Title : Magenta Mist
Author : Duele
Years : Agustus 2013
Genre : Drama, fluff.
Rating : PG15
Chapter : Oneshot
Fandom : Dir en grey
Disclaimer : Happy Lesson - Duele
*****
“Yes! Akhirnya
kita bisa liburan! Hore~!” Die kelihatannya senang sekali dengan liburan musim
panas kali ini. Kedua tangannya sampai terangkat tinggi-tinggi ketika mereka
keluar dari stasiun kereta. Shinya cuma bisa tersenyum saat sesekali ia melihat
wajah Die yang kelihatan begitu gembira.
Beberapa minggu
lalu Die memang sudah ribut merencanakan liburan musim panasnya. Dia memaksa
Shinya untuk menghabiskan waktu liburan tanpa campur tangan siapapun. Diulang,
siapapun!
“Toshiya,
jauh-jauh, deh!” Begitu kata Die terakhir kali. Memang terdengar seperti sebuah
peringatan paling berbahaya, pokoknya Say
NO to Toshiya, deh!
Maka dari itu
Die sengaja membawa Shinya liburan lumayan jauh. Mereka liburan ke kota
Matsumoto di prefektur Nagano. Die tahu tempat ini dari salah seorang rekan
Ayahnya yang pernah liburan ke kota ini. Di Matsumoto ada sebuah danau bagus
bernama Suwa Ko. Juga mansion yang murah dan tempat pemandian air panas yang
bagus. Malamnya mereka bisa melihat pesta kembang api yang diadakan penduduk
sekitar. Kalau menurut Die, sih, ini adalah rencana liburan yang sempurna bagi
mereka.
Tapi…
“HAH!!”
Die dan Shinya
terkejut melihat orang yang baru saja keluar dari pintu mansion.
“Die..?
Shinya…?” Kaoru melihat mereka dengan kaget. Di belakangnya muncul seorang
pendatang baru. Hidung Die berkebat-kebit menebak si orang baru.
Toshiya!!
Urgh!
*****
“Jadi kalian
bohong ya, katanya mau liburan ke Shanghai. Ternyata masih di Jepang juga…” cibir
Toshiya.
Shinya tersenyum
getir, Die mengalihkan matanya pada Kaoru yang minum bir dengan santai. Saat
itu mereka makan di sebuah rumah makan murah dekat mansion tempat mereka
menginap.
“Ya, tapi gak
apa-apa, bagus dong sekarang kita jadi ketemu.” Toshiya senang. “Kan kita bisa
pergi bareng-bareng, ya? Ya? Ya?” ujarnya melihat ketiga orang itu dengan mata
yang genit. “Terus… bisa double date juga, iya kan Shiiiiiinn~~” Shinya
merengket.
*****
Malam itu mereka
bertanding tenis meja. Die melawan Toshiya sekarang. Shinya dan Kaoru duduk di
bangku kayu yang disediakan. Die melakukan pemanasan, ia terlalu menganggap
serius permainan ini.
Toshiya melempar
bola lebih dulu.
Tok!
Die menepuk
bolanya dengan optimis.
Tak!
Bola melambung.
Tok!
Toshiya mengembalikan
bola.
Tak!
Bola menghampiri
Die, Die melakukan smash!
Tok!
Toshiya
menyipitkan matanya, membalas memukul.
Tak!
Bola memantul
semakin keras. Die bersiap melakukan smash akhir.
Tok!
Jdut!
Namun bolanya
memantul di ring net!
“YEAY!!” Toshiya
kegirangan. Point untuknya. Kaoru menempelkan angka. Die melirik Shinya yang
mengangguk-angguk memberi semangat. Die bertekad tak akan kalah kali ini.
Tok!
Bola lagi-lagi
memantul!
Permainan
semakin seru!
…..
……....
Skor seri
Toshiya dan Die
benar-benar serius ingin menang. Die sudah mengangkat lengan yukatanya
tinggi-tinggi hingga kedua lengannya terekspos. Wajahnya sudah keringatan.
Toshiya juga begitu. Rasanya malu kalau harus kalah di depan Kaoru. Fuhuhuhu!
“Satu kali lagi
yak, kalau kali ini ada yang masuk dia yang menang.” Kata Kaoru.
“Yang kalah
harus bayarin makan besok!” celetuk Toshiya.
“Loh, siapa tuh
yang bilang begitu?!” Die protes, memukulkan bet-nya ke meja tenis.
“Biar lebih
seru!” tantang Toshiya.
“Gak bisa gitu!”
“Daidai takut,
yaaaa?!” suara Toshiya meninggi.
“Toshiya~~”
Kaoru melirik.
“Siapa
takooot!?” balas Die.
“Diee~~~” Kaoru
balik menoleh.
Shinya hanya
tersenyum kecut saat keduanya kembali bertanding. Die dan Toshiya memang senang
bermain tenis. Jadi mereka kelihatan begitu pro saat bertanding. Menjadikan
pertandingan ini semakin seru. Tapi saat Die hendak melakukan smash untuk
mengembalikan bola, tangannya slip dan bet miliknya terlempar dari tangannya.
Bet itu mengenai wajah Toshiya hingga membuatnya terkejut dan jatuh terduduk.
Bruk!
“Toshiya!” Die
pun ikut panik bersamaan dengan Shinya dan Kaoru. Mereka membantu pria tinggi
itu berdiri.
“Aduh..~”
Toshiya mengerang sambil memegangi pelipis kanannya. Kaoru mencoba melihat
lukanya. Tidak luka, hanya sedikit memar dan terasa agak nyeri.
“Maaf, maaf!”
Die cemas.
“Iya, iya… gak
apa-apa.”
“Tanganku licin
karena keringatan. Maaf! Maaf!!”
“Hahaha… iya,
iya…”
*****
“Duh, jadi nggak
enak sampai ditraktir Daidai~ Yuhuu~!!” Toshiya mengacungkan botol minumannya.
Katanya sih
nggak enak, tapi berbeda sekali dengan sikapnya yang seenaknya memesan makanan
yang mahal-mahal di tempat itu -___-
“Eh, Shinchan, Shinchan!
Aku jadi ingat gara-gara sesuatu soal Die waktu dia kecil,” Toshiya bercerita.
“dulu, waktu kami kemping saat SD, Die penakut sekali.”
“Ee—” Shinya
kelihatan tertarik.
“Heh! Jangan
menyebar gosip!” Die sewot.
“Hihihi,
seriusan, deh, Shin…” Toshiya kembali bercerita. “Waktu itu aku ingat sekali
pernah ada jadwal berkeliling hutan di belakang sekolah, kemudian…”
Die habis kena
bully!
*****
“Masih
tertawa?” Die muncul dari balik pintu. Dia baru selesai mandi, handuk masih
bertengger di bahunya. Dia menyibakan sedikit yukatanya dan duduk di sebelah
Shinya. “Masih sebal sama Toshiya?” Shinya tersenyum tersipu-sipu. Ingat cerita
Toshiya tadi membuatnya jadi ingin tertawa lagi.
Die menundukan
kepalanya saat Shinya setengah berlutut menggapai kepalanya. Entah sejak kapan
kebiasaan ini dimulai. Shinya senang membantu Die mengeringkan rambutnya,
terutama saat rambut Die masih panjang dan lebat. Namun setiap menjelang musim
panas yang terik, Die selalu memotong rambutnya lebih pendek.
Ini mungkin
kekanakan, tetapi Die sangat menghargai waktu-waktu seperti ini. Karena jarang
sekali ia dan Shinya bisa berlibur panjang seperti ini. Maka dari itu, liburan
musim panas dan musim dingin seolah menjadi waktu yang sangat dinanti-nanti.
Jadi Die tidak mau menyia-nyiakan waktu yang ada.
*****
“Panassss~~~!!!!”
Die merebahkan dirinya di atas lantai tatami. Kipas angin yang ada di ruangan
itu sudah disetel dengan angka yang paling besar. Tangannya juga memegang kipas
yang sejak tadi ia kipas-kipasi terus. Die memang sangat lemah dengan hawa yang
panas dan terik semacam ini. Ia jadi malas bergerak ke manapun.
“Die-kuuuuun~
kenapa tidur saja?” Shinya muncul dari luar.
“Panas,
Shinchan~” Die mengipasi dirinya.
“Ayo
keluar,”
“Tidak!
Di sini saja sudah panas apalagi di luar. Tidaaaak!” Die berguling ke
kanan-kiri.
“Toshiya
dan Kaoru mengajakmu memancing, nanti malam kita barbeque.”
“Aku ma—las...”
sekarang Die tertelungkup. “Panasnya seperti mau kiamat…”
“Ada bir dingin,”“OKE!”
*****
“Untung
di sini ada tempat pemancingan. Aah~ aku suka banget tempat ini <3”
Toshiya
memang hobi mancing. Memancing baginya seperti penghilang stress, atau… tempat
untuk melarikan diri. Tapi walaupun begitu, Toshiya jarang sekali mendapatkan
ikan yang besar. Keberuntungannya tidak sebesar kecintaannya pada memancing.
Kaoru
terdiam, Die hampir batuk kemudian tertawa terbahak-bahak.
*****
“Dah,
Chinchaaaan~” Toshiya melambai pergi. Namun sebelum benar-benar menghilang ia
berisyarat agar Shinya menelponnya nanti malam, “call meh~” bisiknya.
“Woaah!”
Die buru-buru menyelamatkan dompetnya.
“Ma-maaf,”
Shinya menyesal.“Ka-kamu lihat ya?”
“Apanya?”
“Fotonya,”
“Iya. Itu siapa?” tanya Shinya.
“Hee?” Die bingung, “Siapa? Yang mana?”
“Keluargamu, ya? Katanya kau anak tunggal??”
Die
mengeluarkan dompetnya dan memeriksanya. Ooh, ini! Mata Die berkilat optimis,
kemudian dia mendekati Shinya.
“Masa
kamu nggak bisa nebak,” tantang Die.
“Siapa?”“Ini… Toshiya.” Die menunjuk pada seorang anak manis di sebelahnya.
“Hihihi…”
“Norak kan!”
“Kalian mirip,”
“Hapanyaaaaaah!”
“Ini waktu kami masih SD, dia seniorku. Waktu itu dia sudah kelas lima.”
“Sou… aku tidak pernah melihat foto-foto kalian sewaktu kecil,”
“Nggak penting,”
“Buatku penting!” tandas Shinya. “Die-kun juga sudah lihat foto-fotoku waktu kecil!”
“Bukankah begitu?” Shinya jadi ragu. “Karena Toshiya begitu ceria, semangat dan selalu tertawa. Aku bahkan bingung terapi apa yang dia pakai sehingga dia sampai seceria itu. Tapi aku tahu bahwa mungkin dia kaya dan orang tuanya sangat menyayanginya, makanya…” Shinya tidak melanjutkan kata-katanya saat melihat wajah Die yang berubah menjadi aneh. “Ke—kenapa?”
“Ceritanya
tidak begitu,”
“Maksudmu?”“Apa yang kau lihat tidak seperti itu, Shin. Apalagi tentang Toshiya…”
“Kenapa dengan Toshiya?”
“Duh, bagaimana, ya. Soalnya ini bukan cerita bagus yang cocok diceritakan ulang sih,” Die melirik Shinya yang merunduk, bibirnya gemetaran seperti mau menangis, “…iya, deh, aku ceritakan…”
Toshiya.
Cowok berparas manis itu memang dibesarkan di kalangan keluarga berada. Ayahnya memiliki beberapa hotel dan saham di bidang yang sama. Bisnis berjalan dengan begitu pesat dan menjadikannya menjadi salah satu orang terkaya di Jepang. Sementara Ibunya adalah seorang designer kenamaan. Setelah melahirkan Toshiya dia menetap di Jepang dan tinggal bersama suaminya. Toshiya adalah anak tunggal. Sama seperti anak tunggal yang lain, Toshiya sangat dikasihi oleh kedua orang tuanya. Semua yang ia inginkan terpenuhi. Toshiya layaknya pangeran muda di kekaisarannya sendiri.
Tetapi, kasih sayang terhadap anak itu berbeda terbalik dengan kasih sayang antar orang tuanya. Orang tuanya justru tidak menyenangi satu sama lain. Orang tuanya menikah dalam acara Omiai kekeluargaan. Karena kepentingan materi, mereka melupakan hal terpenting dalam membina sebuah keluarga. Sempat ingin bercerai, tetapi kandas karena Toshiya lahir sempurna. Ibunya begitu mencintai dan menyayanginya. Ayahnya yang mulanya merasa curiga bahwa Toshiya bukan darah dagingnya perlahan luluh dan gigih mendapatkannya. Walau tinggal bersama, kasih sayang yang diberikan antara Ibu dan Ayahnya seperti sebuah perlombaan khusus untuk mendapatkan hati Toshiya.
Hingga
Toshiya menginjak usia enam tahun. Ia dibawa kabur oleh Ibunya ke New York dan
tinggal di sana hingga berumur delapan tahun. Mengetahui persembunyiannya,
Ayahnya menyusul dan memaksanya kembali pulang. Perceraian hampir terjadi
karena insiden perebutan itu. Namun keduanya rujuk setelah Toshiya jatuh sakit.
Keduanya sepakat tinggal di New York.
Toshiya
awalnya home schooling, namun pada
usia sepuluh tahun dia mulai berangkat ke sekolah biasa karena iri melihat
anak-anak lain yang bisa naik bus jemputan. Katanya Toshiya suka dengan warna busnya
yang benderang. Di sekolah itulah Toshiya bertemu dan Die yang dua tahun berada
di bawahnya. Mereka selalu bertengkar. Dan tebak, Toshiyalah yang selalu kalah
dijahili oleh Die.
“Yang nggak menyenangkannya justru waktu remaja. Aku juga tidak tahu pasti bagaimana Toshiya sebelumnya, tapi dulu itu Toshiya…
Toshiya
tumbuh menjadi anak yang cengeng dan penakut. Setiap harinya mengurung diri di
kamar. Toshiya sama sekali tidak punya teman dan lebih memilih untuk bermain
boneka sendiri. Saat tumbuh remaja dan mulai masuk sekolah menengah, Toshiya
suka bertingkah semaunya. Pergi ke klub dan sering kabur dari rumah.
“Kenapa
Toshiya tidak mengatakan saja apa yang ia mau dari keluarganya, Toshiya cukup
berani untuk melakukannya,”
“Sudah,
tapi efeknya tidak berlangsung lama. Saking bosannya, mungkin dia sudah tidak
menganggap punya orang tua.”Orang tua Toshiya mungkin tahu bahwa bertengkar di depan anak bukanlah hal yang bagus. Namun, Toshiya bukanlah anak yang tidak mampu merasakan dinginnya keluarga ini. Mereka sibuk, jarang di rumah, bahkan Ibunya kembali ke New York dan tidak pulang sampai beberapa bulan lamanya. Ayahnya pun sama, dinas dan dinas. Toshiya ditinggalkan di rumah, dengan beberapa pengurus rumah. Namun justru merekalah yang begitu dekat dengan pemuda itu. Toshiya merasa orang-orang inilah yang mengerti dan benar-benar menghargainya sebagai anak yang sedang tumbuh di rumah itu. Bahkan terkadang dia mensyukuri ketika orang tuanya tak berada di rumah.
Dan
salah satu pengurus rumah itu ada satu yang masih mengurus Toshiya hingga
sekarang. Dia tinggal bersama Toshiya. Toshiya menganggapnya Bibi. Baginya Bibi
seperti Ibu dan Ayah di rumah.
“Sampai suatu
ketika, Toshiya memutuskan untuk pergi dari rumah dengan pengasuhnya karena
sebuah insiden.”
“Apa itu?”
Brak!!
Toshiya
tercenung ketika mendengar suara ribut dari dalam. Ia baru saja pulang bermain
dengan teman.
Sampai kapan
mereka akan sadar dan lelah dengan ritual pertengkaran yang selalu saja terjadi
jika mereka bertemu. Seperti kucing dan anjing saja. Toshiya bingung, harus
muncul atau tidak? Tapi dia membutuhkan ranselnya yang tertinggal di dalam
kamar.
“Ah, sudahlah…”
Toshiya menggelengkan kepalanya. Terserah mereka mau ribut sampai saling
membunuh pun tak apa.
Craang!!
Bruk!
Toshiya oleng
saat kepalanya merasakan sakit yang luar biasa. Darah menetes perlahan dari
pelipis kanan. Ia memegangi kepalanya yang terluka, Ayah dan Ibunya berlarian
panik menghampirinya. Ayahnya berteriak meminta siapapun di rumah itu agar
memanggilkan dokter. Dan suara isakan tangis Ibunya semakin memperkeruh suasana.
Toshiya dibawa ke rumah sakit.
“Tapi kau tahu
apa yang terburuk?”
“Apa?” Shinya
terlihat cemas.
“Ternyata
serpihan kacanya ada yang masuk ke dalam matanya,”
“!!!”
Selama empat
bulan mata kanannya tak bisa melihat. Toshiya mengalami kebutaan. Namun
beruntung ada pendonor mata yang mau memberikan matanya padanya, walaupun
dengan bayaran yang amat tinggi. Ia dioperasi beberapa kali dan perlahan bisa
melihat setelah menjalani pengobatan hampir delapan bulan.
“Menurutmu? Apa
setelah mengalami hal itu kau akan tetap mencintai keluargamu,”
“Ssstthh, jangan
bilang begitu. Kalau kau bicara begitu di depannya kau bisa dihajarnya,”
“Eee~!”“Serius.”
Shinya menghela,
“Toshiya nggak pernah bilang apa-apa padaku. Sejak pertama kali kami bertemu di
SMA, menurutku dia orang yang paling bahagia di dunia. Tapi ternyata dia sempat
mengalami hal-hal buruk.”
“Dan aku juga bukan orang yang sempurna,” Die memegang kedua bahu Shinya, “tapi aku merasa sempurna karena memiliki Shinchan,” Shinya tidak bisa menyembunyikan wajah memerahnya kali ini.
“Terima
kasih…., Die-kun.”
Shinya
mengambil dompetnya dan menarik kertas kecil yang tersemat dibalik foto Toshiya
dan Die saat masih kecil. Beberapa foto jatuh ke di antara mereka. Shinya
memungutnya dan mengamatinya, Die bersiap kabur!
“Ini kan fotoku waktu masih kecil!!! Kau mencurinya, ya!!!”
“A—aku bisa jelaskan!!”
“Berhenti kau!! Jangan lari!!”
“Gyaaaa!!!”
……….
Di
kamar sebelah…
Toshiya
menggerakan kepalanya. Kali ini ia memeluk lengan Kaoru dengan kedua tangannya
gemas.
“Iya,”
“Walaupun
bunganya hitam putih,” Toshiya tersenyum.
Kaoru
mengambil tangannya. Membiarkan kedua mata berbeda warna tersebut terlihat.
Toshiya hanya tersenyum simpul, walau begitu terlihat semburat nyeri tersimpan
dalam senyumnya. Kaoru memegang wajahnya dengan kedua telapaknya. Secara
perlahan Toshiya menutup matanya saat Kaoru mendaratkan sebuah kecupan kilat di
pelipis hingga ke mata kanannya. Meski luka itu telah hilang, namun arti dari
lukanya tetap menyimpan rasa getir. Toshiya tidak akan pernah bisa lupa.
“Besok bawakan aku Hanabi.”
“Apapun.”
The End.
terharunya aku sm totchi *mata berkaca2.
BalasHapusaku jd kangen happy lesson haha