expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

04 Mei 2014

The Housemates (Part 5)



The Housemates (Part 5)

Title : The Housemates
Author : Duele
Finishing : April 2014
Genre : AU, Drama Romance, Comedy
Rating : PG15
Chapter(s) : 5/on going
Fandom(s) : Dir en Grey
Pairing(s) : …?



*****


            “Kau marah?” Hakuei melihat Toshiya yang diam sejak mereka pergi dari rumah. Sampai sekarang ia masih tidak mau bicara. “Seriously,..” Hakuei kesal didiamkan. “Toshiya,”
            “Kenapa harus datang ke rumah, sih?”
            “Memangnya kenapa?”
            “Kau bilang kau nggak suka ke rumah itu.”
            “Aku memang nggak suka!” tiba-tiba suara Hakuei meninggi. “Kau kira aku suka datang ke rumah itu lagi dan melihat tingkah teman-temanmu juga si tua bangka pemilik rumahmu!!”

            “Berhenti!”
            “Huh?”
            “Berhenti, kataku!”
           
            Hakuei cuek. Dia tak mau menghentikan mobilnya. Toshiya memalingkan wajahnya kesal. Sangat kesal. Seperempat jam perjalanan dihabiskan keduanya tanpa bicara sama sekali. Itu terlalu membosankan dan menjengkelkan, sehingga Hakuei segera menepikan mobilnya. Setelah berhenti, Toshiya segera turun dan berjalan menjauhi mobilnya. Hakuei bergegas mengejarnya dan berdebat lagi di sisi jalan sepi malam itu.

            “Dengarkan, aku…” Hakuei membujuk.
            “Tidak!”
            “Toshiya!” pria itu memeganginya.
            “Lepaskan aku!” Toshiya masih berusaha melepaskan diri.

            Mereka berdebat, suara-suara mereka meninggi dan saling adu argumen. Hakuei yang sombong dan tidak menginginkan Toshiya tinggal di rumah itu, sementara Toshiya tak suka siapa pun menjelek-jelekan orang rumah dalam masalah pribadinya. Baginya, penghuni rumah yang lain tidak ada sangkut pautnya dengan hal ini, terutama Kaoru.
            Tak ada seorang pun yang boleh menghinanya.

            “Kau suka pada si tua sombong itu?!”
            “Siapa yang kau sebut sombong?”
            “Kau nggak akan melihatnya sombong karena kau menyukai dia!”
            “Kaoru orang baik. Dan dia nggak ada hubungannya dengan masalah ini!” Toshiya masih membelanya.
            “Ada! Jelas ada! Pertengkaran kita sekarang karena orang tua itu!”
            “Kalau kau bisa santai sedikit, nggak bakalan yang ada namanya adu mulut!”
            “Ck!”

            Toshiya menepis tangan Hakuei lalu berjalan ke jalan untuk mencari taksi. Hakuei menariknya ke tepian karena merasa masalah mereka belum selesai.

            “Kau mau ke mana?!” pria itu menyeret Toshiya ke pinggir.
            “Aku mau pulang!”
            “Mau mengadu dan merengek pada si pincang itu?”
            “Diam!!”

            Pertengkaran yang tadinya hanya adu mulut, sekarang berubah menjadi adu otot. Keduanya saling menarik dan dan mendorong. Semakin lama semakin kacau dan menjadi sebuah perkelahian. Hakuei kena pukul. Begitu pun sebaliknya.


*****


            “Kenapa masih terus dilanjutin? Kenapa nggak putus saja.” Kyo berkomentar ketika membahas masalah Toshiya dengan Die.
            “Mungkin Toshiya sudah benar-benar jatuh cinta.”
            “Jatuh cinta?” Kyo memutar kursinya menghadap pada Die yang sedang merakit gundam. “Toshiya? Si manusia tanpa komitmen itu? Ajaib.”
            “Ada saatnya, kan, orang bakalan menemukan yang namanya true love.”
            Hoo sweet…” gumam Kyo datar sambil memutar kembali kursinya kembali ke hadapan layar macbooknya.
           
            Kyo mungkin tak sadar bahwa Die pun sedang berusaha memahami perasaannya sendiri. Walau pun samar, ini tentang jatuh cinta.


*****
           
            Toshiya tak pulang malam tadi. Dan pagi hari ini saat sarapan terasa tak seperti biasanya. Semuanya hening dan terasa sangat sunyi. Bahkan Kaoru kelihatan lebih cuek dari biasanya. Kyo baru saja turun dan menarik kursi di sebelah Shinya yang sedang mengoles nutella kacang pada rotinya. Kemunculan Kyo, membuat penyelamatan kecil bagi Die yang sumpek melihat arah dapur terus menerus demi menghindari Shinya di hadapannya.

            “Ini sarapan cuman begini saja?” tukas Kyo. Shinya menyikutnya. Pandangannya langsung menuju pada Kaoru yang sedang mencuci piring. Kyo menatap penuh isyarat pada Shinya yang menggeleng.
            Kyo beralih pada Die yang sedang mengunyah rotinya penuh khidmat. Sama halnya seperti Shinya, Die pun hanya menggeleng. Kyo hanya memangku dagu.

            “Aku selesai.” Shinya beranjak dari kursinya.

            Beberapa detik setelah Shinya pergi, Die ikut menyelesaikan makannya dan pergi ke garasi. Hari ini Die berencana akan pergi setelah ikut mata kuliah statistik ke suatu bar. Oleh karena itu, dia menggunakan motornya yang sudah diistirahatkan cukup lama.
            Di perjalanan ke luar dari perumahan, Die melihat Shinya yang terburu-buru dengan hanya berjalan kaki.

            “Butuh tumpangan?”

            Shinya terdiam.


            Setelah semalaman berpikir keras dan mencari-cari tentang kerumitan perasaannya di internet, Die akhirnya mendapatkan sebuah ujian yang ingin ia coba. Jika memang orientasi seksualnya mulai berubah, kini saatnya dia menguji dirinya sendiri dengan sekalian menceburkan diri ke dalam alur keanehan yang ia rasakan.
            Pertama, Shinya.
            Dalang dari semua ini memang karenanya. Maka, Die mencoba menguji dirinya untuk berdekatan langsung. Seperti memberikan tumpangan tadi pagi. Sungguh, jika saja Die tidak fokus dengan jalan dan musik di telinganya, sudah dipastikan motornya akan melipir dan menabrak apa pun di depannya.
            Kedua, teman-temannya.
            Die imbang bermain antara teman laki-laki dan teman perempuannya. Tapi akhir-akhir ini ia jarang pergi bersama mereka. Orang yang paling dekat dengannya di kampus adalah Inoue. Die akan mencoba menguji perasaannya kepada laki-laki itu. Jika perasaannya ternyata sama dengan apa yang ia rasakan kepada Shinya, maka Die harus mengakui kalau sekarang dia menyimpang.

            “Aku bawa motor, Die.” Inoue menatap bingung saat Die memberikan helm.
            “Bareng aja kenapa?”
            “Tumben banget, sih, Die.” Inoue terkikik geli. Die merinding.
            “Udah, ah, cepetan!” Die mulai menyalakan mesin motornya.
           
            Inoue segera naik dan bersiap-siap. Di perjalanan Die sama sekali tak merasakan apa pun. Ia dan Inoue malah terlibat obrolan seru. Saking serunya, ia lupa bahwa telah menghabiskan seharian dengan pria itu. Tak ada tanda-tanda yang ia rasakan seperti kepada Shinya. Bahkan di bar Die sempat berkenalan dengan seorang wanita muda dan bertukar nomor telepon.
            Berarti Die normal!
           
            Die senang dia normal. Bahkan sekarang ia sibuk berkirim pesan dengan wanita kenalannya yang baru. Namanya Emiko. Anaknya cukup cantik dan merupakan tipe kesukaan Die. Walau pun sedikit lebih pendek. Saat berkirim pesan dengannya, Die bisa melupakan kegalauannya mengenai Shinya dan yang lainnya. Ternyata Die memang butuh sebuah pengalihan.
            Tapi sedang senang-senangnya, Kyo malah mengganggunya dengan suara derap kakinya yang berlarian di koridor. Berulang kali Die mengacuhkannya tapi Kyo sepertinya sengaja berlarian di luar. Hingga ia mulai kesal dan melongok keluar pintu tepat ketika Kyo masuk ke dalam kamar.

            “Kyo! Peraturan rumah, nggak boleh berlarian di koridor kamar! Berisik!” protes Die.
            Sorry, lagi urgent!” kata Kyo mengambil jaketnya.
            “Lagian tengah malam begini mau ke mana sih, buru-buru banget.”
            “Shinya kecelakaan!”
           
Die terkejut.

            “Kyo, cepat!” suara Kaoru di bawah memanggil.
            “Iya!” teriaknya. “Duh, semoga anak itu gak apa-apa!” Kyo segera menuruni anak tangga. Die bergegas mengikuti. “Hey! Hey! Benar Shinya kecelakaan?” tanyanya panik.
            “Bus yang ditumpangi Shinya terbakar, Shinya menunggu entah di mana. Tadi dia sempat menelepon tapi terputus.” Jawab Kaoru.
            “Kyo! Aku ikut!” Die bergegas mengikuti Kyo ke luar rumah. Kaoru meminjamkan mobilnya untuk menjemput Shinya.

           
*****
           
            “Teleponin Shinya, dong!” Kyo memberikan ponselnya pada Die sementara dia menyetir. Die segera mencari dan meneleponnya dengan perasaan yang kalut. Teleponnya tersambung namun tak diangkat. Ia mencoba lagi tapi hasilnya sama.
            “Duh, jangan-jangan hape-nya lowbat, makanya dia nggak berani angkat telepon!” Kyo berbelok ke jalan lain.
            “Sebenarnya Shinya ini nunggunya di mana?” tanya Die tak kalah cemas.
            “Dia bilang di halte. Halte apa-nya itu yang nggak jelas karena terputus!”

            Die diam, berusaha mencari jalan keluar. Ia lalu menyalakan radio dan mencari berita. Untungnya apa yang ia pikirkan ternyata tak salah. Radio itu menyiarkan singkat berita mengenai kebakaran bus dan letak kejadiannya. Die segera menitah Kyo untuk berbalik arah dan mendatangi lokasi kejadian.
            Hampir satu jam mereka berkendara, akhirnya sampai juga. Mereka segera mencari, tetapi sosok Shinya tidak mereka temukan. Ketika akan dihubungi, nomornya malah tidak aktif. Kyo pun mendecak. “Benar, kan, hapenya mati!”
Sekarang keduanya semakin bingung. Di sana begitu ramai sehingga mereka sulit mencari keberadaan Shinya yang telah menyingkir. Halte yang mereka kira sebelumnya, ternyata sudah penuh sesak karena dijadikan tempat berkumpul orang-orang yang melihat kejadian itu. Akhirnya, Kyo dan Die berbagi tugas mencarinya dari dua arah yang berbeda. Berbekal dengan ingatan Die tentang baju yang dipakainya tadi pagi mereka mencari sosok yang mirip dengan Shinya. Tapi sampai satu jam lebih mereka tak menemukannya juga.

            “Ketemu?!” Die bingung.
            “Belum!!” Kyo stress.

            Sekali lagi mereka mencari. Die berjalan menjauhi keramaian dan terus berjalan. Di ujung sebuah jalan ia melihat sebuah box telepon dan seseorang yang duduk di tepian jalan. Die segera mempercepat langkahnya dan menghampiri orang itu. Dan benar saja, itu Shinya!

            “Shinya!”

            Shinya menoleh. “Die-san?!”

            “Kau nggak apa-apa, kan?!”
            “I-iya…”
            “Kenapa di sini? Katanya kau menunggu di halte?”
            “Iya, aku menunggu di sana. Tapi sejak semuanya menjadi ramai, aku takut…”

            Die terpaku. Shinya menundukan kepalanya. “A-aku melihat box telepon, kupikir bisa menelepon ke rumah. Tapi ternyata ponselnya mati. Aku bingung.”
            Rasanya nafas Die semakin tercekat. Ia segera melepaskan jaketnya dan memakaikannya pada Shinya, lalu membawanya pergi. “Ayo, pulang.”

            Itu pertama kalinya Die tak peduli apa pun, kecuali membawanya pulang bersamanya.


*****

           
            Kyo baru selesai menyeduh kopi di bawah ketika Kaoru keluar dari kamarnya. Dia mendatangi Kyo yang sedang khidmat menyesap kopinya pelan-pelan dengan wajah yang bingung. Ia meminta Kyo untuk menelepon Toshiya karena sejak tiga hari lalu dia tak pulang.

            “Biasanya juga biasa aja.” Komentar Kyo.
            “Masalahnya teleponnya tidak aktif dan dia tidak membalas pesan terakhirku.”
            “Mungkin dia lagi asyik, Kao.”
            “Aku tidak akan mengganggunya. Aku cuman mau tahu dia di mana sekarang.”
            “Di mana lagi? Ya, di tempat yayangnya.” Goda Kyo.
            “Iya, iya. Tapi tolong coba kau hubungi saja dia.” Kaoru memaksa.

            Dengan malas, Kyo kembali ke kamarnya dan mengambil ponselnya, tepat saat itu Die turun. Ia menenteng gayung dan peralatan mandinya.

            “Keran di atas kering. Tukang ledeng masih belum datang?”
            “Oh, maaf. Aku belum menelepon lagi.”
            “Oh, oke.” Die berjalan menuju kamar mandi. “Kenapa?” tanyanya kemudian.
            “Ah, gak apa-apa. Kau mau pakai kamar mandi yang mana?”
            “Belakang. Gak apa-apa, kan?”
            “Ya, pakai saja.”

            Kyo turun sembari menelepon Toshiya. “Gak aktif, nih, Kao, masih tidur kali anaknya.” Katanya.
           
            “Tapi sudah dua hari.”
            “Dia lagi indehoy kali makanya nggak mau digangguin.” Kyo mengambil cangkir kopinya lagi.
            “Kenapa, sih?” Die yang melihat mereka jadi penasaran.
            “Toshiya gak ada kabar dua hari. Kaoru cemas.” Jawab Kyo yang baru menyalakan tivi.
            “Biasanya dia balas pesannya.” Kata Kaoru.
            “Deuh, Kaoru, cemas amat. Namanya juga remaja (uhuk), ntar juga balik.” Die melengos ke kamar mandi.

            Mereka semua tidak tahu, sih, cemas yang dirasakan Kaoru.

           
           
            “Hah? Toshiya?” Shinya yang menaruh chocolatte-nya sewaktu Toshiya meneleponnya dengan nomor asing. Sepertinya dia terlibat pembicaraan yang sangat rahasia. “Iya, nanti aku ke sana.”
            Pembicaraan siang itu berakhir saat Shinya beranjak dari kamarnya sembari membawa sebuah tas yang mencurigakan.

            “Aku pergi dulu, ya.” Shinya mengambil sepatunya di rak.

            Mereka semua menoleh. “Mau ke mana?” tanya Kyo.

            “Toko buku.”

           
*****

            Ini sudah malam kelima, tapi Toshiya masih tak kunjung memberi kabar. Kaoru yang biasanya tenang-tenang saja walau badai topan menyapu rumah (gak mungkin, sih, nyantai lol) sekarang mulai kelihatan sekali cemasnya. Dia bahkan berencana untuk melaporkan Toshiya sebagai orang hilang. Kontan saja yang lain menertawakan.

            “Gila! Biasa aja, sih, Kaoru. Kau kayak nggak tahu kebiasaan Toshiya kalau udah kelayapan kayak apa.” Cibir Die sambil tertawa.
            “Iya. Kayak tahun baru waktu dulu, kan dia juga sempat melancong sampai seminggu. Tapi kau biasa saja, tuh.” Sambung Kyo.
            “Iya, aku tahu. Tapi tak biasanya dia tidak memberi kabar. Lagipula,”
            “Duh, udah, deh. Nggak usah panik. Nanti orangnya kalau sudah bosen juga pulang sendiri.” Kyo menggeleng-geleng lucu sambil melanjutkan game-nya.

            “Aku pulang.” Shinya baru muncul.

            Mereka menoleh bersamaan, lalu kembali melanjutkan urusan masing-masing. Hanya Die yang kelihatannya masih tak bisa berkilah melihat gelagat Shinya yang aneh akhir-akhir ini. Sudah dua hari ini, Shinya sering pulang larut. Bahkan, Sabtu kemarin Shinya absen dari mata kuliah statistik dan pulang cukup larut. Entah apa yang ia kerjakan, Die jadi curiga.
            Maka keesokan harinya Die yang penasaran mencoba mencari tahu. Tapi selama ia mengikutinya Die tidak menemukan keganjalan yang ia curigai. Seharian itu Shinya mengikuti kegiatan kuliah seperti biasa dan berakhir di perpustakaan.
            Die terkantuk-kantuk menunggunya di perpustakaan. Shinya benar-benar kutu buku. Sudah empat jam dia di sana dan sama sekali tak ada respon akan menggeser pantatnya. Die sangat bosan dan memutuskan untuk pergi. Tapi ternyata Shinya mendahuluinya. Pemuda itu sudah lebih dulu angkat kaki. Die menghela, kemudian pulang.
            Sesampainya di rumah. Die terkejut saat mengetahui Shinya pulang lebih larut darinya. Ketika ditanya, Shinya menjawab perpustakaan sebagai alibinya. Tetapi, Die semakin curiga.

            “Membuntuti Shinya?” Kyo mendelik. “”Die, kau serius…?
            “Serius!”
            “Shinya cowok, loh.” Kyo salah paham.
            “Duh! Bukan itu!” Die mengecilkan suaranya. “Kau gak curiga akhir-akhir dia selalu pulang malam?”
            “Biasanya juga begitu, kan?”
            “Nggak, aku curiga. Karena kemarin aku melihatnya pulang lebih dulu dari kampus tapi dialah yang pulang paling larut.”
           
            Kyo hening. “Die, kepo abis.” Komentarnya cuek.

            “Kyo~, dengar dulu.”
            “Die, Shinya mungkin sudah pacar.”

            Kini, Die yang hening.


*****


            “Toshiya, kau di mana?!” Suara Kaoru terdengar panik sewaktu Toshiya menelepon ke rumah malam itu.

            Penghuni rumah yang mengetahuinya cukup lega karena akhirnya Toshiya memberi kabar. Setidaknya itu cukup membuat Kaoru menjadi lebih tenang.

            “Apa katanya?” tanya Die.
            “Kenapa dia baru menelepon?” sambung Kyo juga.
            “Dia di rumah temannya,” semuanya menjawab ‘Oh!’ dengan muka yang datar, bayangan seorang pria tinggi yang angkuh terlintas di benak mereka. Siapa lagi? Hakuei.
            “Dia bilang ponselnya jatuh dan rusak, makanya tidak aktif.”

            “Tuh, kan. Apa kubilang, Kao. Nanti juga dia menelepon. Kau, sih, terlalu cemas.” Kata Kyo.
           
            Iya, sih. Tapi kenapa Kaoru masih merasa cemas?


*****

            “Kenapa kau nggak pulang saja? Yang lain mencemaskanmu.” Shinya merapihkan bukunya.
            “Nanti, setelah luka lebam ini hilang.” Toshiya menyingsingkan bajunya. “Aku nggak bisa pulang dengan kondisi yang begini. Bisa-bisa Kaoru ngamuk.”
            “Kau sangat disayang Kaoru, ya.”
            “Kaoru lebih mirip pengasuh, sih. Haha..” candanya.
            “Tapi bukannya bagus, ya, ada orang yang selalu peduli kepada kita walau pun itu bukan keluarga.”
            “Hmm…” Toshiya hanya tersenyum saja. “Kau sendiri, Shin? Apa kau punya seseorang yang selalu peduli padamu?”
            “Kyo-kun? Tapi dia terlalu datar.”
            “Hahaha, Kyo? Sulit dipercaya.” Toshiya tergelak. “Tapi dia, kan, sepupumu, maksudku, orang yang benar-benar peduli padamu. Suka padamu, gitu.”

            Shinya tidak menjawabnya. Toshiya menggodanya. “Kenapa? Kau malu, ya?”

            “Bukannya malu. Tapi kurasa nggak ada yang seperti itu.”

            Toshiya berkedip. Kaget dengan sikap jujur Shinya. “Terus, kau punya orang yang kau sukai?”
            “Ada.”
            “HAAA, siapa?!”
            “Kakak kelasku, dulu. Waktu aku masih SMP.”
            “Cantik?”
           
            Lagi-lagi Shinya diam. Toshiya berdehem. “Kenangan buruk, ya? Sorry.”

            “Ng, nggak buruk juga, sih. Cuma, sewaktu aku masuk ke SMP, dia sudah lulus. Jadi, aku cuma bertemu dengannya beberapa kali saat masa ospek. Itu pun dikenalkan sekali sewaktu promo kegiatan ekstrakurikuler.”
            “Wih, sepertinya menyenangkan. Memangnya waktu itu dia masuk ekskul apa?”
            “Kendo.”

           
*****

            Die masih memikirkan tentang omongan Kyo soal Shinya yang katanya sudah memiliki pacar. Secara tidak langsung itu membuat perasaan Die jadi kacau dan membingungkan. Die merasa lega sekaligus kaget. Ia lega karena Shinya normal (lalu bagaimana dengan dirinya? :P), setidaknya Die tidak harus berpikiran macam-macam lagi dan berusaha untuk melupakan perasaan aneh yang sempat menjangkitinya. Tapi dia kaget. Sangat kaget. Bahwa ada perempuan yang mau dengan Shinya. Ah, bukan menghina. Tapi Die sungguh tak bisa membayangkan tipe gadis macam apa yang pernah dipacari Shinya, atau yang sekarang sedang menjalin hubungan dengannya.
            Itu mengusik pikirannya.
           

            “Aku pulang.”

            Shinya baru pulang malam itu. Rumah masih nampak ramai dengan Kyo dan Die yang masih adu game di ruang tengah. Kaoru yang sedang menikmati kopi sembari memperhatikan permainan keduanya.

            “Shinya, sudah makan belum?” tanya Kaoru.
            “Iya, sudah.”
            “Dari mana Shin?”
            “Mm… toko buku.” Jawabnya kemudian naik ke lantai atas.

            Melihat itu Die merasa semakin curiga dan tak konsen dengan permainannya.

            I WIN!!” seru Kyo kemudian. “Nyanyanya~ bayarin makan siang~ bayarin makan siang~” ledeknya pada Die yang tak berekspresi sambil menari aneh.

           
            Untuk memastikan kecurigaannya yang kian besar. Sekali lagi, Die mencoba mengikuti Shinya. Sebenarnya Die sangat benci menjadi penguntit. Tetapi Die penasaran dengan apa yang dilakukan Shinya setiap harinya di luar rumah. Entah apa yang dikerjakannya sampai ia selalu pulang larut malam.
            Maka tanpa sepengetahuan yang lain Die mengikutinya. Mula-mula ke kampus, Shinya belajar seperti biasa. Kemudian, perpustakaan. Tempat yang sangat membosankan bagi Die, bahkan untuk menunggu sekali pun. Tapi kali ini ia bernasib mujur, Shinya hanya memulangkan beberapa buku pinjaman dan pergi. Ia sempat menerima telepon dan mampir ke sebuah toko makanan siap saji.
            Setelah membeli sekantung makanan, Shinya menyetop sebuah taksi dan pergi. Die mengikutinya dengan cara yang sama, menguntit lewat taksi. Setengah jam kemudian, Shinya turun di sebuah perumahan kecil dan berjalan. Dia melewati beberapa rumah susun, dan berhenti di sebuah gedung kecil berlantai dua. Itu seperti kamar susun yang sangat murah.
            Shinya naik ke lantai dua dan mengetuk sebuah kamar di ujung tangga. Die memperhatikannya dan ia terkejut saat melihat Toshiya yang membuka pintu.
           
            “Toshiya?”

            Apa yang dilakukannya di tempat seperti ini? Batin Die penasaran.


            “Maaf, ya, jadi merepotkanmu.” Toshiya membuka bungkus burgernya.
            “Nggak apa-apa. Aku juga belum makan siang.” Shinya menata meja kecil di depannya. “Kau nggak bosan di sini terus?”
            “Bosan banget.” Toshiya menghela, “Tapi aku belum bisa pulang.”
            “Kenapa nggak jujur saja ke Kaoru. Kalau kau membicarakannya baik-baik, dia mungkin mau mengerti.”
            “Aku mau, sih… tapi…”

            Tok! Tok! Tok!

            Kedua pemuda itu tertegun melihat ke arah pintu dengan mata horror. Lalu saling berpandangan sebentar. Shinya kemudian beranjak untuk membuka pintu. Mereka terkejut melihat tamu yang datang.

            “Die?!”

           
*****

           
            Petang itu rumah sunyi senyap meski pun seluruh penghuni rumah berkumpul di satu ruangan; ruang tengah. Tak ada satu pun dari mereka yang bicara, bahkan Kyo yang biasanya banyak mulut untuk mencairkan suasana nampak larut dalam kebisuan itu.
            Para penghuni rumah memang sudah sering kali tersandung masalah. Tetapi itu semua selalu dapat dibahas dan dimusyawarahkan bersama. Kali ini kasus Toshiya juga akan dibicarakan. Memang jika dilihat dari segi untung-ruginya siapa pun tak ada yang dirugikan kecuali Toshiya.
            Perihal Toshiya mau pulang ke rumah atau tidak pun itu bukan masalah selama pembayaran tetap lancar. Hanya saja, bagi Kaoru semua penghuni di rumah ini adalah tanggung jawabnya. Jadi masalah sekecil apa pun sebisa mungkin Kaoru mengetahuinya.

            “Kenapa kau tidak pulang seminggu ini?” tanya Kaoru membuka suara.
            “Maaf,” Toshiya tidak berani melihat Kaoru yang duduk di depannya.

            Di sebelahnya ada Kyo dan Die yang masih memandangi mereka, Toshiya dan Shinya. Yang disebutkan terakhir hanya bisa menunduk saja. Serasa punya salah karena menyembunyikan buronan rumah :P

            “Ya, sudah. Semua bubar.” Kata Kaoru.
            “Hah? Cuman begitu aja?” Kyo kaget. Wajah yang sama menimpa Die.
            “Iya. Mau apa lagi? Kan, Toshiya sudah pulang. Kita semua tahu dia baik-baik saja, jadi buat apa diperpanjang?” Kaoru beranjak.

            Mereka semua saling menatap satu sama lain.

           
*****


            Sebenarnya, mengejutkan juga mengetahui kondisi Toshiya yang kena luka lebam. Meski pun sang korban selalu mengatakan bertengkar dengan temannya yang lain dan bukan Hakuei, tetap saja semua penghuni rumah menyangkanya begitu. Kecuali Shinya. Toshiya sudah kepalang cerita padanya. Untung saja, Shinya tutup mulut meski tetap dicurigai.

            “Jadi ceritanya dia masih jalan sama si anak gondrong itu?” Kyo mencibir di depan komputernya.
            “Sepertinya.” Die menanggapinya sambil menghela.
            “Aku nggak percaya dia berkelahi dengan temannya. Coba, selain pertengkaran cinta kau pikir masalah teman apa yang bisa membuatnya jadi babak belur begitu?”
            “Nggak ngerti juga, sih.”
           
            Iya, Die tidak mengerti dengan jalan pikiran Toshiya yang tetap mempertahankan hubungannya dengan Hakuei meski pun sudah kacau seperti ini. Apa yang diberikan kepadanya sehingga ia jadi keras kepala begitu? Tapi yang lebih tak ia mengerti adalah, bagaimana seseorang bisa terperangkap pada satu perasaan yang tidak bisa mereka sangkal. Ugh! Die benar-benar tidak tahu harus bertanya pada siapa sekarang.

            Sementara itu di kamar Shinya, Toshiya mengembalikan pakaian-pakaian yang ia pinjamkan padanya selama ini.

            “Maaf, Shinya, jadi merepotkanmu.” Toshiya meminta maaf lagi.
            “Nggak apa-apa. Tapi kurasa yang lebih pantas menerima kata maafmu itu adalah Kaoru.”
           

           
           


To be continue…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar