expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

10 Desember 2013

[Fanfiction] The Time

Title : The Time
Author : Duele
Finishing : Desember 2013
Genre : Drama, Romance, Drabble
Rating : PG15
Chapter(s) : Oneshot
Fandom(s) : Dir en grey
Pairing(s) : Die x Shinya
Note Author : Kalian gak pernah tahu nahan rindu ke OTP yang udah jadi kiblat selama 4 tahun kayak apa. Kan, saya tumbang jadinya X'P

 

****

 

" 今日はShinyaさんに・・・・なイタズラを用意しています"
Die


Shinya meringis melihat isi twit yang baru saja Die buat ke sosial media. Hidungnya berjengit menatap kata-kata sakti yang ditulisnya. Matanya melihat pada pria tinggi berambut merah. Bermata tajam. Bermulut ember. Dan sikapnya yang selalu seenaknya.

“Kenapa?” tanya si rambut merah. Shinya menggeleng. Mengulas senyum simpul. Senjata ampuh untuk mengusir pertanyaan-pertanyaan lain yang mungkin akan ditanyakan lagi padanya jika dia menjawab dengan sebuah kalimat. Die akan mengusiknya.
“Kau menulisnya.” Eh, tapi terucap juga.
“Apa?” Die mendelik, lalu baru ingat. “Oh itu, ya… aku akan mengerjaimu, hihihi…!” Katanya sambil nyengir.
“Tidak mengherankan.”
“Oh, ayolah. Ini kan hanya sebuah permainan. Staff yang minta. Yakan-san juga senang mengerjaimu.”
“Kalian tipe persekongkolan.”
“Ehehe…”

Shinya termangu. Die merapihkan kaosnya lalu berdiri dari kursi.

“Bukankah ini sedikit lucu?” katanya.

Shinya mendongak. “Apanya?”

“Saat seperti ini.”
“Apa?” Shinya belum mengerti.


Die menoleh dengan senyum khasnya. Dari garis keras ala pria yang membetot di kedua sisi pipinya. Dengan potongan rambut seperti itu, warna yang menyolok. Mengapa?

Shinya terdiam.

Ia melihat Die.

Dalam gemerlap lampu berwarna-warni di atas panggung. Beberapa tahun lalu. Tahun yang sempat karam dan membatu. Sejak kapan mereka kembali seperti ini? Sejak kapan mereka ‘bersama’ lagi seperti ini?

“Eh, daijoubu?” Die duduk kembali dan menatap Shinya yang bengong. Shinya tersadar. “Uhm!” Ia mengangguk.
“Sebentar lagi on air.”

Shinya menunduk, lalu tersenyum. Die menangkap ukiran senyum di sana. Membuatnya penasaran.

“Kenapa?”
“Tidak.”
“He?”
Kau benar.”
“Apanya?”
“Lucu.”
“He?”
 

Shinya memandangnya kemudian pudar karena senyumnya berubah menjadi tawa. Senyum Die ikut melebar dan menjadi tawa kecil di antara keduanya. Tidak ada yang mengerti apa yang dimaksudkan keduanya. Namun hanya di antara mereka yang mengerti apa yang lucu dari semua ini.


Terkadang mereka berpikir, segala sesuatunya akan kembali ke awal. Berjalan melingkar melewati sebuah fase kehidupan. Saat ini, mungkin Shinya dapat mengerti apa yang Die maksudkan. Kelucuan tentang sebuah kondisi dimana saat ini terasa seperti masa lampau.


Tanpa sadar perubahan diri yang tak sengaja diciptakan justru membawa kembali mereka kepada momen-momen yang pernah mereka lakoni sebelumnya. Walau berbeda tempat, berbeda waktu, bahkan berbeda umur. Die dan Shinya mengerti kenapa semuanya begitu lucu.


Ketika semua orang merasa dan mengatakan bahwa mereka berubah. Justru mereka kembali ke awal. Tanpa sadar. Dan saat sadar mereka akan tertawa.

“Aku pikir kau akan bagus dengan rambut lurus, oranye dan bermake up.” Sindir Die.
“Aku tidak mau melakukannya.”
“Ohya? Dengan Hyde-san saja kau mau memakai gaun. Dengan kami tidak.”


Shinya menggeleng sambil menyembunyikan tawa lebarnya. Die menggodanya. Dan tawa itu terdengar lebih keras. Namun terhenti beberapa saat ketika sang pembawa acara malam itu datang sambil melambaikan tangan.

“On air, lima menit lagi. Die-san, Shinya-san, silahkan bersiap.”

Mereka bersiap. Die merapihkan rambutnya sekali lagi. Sebentar lagi dia harus stand by. Namun kali ini dia menyempatkan diri bertanya sekali lagi.

“Benar tidak mau memakai gaun lagi?” godanya. Tawa kembali terdengar dari Shinya. “Tidak.”

 

 

Off air.


“Karena sepertinya hanya Die-san yang tidak berubah.” Tutur Shinya.
“Itu pujian apa ejekan?”
“Menurutmu?”
 

Die berpikir. “Aku maunya sebuah pujian yang benar-benar tulus dari Shinya, hehe…”

Shinya hanya bisa tersenyum.

“Tapi aku senang Shinya bisa mengerti.” Die menerawang. “Sudah lewat beberapa tahun. Seperti mimpi.”
“Iya.”
“Seperti ini, seperti saat gencar-gencarnya aku dan Kaoru mengerjai Shinya.” Die mencolek-colek tubuh Shinya yang notabene memang mudah geli.
“Ahaha, berhenti!”
“Seperti ini juga saat berhenti.”

 

Mata Die dan Shinya bertemu pandang sesaat. Die memang tersenyum saat itu, namun ada getir tersirat. Matanya tak bisa berbohong, semanis apapun dia bicara. Ada yang hilang saat itu. Jeda waktu yang tidak bisa ia katakan dan ungkapkan, bagaimana memuakannya saat membatasi diri.

 

Sampai sebuah helaan kilat dengan gambaran senyum yang lebar kembali menghias wajah pria itu. Dia mungkin sudah tidak tahu lagi harus berkata apa.

“Tapi aku senang.” Die memalingkan wajahnya dan berpura-pura mengurus rambutnya.

Shinya terdiam. “Die-san, ayo kita minum.”

“He?”
“Ayo kita minum.”

Die tertawa mengejek. “Ingat tidak dulu betapa gampangnya kau jatuh saat minum?” katanya disela tawanya.

“Tapi berapa kalipun aku jatuh Die-san kan yang akan mengantarku pulang ke rumah.” Ujar Shinya, tawa Die raib. “…selalu sama. Walaupun berganti hari dan tahun.”

Iya, kan?

Mau berapa tahun berlalu dan terlewat dengan berbagai perubahannya. Akan ada satu kebiasaan yang tidak akan pernah berubah. Di sini. Saat hanya Die dan Shinya saja yang mengerti. Sengaja dipisahkan atau diubah, mereka akan kembali.
 

“Aku…tidak mau menggendongmu lagi.” Rona wajah Die memerah. Shinya tertawa. “kalau aku menggendongmu sampai rumah, aku tidak akan pulang lagi kan.”


Kemudian tawa Shinya pun meredup.

 

 

The end X)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar