Title : EXODUS
Author : Duele
Finishing : Desember 2013
Genre : Fantasy,
Adventure
Rating : PG15
Chapter(s) : 21/on
going
Fandom(s) : Dir
en Grey
Pairing(s) : Die
x Shinya
Note Author : Finally, WAR!
*****
“Kusarankan kita bergerak ke arah
utara, Jenderal Yo memimpin pasukan di arah Selatan. Semuanya bergerak dan
memposisikan siap siaga di malam hari.”
Penyusunan strategi peperangan
sedang dilaksanakan. Die dan Kaoru memimpin pasukan atas titah Raja sendiri.
Kaoru menyusun isi rencana mereka. Dibantu Hakuei, Die menyiapkan
pasukan-pasukan terlatih di istana. Hyde dan Kyo membantu untuk melihat kondisi
di setiap penjuru negeri sebelum matahari terbit. Mengawasi setiap pergerakan
mencurigakan dan segera melaporkan kejadian terbaru pada mereka. Sementara
Shinya sibuk dengan para tabib untuk membuatkan persediaan ramuan obat.
Dan peperangan aslinya barulah
datang pada dini hari, saat malam tengah gelap dan sebuah sinar berpendar di
atas langit. Hyde yang melihat benda aneh mirip asteroid itu bergerak ke arah
mereka segera memberitahukan mereka.
“Sesuatu bergerak!”
Mereka terpana melihat benda
terbakar itu dan tak sampai hitungan menit benda itu jatuh menghantam sisi kiri
istana dengan dentuman yang besar.
BOOOMM!!
Seketika bumi bergetar dan jeritan
kepanikan terdengar riuh melantakan keadaan. Sebuah lubang dalam terbentuk,
berdiameter besar dan berbau menyengat. Asap muncul dari sana. Beberapa orang
yang berada di sana mendekati lubang tersebut. Hakuei datang.
“Minggir!! Menyingkir dari sana!!”
Tepat setelah ia mengatakan hal itu,
monster mengerikan melompat keluar dari dalam lubang tersebut.
GROOAAAAARRR!!
Jeritan orang-orang di sekitarnya
silih berganti mewarnai kepanikan. Monster aneh berkepala dua itu memakan beberapa
orang yang berhasil ia tangkap. Hakuei sangat terkejut. Monster berkepala dua
itu mampu menyemburkan api seperti naga. Namun tubuhnya berkerat seperti kulit
gajah dan berkaki seperti singa.
“Sial! Makhluk apa itu?” Hakuei
berlarian mengejarnya saat monster mengerikan itu berlarian ke arah istana.
“Buat barikade!!! Lindungi istana!!”
“Pasang bom api!!!”
GROOAAARRR!!!
Monster itu maju menyerang dengan
brutal. Melibas habis prajurit-prajurit di depannya. Semudah mendepak kerikil
dari kakinya, prajurit mereka terhempas dan membentur pilar-pilar dinding
istana. Beberapa mati mengenaskan karena terinjak monster tersebut. Isi istana
berlarian pontang-panting. Gerbang istana utama segera ditarik untuk ditutup.
“Tariiikk!!! Tariiikkk!!!”
Seruan dari Jenderal perang mereka
membuat ratusan prajurit menarik tali pemberat gerbang beton tersebut untuk
menghindari masuknya sang monster ke istana utama.
Roda-roda besi dari pelontar bom api
ditarik kuat-kuat dan melindungi jarak di depan gerbang. Satu isyarat, puluhan
prajurit di dekat pelontar itu menyalakan api panas dari bola-bola api yang
tersusun dari batu dan minyak.
Hakuei berlari mendekati pasukan dan
meminta mereka segera menyerangnya.
“Lepaskan bola apinya!!!”
Jenderal pemimpin pasukan segera
mengkat tombaknya dan berteriak sekencang mungkin.
“Seraaaaaaangg!!”
Syut! Syut! Syut! Syut!
Puluhan bola api itu terlontar ke
udara dan menghalau jalannya sang monster. Beberapa dari bola api itu mengenai
dan memperlambat pergerakannya. Hakuei yang telah sampai di dekat sang Jenderal
memberika komando untuk pelontaran bola api sekali lagi.
“Tahan selama mungkin!!”
“Baik!”
Ia berlari ke dalam istana untuk
melaporkan kondisi peperangan saat ini. Sebagian pasukan telah bersiap dan
membentuk barisan-barisan menyerupai barikade seperti di depan. Hakuei melihat
sosok Kaoru berlari di atas dinding pertahanan istana dan memerintahkan para
pemanah untuk ikut menghambat pergerakan sang monster.
“Seraaaang!!”
Dan ribuan anak panah melambung ke
udara menghujani sang monster. Tapi semuanya itu bukannya tak mendapat balasan.
Diserang dengan bertubi-tubi rupanya tak membuat monster itu mundur. Dengan
semburan api dari mulutnya ia meluluh lantakan barisan barikade di depannya.
“Bertahan!!!” pasukan-pasukan itu
menutupi menutupi barikade mereka dengan perisai besi.
GROOOOAAARR!!
Tetapi monster itu semakin ganas.
Kaoru melihat monster itu semakin
mendekat. Cemas bercampur bingung, ia sedang memikirkan caranya untuk melawan
monster ini.
“Jenderal!!”
Kaoru menoleh ke bawah ketika satu
pasukan berkuda keluar menyerang. Ia panik.
“Gegabah!” pekiknya. Dan yang
membuatnya semakin panik, pemimpin pasukan berkuda itu adalah Jenderal Die.
Kaoru segera berlari ke dalam menara
dan turun ke istana, di sana dia melihat beberapa keluarga Raja masih berlalu
lalang panik. Di sana Raja meminta semua wanita dan anak kecil di tempat itu
segera meninggalkan tempat itu.
“Mereka harus selamat!” Raja Yoshiki
menarik seorang Jendera dari sana dan memintanya untuk menyiapkan kereta kuda
untuk mengungsikan semua keluarganya ke tempat lain hingga peperangan ini
selesai.
“Tapi Yang Mulia…”
“Ini perintah!”
Kaoru tertegun. Setelahnya, Raja
menghampiri Kaoru yang masih berdiri di sana.
“Engkau pun harus menyelamatkan
diri, Raja. Biarkan peperangan ini kami yang mengurusnya.” Katanya.
“Kau memerintahku?” Raja terkekeh.
“Ini adalah perangku. Bagaimanapun aku harus mempertahankan apa yang telah kami
bangun hingga selesai.”
Kaoru mengangguk mengerti saat raja
menepuk bahunya. Tetapi mereka menyadari bahwa sekarang mereka harus bergerak
cepat. Kaoru keluar istana dan mengambil kudanya. Hakuei menghampirinya.
“Pangeran, kau mau ke mana?!”
“Memimpin pasukanku.” Katanya
dingin. “Sebaiknya baju zirahmu segera kau ganti dan pimpin pasukan lain sesuai
dengan rencana kita.”
Tanpa banyak bicara Hakuei berlari
mengambil kuda dan mendatangi rombongan pasukan yang telah siap.
Sementara itu di kastil tempat
Ursula berada, Toshiya menjadi saksi hidup bagaimana penyihir mengerikan itu
melepaskan diri dan keluar dari akar pepohonan yang selama ini menjadi bagian
dari tubuhnya. Melihatnya keluar dari tempat tersebut benar-benar membuat
Toshiya ingin muntah.
Betapa tidak, saat Ursula memisahkan diri dari batang pohon tersebut, ia
seperti lahir kembali. Dari batang pohon tempat Ursula bersemayam perlahan
robek. Dari sana mengalir cairan keruh berbau anyir seperti darah. Cairan yang
lebih mirip seperti lendir encer itu merembes dan keluar dari setiap batang dan
cabang pohonnya. Toshiya bergidik. Ia membuang wajahnya ke arah lain. Ini
terlalu menjijikan.
Namun Toshiya sadar telah berdiri seorang perempuan bertelanjang bulat
di tengah-tengah ruangan. Perlahan pohon-pohon tempatnya bersemayam menjadi
layu dan menghitam.
“Kemarilah, Toshiya…”
Toshiya menatap wanita itu, kemudian ia turun dan mendekatinya. Bau
anyir masih tercium pekat. Saat Toshiya mendekatinya, Ursula mengambil wajahnya
dan mendekatkan wajahnya pada wanita itu. Toshiya bergidik, tetapi tidak bisa
menghindar dan kabur karena tubuhnya menjadi kaku dan tidak bisa digerakan.
“Toshiya…” Ursula berbisik di telinganya.
“Nnh!!” Toshiya memejamkan matanya kuat-kuat saat sesuatu menggerayangi
pinggangnya.
Tubuhnya bergetar hebat. Toshiya
merasa ketakutan. Lalu perlahan tubuhnya melemah, kedua kakinya serasa lumpuh.
Dan yang terdengar saat itu hanyalah jeritan Toshiya yang kesakitan.
“Aaaaaggghhh!!!”
****
DUAARR!!
Monster itu terbakar!
Pasukan mereka menang!
Die melihat bangkai monster mengerikan itu terbakar di depan matanya. Ia
merasakan kepuasan tersendiri saat melihatnya hancur berkeping-keping. Ada
gemuruh gairah yang melonjak atas kemenangan pertempuran ini. Tetapi ia sadar,
semuanya belum usai. Walau menang, mereka kehilangan ratusan prajurit yang
tewas dan terluka. Semua prajurit yang terluka mereka bawa kembali untuk
diobati.
Shinya dan para tabib sibuk mengobati para prajurit yang terluka. Bahkan
beberapa prajurit yang lain pun membantunya untuk ikut merawat para prajurit
yang lain. Shinya melihat Kaoru dan Hakuei yang bergegas ke dalam istana. Saat
dia menoleh kembali ia terkejut sekali karena Die telah berada di hadapannya.
“Aku mengagetkanmu?”
Shinya menghela nafasnya. Ia menatap pemuda itu.
“Kenapa ke sini?”
“Melihat yang lain. Apakah kau merawat mereka dengan benar atau tidak.”
“Kau masih bisa bercanda di saat seperti ini?” Shinya sewot.
“Oke, maaf.” Die hampir tertawa. “Tapi bisakah kau mengobati lukaku?”
Shinya menoleh saat Die membuka jubahnya. Shinya ternganga saat ada luka
goresan panjang di belakang punggungnya.
Di dalam istana, Raja mengumpulkan para Jenderal perang kepercayaannya.
Mereka membagi tugas dan rencana untuk peperangan tahap selanjutnya saat Kaoru
dan Hakuei datang.
“Di mana Jenderal Die?” Tanya Raja.
“Dia di tenda darurat.” Jawab Kaoru.
“Dia terluka?”
“Iya.”
“Apakah parah?” Raja cemas.
“Sepertinya tidak, karena dia bisa mendatangi tenda darurat sendirian.”
“Syukurlah.” Raja menghela. “Kemarilah, aku ingin kalian ikut andil
dalam strategi ini.”
“Baik, Yang Mulia.”
Kaoru menoleh pada ke luar istana sejenak. Tak terasa peperangan akan
segera di mulai.
“Selesai.” Shinya usai menjahit luka di punggung Die. “Kau tidak merasa
sakit?” tanyanya.
“Hmm?”
“Lupakan.” Shinya mengambil barangnya dan pergi, tapi Die berhasil
menghentikannya dengan menarik pakaiannya.
Shinya kembali duduk di sebelahnya.
“Masih ada luka yang lain.”
“Huh?”
Dan saat Die memperlihatkan pinggangnya Shinya meringis. Ia kembali
membuka peralatannya dan membersihkan lukanya. Namun lagi-lagi Shinya tak
melihat ekspresi kesakitan sedikit pun di wajah Die.
“Jika terus seperti ini kau bisa menjadi lemah karena kekurangan darah.”
“Tapi akhirnya kami menang melawan monster itu.”
“Ya, kalian memang menang. Tapi bagaimana kalau kau tidak bisa menikmati
kemenanganmu selama yang kau mau?”
“Maksudmu aku langsung mati, begitu? Awwh!” Die memekik saat Shinya
memencet lukanya. “Awwh!!”
“Selesai.” Kata Shinya cuek. “Tapi kurasa dengan watakmu yang seperti
itu kau tidak mudah tumbang.”
“Heuh..!” Die terkekeh, lalu mengenakan pakaiannya.
Shinya mengambil sesuatu di kantungnya. Saat Die menoleh ia tertegun.
Shinya menyodorkan sebutir pil. Die berjingit.
“Apa ini?”
“Makan saja.”
Mulanya Die melihat Shinya dengan wajah ragu. Tapi akhirnya dia memakan
pil itu dari jari Shinya.
“Bagaimana rasanya?” Tanya Shinya.
“Tidak enak. Pil apa ini?” Die mengernyit.
“Itu ramuan akar ginseng dan daun labu. Tumbuhan itu bisa melancarkan
aliran darah.”
“Kalau begitu aku harus makan pil ini sebanyak mungkin.” Tangan Die
jahil merogoh kantungnya. Tapi segera Shinya pukul.
“Jangan terlalu banyak, jika terlalu banyak kau bisa mabuk dan tak
sadarkan diri!”
“Eh?”
Shinya membereskan peralatannya saat Die mengenakan pakaiannya. Sewaktu
Shinya hendak pergi, lagi-lagi Die menariknya sehingga dia duduk kembali. Shinya
melihatnya dengan bingung.
“Saat kami berperang berjanjilah kau akan membantu kami dengan
pengetahuan penyembuhanmu.” Ujarnya. Shinya terdiam,
“Aku tidak pernah memakai sihir.”
“Aku tak peduli lagi dengan itu.”
Shinya tertegun. Die tersenyum. Shinya merunduk malu.
“Kau juga…” Shinya berkata gugup. Die diam. “…ber…berjanjilah kembali
dan tetap hidup setelah peperangan ini.”
Hening. Shinya gugup sekali. Ia bergegas dari sana, tapi kali ini Die
lebih cepat bergerak karena bukan hanya kain pakaiannya saja yang ia dapatkan,
melainkan tubuh Shinya. Ia terjatuh dan terperangkap di kedua lengan Die yang
kokoh. Mata Shinya membulat melihat paras pemuda di depannya. Walau pun
terkadang dia menyakitinya, namun Shinya tak pernah mampu membencinya.
Die mungkin merasa kebalikannya. Pada awalnya dia mengira Shinya sama
saja dengan penyihir yang lain. Namun seiring berjalannya waktu semua yang ia
rasakan pada awalnya menjadi boomerang baginya. Dasar benci yang ia rasakan
kini berubah menjadi perasaan suka. Bahkan ia telah terang-terangan
menyatakannya.
“Uhm!”
Shinya menoleh cepat ke arah suara itu. Die menghela kecil.
Kesempatannya berakhir saat Hakuei datang.
“Aku tidak bermaksud mengganggu kalian, tapi… aku harus melakukannya.”
Hakuei berkata gugup.
“Tsk!” Die terusik.
Shinya segera beranjak dari sana.
“Raja menunggumu, Jenderal.”
*****
Sudah hampir dua hari mereka tidak tidur. Mereka sama sekali tak bisa
mengendurkan pertahanan mereka dari serangan musuh. Sambil menunggu berita dari
Hyde yang pergi ke luar daerah istana untuk melihat keadaan, mereka tetap
waspada dan siap untuk berperang kapan saja.
Kaoru, pria itu sedang gundah. Ia memikirkan pertengkarannya dengan
Toshiya kemarin. Ia ingin menemuinya tetapi tak tahu bagaimana cara untuk
melakukannya. Selain pergi berperang dan menyerang Ursula. Dibenaknya masih
jelas wajah Toshiya yang menahan amarah saat berbicara tentang Tashiya.
Walaupun Kaoru tidak mampu membohongi perasaannya, ia masih mencintai Tashiya,
namun ia juga mencintai penyihir itu. Ia memang berperang demi dendamnya,
tetapi itu tak cukup kuat untuk ia jadikan alasan hingga dia berbuat sejauh
ini. Toshiya sudah cukup menggantikan Tashiya saat ini. Dan Kaoru mau Toshiya
mengetahuinya, bahwa kini dia membutuhkanya disisinya.
Di sisi lain istana, Jenderal Die nampak melamunkan sesuatu. Ia
mengingat kembali pertarungannya dengan monster mengerikan itu. Seharusnya tak
ada celah untuk mereka menang. Mereka hanya bangsa manusia yang kecil yang
bingung bagaimana melawan monster mengerikan itu. Bahkan sebetulnya pasukan
yang Die bawa kemarin malam hampir seluruhnya tewas. Bahkan dirinya sendiri
yang terluka parah.
Namun Die ingat bagaimana dia bisa melukai monster itu. Lagi-lagi sinar
yang aneh itu kembali berpendar dari tubuhnya. Saat dirinya hampir terkena
semburan api mematikan dari monster itulah cahaya terang itu kembali muncul dan
sekejap saja ia merasa bahwa memiliki kekuatan yang sangat besar hingga ia
mampu melukai dan menghabisi monster tersebut.
“Hhh..” Die menghela, dia melihat pada bandul kalungnya. Ia semakin
penasaran sebetulnya jimat apa yang diberikan oleh Ibunya ketika ia kecil.
Ia ingat dulu pengasuh istana pernah menceritakan mengenai masa
kecilnya, dari semua Pangeran dan Putri yang lahir hanya bayi Pangeran Die saja
yang tubuhnya lemah. Bahkan dia tidak menangis saat dilahirkan. Tabib
mengatakan bahwa kondisinya kritis dan ia pun dinyatakan meninggal beberapa
hari setelah dilahirkan. Tetapi keajaiban muncul saat seorang tabib bercahaya
datang mengobatinya. Bayi Pangeran Die dimandikan dalam sebuah kolam kecil
dengan dua ikan koi berbeda warna. Saat ia dimandikan dan dikelilingi oleh
kedua ikan koi tersebut, tubuhnya langsung bereaksi. Setela itu, Die diberikan
jimat yang berbeda setiap tahun di hari kelahirannya. Namun inilah jimat
terakhir yang tak pernah diganti sejak kerajaannya dihancurkan oleh Ursula.
“Ugh!” tanpa sadar sinaran dendam itu kembali menyala. Die menggenggam
kalungnya kuat-kuat. Ia bersumpah akan menghancurkan Ursula seperti ia
menghancurkan monster mengerikan kemarin.
*****
Seluruh istana masih menunggu kabar dari Hyde yang juga belum tiba. Kyo
yang ikut mengawasi sekitar daerah di negeri itu pun belum Nampak batang
hidungnya. Hingga pasukan yang tak tidur berhari-hari kelihatan kelelahan.
“Sepertinya mereka sengaja membuat kita kelelahan sebelum berperang,
mereka sengaja mengirim seekor monster untuk menakuti kita dan membuat kita
waspada sepanjang hari.” Simpul Kaoru.
Raja kelihatan sedang berpikir. Hingga Die angkat bicara.
“Jika mereka menunggu agar kita kelelahan, bagaimana jika kita menyerang
lebih dulu?”
“Apa itu tidak terlalu terburu-buru? Kita belum tahu berapa jumlah
pasukan mereka?”
“Kenapa tidak membuat tiga pasukan berganda?”
Kaoru menoleh pada Raja, “Lanjutkan…”
“Jenderal kita akan maju membawa satu pasuka berganda. Di belakang, aka
nada pasukan berganda yang jumlahnya dua kali lebih banyak dari pasukan yang
pertama. Pasukan berganda terakhir disiapkan untuk tetap berada di sekitar
hutan istana menjaga dan menjadi perisai terakhir kita.”
“Bukankah itu terlalu beresiko? Itu artinya kita mengerahkan semua
pasukan kita tanpa ada cadangan prajurit?” ujar Kaoru keberatan.
“Kekurangan prajurit bisa kubantu, aku sudah meminta para pemuda di
pemukiman untuk ikut membela istana. Dan mereka juga ingin membantu
mempertahankan negeri mereka.” Kata seorang Jenderal.
Mereka saling menatap satu sama lain sambil tersenyum.
“Lalu siapakah Jenderal yang akan pergi ke medan perang di baris depan?”
“Jika Yang Mulia tidak keberatan, aku yang akan memimpin pasukan
berganda pertama.” Ucap Die mantap.
*****
Die sedang menggelung rambutnya saat Shinya mengintipnya di balik pintu.
Die terkekeh karena mengetahui keberadaannya dan memintanya untuk keluar dari
tempat persembunyiannya. Dengan langkah ragu Shinya mendatanginya.
“Kau mau mengucapkan salam terakhir kepadaku?” ledeknya.
Tapi Shinya tak menjawab ledekan itu. Dia kemudian menyerahkan sebuah
kantung berisi pil obat.
“Tolong pergunakan sebaik mungkin, untuk kesehatan kalian saat berperang.”
Ujarnya.
Die menerimanya dengan seuntai senyum, tangannya tak lepas mengenggam
kantung di tangan Shinya.
“Shinya, bolehkah aku meminta sesuatu?” tanyanya.
“Apa?”
“Tolong maafkan aku.”
Kening Shinya mengerut bingung.
“Karena aku tidak mau mati dengan membawa kebencian dari orang yang aku
sukai.”
Seketika wajah Shinya berubah. Die bisa merasakan kedua tangan Shinya
mengepal dalam genggamannya. Wajahnya kelihatan kesal, marah, dan memerah.
Shinya mungkin marah karena merasa diledek lagi. Matanya menandakan
kekesalannya memuncak.
“Eh…” Die tidak tahu reaksinya akan seperti ini. Maksud hati mau
menggodanya justru membuatnya semakin marah. “Shinya… aku hanya bercan-” Die
tertegun. Wajah memerah bukanlah sebuah kemarahan, tetapi bertahan melawan
airmatanya yang terlanjur merangsek ke luar. Itu menetes begitu saja tanpa
Shinya sadari.
“Shinya…”
“Huh?”
“Jangan cuman bilang ‘huh’! Kau menangis?!” Die panik.
“Huh?”
Shinya kelihatan bingung dan tak menyadari airmatanya sendiri. Ia segera
melepaskan genggaman Die dan menyeka airmatanya. Kegugupan membuatnya bingung dan
berlari meninggalkannya. Tapi Die kali ini mengejarnya dan berhasil
menghentikannya. Saat kembali berhadapan Shinya sadar, bahwa hatinya terluka.
Airmatanya tidak bisa dihentikan.
Die memeluknya. Shinya hanya diam. Ini bukan pertama kalinya dia dipeluk
oleh pria ini. Tetapi setiap kali ia merasakan suhu bada dari pria ini seolah
mengajaknya untuk diam. Berada dalam posisi mematungnya dan membiarkan pria itu
meremas tubuhnya sesuka hatinya. Wewangian yang belum pernah Shinya cium
sebelumnya, tak menyengat namun meninggalkan bekas harum yang tak bisa ia
lupakan.
Kedua tangannya kini bergetar, mungkin kini wajahnya memerah karena
panas dan degup jantungnya yang bertabuh begitu keras. Untuk pertama kalinya,
Shinya memiliki perasaan ingin merasakan mengenggam pria ini dengan kedua
tangannya. Hal yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya, Shinya tidak ingin
melepaskannya.
“Gyaaaa!!”
Die dan Shinya terkejut ketika mendengar suara kegaduhan di luar. Mereka
terkesiap. Beberapa saat kemudian seorang prajurit muncul di sana.
“Jenderal, ada hal buruk terjadi!”
****
Mereka berlarian ke arah kerumunan prajurit. Die berteriak menghentikan
suara kegaduhan yang mereka buat. Sekejap semuanya hening dan menyingkir. Di
belakangnya nampak mengikuti langkah Die dengan tergesa-gesa.
Akhirnya mereka sampai di depan gerbang istana. Sesampainya di sana,
langkah Die yang terburu-buru berubah berlari mendatangi sosok Hakuei yang
tengah meringkuk.
“Hakuei! Hakuei!”
Hakuei menoleh, wajahnya pahit. Ia sedang merengkuh sesosok tubuh yang
mengenaskan.
Hyde…
“Hey! Hey!! Hyde!!” Die memanggil-manggilnya. Kaoru ikut mengerumuninya.
“Kenapa? Hey!!”
Wajah dan tubuh Hyde memerah, seperti daging yang matang. Samar-samar
asap terlihat dari tubuhnya.
“Katakan pada kami apa yang terjadi!” Kaoru berkata.
Shinya yang baru muncul terkejut melihat kondisi Hyde yang mengenaskan.
“Apa yang mereka lakukan padamu?!” jerit Hakuei.
Hyde yang sekarat seolah ingin bersuara, tetapi terlalu sulit. Die
mendekatkan telinganya ke dekat Hyde saat ia membisikan sesuatu, wajahnya
seketika berubah.
“…me..reka muncul…ukh…” tuturnya.
“Hyde!!”
Mereka panik, Hakuei memekik kaget saat kedua tangannya terasa terbakar
karena memegangi pria kecil itu. Dari dalam tubuhnya, terlihat aliran terang
seperti lahar yang mulai membakar tubuhnya.
“Hey!! Hyde!!” suara panik itu terdengar semakin riuh.
“..tidak bisa…aku…tidak bisa perang bersama kalian…”
“Woey!! Hyde!!”
Lalu asap mengepul, tubuh Hyde terbakar dari dalam dan perlahan menjadi
abu. Shinya menutup mulutnya dan berbalik tak mampu melihatnya. Die, Kaoru dan
Hakuei hanya bisa menganga melihat kematian Hyde yang mengenaskan. Mereka hanya
diam, sudah tidak mampu melakukan apapun atas kematiannya.
“Siapa yang melakukan ini semua..?” suara Hakuei bergetar.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa di sekitar mereka. Angin besar kemudian
bertiup dan segumpal awan hitam terbentuk di tengah-tengah mereka. Awan hitam
itu berputar seperti typhoon dan mengejutkan mereka saat benda tersebut berubah
menjadi sosok seorang wanita muda.
“Toshiya!” Kaoru terkejut.
Die terbakar amarah dan menarik sebuah busur dari seorang prajurit.
Tanpa basa-basi ia menembakan anak panah tersebut tepat ke kepala Toshiya yang
sayangnya meleset karena Toshiya yang berada di sana hanyalah sebuah bayangan.
“Jenderal Die!” Kaoru menahan pergerakan pria itu.
“Hihihihi… kami menunggu di selatan hutan terlarang. Ahahahahaha!!!”
setelahnya, bayangan Toshiya menghilang.
“Toshiya…”
To be continued…
Daisukeeee
BalasHapusAku cemburu tau.