expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

17 November 2014

[Fanfiction] In All Weathers -Part 1-


Title: In All Weathers
Author: Duele
Finishing: November 2014
Genre: Romance, AU
Rating: PG15
Chapter(s): 1/Ongoing
Fandom(s): JX3, VLTK 3D
Pairing(s): Ly Thua An x Diep Anh


*****

            “Buka kedua tanganmu,” wajah Lao Shi* terlihat murka. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat tipis pengajar yang biasa ia gunakan untuk mengajar. Tetapi selain digunakan untuk mengajar tongkat tipis itu bisa ia gunakan untuk memukul. Seperti saat ini, ketika Diep Anh tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya.
            “Yang Mulia…?”



            Dengan wajah tertunduk dan ketakutan, Diep Anh membuka kedua telapak tangannya ragu-ragu.

            “Anda tahu kesalahan Anda, bukan?”

            Diep Anh mengangguk kecil, sedetik kemudian ia meringis ketika pukulan pedas dari tongkat Lao Shi mendarat di kedua telapak tangannya. Tiga kali pukulan mendarat di kedua telapak tangan Diep Anh yang mungil. Memar merah mulai terlihat. Lao Shi menghela kecil.

            “Saya tidak tega memukul lagi. Maafkan saya Yang Mulia.”
            “Tapi, jika Lao Shi tidak melakukan apa tugasmu, kau bisa dihukum oleh Raja.”
       “Jika Anda mengerti, tolong bantulah saya untuk tetap mengerjakan pekerjaan rumahmu.”
           
            Diep Anh terdiam, wajah Lao Shi terlihat memohon dan meyakinkanya.

            “Baik. Maafkan saya, Lao Shi.”
            “Saya tahu Anda sangat suka bermain musik, tapi jangan sampai lupa untuk membuat pekerjaan rumah. Karena itu juga sangat penting untuk pendidikan Yang Mulia.”
            “Baik. Saya mengerti.”
            “Terima kasih, Yang Mulia.”

           
*****

            Diep Anh duduk di depan meja belajarnya, ia nampak sibuk mengerjakan tugas. Saat itu adiknya, Diep Hui, yang berusia tujuh tahun mendatanginya sambil membawa pedang kayu.

      “Gege! Gege!!” panggilnya sambil mendatangi meja Anh dan menarik lengan pakaiannya, “Ayo, berlatih. Lao Shi sudah menunggu.”
            “Hui, apakah kau akan ikut berlatih?”
            “Hum!”
            “Tapi Ayah ‘kan melarangmu?”
            “Tidak. Ayahanda sudah memperbolehkan saya ikut latihan dengan Gege!”

            Diep Anh terdiam, sesaat kemudian Lao Shi yang mengajarkannya bela diri muncul dan mengajak mereka untuk ke arena latihan. Diep Anh merasa latihan fisik seperti ini sangat melelahkan. Dari sekian banyak pelajaran yang harus ia pelajari, bela dirilah yang paling malas ia lakukan.
            Dengan membawa pedangnya, Diep Anh membawa Diep Hui yang terlihat kegirangan ke arena latihan pedang. Di arena itu berkumpul semua prajurit negeri Tang Kiem yang berlatih pedang ataupun fisik. Bukan hanya laki-laki, prajurit perempuan pun berlatih bersama di satu arena.
            Diep Anh dan Diep Hui berkumpul dengan anak-anak seusianya yang lain. Mereka adalah anak dari para panglima dan anak dari menteri yang sama-sama mengikuti pelajaran bela diri bersama.

            “Yang Mulia, giliran Anda.” Lao Shi memanggilnya untuk maju ke arena.

            Diep Anh menghela nafas kemudian bangkit dari duduknya dan menuju ke tengah arena. Ia harus melawan salah satu anak petinggi yang lebih hebat ilmu bela dirinya. Anak itu pun kelihatan sangat senang bisa berhadapan dengan Diep Anh.

            “Silahkan mulai.”

            Diep Anh membuka sarung pedangnya dan melakukan kuda-kuda. Lawannya mulai menyerang dan Diep Anh tetap dalam posisi bertahan. Diep Anh diserang berkali-kali sehingga ia kewalahan dan tidak bisa melawan balik. Energinya habis untuk bertahan sehingga cepat kelelahan. Saat serangan terakhir dilancarkan, Diep Anh terlempar keluar dari arena.

            “Yang Mulia!”
            “Gege!!”

            Diep Anh mendapati kepalanya terasa begitu nyeri saat terbentur lantai arena. Lao Shi dan anak-anak yang lain segera mendatangi dan membantunya berdiri.

            “Maafkan saya, Yang Mulia. Sungguh saya sangat menyesal!” anak yang menjadi lawan berlatih Diep Anh bersujud memohon ampun.
            “Ugh… saya tidak apa-apa.”
            “Maafkan saya, Yang Mulia!”
            “Sudah tidak apa-apa.”

            Ilmu bela diri Diep Anh tidak berkembang sejauh ini. Karena ini bukan kali pertamanya Diep Anh dijatuhkan, hampir di setiap kali mengadu ilmu ia pasti kalah. Diep Anh sepertinya lebih lemah dari pada yang lain.

            “Saya harus memberikan Anda pelajaran tambahan.” Begitu yang kemudian Lao Shi katakan pada Diep Anh keesokan harinya. Kejadian terlemparnya Diep Anh keluar arena pertandingan tentu saja didengar oleh Raja, Ayahnya. Maka, Ayahnya yang sangat menginginkan Diep Anh menjadi penggantinya suatu saat meminta Lao Shi ilmu bela dirinya untuk memberikannya latihan khusus. Diep Anh diharuskan berlatih bela diri lebih sering ketimbang anak-anak yang lain.

            Gabruk!!

            “Yang Mulia!”

            Hari itu rasanya Diep Anh merasa sangat lelah. Benar-benar lelah. Ia berlatih ilmu bela diri sejak pagi buta hingga sore. Hingga tubuhnya kelelahan dan akhirnya jatuh pingsan.
           
           
            Setelah lewat satu malam, Diep Anh akhirnya terbangun. Ruangan itu sepi dan tak ada siapa pun. Tetapi tak lama, sosok Ibunda muncul menghampirinya.

            “Kau sudah bangun?”
            “Hum…”
            “Segera perintahkan Tai Yi untuk datang memeriksanya kembali. Lalu hangatkan obat untuk Yang Mulia.” Kata Ibundanya.
           
            Diep Anh tidak berdaya dan hanya melihat Ibunya dengan mata nanar.

            “Kemarin kau berlatih sangat keras.”
            “Um, iya.”
            “Apa kau suka bela diri?”

            Diep Anh terdiam, “Iya.”

            “Walau pun begitu jangan terlalu memaksakan diri.”
            “Iya saya mengerti.” Kata Diep Anh lemah. Ibunya tersenyum. “Bu,”
            “Hmm?”
            “Saya ingin mendengar Ibu bermain musik. Bisakah?”

            Ibunya tersenyum.

           
*****

            Hari ini sedikit berbeda dari hari biasanya. Raja memerintahkan seluruh keluarganya untuk ikut pergi ke alun-alun istana menyambut rombongan tamu kerajaan yang telah tiba.
            Diep Anh terus menjaga adiknya selama keluarganya yang lain bersiap. Di alun-alun istana, tamu keluarga Raja berasal dari berbagai klan. Thuan Duong, Thieu Lam, Van Hoa, That Tu, dan Thien Sach. Tetapi yang menarik perhatian Raja adalah Klan Thien Sach. Klan ini dikenal sebagai klan terkuat dibandingkan klan-klan yang lain. Klan Thien Sach juga dikenal sangat patriotis dan memiliki pasukan terlatih yang kuat dan cerdas, sehingga klan ini cukup disegani oleh lawan-lawannya. Tang Kiem dulunya merupakan musuh besar dari Thien Sach.
            Tetapi kali ini mereka datang untuk memenuhi undangan Kerajaan Tang Kiem yang mengajak mereka untuk mengadu ilmu bela diri sebagai partisipan. Maka selama seminggu ini kerajaan akan selalu ramai dengan pertandingan-pertandingan yang akan dilakukan oleh berbagai klan.

            “Akan ada pertandingan khusus anak-anak. Diep Anh tahun ini akan ikut bertanding.” Tukas Raja.

            Mendengar hal itu, Diep Anh hanya menghela.

            Sehari sebelum pertandingan, Diep Anh pergi ke arena latihan seorang diri. Sambil membawa pedang miliknya, Diep Anh berencana untuk melatih diri sebelum pertandingan. Diep Anh tidak mau mempermalukan Ayahnya sebagai seorang Raja jika ia kalah melawan anak dari klan lain. Apalagi ketika ia diberi tahu bahwa lawannya besok adalah anak seorang prajurit dari klan Thien Sach yang terkenal kuat dan disiplin. Diep Anh tidak mau dirinya dipermalukan.
            Ketika Diep Anh berlatih seorang diri, lalu seorang anak muncul sambil membawa tombak. Melihat pakaian dan senjata yang dia bawa anak itu adalah anak dari klan Thien Sach. Diep Anh tertegun, berpikir kenapa harus bertemu dengan salah satu anak dari klan Thien Sach di saat-saat seperti ini.
            Namun melihat tinggi dan wajahnya, anak itu kelihatan lebih tua beberapa tahun darinya. Mungkin sudah seumur remaja dibandingkan Diep Anh yang masih berumur sepuluh tahun ini.
            Melihat Diep Anh yang sedang berlatih di sana, anak laki-laki itu hanya memberi hormat kemudian pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Mungkinkah tadinya dia juga ingin berlatih sendirian seperti Diep Anh?

            Keesokan harinya, pertandingan Diep Anh akhirnya datang. Walau pun ia diliputi perasaan takut dan tak percaya diri, namun Diep Anh berusaha untuk keluar dari semua itu. Ia ingin tetap berdiri sebagai anak pertama dari Raja kerajaan Tang Kiem yang terhormat.
            Diep Anh sudah berdiri di tengah arena, menunggu lawannya yang sedang naik ke atas panggung pertandingan. Ujung dari tombak lawannya terlihat, semakin lama semakin jelas siapa lawannya. Diep Anh tertegun, itu anak remaja kemarin? Diep Anh akan melawan anak remaja berusia empat belas tahun?

            Saat genderang ditabuh dan gong dibunyikan, maka pertandingan pun dimulai!

*****

           
            Diep Anh masih merenung di pinggir kamarnya. Ia sepertinya tidak fokus mengerjakan tugas kaligrafinya dan terlarut dalam ingatan beberapa hari yang lalu.
            Saat pertandingannya dengan anak dari klan Thien Sach, remaja berusia empat belas tahun yang tinggi dan gagah. Remaja yang diprediksi akan memenangkan pertandingan melawan seorang Diep Anh yang kecil dan lemah, ternyata kalah. Anak remaja itu bahkan membiarkan dirinya terluka terkena sabetan pedang Diep Anh di lengan kirinya saat menahan serangan Diep Anh yang tak seberapa mematikan. Diep Anh merasa bahwa remaja itu sengaja mengalah untuknya. Tak mungkin seseorang yang terlihat kuat sepertinya kalah pada seorang anak kecil seperti Diep Anh.
            Hal itu yang hingga sekarang masih dipikirkan oleh Diep Anh. Mungkin ia harus berterima kasih kepada anak remaja itu karena telah mengalah kepadanya? Tidak. Diep Anh harusnya merasa bahwa ini adalah sebuah pelecehan baginya, karena anak remaja itu bertanding tak sepenuh hati dan membiarkan Diep Anh menang dengan mudah. Dia sudah meremehkan dirinya.
            Semenjak itu, Diep Anh fokus pada latihan bela dirinya untuk meningkatkan kemampuannya demi mengalahkan anak remaja misterius yang sengaja mengalah padanya.
            Diep Anh berharap di tahun selanjutnya pada undangan duel persahabatan yang selalu diadakan kerajaan Tang Kiem setiap tahun, anak remaja itu juga hadir. Saat itulah, Diep Anh akan mengajaknya untuk berduel serius.

           
*****

            Tahun berganti tahun, usia Diep Anh sekarang genap menginjak usia delapan belas tahun. Diep Anh kini tumbuh menjadi seseorang yang lebih kuat dari sebelumnya. Diep Anh bahkan dipercaya untuk melatih sepasukan prajurit garda depan untuk pertahanan.
            Namun delapan tahun berlalu, bukan berarti Diep Anh lupa akan kenangannya dahulu. Hingga sekarang Diep Anh masih menunggu anak remaja dari klan Thien Sach itu, tetapi anak remaja itu tak pernah terlihat lagi sejak terakhir kali mereka bertemu.
            Ada yang mengatakan bahwa anak remaja itu setelah kalah dari Diep Anh, ia tidak bisa lagi mengikuti pertandingan. Ada pula yang mengatakan bahwa anak remaja itu kini telah menjadi prajurit yang fokus dengan garda pertahanan depan karena usianya yang sudah mulai matang. Entah yang mana yang benar, yang jelas Diep Anh berharap suatu hari dia akan bertemu kembali dengan anak itu dan beradu duel serius dengannya.
           
            “Anh,”

            Diep Anh menoleh dan langsung memberi hormat pada Raja. Tingkahnya sedikit gugup.

            “Bagaimana prajurit-prajurit kita?”
            “Semuanya baik-baik saja.”
           
            Raja menghela, perlahan dia merapat pada sisi tiang dan menatap luas pada lapangan pelatihan prajurit.

            “Setelah peperangan dengan bangsa Duong Mon, prajurit kita banyak yang tewas. Perekrutan prajurit baru pun tidak sebanyak yang kita harapkan.”
            “Tetapi, meskipun begitu bukankah tak masalah jika prajurit kita memiliki kemampuan bela diri yang bagus? Mereka juga sudah mampu merencanakan dan memimpin pertahanan dengan ada atau tidak adanya kepala prajurit.”
            “Saya mengerti apa yang ingin kau sampaikan. Namun, kecerdasan berpikir saja belumlah cukup. Jumlah prajurit pun turut berperan serta dalam menang atau tidaknya kita di medan perang. Tetap saja, dua akan kalah jika melawan empat. Kau mengerti?”
            “Iya, Saya mengerti.”

            Raja menepuk bahu Diep Anh.

            “Saya tahu kau sudah bekerja keras selama ini.”
            “Terima kasih, Yang Mulia.”

            Saat Raja akan pergi, ia memberitahukan Diep Anh sesuatu.

            “Aku hampir melupakan sesuatu. Beberapa hari lagi kita akan kedatangan satu kelompok prajurit terpilih dari klan Thien Sach. Mereka datang untuk berlatih dan menjadi lawan duel bagi prajurit-prajurit baru kita. Sebenarnya ini tugas Jenderal Huo, tapi aku ingin kau juga tahu agar tidak terjadi kesalahpahaman.”
            “Baik, saya mengerti.”
            “Jalankan tugasmu seperti biasa saja.”
            “Baik, Yang Mulia.”

*****
           
            Malam itu, Diep Anh terjaga semalaman dari tidurnya. Mendengar bahwa prajurit terpilih dari klan Thien Sach akan datang ke tempat mereka itu seperti mengingatkannya kembali pada acara pertandingan delapan tahun yang lalu. Akankah anak remaja yang dulu pernah bertanding dengannya juga turut serta? Diep Anh masih berharap dia bisa bertanding ulang dengannya.

           
            Saat matahari hampir terbenam, satu skeleton pasukan yang cukup besar muncul di gerbang istana Tang Kiem. Diep Anh memperhatikan mereka dari kejauhan. Satuan pasukan itu dipimpin oleh tiga orang berpakaian seperti Jenderal dengan mahkota yang berbeda. Salah satunya terlihat lebih besar di antara kedua Jenderal lainnya. Mereka kelihatan sedang berbincang dengan Jenderal Huo. Diep Anh nampak tidak tertarik dan meninggalkan balkon ketika salah satu dari Jenderal Thien Sach itu melihat dirinya pergi.

*****

            Hari berjalan seperti biasa, berlatih bela diri dan melatih fisik prajurit. Tetapi hari ini seperti ada yang lain. Di sela-sela dari pakaian prajurit Tang Kiem yang dominan berwarna kuning keemasan, ada warna perak memantulkan kegagahan dan warna merah berani yang ikut dalam berbaris di sebelah satuan prajurit klan Tang Kiem. Rupanya, hari latihan bersama dengan pasukan Thien Sach sudah dimulai hari ini juga.
            Jenderal Huo kelihatan memimpin apel pagi sebelum dilaksanakan latihan bersama ini. Di belakang podium, tepat di sisi kirinya berdirilah tiga Jenderal klan Thien Sach yang kelihatan sedang memperhatikannya.
            Dari kejauhan Diep Anh memerhatikan mereka. Sejak kemarin, Diep Anh sama sekali tidak turun ke lapangan.

            “Gege~!” Diep Hui muncul di belakangnya. Diep Anh membalikan badannya. “Gege, kuperhatikan sejak kemarin kau tidak turun ke lapangan. Ada apa?”
            “Tidak apa-apa.”
            “Gege, apa kau terganggu dengan kehadiran pasukan dari klan Thien Sach itu?”

            Diep Anh menghela. Diep Hui tersenyum kecil.

            “Gege, tidak sedang memikirkan pertandingan delapan tahun lalu, kan?”
            “Tidak.”
            “Mungkin anak itu sudah tidak ada lagi di klan Thien Sach setelah Gege mengalahkan dia,” ucap Diep Hui, mendengarnya Diep Anh nampak terkejut, “kudengar klan Thien Sach menetapkan aturan yang sangat keras dan tidak termaafkan.” Diep Hui mengangkat bahu.

            Diep Anh khawatir.

*****
           
            Perkataan Diep Hui kemarin cukup menganggu Diep Anh. Kali ini Diep Anh merasa bersalah kepada anak remaja itu. Jika benar dia sudah tidak lagi diterima di klan Thien Sach, itu semua karena kekalahannya dari Diep Anh. Untuk mengusir rasa gundahnya, Diep Anh mencoba menenangkan dirinya dengan bermain Guzheng. Hanya dengan inilah Diep Anh bisa merasa lebih tenang.
            Sejak kematian Ibunya beberapa tahun lalu, tak ada seorang pun yang menemaninya bermain musik. Adihknya, Diep Hui, lebih tertarik dengan strategi peperangan seperti Ayahnya. Diep Anh tiba-tiba merasa rindu masa-masa tenang seperti ini.
            Sementara itu dari sisi lain bangunan istana, seorang Jenderal klan Thien Sach berdiri sambil memandangi Diep Anh.

*****
           
            “Jenderal yakin?”
            “Hm.”
            “Apa itu tidak terlalu beresiko?”
            “Tidak. Aku sudah memikirkannya.”
           
            Di gedung yang bersebrangan dengan gedung istana utama, ketiga Jenderal dari klan Thien Sach nampak sedang berunding. Mereka sedang merencanakan sesuatu. Sesuatu yang menjadi alasan utama mereka bertandang ke negeri Tang Kiem.


****
           
            Hari itu untuk pertama kalinya Diep Anh turun ke arena latihan setelah beberapa hari diam di kediamannya. Kali ini Diep Anh diminta untuk memantau sendiri hasil perkembangan dari latihan para prajuritnya.
            Di tengah pemantauannya, tiba-tiba dia dihadang oleh seorang Jenderal dari klan Thien Sach. Laki-laki yang sangat tinggi dengan baju besi yang memantul, serta warna darah yang menghiasi pakaiannya. Diep Anh terpaku menatap pria di depannya. Pria asing itu juga menatap Diep Anh dengan seulas senyum.

            “Salam hormat saya untuk Yang Mulia.” Ujarnya.

            Diep Anh sedikit terkejut. Dari mana pria ini tahu bahwa Diep Anh adalah keluarga Raja? Padahal Diep Anh memakai seragam seperti prajurit lainnya. Diep Anh memperhatikan pria di depannya dengan seksama.

            “Maafkan saya terlambat menyapa,” lanjutnya.
            “Um…” Diep Anh sepertinya gugup. Dia jarang sekali bicara pada orang lain selain keluarga istana dan prajuritnya sendiri.

            Tidak lama, Jenderal Huo mendatangi mereka.

            “Yang Mulia,” katanya lalu beralih pada Jenderal dari klan Thien Sach di sampingnya. “Ooh, Anda sudah bertemu dengan Jenderal Ly dari klan Thien Sach?”
           
            Diep Anh mengangguk kecil.

            “Yang Mulia, beliau adalah Jenderal Utama negeri Thien Sach, Ly Thua An.”

            Saat Diep Anh melihatnya, Ly sedang memberi hormat keduanya. Tetapi tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut Diep Anh saat itu. Ketika Diep Hui memanggilnya dari kejauhan, Diep Anh berlalu meninggalkan kedua Jenderal itu begitu saja.


*****
           
            Diep Anh selesai berlatih di arena belakang gedung istana. Akhir-akhir ini Diep Anh berlatih seorang diri ketika jam-jam latihan prajurit telah selesai. Ketika dia telah selesai berlatih, seseorang muncul secara tak terduga.

            “Pedang yang bagus.” Katanya.

            Diep Anh membalikan badannya dan mendapati Jenderal klan Thien Sach tadi siang berjalan ke arahnya. Diep Anh tidak berekspresi sama sekali.

            “Apakah saya menganggu?”
            “…. Tidak.”
            “Syukurlah.”
            “Ada yang bisa saya bantu?” tanya Diep Anh.
            “Tidak sengaja saya melihat Yang Mulia sedang berlatih pedang, maka maafkan saya yang telah lancang memperhatikan secara diam-diam.” Kata Ly. Diep Anh membisu. “Sejak lama saya tertarik sekali dengan gaya berpedang dari negeri Tang Kiem,” lanjutnya, “jika Yang Mulia tidak berkeberatan, bisakah kita beradu tanding?”

            Kedua alis Diep Anh menyatu. Betapa beraninya pria ini. Apakah secara tak langsung dia ingin menjajal kemampuannya? Diep Anh tak menggubrisnya.

            “Jika Yang Mulia memberikan kebaikannya untuk melawan saya, kali ini saya tidak akan mengalah lagi seperti delapan tahun yang lalu.”

            Diep Anh terkejut.

*****
           
            Diep Anh membuka matanya setelah hampir sejam melakukan semedi. Pikirannya sedang kacau hingga ia tak bisa berkonsentrasi untuk melakukan semedi malam ini. Perkataan dari Jenderal Ly kemarin sangat mengejutkannya.
            Ternyata anak remaja yang dia lawan delapan tahun yang lalu adalah orang yang kini menjadi Jenderal Utama di klan Thien Sach. Tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya jikalau dia harus berjumpa dengan lawannya delapan tahun lalu di saat sekarang ini. Di saat Diep Anh hampir melupakan semua kejadian itu.  Sekarang orang itu mengajaknya untuk berduel lagi.

            …….


            Ly membuka matanya ketika dia merasakan sosok yang dia tunggu akhirnya datang. Diep Anh sudah berdiri di depannya dengan mengamit pedangnya.
            Setelah menyetujui permintaan Ly kemarin, mereka akhirnya bertemu kembali di arena kecil di belakang gedung istana. Tanpa ada seorang pun tahu. Ini seperti duel yang hanya diperuntukan untuk Ly Thua Andan Diep Anh.
            Dan saat mata hari mulai tenggelam, pertandingan antara Ly Thua An dan Diep Anh pun berlangsung.


*****
           
            Hari sudah terang ketika Diep Anh membuka mata. Ia mendapati dirinya sudah terbaring di kamarnya. Diep Anh beranjak dari ranjangnya dan mendatangi jendela. Dari tempat itu dia bisa melihat arena latihan prajurit. Prajurit dari klan Thien Sach masih berbaur dengan prajuritnya.
            Kala itu Diep Anh kembali teringat pertarungan duel antara dirinya dengan Jenderal Ly kemarin sore. Diep Anh tahu dia akan kalah, tetapi di tengah pertarungan, Ly berhenti bertarung. Hal yang kemudian dia ingat kemudian semuanya terlihat nampak berbayang di matanya lalu  berakhir gelap. Diep Anh tidak menampik bahwa kemungkinan kemarin kondisinya berangsur buruk. Hal yang sering terjadi jika ia bekerja terlalu keras. Tai Yi sudah sering memperingatkannya sejak Diep Anh mulai memforsir dirinya untuk terus menerus berlatih ilmu bela diri.
            Di saat Diep Anh hendak kembali beristirahat, penjaga di depan pintu melaporkan kedatangan seorang tamu. Tamu yang asing sekali.
            Jenderal Ly Thua An.

            “Saya datang untuk menjenguk.”
            “Terima kasih.”
            “Saya juga datang untuk meminta maaf atas kejadian kemarin.”
           
            Diep Anh membisu. Melihat kebisuan Diep Anh, Ly menjadi tidak enak hati.

            “Jenderal,” panggil Anh, “Kemarin…”
            “Kemarin kondisi Yang Mulia memburuk, saya yang membawa Yang Mulia ke istana. Maaf jika saya lancang.”
            “…. Terima kasih.”

            Ly tertegun. Ia menatap Diep Anh yang masih menatap kosong ke luar jendelanya.

            “Yang Mulia…” Ly berkata. Diep Anh menoleh. “Besok…, bolehkah saya menemui Yang Mulia lagi?”

            Diep Anh terpaku. Ly menatapnya serius. Keduanya saling menatap tanpa kata.


*****


            Diep Anh melangkah ke luar istana, ia menuju ke padang di sebelah utara istana. Ketika dia tengah berjalan sendirian, ia dihampiri oleh Jenderal Ly yang menunggangi kuda.

            “Apakah Yang Mulia hendak pergi?”
            “Um,” Anh mengangguk.
            “Bolehkan saya mengantar Yang Mulia?”

            Diep Anh menatapnya, Ly tersenyum sambil mengulurkan tangannya.  Entah apa yang ada di dalam pikiran Diep Anh saat itu sehingga ia menerima ajakan Ly dan berkuda bersamanya.

            “Kemanakah Yang Mulia ingin pergi?”
            “Ke sana.” Diep Anh menunjuk ujung padang rerumputan.
            “Baiklah.”

            …….

            Ly tertegun melihat sebuah batu nisan besar di depannya. Diep Anh sedang menyalakan dupa untuk berdoa. Itu adalah pusara dari Ibunda Diep Anh yang telah wafat beberapa tahun lalu.
            Setelah menemani Diep Anh berdoa, mereka beristirahat di dermaga kecil di ujung istana Tang Kiem. Ada sebuah danau besar dengan hamparan bunga-bunga lotus sepanjang mata memandang. Juga ada perahu-perahu kecil yang sudah lama tak terpakai. Kincir air yang masih berputar dengan lambat, dan padang hijau yang terhampar begitu luas.

            “Maaf sudah membawamu ke tempat seperti tadi.”
            “Tidak apa-apa. Saya juga sudah tidak punya orang tua.” Ujar Ly singkat. Diep Anh tertegun, “Umh, Yang Mulia, saya pernah mendengar Yang Mulia memainkan musik yang sangat indah.”
            “…”
            “Sepertinya Yang Mulia pandai memainkan alat musik.”

            Diep Anh tersipu.

            “Saya berharap bisa mendengarnya sekali lagi.” Lanjut Ly. Diep Anh yang sedari tadi hanya membisu akhirnya mengatakan sesuatu, “Saya ingat di gudang tua itu sepertinya telah tertinggal sebuah guzheng tua yang ditinggalkan oleh pemiliknya.”
            “Bolehkah?”
            “Jika kau mau mencarikannya untukku,”

            Ly bangkit dan masuk ke gudang tua itu, Diep Anh mengikutinya di belakang. Gudang itu dulunya tempat tinggal seorang penjaga kincir air, namun karena telah begitu tua akhirnya sang penjaga pun wafat. Orang tua itu juga pandai bermain musik dan meninggalkan sebuah guzheng di dalam gudang itu. Diep Anh pernah melihatnya sekali ketika bermain dengan Diep Hui saat mereka remaja. Tapi karena Ayah mereka melarang, maka Diep Anh tidak pernah menginjakan kakinya ke tempat ini lagi.

            “Saya menemukannya.” Kata Ly mengangkat sebuah guzheng dengan kedua tangannya, “tapi sangat kotor.”
            Diep Anh mendekatinya dan menyentuh senar guzheng tersebut. “Tak apa, ini cukup bagus.”

            Setelah membersihkan Guzheng tua itu, Ly menaruhnya di tengah jalan dermaga. Saat Diep Anh bersiap untuk memainkan alat musik tersebut, Ly mengeluarkan sebuah seruling yang terbuat dari gading. Kemudian, keduanya mulai memainkan sebuah harmoni yang indah di tengah sepinya dermaga.

           
            Hari semakin gelap, Diep Anh sepertinya sangat menikmati hari ini. Setelah itu, mereka kembali ke istana Tang Kiem. Ly mengantarkan Diep Anh hingga ke belakang gedung istana. Sesaat sebelum Diep Anh hendak pergi, Ly menarik tangannya. Diep Anh terlihat kaget.

            “Apakah besok saya masih bisa menemui Yang Mulia?” Tanya Ly penuh harap.

            Diep Anh tersipu, terlebih lagi saat ia merasakan jemarinya bertaut dengan jemari Ly. Jantungnya berdegup kencang.

            “… iya.”

           
            Malam itu keduanya sama sekali tidak bisa terlelap. Baik Ly atau pun Diep Anh. Keduanya seolah masih terpaut pada momen-momen indah yang mereka lalui hari ini. Diep Anh masih terpaku pada sikap Ly yang memintanya bertemu kembali esok hari. Sementara Ly berharap tak pernah ada malam yang akan memisahkan kebersamaan mereka. Ly ingin menemuinya setiap hari. Apa yang terjadi pada Ly mungkin itu juga yang dirasakan oleh Anh saat ini.

            Hari-hari berikutnya, Ly dan Diep Anh selalu bersama. Melakukan hal-hal yang tak pernah mereka lakukan sebelumnya. Sedikit demi sedikit memupuk kebersamaan hingga keduanya seolah tak bisa dipisahkan.
            Diep Anh yang pendiam perlahan menjadi seorang yang terbuka. Kepada Ly dia banyak menceritakan mengenai dirinya, demikian pula Ly. Hanya kepada Diep Anh-lah, Ly mengungkapkan isi hati yang tak pernah dia katakan pada siapa pun.

            Suatu hari hujan deras mengepung mereka. Ly dan Diep Anh berteduh di gudang dekat dermaga. Setelah berhasil membuat api di perapian, mereka duduk bersebelahan untuk menghangatkan diri.
            Suara air hujan dan angin yang kencang cukup membuat Diep Anh panik karena bangunan gudang tua ini terasa mulai goyah.

            “Saya rasa hujan tidak akan cepat berhenti.” Ujar Ly, Diep Anh hanya mengangguk. “Apakah Yang Mulia baik-baik saja?”
            “Um…”
           
            Sambil menunggu redanya hujan, Ly menghibur Diep Anh dengan serulingnya. Mencoba untuk meniadakan rasa takut yang ditimbulkan oleh angin kencang di luar. Diep Anh merasa menjadi lebih baik. Dia cukup menikmati keadaan kacau ini. Ly mampu membuat keadaan menakutkan ini menjadi keadaan yang cukup nyaman. Tetapi tiba-tiba Ly menghentikan permainan serulingnya, ia menatap kobaran api di hadapannya.

            “Yang Mulia,” panggilnya tanpa menoleh ke arah Diep Anh. “bolehkah saya memohon sesuatu?”
            “Katakan saja.”
            “Bolehkah saya selalu bersama Yang Mulia?”

            Diep Anh terkejut. Ly mengambil jemari Asnh yang dingin. “Bolehkah saya selalu menemuimu setiap hari?” Rasanya Diep Anh tidak bisa mendengar suara-suara hujan dan angin yang tengah bergemuruh di luar sana. Suara Ly saat itu seperti memenuhi kedua telinganya. Dan saat Ly mencium tangannya Diep Anh merasakan sesuatu dalam dirinya yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

            Ia jatuh cinta.

            Tetapi Diep Anh sungguh bingung bagaimana harus menjawabnya. Tak mungkin dia mengiyakannya, juga tak mau menolaknya. Baginya, Ly satu-satunya orang yang mau mengerti dan bersama dirinya. Namun ia benar-benar kehabisan kata-kata saat ini.

            “Yang Mulia,”
            “…….”

            Melihat kebisuan Diep Anh, seolah menjadi cambuk bagi Ly. Ia berpikir bahwa apa yang ia inginkan darinya amatlah sulit. Atau mungkin tak pernah sekali pun terpikirkan oleh Diep Anh untuk melaju ke jalan seperti ini.
            Namun, ketika Ly merasa akan menyerah, Diep Anh meremas jemarinya lemah. Walau ia tidak berani menatapnya, Diep Anh seperti memberikannya sebuah jawaban. Perlahan, wajah Ly mengukir senyuman tipis. Ia menggenggam kedua tangan Anh.

            “Yang Mulia,”
            “Bolehkah saya meminta sesuatu?” kata Diep Anh kemudian.
            “Ya?”
            “…. Mulai sekarang panggilah nama saya.”

            Ly tertegun, tidak lama kemudian ia tersenyum. “… Anh…”

           



      To be continue….

5 komentar:

  1. Aaah seperti itu jadi kisah awalnya XD Manis sekali, si Diep Anh malu malu gitu emang ya orangnya, dan akhirnya ditembak pula. Adaw! Lanjut ke chap 2!!! XD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Diep Anh sifatnya malu2 gitu. Lebih feminin dr adiknya Hui ghihihi

      Hapus
  2. AH WAIT!! Diep Hui apa kayak kakaknya jg, mb? XD Aku ngefans ama Hui

    BalasHapus
    Balasan
    1. Diep Hui lebih cowok sih. rambutnya sama panjang juga, warnanya jg putih sih. cuman dia badannya lebih kekar dan bajunya ngga serapih kakaknya

      Hapus