expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

25 Juli 2013

ALICE in The WONDERLAND (Part 5)



Title : ALICE in The WONDERLAND
Author : Duele
Finishing : Februari-Juli 2013
Genre : Fantasy, AU, School-fic, Drama, Adventure
Rating : PG15
Chapter(s) : 5/10
Fandom(s) : Alice Nine
Pairing(s) : NO Pair. General.
Notes Author : Wohoo! Finally I can update this one! Hohoho! Thank you for keep reading this story :)



*****


“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!”

Jeritan mereka melolong panjang. Tak berhenti dan saling bersahut-sahutan. Tubuh mereka meluncur mulus dan jatuh semakin dalam ke dalam lubang. Tora yang terjatuh lebih dulu berusaha untuk menggapai akar-akar yang menyembul keluar dari tanah. Namun tak berhasil karena gravitasi bumi yang menariknya semakin kencang ke bawah. Demikian pula dengan yang lainnya. Mereka seolah tersedot ke dalam lubang tanpa bisa melawan.

“AAAAAAAAAA~!!!”


Brug!!

Tubuh Tora membentur tanah lebih dulu, disusul oleh Saga, Nao lalu Shou dan Hiroto.

BRUG!

“Aawwh!”
“Aaah..!”

Erangan demi erangan kesakitan menyudahi jeritan kepanikan mereka yang sudah mendarat di tanah. Tora rasanya seperti mati rasa dan tidak bisa menggerakan tubuhnya yang tertimpa oleh dua pemuda di atasnya. Nao berusaha bangkit. Suara batuk parah terdengar dari mulut Shou dan Saga. Nafas mereka memburu dan detak jantung yang belum sepenuhnya kembali normal. Adrenalin mereka sepertinya masih terbang menukik dengan kejadian barusan.

“Uhuk! Uhuk!!” Saga merangkak dari atas tubuh  Tora setelah Nao merangkak lebih dulu dan kini terbaring lemas di tanah, di sebelah mereka semua.

Hiroto seperti sedang bermimpi dengan mata terbuka. Matanya setengah layu dan menutup perlahan-lahan. Shou duduk di tanah dengan susah payah, tubuhnya masih terasa nyeri sekali. Ia melihat ke empat pemuda itu dalam kondisi yang kepayahan. Terjatuh pada lubang yang sangat dalam dan mendarat tanpa bantalan, namun mereka masih hidup? Ini sebuah keajaiban.

“Hiro-kun…? Kau oke?” Shou berusaha menyelamatkan pemuda yang sepertinya hampir pingsan tersebut. Ia menepuk-nepuk pipinya agar ia tersadar. Beruntung, Hiroto cepat memerjapkan matanya dan sadar. “Shou-kun!” Shou tersenyum lega. Kemudian ia menengok ke arah yang lain. Nampaknya, Saga selamat dengan cukup baik. Nao pun begitu, meskipun wajahnya kelihatan menandakan ada luka yang tertinggal lewat mimik kesakitannya. Yang parah adalah Tora yang masih berbaring tak bergerak.
“Oy! Apa dia mati?” Saga segera mendekati tubuh Tora.

Mata pria itu setengah membuka, sama seperti Hiroto tadi. Shou dan Hiroto ikut mendekatinya dan berusaha membangunkannya.

“Hey, bangun!” Saga mengguncang tubuh Tora.
“Amano-san, kau tidak apa-apa?” Hiroto ikut merasa panik.

Shou melakukan hal yang sama seperti sebelumnya saat membangunkan Hiroto, ia menepuk-nepuk pipi pemuda itu. Tetapi kelihatannya itu kurang berhasil. Melihat itu, Shou mencoba memompa dada Tora seperti sedang memompa korban tenggelam.

“Oy, oy! Kau pikir dia kenapa?” Saga kaget.
“Dia tidak bisa bernafas! Dia jatuh lebih dulu membentur tanah dengan posisi terlentang. Tubuh belakangnya terbentur keras, itu pasti mengejutkan paru-paru dan seluruh badannya. Kita harus memompa dadanya agar dia bisa kembali bernafas.”
“Kalau cara itu nggak berhasil?” sahut Hiroto. Saga dan Shou saling berpandangan.
“Seseorang dari kita harus memberikannya nafas buatan.”

Seketika itu juga Saga dan Hiroto mundur xDD
Shou memutar matanya dan kembali memompa dada pria itu sekuat tenaga. Tapi hasilnya tetap nihil. Ia jadi semakin bingung.

“Kalian jangan diam saja! Bantu aku!” katanya.

Saga dan Hiroto kebingungan dan panik. Mereka sama sekali tidak tahu bagaimana caranya melakukan penyelamatan pertama pada seorang korban kecelakaan. Ini pertama kalinya mereka mengalami hal seperti ini. Di saat kepanikan tengah berlangsung tiba-tiba saja Nao muncul melewati mereka dan menepuk tangan Shou agar segera menyingkir dari sana.

“Kau kurang tenaga! Begini caranya!” Nao meletakan sebelah tangannya yang terlentang tepat di atas dada Tora, sementara tangannya yang lain mengepal dan tanpa aba-aba ia menghantamkannya. Benturan itu begitu keras, hingga membuat Shou protes. “Kau bisa membunuhnya!”

Tapi ternyata cara kasar yang dilakukan oleh Nao berhasil!
Tora batuk dengan keras, disusul dengan nafas menderu yang seolah-olah baru bisa menghirup udara. Nafasnya menderu keras. Mereka semua membantu pria tersebut untuk duduk dan menepuk-nepuk punggungnya pelan.

“Bernafaslah, kawan!” Saga panik.

Warna ketakutan di wajah mereka berubah hilang seiring dengan membaiknya kondisi Tora saat itu. Ia sudah bisa mengatur nafasnya kembali dan sudah bisa bicara.

“Aku baik-baik saja.” Ujarnya sambil mengibaskan tangannya.

Mereka semua duduk di posisi masing-masing. Sejenak kekakuan di antara mereka mengalir, tetapi segera pecah saat Saga menunjuk ke atas. “Lihat, kita jatuh begitu dalam. Bisa kalian perkirakan berapa dalamnya lubang ini?”

Mereka semua sama-sama mendongak ke atas. Ada sebuah sinaran yang memancar, namun kelihatannya begitu jauh. Entah berapa meter mereka jatuh dari atas.

“Jangan-jangan kita jatuh ke inti bumi…” Hiroto berkata.
“Persetan dengan itu.” Nao berdiri dengan susah payah. Keempat pemuda itu menoleh ke arahnya ketika pemuda itu mendekati dinding tanah.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Saga.
“Kau pikir mau apa?” Nao berkata seolah menantang, kemudian ia mengambil sebuah akar dan menaikan sebelah kakinya ke sana.
“Kau mau memanjatnya?” sahut Shou yang paham dengan apa yang ia lakukan.
“Itu gila.”
“Terus, apa kalian mau selamanya duduk di sini?” ujar Nao tanpa menoleh, “Kita jatuh, untuk kembali kita harus kembali ke atas kan?”
“Tapi kau yakin mau memanjat tempat setinggi itu?” Hiroto juga sangsi.
“Apa salahnya dicoba.” Tiba-tiba Tora berkata.

Ia pun mulai berdiri walau sambil tergopoh-gopoh. Sambil memegangi dadanya yang sakit, ia mendekati dinding tepat di sebelah Nao. Melihat itu, ketiga pemuda lainnya ikut berdiri dan berdiri mengelilingi mereka.

“Tapi kita tidak punya tali.” Kata Hiroto.
“Lihat, di sela-sela dinding tanah ini selalu ada akar yang tersembul. Kita bisa mengandalkan ini untuk berpegangan selama kita memanjat ke atas.” Jelas Tora.

Walau pun kelihatannya ragu, akhirnya mereka semua mencoba memanjat dari lubang itu. Pada awalnya ini benar-benar sulit untuk dilakukan. Beberapa kali mereka kembali terjatuh dan hampir menyerah.

“Aku tidak bisa melakukannya!” Shou menyerah lebih dulu. Ia memang tidak pandai untuk urusan keras seperti ini.
“Ayo, Shou-kun!” Hiroto mencoba menghiburnya.
“Aku tidak bisa!”
“Lantas, kau mau mati di sini?” Saga berkomentar dingin.
“Kau sendiri memanjat sejak tadi tapi tidak bergerak sama sekali!”

Saga langsung diam.
Mereka semua memang belum ada yang berhasil memanjat ke atas. Ini benar-benar susah. Dan mereka sudah sangat letih.

“Bagaimana kalau kita bekerjasama.” Kata Tora kemudian. Ia menatap satu persatu pemuda di depannya dengan mata yang meyakinkan. Bahkan Nao yang kelihatannya paling selfish pun mengangguk mengiyakan. “Salah satu dari kita harus bisa mengambil akar panjang yang di sana itu.” Tora menunjuk ke salah satu akar di atas. “Seseorang di bawah untuk menjadi pijakan.”

Mereka saling menatap satu sama lain, dan tidak tahu kenapa mata mereka berakhir di Tora. Tora menaikan sebelah alisnya. Ingin protes, tapi kepalang tanggung. “Oke, aku yang akan di bawah.” Jawabnya sedikit sewot. “Seseorang tertinggi di kalian naik di atas pundakku dan harus berhasil menarik akar di atas.”

Mereka semua mendengarkan dengan bersungguh-sungguh satu demi satu rencana yang Tora susun. Menurutnya, kedalaman lubang ini mencapai hampir belasan meter. Sebenarnya akan mudah jika ada dua orang yang memanjat di atasnya.

“Bagaimana kalau kita ubah sedikit rencana awalnya,” kata Nao. “Jangan cuman mengandalkan orang ini untuk menjadi pijakan. Harus ada dua orang yang menahan beban di atasnya. Dan yang di atas harus benar-benar ringan dan bisa menyeimbangkan berat badan.”

Akhirnya, Tora dan Shou berada di urutan paling bawah. Hiroto duduk di antara leher Tora, Saga naik ke bahu Shou hingga akhirnya dia naik ke bahu Hiroto untuk berdiri mengambil akar-akaran.

“Terus, kau sendiri posisinya apa?”
“Aku berada di posisi penginstruksi.” Nao menjawab santai.

“BODOH!” sahut keempatnya kesal.


Setelah bersusah payah memanjat dan bergelantungan seperti monyet pada akar-akaran, akhirnya satu persatu dari mereka dapat memanjat kembali ke atas. Hiroto menarik tangan Nao, pemuda yang terakhir muncul ke permukaan. Hiroto akhirnya ambruk karena kelelahan, demikian pula dengan yang lain. Tetapi mereka merasa sangat lega. Namun sepertinya hal itu tidak dirasakan oleh Saga yang berlari kecil ke arah mereka.

“Hey, ini aneh.” Katanya. “Aku sudah memeriksa daerah sini, tapi kenapa sepertinya tempat ini berbeda dari tempat pertama kita jatuh.”

Mendengar itu satu demi satu dari mereka mencoba memastikan dengan apa yang dikatakan oleh Saga. Mereka berjalan sedikit untuk melihat sekelilingnya. Dan ternyata tempat itu memang berbeda dengan tempat awal dimana mereka jatuh.

“Ini di mana?” gumam Hiroto.

Nao melihat sekelilingnya, semuanya pohon. Tanah yang mereka pijak pun lebih banyak adalah sisa-sisa daun mati pepohonan yang jatuh ke tanah.

“Ini tidak benar.” Saga berlari ke arah lubang, mereka semua menoleh. Hiroto ikut berlari mengejarnya. Tetapi segera berhenti setelah Saga berhenti tak jauh dari pohon dengan lubang tersebut. “Ini…tidak…mungkin…” Saga menggumam kecil. Hiroto perlahan mendekatinya dan melihat ke arah pohon tadi. Seketika matanya membulat, sama seperti Saga.

“Lubangnya….. menghilang!”


****


“Ini gila…” Saga menggumam, “benar-benar gila…”

Apa yang dikatakan Saga tidak ada yang salah. Semuanya memag telah berubah menjadi gila. Bagaimana mereka menemukan satu hewan yang sama—kelinci dengan rompi—yang menggiring mereka ke satu tempat di mana telah banyak anak-anak lain yang juga mengalami hal sama. Mereka tergiring dan terjebak hingga jatuh pada lubang mengerikan. Setelah bersusah payah keluar, ternyata bukan dunia yang sama yang mereka dapatkan. Dan kini ketika mereka hendak kembali,

“….lubangnya menghilang.” Shou mengulang kata itu terus. Dia juga seperti sudah tidak waras saat ini. Bukan hanya Shou, tapi mereka semua. Tak ada dari satu pun dari mereka yang dapat menjelaskan mengenai hal. Semuanya benar-benar mengerikan.

“Lalu apa yang akan kita lakukan di tempat ini?” suara Nao seolah menegaskan bahwa mereka sudah terlalu lama berdiam diri di tempat ini.

Tora menoleh pada jam tangannya. Anehnya, jamnya tak bergerak, sepertinya mati. “Jamku mati.”

“Jamku juga,” sahut Nao.

Saga dan Shou mengeluarkan ponsel mereka, tetapi sama sekali tidak ada sinyal.

“Aku mau pulang,” keluh Hiroto. Pemuda itu seperti mau menangis.
“Bukan cuman kau saja yang mau pulang. Kita semua juga mau pulang.” Ujar Saga tak kalah frustasi.

Hiroto mulai menangis di balik tangannya yang melipat di antara kedua lututnya. Saga membuang wajahnya ke arah lain. Shou merasa sangat sedih dan putus asa saat itu. Tora juga tidak bisa melakukan apa-apa. Dan Nao juga tidak melakukan banyak hal walau pun kelihatannya hanya dia saja yang tidak terlalu mempermasalahkan bisa atau tidaknya mereka kembali pada dunia mereka. Lama mereka terpuruk pada kenyataan yang belum mampu mereka pahami, membuat mereka semua kelelahan dan akhirnya tertidur kelelahan.


Keesokan harinya, sesuatu membangunkan mereka semua. Yang diusik pertama kali adalah Saga yang tertidur bersandar pada pohon. Sesuatu melompat di kedua pahanya hingga ia terkejut.

“Si—siapa!” ia terbangun sambil terkejut. Dan itu membangunkan yang lain.
“Huh? Ada apa?” tanya Hiroto berakhir menguap.

Tiba-tiba sesuatu mengalihkan perhatian mereka. Shou harus mengucek matanya untuk membenarkan pandangan matanya yang masih sedikit kabur.

“Kelinci?”
“Itu kan kelinci berompi!”
“Tangkap dia!” teriak Saga spontan lalu berusaha menangkap kelinci itu, tapi gagal!

Kelinci itu melompat agak jauh, Saga merasa kesal. Tapi saat pemuda itu mulai beringas untuk menangkapnya, kelinci itu bicara!

“Tenanglah!”

“HAPPAH?!” Saga melompat terkejut. “K—kau  bi—bicara?”
“Ya, aku bicara.” Katanya.
“Hyaaa!” Saga berlari ke belakang Tora untuk bersembunyi. “D—dia bicara!”

Gila!
Itulah yang mereka rasakan saat itu juga. Kelima pemuda itu merapatkan diri satu sama lain. Mana mungkin ada kelinci bisa bicara? Apa ini negeri dongeng? Mustahil!

“Jangan takut. Kalian akan baik-baik saja.” Kata kelinci itu.
“Kau ini sebetulnya siapa?”
“Aku Shagi si kelinci. Aku datang ke dunia kalian dan membimbing kalian untuk masuk ke dunia ini.”
“Ini dunia macam apa, sih!” Saga kelihatan masih takut, tapi dia tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. “Dan kenapa kami harus dibawa kemari?” sahut Nao.
“Ini adalah WONDERLAND, dimana semua keajaiban terjadi,”
“HAHAHAHAHAHA!” Belum selesai Shagi berkata, tawa Tora sudah tidak terbendung, “GILA! Itu sih hanya ada dalam buku cerita dongeng. Mustahil!”

Mereka semua terdiam kecuali Tora yang masih belum bisa menerima kenyataan lewat suara tawanya yang begitu keras.

“Tapi kenyataannya kau sudah berada di Wonderland.”

Seketika tawanya raib.

“Dulu Wonderland adalah tempat yang sangat indah. Penuh dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Tetapi sekarang kami terancam mati dan menghilang dari dunia ini karena kekejaman Raja Merah.”
“Lalu apa hubungannya dengan kami?” Shou bertanya.
“Ya, apa hubungannya dengan kami?” sahut Hiroto juga.
“Kalian adalah ksatria terpilih. Kalian aalah orang-orang yang akan membebaskan kami dari segala kekejaman dari Raja Merah.”
“Ooh, ini gila…” Nao berdiri, lalu menepuk-nepuk celananya yang kotor. “Aku keluar.” Ucapnya kemudian berjalan.
“Hey! Kau mau kemana?”
“Kemana pun, aku mau cari jalan keluar.” Jawabnya tanpa menoleh. “Aku tidak mau hidup di dunia semacam ini. Ini menyebalkan. Menyebalkan!” Rutuknya.

Melihat kepergian Nao yang cuek, Hiroto berusaha mengejarnya dan menghentikannya. Pemuda itu berusaha untuk membuat pemuda itu tetap bersama mereka.

“Kau memangnya percaya dengan apa yang kelinci aneh itu katakan? Ksatria terpilih? Ini gila.” Kata Nao.
“Iya, kita semua tahu ini gila. Tidak ada di antara yang bilang ini normal. Tapi kita harus tetap bersama. Kita tidak tahu tentang dunia ini.”
“Yang Hiro bilang itu benar. Walau pun kau merasa aneh dengan semua ini, kau pikir pergi seorang diri bakal menemukan jalan pulang sendiri?” sahut Saga dingin.

Nao mematung di sana. Wajahnya kelihatan sebal. Hiroto berusaha untuk membujuknya kembali, tetapi Nao bersikeras tetap di sana tak mau mendekat.

“Kalau kami bisa muncul ke dunia ini, apakah kami bisa kembali pulang?” tanya Shou. “Pasti ada jalan pulang kembali kan?”
“Iya, ada, kok.” Jawab si kelinci. Mereka semua kelihatan lega, “tapi setelah kalian mampu membunuh Raja Merah.”

APA?

“Ja—jadi kami baru bisa pulang setelah kami melenyapkan Raja Merah?!” Saga menegaskan, Shagi mengangguk. Saga sepertinya akan menangis.
“Itu tidak mungkin.” Tora bergumam.
“Kelinci! Kelinci! Apa kau yakin harus kami yang melakukannya?” Hiroto mendekat.
“Iya…”

Wajahnya menjadi sedih. Saat mereka semua kebingungan dengan permintaan aneh dari si kelinci, dari kejauhan muncul sesuatu. Nao yang merasakan sesuatu menoleh cepat. Namun ia tidak mampu melihat dengan jelas apa yang sedang menuju ke arah mereka.

“Ada sesuatu..” tunjuknya.

Mereka semua menoleh ke arah yang ditunjukan oleh Nao. Mata si kelinci membulat besar.

“Ayo lari!!” teriaknya.

DUAAAR!!!
Tapi semuanya terlambat. Saat tubuh Nao terhempas ke tanah dengan keras. Pemuda itu tak mampu melihat sesuatu yang besar yang menabrak tubuhnya.

“Hyaaaaa!!!”
“Makhluk apa itu!?”

Mereka semua mundur teratur, tetapi bingung caranya untuk menyelamatkan Nao terlebih dulu. Pemuda itu jatuh terkapar dan sulit berdiri. Sementara di depan mereka muncul makhluk-makhluk aneh. Di depan mereka seekor makhluk buas dengan tubuh yang sangat besar sebesar gajah berdiri di depan mereka. Tapi perawakannya berbulu dan dapat mengaum seperti singa. Air liur menetes menjijikan dari taring-taringnya. Di belakang makhluk tersebut muncul seorang pria yang menunggangi kuda. Pakaiannya lucu, karena memakai baju zirah seperti di dongeng-dongeng.

“Tangkap mereka semua!” tapi tidak lucu saat dia menitah pasukannya.

Kemudian muncul pasukan-pasukan berkepala seperti kartu remi itu mulai mengejar mereka. Pemuda-pemuda itu panik dan berusaha menghindari mereka. Mereka berlarian tidak tentu arah dan terpecah ke berbagai penjuru. Hiroto yang tak jauh dari tempat Nao terkapar mencoba membangunkan pemuda itu tetapi akhirnya keduanya tertangkap. Mereka dijaring seperti ikan. Hiroto menjerit histeris.

“Lepaskan aku!!!”

Shou berlari menjauhi tempat itu, ia ingin kembali tetapi di belakangnya beberapa prajurit kepala wajik mengejarnya sambil membawa senjata berupa tombak. Itu mengerikan!
Sementara Tora dan Saga berlarian dan mencoba bersembunyi di balik pohon-pohon besar yang sekiranya mampu menyembunyikan mereka dari pasukan-pasukan itu. Saga berlari ke arah kanan dan terperosok ke dalam sebuah jurang kecil. Sementara Tora yang berlari ke arah sebaliknya bersembunyi di pepohonan dan semak. Tora harus membungkukan badannya sedemikian rendah agar mereka tak melihatnya di sana. Ia berharap selamat dari ini.


Beberapa jam kemudian keributan itu mulai senyap. Dari balik tanah kepala Saga menyembul ke atas untuk melihat situasi. Semuanya sudah kelihatan aman karena tak ada siapa pun lagi selain dirinya. Kecuali para jamur-jamur di sebelah wajahnya yang masih menangis. Saga juga mau menangis rasanya, karena ia harus terjebak di dunia yang mengejutkan seperti ini.

“Sudah jangan menangis, semuanya sudah aman.” Saga menepuk-nepuk jamur hidup tersebut agar berhenti menangis.

Saat ia merangkak naik dari tanah, Tora muncul dari balik semak.

“Kau tidak apa-apa?” tanyanya.
“Mana yang lain?”
“Kita kehilangan Ogawa-kun, si kacamata dan si tinggi.”
“Jangan-jangan mereka tertangkap.” Saga cemas. “Oh, mana si kelinci yang bisa berbicara itu?”
“Aku tidak tahu,”
“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?”
“Kita harus mencari mereka!”
“Bagaimana caranya?”

Tora kelihatan berpikir sebentar, “…Raja Merah.”          


****


Bruk!!

“Auuh!” Hiroto memekik sakit saat tubuhnya dijebloskan ke dalam penjara. Nao yang tertangkap juga masuk ke dalam penjara bersamanya. Ia masih meringis karena luka yang ia derita. “Wah, lukamu berdarah!” Hiroto panik saat melihat sikut Nao mengeluarkan darah. Ia mengambil saputangan di belakang celananya dan membalutnya.

Setelah itu Hiroto mendekati pintu penjara untuk melihat situasi. Ternyata bukan hanya mereka saja yang dikurung. Di sebrang penjara mereka, berjejer penjara-penjara lain yang isinya berbagai jenis binatang yang ditangkap. Rata-rata mereka adalah binatang-binatang kecil seperti kelinci, ayam, dan babi kecil. Hiroto mencoba melihat penjagaan, ternyata mereka dipintu keluar pada ujung lorong ada dua orang penjaga berkepala kartu keriting berdiri di sana.

“Ada dua orang penjaga di luar. Duh! Bagaimana caranya keluar dari sini?” Kata Hiroto kembali duduk di dekat Nao. Nao melihat sekeliling penjara mereka. Terali yang mengurung mereka terbuat dari kayu, Hiroto dan Nao saling berpandangan sambil mengembangkan senyum.


Sementara itu di tempat lain. Shou berjalan sambil melihat ke sekelilingnya. Pemuda tinggi itu tersesat dan tidak bisa melihat dengan jelas karena hutan yang ia masuki penuh dengan kabut asap.

“Uhuk! Uhuk!” Ia terbatuk-batuk saat asapnya semakin tebal. “Asap apa sih ini? Uhuk! Uhuk!!”

Ia berjalan sedikit cepat sambil sesekali menahan nafas agar asap-asap itu tak tercium. Hingga kemudian dia mampu keluar dari hutan asap itu. Tetapi saat ia itu Shou melihat ada beberapa makhluk kerdil yang berdiri di depannya.

“Siapa kalian?”

Manusia-manusia kerdil itu saling bicara sambil berbisik-bisik. Mereka mirip sekali dengan manusia kerdil yang ada di dongeng Putri Salju, hanya saja jumlahnya tak sampai tujuh makhluk. Kemudian mereka mendekati Shou dan menarik tangannya.

“Eh, eh! Mau dibawa kemana aku?” Shou panik tetapi dia tidak bisa lari dan terus mengikuti ajakan mereka yang menggiringnya ke suatu tempat. Mereka berjalan ke suatu hutan berbentuk lorong karena dua sisi jalannya yang ditumbugi pepohonan rimbun seolah membuat lorong besar di sana. Di ujung lorong alam itu ada sebuah makhluk yang aneh yang sedang merokok dengan alat hisap yang sangat panjang. Tubuhnya setengah manusia, namun kakinya bulat seperti cacing, bukan, itu ulat. Shou menebak.

“Ooh… inikah prajurit Alice?”

Ternyata dia seorang wanita yang sangat cantik. Wajahnya begitu cantik dengan rambut hitam yang legam, panjang menjuntai hingga ke tanah. Ia terbaring setengah miring memangku wajahnya yang oval menatap kedatangan Shou bersama para manusia kerdil.

“Kau siapa?”
“Aku Kemuchi.”

Shou mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja manusia-manusia kerdil di sebelahnya itu mencoba memaksanya untuk mendekati wanita aneh bernama Kemuchi tersebut.

“Oh, benarkah ini ksatria Alice?” setangkai bunga dengan berwajah seperti manusia berkata. Shou hampir melompat dari sana karena terkejut.
“Apa tidak salah?”
“Dia kelihatan lemah.”
“Tanyakan pada Kemuchi.” Mereka pun berdebat.

Shou yang kebingungan mencoba bertanya pada wanita itu. “Aku ingin pulang kembali ke duniaku. Apa kau tahu caranya bagaimana caraku agar bisa kembali? Kumohon beritahu aku caranya.”

“Aku tidak tahu,” jawabnya sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya sehingga Shou jadi batuk. “Tapi mungkin Raja Putih tahu caranya.”
“Uhuk…uhuk…Ra—raja putih… siapa dia?”
“Dia adalah Raja Putih. Raja yang seharusnya menguasai Wonderland.”
“Apakah aku bisa menemuinya?”
“Temuilah dia, karena itu memang takdirmu.”
“Takdir?”

Salah seorang manusia kerdil kemudian membawakannya sebuah gulungan berukuran sedang. Mereka membukanya dan memperlihatkan sesuatu di dalamnya. Saat gulungan itu terbuka, gambar yang ada di dalam gulungan itu seperti hidup dan berdiri menggambarkan posisi tempat itu. Di ujung lain ada sebuah kastil dengan dominan berwarna merah, sementara di sebrangnya sebuah kastil dengan nuansa putih berdiri tak kalah kokoh. Di tengah-tengah jarak antara kastil merah dan putih berdiri sebuah papan catur besar di mana segumpal awan hitam menghalangi pandangannya sehingga Shou harus berjongkok dan melihat lebih rendah ke dalam isi tempat tersebut. Lima buah benda menyerupai pion catur berdiri di depan seekor naga besar yang menakutkan. Mereka seperti sedang berperang.

“Apa ini?” tanyanya.
“Gulungan Takdir.”
“Hah? Apa maksudnya?” Shou mengernyitkan alisnya kembali. Namun saat ia melihat ke gambar hidup itu ia tak sengaja menemukan gambar bergerak mirip yang perawakannya mirip Tora dan Saga. “Kalian!”
“Pergilah ksatria Alice…” ujar Kemuchi. “Pergi dan bawalah gulungan takdir itu bersamamu.”
“Ta—tapi kemana?” Shou panik ketika asap-asap itu mulai muncul lagi.
“Kau harus tahu kemana kau melangkah. Ikuti gulungan tersebut dan kau akan tahu jalan pulang…”

Setelah mengatakan itu wanita setengah ulat itu menghilang di balik kepulan asap yang tebal. Manusia-manusia kerdil itu menunjukan jalan lain padanya. Kali ini Shou bergerak untuk menemukan Tora dan Saga lebih dulu.







Continue…

2 komentar:

  1. oooooohhhh.. kereeen, penasaran lanjutannyaa X)
    cie banget mereka jadi para ksatria terpilih gituh hehee

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, itu mereka ksatria selermun nak xD

      Hapus