expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

14 Desember 2014

[Fanfiction] In All Weathers -End-


Title: In All Weathers
Author: Duele
Finishing: Desember 2014
Genre: Romance, AU
Rating: PG15
Chapter(s): 3/3
Fandom(s): JX3, VLTK 3D
Pairing(s): Ly Thua An x Diep Anh




            Hampir satu tahun lamanya sejak Ly Thua An pergi meninggalkan Tang Kiem. Tak ada kabar berita mengenai dirinya selama ini. Meskipun begitu, Diep Anh tetap setia menunggunya. Ia tetap sabar menanti kepulangan Ly Thua An ke Tang Kiem.
            Melihat kakaknya yang menjadi pemurung, Diep Hui pun menghampirinya.


            “Gege,”
            “Hui.”
            “Apakah Ly Thuan An akan kembali?”
            “Dia sudah berjanji.”
            “Kenapa Gege tidak mengutus orang kita untuk mencari tahu mengenai kabarnya ke negeri Thien Sach?”

            Diep Anh terdiam. “Tidak perlu.” Jawabnya. “Jika sudah saatnya dia akan pulang.”

            “Bukankah mengatakan kata ‘pulang’ itu terlalu ambigu?” Diep Hui menghela. “Sebenarnya di mana rumah Ly Thuan An yang sesungguhnya? Tang Kiem atau Thien Sach?”

            Diep Anh membisu.

            Diep Anh mungkin terlalu jatuh pada perasaannya sehingga ia tidak menyadarinya. Apa yang dikatakan Diep Hui benar. Dalam diri Ly Thua An sejak lahir mengalir darah Thien Sach. Rumahnya yang sebenarnya adalah negeri seberang, bukan Tang Kiem.
            Bukankah dulu Diep Anh sendiri yang mengatakan jikalau Ly Thua An pasti akan kembali ke Thien Sach cepat atau lambat. Dan ketika saat itu datang seharusnya Diep Anh bisa mengikhlaskannya. Jika Diep Anh berada di posisi Ly Thua An sekarang ini tentulah ia pun akan bingung. Siapa sebenarnya dirinya kini setelah darah mereka bercampur dengan darah negeri lain.
            Diep Anh tak bisa memutuskannya. Tetapi jikalau Ly Thua An sudah mengambil keputusan di mana nantinya dia akan menetap, maka saat itu Diep Anh tidak memiliki kuasa untuk menahannya lagi.

*****
           
            Suatu hari Tang Kiem mendapat serangan dari pasukan musuh. Serangan yang begitu mendadak membuat Tang Kiem kurang mempersiapkan pasukannya untuk berperang. Diep Anh disibukan dengan keputusan strategi peperangan yang menyulitkan.
            Perang berlangsung berhari-hari dan banyak memakan korban jiwa. Diep Hui geram dan terjun langsung ke medan perang. Meskipun Diep Anh sudah melarangnya, tetapi Diep Hui tetap maju.
           
            “Hui! Hui!” Diep Anh mengejarnya. “Jangan gegabah! Saya melarangmu untuk terjun sekarang!”
            “Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Apakah saya harus berdiam diri melihat pasukan saya dihancurkan?!” Hui mengambil pedangnya.
            “Hui!”
            “Gege!” Diep Hui mengguncangkan bahu Diep Anh. “Percayalah pada saya! Saya akan melindungi Tang Kiem!”

            Setelah mengatakan itu Diep Hui benar-benar pergi menuju ke medan perang. Diep Anh mengepalkan kedua tangannya kesal.

            “Panggil semua Jenderal dan Panglima ke lapangan utama!” tandasnya.
           
            Perang semakin tak terkendali. Diep Anh mengubah strategi perangnya setelah Diep Hui turun tanpa seijinnya. Ia berencana untuk turun sendiri ke medan perang, namun rencananya ditolak mentah-mentah oleh semua Jenderal dan Panglima, juga penasihat kerajaan.

            “Yang Mulia tidak diperkenankan untuk berperang. Kami berperang justru ingin melindungi Yang Mulia agar tetap memimpin kami.”
            “Sejak kapan Raja tidak diperkenankan untuk terjun ke medan perang?” Diep Anh berujar. “Bukankah Raja ada untuk melindungi seluruh negerinya? Bukankah Raja ada untuk mengayomi semuanya? Saya tidak bisa berdiam diri di sini sementara kalian semua berperang mempertaruhkan nyawa kalian. Saya juga bagian dari negeri Tang Kiem. Jika mereka ingin menduduki Tang Kiem mereka harus membunuh saya terlebih dulu!”
           
            Diep Anh mengambil pedangnya dan menuju keluar istana, penasihat mencoba menghadangnya.

            “Yang Mulia! Yang Mulia! Tunggu sebentar. Apakah keputusan ini tidak terlalu gegabah? Apa yang harus kami lakukan jika sesuatu yang buruk terjadi pada Yang Mulia.”
            “Bagaimana kalian bisa berpikir bahwa sesuatu yang buruk akan menimpa saya?”
            “Yang Mulia…”
            “Masa depan tidak ada yang mengetahuinya. Untuk tahu masa depan itu seperti apa, maka saya harus datang menyongsongnya.”

            Bertepatan di saat itu seorang prajurit muncul dan melaporkan keadaan peperangan terakhir.

            “Yang Mulia Hamba datang untuk melapor.” Kata sang prajurit berlutut memberi hormat. “Pasukan kita dipukul mundur.”
            “Bagaimana Jenderal Diep Hui?”
            “Jenderal Diep Hui menghilang.”
            “Huh…?”


*****


            “Tang Kiem diserang?” Ly Thua An mengernyitkan keningnya. “Benar Yang Mulia. Menurut salah satu pasukan kita, Tang Kiem saat ini sedang berperang dengan bangsa siluman.”

Ly Thua An terdiam, “Siapkan kuda!”
            “Yang Mulia!”

            Ly Thua An berbalik. Jenderal perangnya menghadangnya.

            “Kita baru saja selesai berperang dan mengambil kembali wilayah kekuasaan kita. Kita kehilangan banyak pasukan dan Panglima. Jika kita membantu Tang Kiem untuk berperang itu sama saja dengan tindakan bunuh diri.”

            Ly Thua An menatap jenderal perangnya dengan mata yang tajam.

            “Aku tidak meminta kalian untuk ikut berperang membantu Tang Kiem. Aku hanya meminta kalian untuk menyiapkan kudaku sendiri.”
            “Yang Mulia, apa Anda bermaksud…”
            “Aku tidak akan melibatkan satu pun dari kalian untuk pergi bersamaku.”
            “Yang Mulia!”

            Ly Thua An menaiki kudanya.

            “Jaga Thien Sach untukku, Feng Yi.” Kata Ly Thua An sebelum memacu kudanya.

            Jenderal muda di depannya hanya bisa memandangi kepergian Ly Thua An yang perlahan menghilang.

            “Yang Mulia…”

           
            Diep Anh meradang setelah mendapat kabar bahwa Diep Hui dijadikan tawanan. Bahkan mereka meminta Tang Kiem untuk segera menukarkan kebebasan tanah Tang Kiem dengan nyawa Diep Hui. Mengetahui itu semua Diep Anh akhirnya turun sendiri untuk menyelamatkan Diep Hui.

            “Yang Mulia,”
            “Saya pikir ini saatnya saya harus pergi. Bukan sebagai seorang Raja melainkan sebagai seorang kakak.”

            Hal itu sudah tidak mungkin dielakan. Tekad Diep Anh sudah bulat dan tak ada seorang pun yang mampu menghalanginya untuk menyelamatkan Diep Hui. Maka, hari itu untuk pertama kalinya Diep Anh menginjakan kakinya keluar dari negeri Tang Kiem bersama pedang miliknya.

            “Jika saya tidak bisa menemuinya di kehidupan saya sekarang, maka perkenankan saya untuk membawamu pergi bersama saya.” Ucapnya lirih saat mengambil pedang pemberian Ly Thua An.


            Sementara itu, Ly Thua An menuju arah negeri Tang Kiem. Tetapi di tengah jalan dia melihat pasukan siluman berbentuk setengah manusia berlarian sambil membawa sesuatu. Ly Thua An tertegun saat melihat pakaian tawanan mereka. Tak salah lagi, tawanan yang mereka bawa berasal dari negeri Tang Kiem. Namun siapakah dia?

            “Tsk!”


            Diep Anh berjalan menyisiri hutan dan bukit terjal. Langkahnya membawa dirinya menuju tempat persembunyian mereka yang membawa Diep Hui. Hingga kemudian dia sampai di sebuah sisa-sisa bangunan tua yang sudah tak terpakai. Saat sampai, Diep Anh langsung disambut oleh gerombolan siluman yang menjaga tempat itu.

            Di sisi lain, Ly Thua An pun mengalami nasib yang sama. Setelah berhasil mengikuti gerombolan itu, ia diserang. Ly Thua An pun menghabisi para siluman yang menghalangi jalannya. Setiap siluman yang mencoba menyerangnya segera ia bunuh. Ia terburu-buru ingin melihat siapa tawanan yang disandera.
            Tetapi semakin ia masuk ke dalam, gerombolan siluman itu semakin banyak dan besar. Ly Thua An belum pernah berhadapan dengan siluman sebanyak ini sebelumnya.

            Trang!

            Diep Anh menghantamkan pedangnya ke tanah dan ledakan besar pun terjadi. Kekuatannya berhasil menghancurkan para siluman buas itu. Diep Anh kembali berjalan menyusuri tebing-tebing yang gelap. Sesaat kemudian, samar-samar ia mendengar suara pedang dan dentuman dari arah lain. Apakah ada orang lain yang sedang bertarung dengan siluman sama seperti dirinya?
            Dengan rasa penasaran yang tinggi Diep Anh mendatangi arah suara pertarungan itu. Tetapi tak lama kemudian suara itu menghilang. Diep Anh tetap melaju ke tempat itu dengan kewaspadaan yang tinggi.

            Ly Thua An berhasil merobohkan gerombolan siluman itu dengan ilmunya. Walau pun ia sempat terluka terkena cakaran dari salah satu siluman itu. Tetapi lukanya tak begitu serius. Ly Thua An kembali melanjutkan perjalanan menaiki anak tangga menuju bukit. Namun tiba-tiba dia merasa ada seseorang yang berjalan ke arahnya. Ly Thuan An segera berancang-ancang. Musuhkah?

            Tap.

            Diep Anh berhenti.

            Ly Thuan An berhenti. Matanya membulat. Kedua tangannya mengepal.
            Diep Anh membisu. Samar ia merasakan kehadiran seseorang di sekitarnya.

            “ANH!”

            Diep Anh terkejut. “Ly…?”

            Ly Thua An berlari menjajaki anak tangga dan menghampiri Diep Anh yang masih mematung. Diep Anh sepertinya masih belum sepenuhnya sadar bahwa kini dia bertemu dengan Ly Thua An hingga pria itu membawanya ke dalam pelukannya.

            “Ly…”
            “Anh…!” Ly Thua An mengeratkan pelukannya, tetapi segera melepaskannya.            “Kenapa kamu bisa berada di tempat ini?”
            “Diep Hui dibawa oleh musuh. Saya harus menyelamatkannya.”
            “Diep Hui? Jadi tawanan yang saya lihat itu Diep Hui?”
            “Kamu melihatnya?”
            “Saya memang mendengar berita kalau Tang Kiem diserang, di perjalanan saya melihat gerombolan siluman itu membawa seseorang yang berpakaian seperti dari Tang Kiem.”
            “Diep Hui…” Diep Anh menjauh, “saya harus segera menyelamatkan Diep Hui.”
            “Anh..!” Ly Thua An menahan lengannya. “Saya akan membantu.”

            Ly Thua An dan Diep Anh akhirnya bekerjasama menghancurkan gerombolan siluman yang telah menyandera Diep Hui. Kekuatan keduanya telah berhasil menghancurkan mereka dalam waktu singkat. Usaha penyelamatan Diep Hui pun bukan hal yang mustahil dilakukan.

            Setelah menyelamatkan Diep Hui, Ly Thua An dan Diep Anh meninggalkan sarang musuh. Diep Hui terluka cukup parah sehingga kehilangan kesadaran.
Ly Thua An membaringkan tubuh Diep Hui di suatu gubuk kecil ketika mereka berhasil keluar dari bukit siluman. Perjalanan mereka akan dilanjutkan keesokan hari setelah mereka bermalam.
            Setelah menyalakan api untuk menghangatkan diri Ly Thua An dan Diep Anh kembali berbincang.

            “Apakah kamu akan kembali ke Thien Sach?” tanya Anh.

            Saat itu Ly Thua An tidak bisa menjawab. Thien Sach saat ini sedang tak terkendali. Ly Thua An tidak bisa meninggalkan rakyatnya di sana. Mengetahui kekalutan Ly Thua An, Diep Anh tersenyum.

            “Saya sudah pernah mengatakan, jika kamu harus kembali ke Thien Sach, maka saya tidak akan memaksa.”
            “Anh…”
            “Saya akan tetap menunggu.”
           
            Ly Thua An kemudian memeluknya. “Maafkan saya, Anh…” ujarnya, “Saya seperti seorang pengkhianat karena sudah ingkar janji.”

            “Saya mengerti,”
            “Sampai saat ini pun saya masih sangat bingung,” Ly melepaskan Diep Anh, “Apa yang harus saya lakukan setelah ini. Kembali ke Thien Sach, atau…” Ly menoleh, “….kembali bersamamu.”

            Diep Anh menunduk, Ly Thua An menyentuh pipinya yang pucat. Diep Anh menyentuh jemarinya sembari menggelengkan kepalanya.

            “Apa pun keputusan yang akan kamu ambil, saya tetap tidak akan berubah.”

            Ly Thua An terenyuh lalu memeluk Diep Anh, menghujaminya dengan ciuman nan lembut.

            “Anh, saya rindu sekali.” Bisiknya. Diep Anh membelai wajahnya dengan membalas mencium lembut pipi pria itu. “Saya jauh lebih rindu…”
                       
****

            “Saya mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu.” Diep Hui memberi salam pada Ly Thua An.
           
            Ly Thua An mengangguk kemudian menghampiri Diep Anh.

            “Saya harus pergi sekarang.” Katanya.
            “Iya.” Diep Anh merunduk.
           
            Setelah berpamitan, Ly Thua An menggiring kudanya berjalan ke arah lain. Diep Anh masih mematung di tempatnya ketika Diep Hui menarik lengan pakaiannya.

            “Gege…” panggilnya. “…itu.” Diep Anh pun berbalik.

            Di sisi lain, Ly Thua An pun dikejutkan oleh sesuatu. Langkahnya mendadak terhenti. Langkah derap kaki mendatanginya. Barisan pasukan dengan seragam besi muncul di depannya. Seorang Jenderal dan beberapa Panglima memimpin mereka di garda depan. Ly Thua An tercengang mengetahui bahwa pasukan besar yang kini mendatanginya adalah pasukannya sendiri.
            Diep Hui menoleh ke arah Ly Thua An. Dia pun terkejut. Karena hal yang sama sedang menghadang Diep Hui dan Diep Anh. Sama sepertinya, pasukan dari Tang Kiem muncul dengan dipimpin oleh Jenderal utama mereka.
            Ly Thua Anh mendatangi pasukannya.

            “Apa yang kalian lakukan?”
            “Yang Mulia, kami datang menjemput.”

            Ly Thua An tertegun. Ia menoleh ke arah Diep Anh yang berbalik ke hadapannya. Kemudian ia menunduk dan kembali pada pasukannya.

            “Bangunlah.” Ly Thua An memerintahkan mereka semua berdiri. Tetapi tak ada satu pun dari mereka yang menuruti perintahnya. Ly Thua An menjadi bingung.
“Yang Mulia,” Feng Yi, satu-satunya Jenderal yang tersisa di pasukan Thien Sach merangkak mendekati Rajanya. “Yang Mulia,”
“Bangunlah Feng Yi,”

Akhirnya Feng Yi bangkit dan berhadapan dengan Ly Thua An.

“Apakah kau yang memerintahkan pasukan datang kemari?”
“Bukan.” Jawabnya, Ly Thua An bingung. “Saya tidak pernah memerintahkan pasukan kita untuk datang kemari.” Feng Yi kemudian berlutut kembali, “Yang Mulia, jika memang hati Anda tak bersama kami, bagaimana kami bisa tenang dan membiarkan pemimpin kami menghadapi kesusahannya sendiri.”
“Feng Yi?”
“Yang Mulia,” Feng Yi menengadah. “Thien Sach mungkin sejak dahulu menjadi Negara pembunuh, namun seiring berjalannya waktu dengan Anda sebagai pemimpin kami, kami akan sangat menghargai jika Yang Mulia dapat membawa kami ke tempat yang lebih baik.”
“Feng Yi…”
“Yang Mulia!” serentak seluruh pasukannya member hormat kepada Ly Thua An.

Ly Thua An mematung. Diep Anh mendekati mereka, berdiri di belakang Ly Thua An. Menyentuh jemarinya perlahan sehingga Ly Thua An menoleh padanya.

“Kamu diberkati dengan memiliki pasukan setia yang mencintai Rajanya.” Ucapnya.
“Anh…”
“Yang Mulia,”

Ly Thua An memandangi semua pasukannya lalu berbalik kepada Diep Anh.

“Saya rasa sudah saatnya kita membicarakan keperluan diplomatis antara Thien Sach dan Tang Kiem.” Ujar dengan senyum.

Serentak, semua pasukan Thien Sach maupun Tang Kiem menyambutnya dengan gegap gempita.

*****

            Thien Sach kini menjadi negeri bagian dari Tang Kiem. Namun, mereka tetap terpisah dengan dua Raja, Ly Thua An dan Diep Anh sebagai Raja dari masing-masing klan. Tetapi setelah kedua klan itu bersatu, baik warga Thien Sach atau Tang Kiem kini bisa dengan bebas memasuki wilayah perbatasan. Bahkan, Tang Kiem memberikan tanah dan istana khusus untuk para prajurit Thien Sach dan Tang Kiem sebagai tempat latihan bersama.
            Kedua klan yang sejak dulu saling bermusuhan kini bisa hidup berdampingan dengan kemakmuran dan perdamaian. Bahkan untuk merayakan hari membahagiakan bersatunya Tang Kiem dan Thien Sach, seluruh warga Tang Kien dan Thien Sach melakukan perayaan besar di tengah kota Tang Kiem.
           
           
            Di pinggiran negeri Tang Kiem. Pada daratan di atas danau, Ly Thua An dan Diep Anh sedang menikmati cuaca sore hari. Sejak Thien Sach bergabung ke Tang Kiem, Ly Thua An kini tinggal di Tang Kiem seperti dulu. Mereka selalu menghabiskan waktu senja di tepian danau sembari memainkan alat musik bersama atau bercerita.

            Ly Thua An masih memandangi langit senja. Sementara Diep Anh tertidur nyaman di dadanya. Angin sore membuai keduanya untuk betah berlama-lama di sana. Ly merasa dunianya kini sempurna. Tak ada alasan lagi bagi dirinya untuk pergi dari Tang Kiem. Hal yang sangat ingin ia dapatkan kini tergolek lunglai bersamanya.
            Tak sadar, Ly memeluknya dan mendaratkan kecupan ringan di kepalanya. Diep Anh pun lalu terbangun.

            “Sudah bangun?”
            “Saya rasa sebentar lagi akan hujan.”
            “Ahaha, hari begitu cerah, bagaimana--” Tes! Ly Thua Anh terdiam.
            “Sudah gerimis.” Diep Anh tersenyum.

            Ly Thua An tertawa geli lalu membawa Diep Anh ke gudang tua. Di dalam gudang itu mereka berteduh. Ly Thua An menyalakan perapian untuk menghangatkan badan. Ly Thua An dan Diep Anh duduk berdampingan.

            “Apakah kamu ingat saat kita berteduh di sini.” Kata Diep Anh.
            “Iya, saya ingat.” Ly tersenyum.
            “Saat itu pun hujan deras seperti sekarang.”
            “Saat itu kamu kelihatan ketakutan karena hujan yang sangat deras.”
            “Benar.” Diep Anh tersenyum tipis. Ly Thua An tak bisa mengenyahkan matanya memandangi pria di sebelahnya. “Saya ingat, dulu kamu pernah meminta sesuatu.”
            Ly Thua An tercenung, kemudian tersenyum sambil menghela, “saya banyak meminta darimu,”
            “Ly…” Diep Anh menoleh. Ly terdiam menatapnya. “Kali ini bolehkah saya yang meminta sesuatu darimu?”
            “Katakan saja.”
            “Jangan pernah pergi lagi meninggalkan saya.”

            Hati Ly Thua An terenyuh. Di antara rasa bahagia, ada segelintir rasa sakit menyusup ke dalam hatinya. Betapa sakitnya dia membayangkan tahun-tahun yang terlewat saat meninggalkan Diep Anh seorang diri. Mengingat bagaimana keegoisannya untuk merenggut harapan pria yang ia cintai.

            “Ly…?” Diep Anh mulai ragu, “Apakah permintaan saya terlalu sulit?”
            “Hhh…” Ly Thua An tertawa renyah. “Apa yang bisa membuat kamu berpikir begitu? Karena, tanpa kamu minta pun saya sudah bersumpah akan tetap ada di sisimu.”

            Diep Anh tersenyum lega. Ly Thua An mengamit kedua tangannya, “Anh… ” Ly Thua An mencium lembut kedua tangannya.

            “Saya ingat sewaktu pertama kali kamu menyebut nama saya.” Kata Diep Anh, kemudian sebuah tekanan di bibirnya mengejutkannya. “Lalu saya ingat pertama kali bagaimana saya mencumbu kamu di sini.” Bisik Ly. Diep Anh merunduk malu.

            Sekali lagi pertemuan mereka terulang. Ungkapan cinta yang lama dipendam kini muncul kembali. Baik Ly Thua An maupun Diep Anh, keduanya tidak mampu membendung perasaan cinta yang semakin lama semakin besar.
            Dan sejak bergabungnya kedua negeri itu, Ly Thua An dan Diep Anh tidak lagi terpisahkan.




            The End

3 komentar:

  1. "Ly Thua An masih memandangi
    langit senja. Sementara Diep Anh
    tertidur nyaman di dadanya. Angin sore
    membuai keduanya untuk betah
    berlama-lama di sana. Ly merasa
    dunianya kini sempurna. Tak ada alasan
    lagi bagi dirinya untuk pergi dari Tang
    Kiem. Hal yang sangat ingin ia dapatkan
    kini tergolek lunglai bersamanya."

    This... XD Aah seluruh bagiannya... manis!! Diep Anh rapuh banget sumvah di hadapan si Ly, etapi aku lama lama kok ngefans jg yah ama si Diep Hui, sifatnya suka deh hahaha.
    Manis manis suka! Aku dapatkan gambaran Ly x Diep Hui yg sempurna XD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hah? Kok Ly x Diep Hui??? Aaaaa tidaaakkk, Diep Anh kaliii xDDD

      Diep Hui ganteng juga loh ~

      Hapus
  2. Salah!! Diep Anh maksudnya mbak xD ini saking ngebetnya ngomongi Diep Hui soalnya wkkk!

    fotony Diep Hui pleeeaeseee :"(

    BalasHapus