Author : Duele
Finishing : Januari 2013
Genre : Drama, Romance, AU
Rating : PG15
Chapter(s) : Oneshot
Fandom(s) : DiexShinya
Pairing(s) : Gakuhai
Note Author : Well, sebenernya tokoh utamanya harusnya Hyde dan Gackt, cuman hasratnya kok nyambungnya ke Dieshinya, ya? Forgive my passion, ne~ ^__^;a
*****
Cesssh!!
Roda lokomotif
akhirnya berhenti. Gemuruh suaranya perlahan menghilang di bawah kaki. Dan
suara berisik dari dengung sang lokomotif telah tiada, lirih. Pintu gerbong
yang terbuka tak berdaun, mengijinkan dinginnya angin masuk dan menyapa kulit.
Kuinjakan
pijakan pertama pada lantai semen yang berjarak di bawah kaki. Semilir angin
sudah tak lagi menyapa, namun memindai. Kurapatkan kerah jaket, syal yang
bertumpuk dan embusan asap kebekuanku memuai ke udara. Musim gugur yang
perlahan ikut jatuh terbuai dengan angin timur.
Seperti biasa,
seperti malam-malam sebelumnya. Tak ada penumpang lain. Petugas masinis yang
berganti shift, mencuri kesempatan untuk meneguk hangatnya secangkir kopi malam
ini. Kegiatan menyenangkan yang membuatmu santai, mungkin inilah kesukaan orang
pada pekerjaan beratnya. Terseling dengan baluran momen senang walau acap kali
terbilang datar.
Dan seperti
biasa, seperti malam-malam sebelumnya. Aku di sini, duduk di kursi tunggu baris
pertama di depan stasiun. Menikmati sepi, menikmati mimpi. Sepi yang tenang,
mimpi yang terangkai. Sudah menjadi kebiasaanku menunggu. Hal yang tak pernah
kulewatkan selepas penatku di tempat kerja. Satu-satunya momen terbahagia
seperti sang masinis yang menemukan kehangatan lewat secangkir kopi. Akupun
menemukan kehangatan tersendiri saat yang kutunggu tiba.
Dia baru saja
muncul. Berdiri di sana, dengan jaket hitam berbulunya yang tebal. Syal
berwarna gading terlihat kontras tetapi serasi dengan bentuk wajah dan warna kulitnya
yang kemayu. Menoleh ke arah kanannya, berusaha menembus visi bayang-bayang
lokomotif yang akan tiba. Tapi tak secepat itu bukan? Aku tersenyum. Tak kuasa
kutahan. Senangnya aku melihatmu, lagi, lagi dan lagi. Walau harus kuniatkan
dan kuberikan selisih waktu tidurku. Tak mengapa asal bisa melihat wajah
mengkilap segar dan rona merah muda yang mekar di kedua sisi pipinya.
Serasa melayang
saat melihat kedua mata itu kini berputar, menatap lurus pada pria yang berada
di depanmu, aku. Seringaiku membuatmu malu? Karena kau sembunyikan wajahnya
dibalik syal tebal dengan senyum merekah. Mengatakan aku aneh dan gila. Runutan
yang tak bisa kudengar namun bisa kubaca lewat gerak bibirmu. Aah… sial aku
terjebak dengan bayang mimpi yang kini menjeratku. Saat kedua mata kita
bertemu, aku tahu kita akan menjadi bisu. Sebisu kenangan pertama saat kita bertemu.
Bagai déjà vu.
Kau dan aku bertemu. Selayang pandang membuat kita merunut dalam bisu. Namun
berteriak memecah genderang telinga hati saling menyahut. Aku di sini, kau di
sana. Jarak ini tak pelak menyisakan sedikit tanya, apakah benar dengan semua
monolog yang terekam di kepalaku menjadi nyata? Samakah kita? Isi hati yang
berbunga, entah apa namanya. Namun kurasa, kebahagiaan kecil menyapa. Aku tak
yakin ini cinta. Walau memandangmu setiap kala membuatku terkadang terluka dan
bahagia.
Konyol. Karena
hingga aku merasakan jatuh dalam kubangan asmara, ‘ku tak pernah tahu bagaimana
caranya untuk menyapamu. Ingin rasanya kuajak kau berteduh dan bercakap sekadar
berkenalan. Ingin memuji namun kuyakin kau menganggapku pembual. Namun benar
adanya, jika aku telah jatuh. Aku tak akan mengatakan ini jurang, karena aku
kini terpuruk dalam savanna hijau membentang. Walau kita tidak saling kenal,
tidak saling tahu nama. Siapa engkau, siapa diriku? Tetapi aku tetap merasa
mengenalmu. Kurasa.
Sisiku dan
sisimu sama-sama kosong. Entah bagaimana dengan hatimu, karena hatiku pun
begitu. Bagai tong yang tak terisi air, masih tetap bersih dalam hal
percintaan. Kembali kukatakan, walau ku tak yakin ini cinta. Tetapi isi hati dan
kepalaku penuh dengan ungkapan-ungkapan asmara. Membuncah!
Mengapa kau
tetap menatapku? Mengapa tersenyum kepadaku?
Ah, mungkin
benar kau sedang memojokanku dengan prasangka-prasangka buruk. Sakit jiwa, hal
yang membuatmu merasa lucu dan aneh. Sedikit sedih jika kau benar memikirkan
itu. Walau sepertiganya kuiyakan, aku gila. Karenamu.
Dia bergerak,
duduk di kursi tunggu di sebrang sana. Kulakukan hal yang sama, duduk
bersamamu. Walau sisiku dan sisimu berbeda, tak mengapa. Kau bersandar, aku
juga. Kau mengangkat kaki, akupun bisa. Tawamu mengejutkan, karena kemewahan
dari kecantikan paras seseorang seolah tak ternoda. Dimataku kau sempurna.
Dia
menggelengkan kepalanya, menyembunyikan tawanya dibalik tangannya yang
terbalut. Kali ini tawanya mereda, helaan nafasnya menghentikan pesonanya. Ia
menunggu, sama sepertiku. Dan kembali kebisuan itu seperti menjenggut
kebahagiaanku.
Bagiku,
memandangimu sudah cukup membunuh waktu senggangku. Kata bosan sudah tak nampak,
terinjak dengan kata senang. Jika saja kau hiraukan aku, mungkin senang itu
akan berlipat ganda. Oh, bukan, mungkin akan lebih. Tetapi kau acuh. Bahkan tak
sekalipun kau tengok pria pemujamu yang telah berkerak menunggu senyum atau
lirikan kecil dari cantiknya kelopak matamu. Kau tetap menatap gerbong. Menatap
garis sepi yang tak pasti.
Setengah jam aku
membisu. Berlumut dalam lendir kebosanan yang hampir membuatku menghilang. Kau
tetap dengan sikapmu yang mengacuhku. Diam dan sibuk dengan dirimu sendiri.
Sengaja atau tidak, itu cukup membuatku sedikit kesal.
Ding. Dong.
Ding. Dong.
“Hhhh!!”
Aku bangkit
dalam kepayahanku, satu jam yang cukup menyenangkan. Tetapi selalu berakhir
menyebalkan saat sirine peringatan itu berbunyi. Tanda bahwa kereta selanjutnya
akan segera tiba. Dan itu akan mengakhiri pertemuan kita.
Kau yang telah
berdiri di hadapanku ternyata terlalu baik karena tetap memberikan senyum. Ada
getir saat kau melakukannya di saat-saat bahwa kita akan segera berpisah.
Penjemputmu sudah tak akan lagi menunggu lama. Saat dengung mesin lokomotif
meronta, merajuk-rajuk dan menghembuskan ketegangannya. Asap mengepul hebat
menciderai pandangan. Bersihnya malam tertutup kabut setengah coklat kehitaman.
Aku mual. Aku sebal. Kecepatan monster besi itu mampu menghantarkan kebekuan yang
mendinginkan kembali seluruh raga. Tak kenal ampun kau menebas benang merahku
dan melepaskannya begitu saja. Diterjang moncong besi yang berkata bahwa telah
tiba saatnya aku pulang. Menikmati lagi kesendirian dalam kalut.
Mungkin ini
saatnya untuk mengucapkan ‘Selamat
tinggal’. Tidak. Karena aku tidak pernah ingin berhenti. Mungkin ‘Sampai ketemu lagi’ lebih baik. Karena
malam-malam berikutnya aku akan menemukanmu lagi di sana. Berdiri di sisi yang berbeda
dari tempatku berdiri. Sisi yang tak pernah kusinggahi jikalau ada kau. Sisi
yang terpaut dekat namun sulit kujangkau, karena kau. Sisi yang tak kusadari
perlahan hilang.
Ding. Dong.
Ding. Dong.
Aku menyeret
diri dengan luka. Kekecewaan menandai akhir dari malam ini. Sama seperti
malam-malam sebelumnya, berakhir seperti ini. Aku datang, dan kau pergi.
Jeessshhh!!
Sekali lagi
kubiarkan rambutku terbuai dengan dahsyatnya sapuan angin dari kereta
penjemputmu. Kupastikan bahwa kau benar-benar pergi malam ini. Sehingga aku tak
pernah berharap bahwa mungkin saja kau akan tinggal dan menatapku dari sisi
tempatmu berdiri. Karena itu tidak mungkin.
Dengung mesin
itu mulai bergerak. Suara berat saling adu besi dengan roda membuatku kuping
terasa pengang. Dan aku menatap ke langit, saat bulan penuh menyinari. Ia akan
menjadi lampion penyinar dalam jalanku menyusur kepekatan malam hari ini.
Pencerah bagiku yang telah meredup saat ini. Payah!
Langkahku yang
terseok mendadak kaku, kepalaku, mataku, bibirku semuanya kelu.
Kau berdiri di
sebrang sisi itu. Di sana. Di sisi dimana kau memandangiku dengan senyummu. Apa
kau berharap hal yang sama? Kurasa iya. Saat kau memintaku untuk duduk di
sebelahmu. Menunggu untuk kedatangan keretamu selanjutnya. Tetapi kali ini kita
berada di satu sisi, kau dan aku.
“Shinya. Namaku
Shinya...”
Kau tak akan
pernah tahu, Shinya. Mengetahui namamu adalah pencapaian terhebat dalam
hidupku. Tetapi akan terasa sangat luar biasa jika kau mau menjadi pendampingku.
“Aku Daisuke…”
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar