Title : EXODUS
Author : Duele
Finishing : Agustus
– September 2013
Genre : Fantasy, Adventure, Action
Rating : PG15
Chapter(s) : 19/on
going
Fandom(s) : Dir
en Grey, Hakuei (Pennicilin), Hyde
Pairing(s) :
DiexShinya
Note Author : Thanks
for keep reading :*
****
Toshiya kembali ke tempat persembunyiannya.
Dengan kekuatannya ia membuat sebuah cermin perantara yang mampu membuatnya
melihat keadaan siapapun yang ia ingini. hal yang pertama yang ia lihat adalah
rombongan Kaoru yang kelihatan ya masih baik-baik saja. Sebelum ia berpisah
dengan Kaoru tadi, Toshiya sudah memberitahukan lokasi prsembunyian Ursula.
Walaupun tak yakin dengan kekuatan mereka, namun Toshiya sudah berniat untuk membantu mereka. Walaupun ia sendiri tak yakin apakah
ia mampu membantu mereka untuk mengalahkan Ursula. Terlebih lagi dengan
kecurigaannya terhadap ritual yang tengah Ursula lakukan bebrapa tahun ini.
Jika ia tidak salah menilai dengan segala korban dan tumbal yang ia hisap sari
kehidupan dan darahnya, Ursula sedang melakukan sebuah ritual pembangkitan
iblis.
Ritual yang hanya mampu
dilakukan oleh penyihir yang sudah memiliki ilmu yang sangat tinggi. Resikonya
pun sangat besar. Yaitu, setelah iblis berhasil dibangkitkan maka makanan
pertama yang akan dimakan oleh iblis adalah penyihir itu sendiri. Daging dan
darahnya akan menyatu bersama iblis dan secara tidak langsung menbuatnya
menjadi iblis. Jika pemikirannya benar maka dunia ini akan segera berakhir. Dan
Toshiya pun tak yakin suatu saat dia akan dibiarkan hidup atau ikut binasa
dengan semua makhluk yang ada di dunia. Namun mencoba membunuh Ursula sekarang
jika hanya dengan kekuatannya saja ia rasa tak akan cukup.Ia butuh sekutu. Dan
ia menemukan sekutu yang menurutnya bisa membantunya untuk melenyapkan Ursula.
****
“Kau
yakin jalannya ke arah sini?” tanya Die.
"Instingku
mengatakan demikian." Kaoru turun dari kudanya.
Mereka
semua singgah di sebuah hutan di tempat antah berantah. mereka mencoba
mengumpulkan makanan untuk persiapan selanjutnya. Sementara Hyde yang benci
matahari bersembunyi di dalam kereta, mereka yang lain pergi mencari bahan-bahan
lain. Kaoru dan Hakuei mencari makanan, Shinya berniat untuk mencari ramuan
obat.
Saat
ia menyusuri isi hutan dan memetik beberapa tanaman obat, Shinya melihat Die
yang sedang duduk berdiam diri di tengah hutan. Entah apa yang ia lakukan.
tiba-tiba ia melihat suatu sinar yang memancar di dada Die. Sinar itu berasal
dari kalung yang Die pakai. Shinya mengerutkan alisnya ketika Die beranjak dari
sana. Shinya mengikuti diam-diam kemana pria itu pergi.
Pemuda
itu seperti digiring ke suatu tempat oleh kalung itu. Shinya semakin curiga.
Kalung itu bukanlah kalung sembarangan. Karena dari jauh pun sebetulnya Shinya
mampu merasakan aura kekuatan yang sangat besar yang terkandung di dalam bandul
kalung tersebut. Namun Shinya belum bisa memastikan kekuatan macam apa yang
tersimpan di dalamnya.
Shinya
kehilangan jejak Die. Pria itu menghilang. Tapi saat Shinya berusaha
mencarinya, tiba-tiba dia muncul di depannya dan mengejutkannya.
“Kenapa membuntutiku?” tanya Die.
"Aku
melihat kau berjalan tak tentu arah. Aku pikir kau mabuk." jawab Shinya
asal. namun Die sepertinya sadari bahwa sejak tadi yang Shinya perhatikan
adalah kalungnya. Die mengeluarkannya dari balik bajunya. "Kau juga
tertarik dengan benda ini?"
Shinya
menatapnya.
"Kau
tahu benda macam apa ini? Benda ini sulit sekali aku lepaskan." Die
mencoba menariknya lagi, tetapi tetap saja talinya tidak mau putus. "Aku
juga sudah mencoba memutuskannya dengan pedangku, tapi benda ini seperti
memiliki kekuatan yang tidak bisa dipatahkan."
Saat
Die berkata demikian, tangan Shinya sudah singgah di dadanya dan menyentuh
bandul kalungnya. Ia memejamkan matanya sesaat dan tersenyum kemudian.
"Ini
jimat pelindung. Tidak ada kekuatan jahat yang terkandung di dalamnya. Kau
tidak perlu khawatir. Jimat ini melindungimu dan membawamu untuk menjauhi
hal-hal yang jahat."
Shinya
tersenyum dan menurunkan tangannya. Tetapi Die memeganginya. Shinya
terperanjat. Tapi Die menatapnya dengan begitu lembut. Shinya merunduk di sana.
Merasakan sentuhan tangan Die yang menjalar dari pergelangannya menuju punggung
tangannya. Ia mampu merasakan telapak tangan Die memeganginya dan mengikatnya
erat namun tak menyakitkan.
“Aku
harus mengakui satu hal padamu,” ujar Die, Shinya mencoba melihat matanya,
“dulu aku sangat membenci siapapun yang ada hubungannya dengan penyihir,” ia
menjeda, “tetapi…sekarang rasanya perasaan itu mulai hilang, karenamu.”
Shinya
menunduk lagi.
“Mungkin
kau sekarang masih membenciku dengan segala perlakuan kasarku terhadapmu sejak
pertama kali kita bertemu,” Die mencoba melihat Shinya yang tertunduk, “Aku
minta maaf.” Shinya masih tidak menjawab, rasanya ia gugup.
Kabut
mulai turun. Sekeliling mereka mulai memutih. Shinya mencoba mengalihkan
perhatiannya. Tapi Die sepertinya tidak terlalu tanggap dengan itu. Justru dia
mengambil tangan Shinya yang lain dan memegangnya. Mata Shinya membulat.
Seharusnya
dalam keadaan itu Shinya mampu memecahkan sunyi di antara keduanya dengan
sebuah pertanyaan yang datar. Tetapi Shinya sudah kaku lebih dulu. Saat Die
meletakan kedua tangannya pada dadanya, Shinya mampu merasakan detak jantung
pria itu berdebar keras. Hal yang Shinya tak pernah sadari sebelumnya dan
membuatnya menjadi sangat gugup. Ironisnya, hal yang sama kini merasuki Shinya.
Dadanya berdegup lebih keras. Wajahnya rasanya tak ingin ia perlihatkan pada
siapapun. Namun saat itu hanya Die yang ada di sana. Shinya tidak tahu apa yang
sedang merasuki Die saat itu ketika dia mencoba menyongsong wajah Shinya yang
merunduk. Shinya menolak tapi beberapa kali Die berusaha dan Shinya
terperangkap.
Dalam
lebatnya kabut yang melapisi hutan saat itu, Shinya hampir tak mampu melihat
sekelilingnya, kecuali wajah Die dan
suhu panas wajahnya yang kini bersentuhan dengannya. Sampai Shinya sadar ia
harus menghentikan ini.
"Ja-jangan...!"
Shinya melepaskan diri tapi tidak mampu beranjak dari sana, Die masih memiliki
kedua lengannya. Tapi sungguh Shinya juga tidak bisa berdiri dengan baik. Kedua
kakinya serasa lemas dan matanya menolak untuk melihat wajah Jenderal di
depannya saat itu. Tidak, bukan rasa benci. Melainkan perasaan malu. Perasaan
malu yang seperti sedang telanjang di depan orang lain.
“Le-lepaskan
aku,” Shinya harus menghentikan ini. Ia harus menghindari hal semacam ini.
Tetapi Die menahannya. Saat kedua mata mereka bertemu, Shinya merasakan ada
sesuatu yang menusuk jantungnya saat itu. Entah apa, namun terasa begitu sakit
dan nyata. Hingga degup jantungnya berdebar tak keruan. Ia berusaha melepaskan
pegangan Die yang masih menahannya di sana. Shinya benar-benar gugup!
“Aku
menyukaimu, Shinya…!”
Rasanya
raga Shinya terlepas.
****
Shinya
kembali ke tempat awal dimana mereka semua berkumpul. Saat itu kabut sudah
semakin tebal dan hampir menutupi seluruh hutan. Hakuei dan Kaoru sudah
menyiapkan kereta mereka yang ditutupi dengan terpal yang diikat pada kayu yang
ditancapkan ke tanah. Hyde sudah menyalakan lampu minyak, ia meggantungkannya
di sisi kedua sisi kereta. Sementara Kyo masih berbaring di dalam. Mereka semua
sepakat untuk bermalam di sana hingga kabut hilang.
“Kabut
semakin tebal, sebaiknya kita cepat berkumpul. Hawanya juga sudah mulai
dingin,” kata Kaoru mengambil selimut
dari dalam kereta.
Hakuei
yang tidak melihat kemunculan Die saat Shinya datang menanyakannya. “Loh, di
mana Jenderal Die?”
Mereka
semua terdiam.
****
Die
duduk menatap aliran sungai kecil yang mengalir tenang. Walaupun di sekitarnya
sudah mulai diselimuti oleh kabut dan hawa dingin mulai menusuk, namun ia tetap
di sana. Bercengkrama dengan kedua teman lamanya, logika dan perasaannya. Meskipun
kelihatannya ia tenang, tapi sesungguhnya di dalam kepalanya sekarang dia
sedang bertengkar hebat.
Pengakuannya
terhadap Shinya barusan jelas membuatnya hampir gila. Apa yang ia katakan
sebenarnya memang tidak bisa dielakan lagi. Namun ada yang merongrong
perasaannya karena logikanya mengatakan ini bukanlah sesuatu yang bagus. Apa
yang akan Shinya pikirkan tentangnya? Apakah benar tindakannya dengan
mengatakan demikian? Walau di sisi lain hatinya ia sedikit lega telah
mengatakannya, tapi ada lubang penyesalan yang sekarang tergali dalam.
Karena
baru kali ini Die merasakan perasaan seaneh ini. Tetapi dengan lugas dapat ia
katakan bahwa ia menyukai sang penyihir. Tapi terkadang Die ragu, apakah benar
ini perasaan suka atau hanya perasaan lain. Ia masih suka kepada putri-putri
cantik. Tetapi baginya Shinya pun cantik dan spesial.
“Aah,
mikir apa aku ini?!” Die menepuk keningnya.
Dari
balik hutan, Kaoru dan Hyde yang cemas akhirnya turun dan mencari Die. Mereka
memanggil-manggil nama Die namun tak ada respon.
“Apa
mungkin dia sudah kembali ke tempat kita?” Hyde melirik Kaoru.
“Entahlah.
Mungkin iya, mungkin tidak.”
“Baik,
kita cari dia lagi. Sepuluh menit tak ada respon, kita harus segera kembali.”
Setelah
mereka melanjutkan perjalanan beberapa langkah dari sana, Hyde kemudian jatuh
setengah berlutut. Tubuhnya gemetaran hebat. Kaoru menjadi panik. “Kau
kenapa?!”
“Kaoru
kita harus segera kembali ke perkemahan!” Hyde panik.
“Kenapa?”
“Pemakan
arwah!”
Kaoru
tak mengerti dengan apa yang ia katakan, saat beberapa detik kemudian dari
balik hutan muncul sekelebat bayangan dengan jubah serba hitam mengapung di
udara. Mereka terbang dengan cepat dan muncul di hadapan mereka secara
mengejutkan. Bahkan Kaoru tidak sempat mengambil pedangnya saat mereka
menyerangnya.
Gabruk!
Hyde
jatuh ke tanah, ia merasa tubuhnya sekarat. Kaoru terliputi dengan serangan
kejut saat makhluk-makhluk itu mengenai dirinya dan tembus begitu saja seperti
hantu! Kaoru jatuh terduduk dengan jantung yang berdetak hebat. Pemakan-pemakan
arwah itu mengelilingi mereka dan mencoba mengambil arwah mereka. Hyde diserang
dan arwahnya tengah dimakan sedikit demi sedikit.
“Hhhhkkk
kkkk!!” Matanya membulat, kulitnya kian memucat. Hal yang sama terjadi pada
Kaoru yang sedang dihisap arwahnya oleh sang pemakan arwah. Mata Kaoru
membelalak besar saat ia bisa melihat wajah sang pemakan arwah dengan begitu
dekat. Mereka semua tidak memiliki wajah. Mereka tak memiliki tubuh, namun
cekikannya terasa begitu menyakitkan. Kaoru merasa ujung kakinya mulai melumpuh
dan sesuatu yang begitu berat sedang dipaksa keluar dari tubuhnya.
Dash!!
Syung!
Angin
besar berhasil menghantam para pemakan arwah itu. Toshiya segera mengambil
tubuh Kaoru dan Hyde yang lunglai dan kabur kembali ke dalam lubang hitam.
Toshiya terjatuh bersama kedua orang itu. Hampir saja dirinya ikut menjadi
korban para pemakan arwah itu. Karena sebelum ia berhasil kabur, salah satu
pemakan arwah itu sempat menarik tubuhnya kembali. Jelas mereka bukanlah
sesuatu yang dibuat oleh sihir sehebat apapun. Mereka adalah iblis!
Sepertinya
apa yang Toshiya bayangkan sebelumnya akan menjadi tragedi terburuk dalam
sejarah.
****
Die
yang kembali ke perkemahan disambut wajah cemas Hakuei. Ia menanyakan tentang
Kaoru dan Hyde yang mencarinya. Die menjadi panik. Ia berniat untuk mencari
mereka, tetapi Kaoru dan Hyde sudah keburu muncul. Walaupun dengan kondisi yang
lemas.
“Apa
yang terjadi?!” Die membantu Kaoru berbaring. Sementara Hyde sepertinya
sekarat.
“Kami
diserang pemakan arwah,”
“Huh?”
Shinya
dan Kyo menoleh bersamaan. “Pemakan arwah kau bilang?” Kyo mengulang.
“Itu
yang Hyde bilang,” Kaoru mengiyakan. “Mereka muncul benar-benar cepat. Mereka
seperti hantu dan salah satunya menembus di badanku!”
“Kalau
begitu kita harus segera pergi dari sini!” Shinya berkata.
Mereka
segera meninggalkan hutan itu walaupun kondisi sedang berkabut. Kali ini Die
sendiri yang mengendalikan kemudi bersama Hakuei. Sementara Shinya mengurus
ketiga orang yang sekarat itu. Perlahan kondisi mereka sudah mulai membaik.
“Pemakan
arwah? Seperti apa bentuknya?”
“Menurut
buku mereka seperti malaikat pencabut nyawa.” Jawab Hakuei, bulu kuduknya
merinding.
“Tapi
dari mana mereka muncul?”
Hakuei
menggeleng tak tahu. Shinya muncul dari dalam mulut kereta. “Seharusnya mereka
tidak muncul,”
“Lalu
kenapa mereka sekarang muncul?”
“Mereka
dipanggil,”
“Apa?
Oleh siapa?”
“Seseorang
atau sebuah kaum yang melakukan ritual pemanggilan iblis, atau yang lebih buruk
pembangkitan sesuatu yang bersifat jahat.”
“Apa
kau pikir ini ulah Ursula?” Die menoleh pada Shinya.
“Aku
tidak tahu, tapi bisa saja.”
“Argh!!
Kenapa penyihir jahat itu melakukan ini?! Apa yang sebetulnya sedang ia
rencanakan!?” Die menjerit kesal.
Sesaat
mereka semua terdiam,
“Tapi
Jenderal, kenapa kau tidak bertemu dengan pemakan arwah itu?” cetus Hakuei.
“Maksudmu?”
“Saat
kau datang, mereka baru saja diserang. Melihat dari darimana kau muncul juga
mereka, bukankah kalian berada di jalan yang sama? Kalau pun kau tidak
berpapasan dengan mereka, setidaknya kau pasti bisa merasakan sesuatu yang aneh
dengan suara-suara yang berisik atau…”
“Aku
tidak mendengar apapun.” Jawab Die cepat. “dan aku tidak melihat siapapun di
jalanku,”
Hakuei
dan Shinya saling menatap. Die menatap keduanya dengan perasaan yang aneh.
Kenapa Die tidak melihat para pemakan arwah itu?
****
Kereta
mereka mulai melambat pada siang hari. Jenderal Die kelihatan sudah mulai lelah
karena semalaman tidak tidur. Hakuei sudah menguap beberapa kali.
“Jenderal,
sekarang kita mau kemana? Sekarang kita jadi tidak tentu arah begini…” keluh
Hakuei.
“Kita
harus menemukan desa terdekat untuk mencari tempat menginap dan membeli
persediaan makanan,”
“Tapi
ke mana?”
Shinya
yang mendengar percakapan mereka teringat sesuatu saat tangannya tidak sengaja
menemukan sesuatu di saku gaunnya.
“Aku
tahu harus ke mana!”
****
Atas
petunjuk Shinya, mereka akhirnya mencari arah ke kerajaan Savalis –sesuai yang
tercantum di stempel yang Shinya miliki. Akhirnya mereka sedikit mengubah
rencana awal mereka. Kali ini mereka akan mencoba mendatangi kerajaan Savalis
dan meminta bantuan dari kerajaan itu untuk memerangi Ursula. Hakuei yang
berpengetahuan lumayan, ternyata tahu bahwa kerajaan Savalis adalah kerajaan
makmur dan besar yang terletak di negeri Savador. Savalis dikenal sebagai kerajaan
yang maju dengan hasil bumi yang melimpah ruah dan negeri yang kuat. Samar Die
juga ingat bahwa ada satu kerajaan yang hingga saat ini belum pernah mereka
tandingi karena kehebatan senjata perang dan rencana yang brilian. Walau ia tak
yakin benar apakah Savalis adalah kerajaan yang dimaksud. Tetapi mereka akan
mencobanya.
Sehari
semalam mereka berjalan tanpa berhenti. Hakuei akhirnya kelelahan dan
beristirahat. Die memegang kemudi sejak kemarin hingga hari ini. Tanpa lelah ia
terus mengarahkan kuda-kuda mereka ke negeri Savador. Hingga malam berikutnya
perjalanan mereka masih belum menemukan ujungnya. Hingga hari berikutnya saat
posisis pengemudi digantikan oleh Hakuei, tiba-tiba saja kereta mereka
berhenti.
Kuda-kuda
mereka panik dan melonjak ketakutan saat beberapa orang muncul dan menghadang
mereka. Hakuei kewalahan menenangkan kuda-kudanya. Akibatnya mereka yang berada
di dalam kereta berayun dan panik satu sama lain. Die dan kawan-kawannya turun,
tapi di depan mereka sudah muncul orang-orang bersenjata dengan tubuh yang
tinggi besar. Sepertinya mereka perampok. Shinya yang hendak turun di tahan
oleh Hyde yang bersembunyi di balik selimut.
“Serahkan
harta kalian!” gertak salah seorang yang lebih besar. Die dan Kaoru saling
menatap.
“Kami
bukanlah orang kaya,” kata Kaoru.
“Kalau
kalian tidak ingin mati, maka segera serahkan harta kalian. Kelihatannya kalian
bukanlah orang sembarangan,”
Tangan
Die merayap ke sarung pedangnya, tapi salah satu mereka segera mencegahnya. Die
dijatuhkan ke tanah dan diringkus. Kaoru panik.
“Jangan
sakiti dia!”
Die
dipaksa berlutut, kepalanya diinjak ke tanah. Die menggeram kesal, tetapi kedua
tangannya dipegangi sangat kuat. Dari dalam Shinya meringis. Melihatnya mereka
meminta Shinya dan orang-orang yang masih ada di dalamnya untuk keluar. Mau tak
mau mereka keluar juga. Tapi Hyde tetap bersembunyi di sana. Melihat itu salah
satu perampok itu memaksa masuk ke dalam kereta.
“Lebih
baik jangan!” tukas Hakuei.
“Heuh!
Memangnya apa yang kalian sembunyikan?”pria berkepala botak itu tersenyum
mengejek. Kemudian ia masuk dan melihat Hyde yang tertidur di dalam,
“Hoo…ternyata masih ada orang di dalam,” ia menarik Hyde keluar dari
selimutnya, tiba-tiba matanya memerjap dan menggeram. “Hoaaa!!!”
Mereka
semua menjadi panik, saat itulah Die dan yang lainnya menyerang. Hakuei
mengambil pedangnya di dekat kursi kemudi dan segera menyerang si perampok. Dan perkelahian itupun tak terhindarkan. Kyo
tiba-tiba muncul di atas kereta dan menyerang para perampok itu dengan
taringnya. Perkelahian itu ternyata terlihat oleh salah seorang prajurit yang
sedang berpatroli dan ikut membantu mereka untuk menyergap para perampok itu.
Beberapa prajurit berkuda datang berbondong-bondong dan melawan mereka.
Walaupun akhirnya para perampok itu berhasil kabur, rombongan Jenderal Die
berhasil selamat.
“Kami
berasal dari negeri yang jauh,” Kaoru tengah menjawab pertanyaan sang kepala
prajurit yang menanyai mereka.
“Kemana
tujuan kalian?”
“Kerajaan
Savalis,”
Sang
kepala prajurit menoleh ke beberapa anggotanya, “Itu kerajaan kami. Apa yang
kalian cari?”
Shinya
merogoh sesuatu dari kantungnya dan memperlihatkan stempel kerajaan yang ia
miliki, “Kami mencari pemilik dari stempel ini,”
“Oh…!”
dan entah mengapa, mereka semua serentak tunduk dan berlutut memberi hormat
pada Shinya.
****
“Kereen!!
Shinya keren sekali!” Hakuei memujinya sepanjang perjalanan. Die bermuka masam.
Sementara Kaoru tersenyum-senyum saja.
Mereka
berempat digiring ke dalam kerajaan, tempat itu sungguh besar. Mungkin dua kali
lipat besarnya dari kerajaan tempat Jenderal Die dan Kaoru. Sekitarnya begitu
indah dengan padang luas dan kebun bunga yang sangat luas. Bahkan ketika mereka
melewati desa-desa kecil di bawah kerajaan semua orang di sana kelihatan begitu
senang dan ramah pada mereka. Kerajaan Savalis benar-benar kerajaan yang
makmur. Namun aneh dengan kerajaan semegah dan semakmur ini masih ada perampok
berkeliaran di luar sana.
“Iya,
para perampok itu tiba-tiba saja muncul. Dulu sepanjang hutan tidak pernah ada
perampok. Tapi kalian tenang saja, selama berada di kerajaan ini keamanan para
rakyat selalu kami jaga.” Kata sang prajurit yang membawa mereka ke dalam
kerajaan.
Sampai
di dalam istana mereka bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik. Walaupun
wajahnya yang cantik tidak bisa menyembunyikan umurnya. Dia seperti wanita
dewasa yang sudah berumur. Mungkin dia adalah permaisuri dari Raja.
“Ratu,”
kepala prajurit berlutut memberi hormat. Die dan kedua temannya yang lain
membungkuk. Shinya ikut-ikutan.
“Siapa
mereka?”
“Saya
menemukan mereka tengah dirampok di hutan, maka dari itu…” sang prajurit
mendekati Ratu dan membisikan sesuatu, setelahnya Ratu seperti terkejut tapi
kemudian dia kembali bersikap biasa.
Ratu
mendekati mereka, dan berhenti tepat di depan Shinya. “Benarkah kau seorang
tabib?”
“Huh?”
Shinya terdiam.
Die
mengerutkan keningnya, wajahnya jadi aneh. Kaoru dan Hakuei tidak bisa
menyembunyikan rasa bingungnya juga.
“Tolong
selamatkan Putraku,” ujar Ratu.
****
Die
menatap lorong istana yang panjang dari pintu kamarnya. Secara mengejutkan
mereka dipersilahkan untuk beristirahat. Die, Kaoru dan Hakuei mendapatkan
kamar yang berdekatan, sementara Shinya dibawa ke tempat lain.
“Shinya
diperlakukan istimewa di sini,” celetuk Kaoru.
“Memangnya
apa hubungan Shinya dengan kerajaan ini?” Hakuei muncul.
“Kau
lupa bagaimana Shinya mendapatkan stempel kerajaan itu? Shinya bertemu dengan
Raja dan membantunya untuk mengobati para prajuritnya yang sekarat. Maka Raja
memberikan stempel pribadinya untuk Shinya supaya ketika mereka bertemu Raja
bisa mengenalinya dan membalas budi,” jelas Kaoru.
“Raja
yang ditolong Shinya itu ternyata penggosip,” tukas Die.
“Eh?
Apa yang kau bicarakan Jenderal,”
“Iya,
dia sampai menggosipkan bahwa Shinya itu adalah seorang tabib, sampai seluruh
istana tahu dan langsung mengenalinya. Padahal di kerajaan seluas ini tidak
mungkin tidak ada tabib hebat. Kenapa dia harus mengagung-agungkan Shinya yang
hanya tabib kenalan dari luar?”
“Mungkin
Shinya itu istimewa Jenderal,”
Die
beranjak dari sana dengan muka kesal, “..ck! Justru itu yang aku tidak suka.”
Rutuknya pelan.
****
“Oh,
Shinya!”
Shinya
bertemu lagi dengan Yoshiki, Raja dari kerajaan Savalis. Namun kali ini
kondisinya sedikit berbeda dari yang sebelumnya. Sesuai yang ia dengar dari
Ratu, Yoshiki tengah mengidap suatu penyakit yang aneh. Sudah hamper satu bulan
ini sejak ia kembali dari medan pertempurannya melawan pasukan kegelapan
kondisi kesehatannya menurun drastis. Sudah berpuluh-puluh tabib yang mencoba
menyembuhkannya angkat tangan dan menyerah dengan penyakit yang ia derita. Dan
kini, Raja yang selalu tersenyum pada siapapun itu sekarang hanya bisa
terbaring di ranjang agungnya.
“Aku
tidak mengerti gejalanya, tapi setiap malam aku merasa badanku terbakar. Sakit
sekali. Saking sakitnya terkadang aku sampai tak sadarkan diri. Aku merasa ini
bukanlah penyakit biasa.” Keluhnya.
“Apa
sebelumnya kau makan sesuatu atau melakukan sesuatu yang jarang dilakukan oleh
orang lain?”
Yoshiki
mengingat-ingat lalu menggeleng, “…kurasa tak ada.” Ia menghela berat.
Shinya
tidak mendapatkan petunjuk sama sekali. “Kapan biasanya rasa sakit itu muncul?”
“Biasanya
mendekati tengah malam,” Yoshiki melihat Shinya yang kelihatannya sedang
berpikir keras. “Kau juga mungkin berpikir bahwa ini bukanlah sebuah penyakit
bukan?” Mereka saling menatap. “Apa mungkin aku sudah terkena kutukan
seseorang?”
Shinya
menunduk, “Aku tidak tahu. Tapi aku akan berusaha menolong semampuku.”
Jawabnya.
“Terima
kasih, Shinya… Itu cukup membuatku sedikit lebih kuat.” Ujarnya tersenyum.
“Aku
akan mencoba membuatkan obat penghilang rasa sakit. Aku harap itu akan
membantumu,”
“Terima
kasih.”
Shinya
keluar dari kamar Raja dan berjalan gontai. Di tengah jalan dia bertemu dengan
Die yang kelihatannya sedang menunggunya. Shinya menunduk saja dan mencoba
menghiraukannya. Saat Shinya melewatinya begitu saja, Die tahu ini bukan sesuatu
yang penting untuk menanyainya sekarang.
“AARGGH!!”
Shinya
baru saja akan ketika ia mendengar suara jeritan itu ia langsung melompat dari
tempat tidurnya dan bergegas keluar dari kamarnya. Beberapa prajurit berlarian,
dari arah berlawanan Ratu dan beberapa dayang berlarian menuju satu kamar;
kamar Raja.
Yoshiki
menggelinjang di atas ranjangnya, dengan keringat dan jeritan kesakitannya.
Tubuhnya memerah dan keringatnya membanjiri seluruh tubuhnya. Ia merintih dan
menjerit hingga membuat semua orang panik.
“Yang
Mulia! Yang Mulia!!”
“Seseorang
tolong bantu memeganginya!”
Suasana
itu memang sudah kerap kali terjadi, namun tetap saja membuat mereka sibuk dan
cemas dengan keadaan sang Raja yang aneh. Penyakit yang dideritanya tak kunjung
sembuh walau pun sudah mencoba beberapa kali cara pengobatan, bahkan teraneh
sekalipun. Hasilnya tetap sama saja. Nihil. Penyakitnya sama sekali tak hilang,
justru kelihatannya semakin parah saja.
“Yang
Mulia!” Ratu mencoba mendekat, tetapi dihalau oleh penasihat dan dayangnya.
“Hati-hati,
jika sedang begini penyakitnya bisa menular!”
“Apa?!”
Mereka
yang belum tahu tentu akan merasa kaget. Sungguh seram mengetahui bahwa
penyakit aneh ini bisa menulari siapapun yang mendekatinya. Shinya muncul
dengan sekantung obat, ia mencoba mendekati Raja tetapi dihalau oleh beberapa
prajurit dan dayang.
“Anda
bisa tertular!”
“Kalau
kalian diam saja dia bisa semakin parah!” tandas Shinya.
Melihat
kericuhan tersebut, Die justru mendekat dan memegangi Raja yang tidak tenang.
“Me-menyingkirlah,
kau bisa tertular oleh penyakit ini…”
“Aku
tidak akan diam saja melihat orang kesusahan seperti ini!” jawab Die. “Shinya
cepat obatnya!”
Shinya
segera menyambar sebuah cawan dan meracik obat, dengan cepat dia memberikan
obat tersebut dan membantu meminumkannya kepada sang Raja yang menderita. Dan
ajaibnya, rasa sakit yang menyergap tubuh Raja berangsur hilang. Hingga
setengah jam kemudian, dia bisa merasakan tubuhnya kembali. Warna merah yang
seolah membakar tubuhnya hilang perlahan. Mereka semua yang menyaksikan hal itu
benar-benar takjub dan mengagumi kehebatan Shinya sebagai seorang tabib.
Tubuh
Raja melemas, wajahnya yang lesu kelihatan terlelap. Die membantu
membaringkannya. Setelah tenang, Ratu mendekatinya dan merawat Raja dengan baik.
“Apakah
Raja sudah sembuh?” Tanya penasihat Istana.
“Belum,”
jawab Shinya kecewa. “Itu hanya obat penghilang rasa sakit. Sebenarnya
penyakitnya belumlah sembuh,”
“Tapi
mungkin dengan meminum obatmu setiap kali penyakitnya kambuh itu akan
membuatnya bertahan,”
“Itu
tidak akan lama, ini hanya bersifat sementara. Kalau kalian memang mau
melenyapkan penyakitnya, lenyapkan dari akarnya.”
Shinya
segera beranjak keluar, diikuti oleh Die dan kedua temannya yang lain.
“Apa
yang kau berikan padanya?” Tanya Die.
Shinya
berhenti dan berbalik.
“Obat
dan air suci.”
“…air
suci?”
****
“Jadi
maksudmu dia kerasukan?” Hakuei membuka pembicaraan dengan wajah yang panik.
“Aku
tidak yakin,” Shinya menjawab pelan.
“Tapi
obat yang kau campurkan dengan air suci itu bekerja sangat bagus.” Ujar Die.
“Aku
tidak memikirkan untuk mencampurkannya dengan obat. Tapi, saat aku melihat
matanya aku tahu ada sesuatu yang menempel ditubuhnya,”
“Hantu!?”
Hakuei mendelik ngeri.
Shinya
menunduk.
“Kurasa
bukan,” jawab Die, “Ini seperti… kekuatan gelap seperti,”
“…sihir.”
Shinya melanjutkan.
“Tapi
ini kasusnya mirip dengan penyakit Pangeran Die dulu,” kata Kaoru. “Kalian
ingat saat Pangeran Die terkena racun dan tangannya melepuh seperti terbakar?
Bukankah itu hampir mirip?”
“Tidak,
itu berbeda.” Shinya menjelaskan lagi, “Yang diidap oleh Raja adalah sihir yang
sudah bercampur dengan kekuatan gelap. Ini seperti ada sesuatu yang hidup yang
ikut menempel di jasadnya.”
“Hantu!?”
Hakuei mendelik lagi.
“Aku
bingung menjelaskannya, tapi yang jelas jika Raja tidak segera disembuhkan, dia
bisa mati.”
Duk!
Duk! Duk!!
Tiba-tiba
mereka terkejut karena suara pintu yang digedo keras. Die segera membukakan
pintu dan mendapati seorang dayang berdiri dengan wajah yang pucat.
“Tolong
tabib!” katanya panik. “Tolong Ratu!”
Tanpa
bertanya mereka segera berlari ke kamar Ratu. Mereka terkejut tatkala mengetahui
bahwa Ratu mengalami penyakit yang sama.
“Ratu
tertular! Ratu tertular! Ini karena Beliau menyentuh Raja tadi!” sang penasehat
berkata dengan panik sambil menarik Shinya ke dalam.
Saat
mereka tiba di sana, mereka mendapati tubuh Ratu sebagian memerah. Tubuh Ratu
yang lemah membuatnya tak bisa melakukan apapun kecuali merintih dan merasakan
rasa sakit di tubuhnya yang terkena penyakit aneh itu.
“A-aku
tidak bisa mendekati Ratu, tolong kami…!” seorang dayang kesayangan Ratu
kelihatan histeris dan panik.
Shinya
kebingungan, ia berpikir keras. Tapi sepertinya kepalanya tidak mau membantunya
untuk berpikir. Die muncul, membenamkan kepalanya ke dekatnya dan membantunya
mencari jawaban.
“Obat
racikanmu masih ada?”
“Ma-masih,”
“Di
mana aku bisa mendapatkan air suci seperti yang kau punya,”
“Di-dikamarku,
di kantung tasnya.”
Die
segera berlari mengambil air suci yang Shinya simpan, sementara Shinya mencoba
meracik obatnya sekali lagi. Ia berharap cara ini cukup berhasil untuk
menghambat penularan penyakit mematikan ini.
Continue…
Aaaaarrrggggghhh aku cemburu...
BalasHapusMau diposisi Toshiya..
Mau diposisi Shinya..
(maruk)
Aku dah nunggu2 kapan yoshiki muncul..
Halo thor due..jangan lupa part 25.
Makasih