mulanya merasa curiga bahwa Toshiya bukan darah dagingnya perlahan luluh dan gigih mendapatkannya. Walau tinggal bersama, kasih sayang yang diberikan antara Ibu dan Ayahnya seperti sebuah perlombaan khusus untuk mendapatkan hati Toshiya.      

            Hingga Toshiya menginjak usia enam tahun. Ia dibawa kabur oleh Ibunya ke New York dan tinggal di sana hingga berumur delapan tahun. Mengetahui persembunyiannya, Ayahnya menyusul dan memaksanya kembali pulang. Perceraian hampir terjadi karena insiden perebutan itu. Namun keduanya rujuk setelah Toshiya jatuh sakit. Keduanya sepakat tinggal di New York.

            Toshiya awalnya home schooling, namun pada usia sepuluh tahun dia mulai berangkat ke sekolah biasa karena iri melihat anak-anak lain yang bisa naik bus jemputan. Katanya Toshiya suka dengan warna busnya yang benderang. Di sekolah itulah Toshiya bertemu dan Die yang dua tahun berada di bawahnya. Mereka selalu bertengkar. Dan tebak, Toshiyalah yang selalu kalah dijahili oleh Die.

             Pertemuan Toshiya dengan Kaoru terjadi saat Kaoru menjemput Die ke sekolah karena padatnya jadwal sekolah dan les yang ia ambil. Saat itu jemputan yang biasa menjemput Toshiya tak muncul. Kaoru menawarkan anak itu tumpangan, dan membawanya pulang. Yang mengejutkan adalah, rumah yang Toshiya tinggali saat itu adalah bekas rumah keluarga Die. Jarak rumahnya pun tidak terlalu jauh. Sehingga Toshiya dan Die bisa bertemu saat liburan musim dingin di daerah tempat mereka tinggal.

             Saat itu Kaoru seperti menjadi baby sitter bagi mereka. Menunggui bermain, mengajak berjalan-jalan dan melakukan hal-hal kekanakan yang biasa dilakukan. Pesta yang paling mereka tunggu-tunggu adalah pesta saat malam Haloween. Tetapi persahabatan itu harus berhenti saat keluarga Toshiya pindah kembali ke Jepang saat ia lulus sekolah dasar.

             “Beberapa tahun kemudian, Kaoru juga pindah. Aku juga berpindah-pindah ikut Ayah dan Ibu yang punya penelitian fosil baru.” Jelas Die.
            “Itu terdengar masih menyenangkan,” kata Shinya.
            “Yang nggak menyenangkannya justru waktu remaja. Aku juga tidak tahu pasti bagaimana Toshiya sebelumnya, tapi dulu itu Toshiya… 

            Toshiya tumbuh menjadi anak yang cengeng dan penakut. Setiap harinya mengurung diri di kamar. Toshiya sama sekali tidak punya teman dan lebih memilih untuk bermain boneka sendiri. Saat tumbuh remaja dan mulai masuk sekolah menengah, Toshiya suka bertingkah semaunya. Pergi ke klub dan sering kabur dari rumah.

            “Kenapa Toshiya tidak mengatakan saja apa yang ia mau dari keluarganya, Toshiya cukup berani untuk melakukannya,”
            “Sudah, tapi efeknya tidak berlangsung lama. Saking bosannya, mungkin dia sudah tidak menganggap punya orang tua.”
  
            Orang tua Toshiya mungkin tahu bahwa bertengkar di depan anak bukanlah hal yang bagus. Namun, Toshiya bukanlah anak yang tidak mampu merasakan dinginnya keluarga ini. Mereka sibuk, jarang di rumah, bahkan Ibunya kembali ke New York dan tidak pulang sampai beberapa bulan lamanya. Ayahnya pun sama, dinas dan dinas. Toshiya ditinggalkan di rumah, dengan beberapa pengurus rumah. Namun justru merekalah yang begitu dekat dengan pemuda itu. Toshiya merasa orang-orang inilah yang mengerti dan benar-benar menghargainya sebagai anak yang sedang tumbuh di rumah itu. Bahkan terkadang dia mensyukuri ketika orang tuanya tak berada di rumah.

            Dan salah satu pengurus rumah itu ada satu yang masih mengurus Toshiya hingga sekarang. Dia tinggal bersama Toshiya. Toshiya menganggapnya Bibi. Baginya Bibi seperti Ibu dan Ayah di rumah.

“Sampai suatu ketika, Toshiya memutuskan untuk pergi dari rumah dengan pengasuhnya karena sebuah insiden.”
             “Apa itu?”

Brak!!

Toshiya tercenung ketika mendengar suara ribut dari dalam. Ia baru saja pulang bermain dengan teman.

 “Kau yang tidak pernah bisa mengerti!”
            “Kau yang egois!”

 Ah, suara mereka lagi. Batin Toshiya.

Sampai kapan mereka akan sadar dan lelah dengan ritual pertengkaran yang selalu saja terjadi jika mereka bertemu. Seperti kucing dan anjing saja. Toshiya bingung, harus muncul atau tidak? Tapi dia membutuhkan ranselnya yang tertinggal di dalam kamar.

“Ah, sudahlah…” Toshiya menggelengkan kepalanya. Terserah mereka mau ribut sampai saling membunuh pun tak apa.

 Tapi saat Toshiya melangkah masuk, ia tidak tangkas menghindari piringan pajangan yang terlempar ke arahnya dan,

Craang!!

Bruk!
 
 “Aaarrgghh…”
 “Toshiya!!!”

Toshiya oleng saat kepalanya merasakan sakit yang luar biasa. Darah menetes perlahan dari pelipis kanan. Ia memegangi kepalanya yang terluka, Ayah dan Ibunya berlarian panik menghampirinya. Ayahnya berteriak meminta siapapun di rumah itu agar memanggilkan dokter. Dan suara isakan tangis Ibunya semakin memperkeruh suasana. Toshiya dibawa ke rumah sakit.

“Tapi kau tahu apa yang terburuk?”
“Apa?” Shinya terlihat cemas.
“Ternyata serpihan kacanya ada yang masuk ke dalam matanya,”
“!!!”

Selama empat bulan mata kanannya tak bisa melihat. Toshiya mengalami kebutaan. Namun beruntung ada pendonor mata yang mau memberikan matanya padanya, walaupun dengan bayaran yang amat tinggi. Ia dioperasi beberapa kali dan perlahan bisa melihat setelah menjalani pengobatan hampir delapan bulan.

 “Sejak saat itu Toshiya ngotot pindah,”
             “Apa dia membenci keluarganya?”
“Menurutmu? Apa setelah mengalami hal itu kau akan tetap mencintai keluargamu,”

 
              Shinya terdiam. “Kasihan Toshiya,”

“Ssstthh, jangan bilang begitu. Kalau kau bicara begitu di depannya kau bisa dihajarnya,”
            “Eee~!”
            “Serius.”

Shinya menghela, “Toshiya nggak pernah bilang apa-apa padaku. Sejak pertama kali kami bertemu di SMA, menurutku dia orang yang paling bahagia di dunia. Tapi ternyata dia sempat mengalami hal-hal buruk.”

             “Di dunia ini tidak ada orang yang sempurna, Shin…” Die tersenyum. Shinya membalasnya. Die menggelitiknya dengan hidung di pipi, Shinya terkekeh. “Berhenti, hihihi!”
       
            “Dan aku juga bukan orang yang sempurna,” Die memegang kedua bahu Shinya, “tapi aku merasa sempurna karena memiliki Shinchan,” Shinya tidak bisa menyembunyikan wajah memerahnya kali ini.
            “Terima kasih…., Die-kun.”

             Sekarang juga Shinya merasakan seperti makhluk tersempurna di dunia, karena dicintai oleh orang seperti Daisuke.

             “Huh..?” Shinya menoleh pada dompet Die. “Apa itu?”
            “Apa?”

             Shinya mengambil dompetnya dan menarik kertas kecil yang tersemat dibalik foto Toshiya dan Die saat masih kecil. Beberapa foto jatuh ke di antara mereka. Shinya memungutnya dan mengamatinya, Die bersiap kabur!

             “UGH! DIE-KUN!!! Apa-apaan ini!!!”
            “Hyaaa!!!” Die merangkak kabur.
            “Ini kan fotoku waktu masih kecil!!! Kau mencurinya, ya!!!”
            “A—aku bisa jelaskan!!”
            “Berhenti kau!! Jangan lari!!”
            “Gyaaaa!!!”

             
            …..
            ……….

 

               Di kamar sebelah…

             “Duh, yang sebelah ribut banget, ya…” cibir Toshiya yang selesai melepaskan lensa kontaknya.

             Kaoru datang dan duduk di depannya. Ia mengoleskan sedikit alcohol ke pelipis kanan Toshiya. Pemuda itu kelihatan tenang dan menurut saat Kaoru membersihkan lukanya.

             “Sudah nggak sakit, kok.” Katanya.
            “Tapi bisa infeksi!” Kaoru berkata protektif.

             Dasar kakek-kakek tua, batin Toshiya terkekeh. Saat Kaoru menoleh kembali, wajahnya kembali kaku. Untung saja Toshiya bisa menahan tawanya. Ketika Kaoru selesai membalut lukanya, wajah Toshiya tersenyum kecil.

             “Kenapa?”
            “Un~” Toshiya menggeleng.

             Kaoru membalikan badannya membenahi kotak-kotak obat kecil di sebelahnya. Tiba-tiba Toshiya menyandarkan kepalanya dan mengamati sisi tembok dari sana. Tangannya menyusup di balik lengan Kaoru yang sibuk.

             “Semuanya masih hitam putih,” ujarnya pelan.

             Kaoru berhenti.

             “Tapi terkadang abu-abu,”

             Kaoru memejamkan matanya pelan, kemudian menoleh kepada Toshiya dan membelai wajahnya.

             “Matamu sakit?”
            “Nggak,”

             Toshiya menggerakan kepalanya. Kali ini ia memeluk lengan Kaoru dengan kedua tangannya gemas.

           “Besok kita buat Hanabi, ya…!” ajaknya. Kaoru hanya tersenyum. “Beli yang banyak dengan berbagai bentuk dan warna, aku mau melihat bunga yang besar.”

            “Iya,”
            “Walaupun bunganya hitam putih,” Toshiya tersenyum.

             Kaoru hanya terdiam. Ia berbalik, Toshiya bermuka bingung.

             “Matamu masih belum sembuh benar,”

             Toshiya tertawa kecil. Lalu ia menutup mata kanannya dengan telapak tangannya dan mulai berkata riang. “Lucu sih, hanya melihat Kaoru setengah warna seperti ini, hihihi…” 

            Kaoru mengambil tangannya. Membiarkan kedua mata berbeda warna tersebut terlihat. Toshiya hanya tersenyum simpul, walau begitu terlihat semburat nyeri tersimpan dalam senyumnya. Kaoru memegang wajahnya dengan kedua telapaknya. Secara perlahan Toshiya menutup matanya saat Kaoru mendaratkan sebuah kecupan kilat di pelipis hingga ke mata kanannya. Meski luka itu telah hilang, namun arti dari lukanya tetap menyimpan rasa getir. Toshiya tidak akan pernah bisa lupa.

             “Kaoru…”
            “Hmm…?”
            “Besok bawakan aku Hanabi.”
            “Apapun.”

           

 
 

           

            The End.

1 komentar:

  1. terharunya aku sm totchi *mata berkaca2.
    aku jd kangen happy lesson haha

    BalasHapus