The Housemates
(Part 3)
Title : The
Housemates
Author : Duele
Finishing : April 2014
Genre : AU,
Drama Romance, Comedy
Rating : PG15
Chapter(s) : 3/on
going
Fandom(s) : Dir
en Grey
Pairing(s) : …?
Note Author : The housemates is like a family.
*****
Sejak kehadiran Hakuei ke dalam
kehidupan Toshiya dan sekitarnya, Kaoru lebih garang dari pada biasanya. Tapi
tak ada yang berani bertanya langsung soal itu padanya. Semuanya memilih
bungkam, bahkan Die yang notabene penghuni rumah paling lama. Die tidak mau
menambah beban di pundak Kaoru dengan pertanyaan retoris yang sering penghuni
lain tanyakan padanya.
“Kaoru pasti punya penilaian sendiri
kenapa dia jadi gak suka sama si Hakuei itu.” Jawabnya selalu.
Tapi baik Kyo mau pun Shinya yang
tergolong masih baru, mereka bisa memahami perasaan Kaoru yang sudah lama
mengurus penghuni lainnya. Apalagi Toshiya. Khusus bagi pemuda itu, Kaoru
seperti terikat hubungan dengan keluarga Toshiya, terutama Nyonya Hara yang
selalu meminta tolong padanya. Sehingga Kaoru lebih peduli terhadap Toshiya
yang sudah ia anggap seperti keluarga sendiri.
“Toshiya mana?” Kaoru bertanya pada
penghuni lain yang sudah berkumpul di meja makan.
“Masih di atas.”
“Suruh turun sudah waktunya makan.”
“Aku sudah bilang, tapi dia bilang
tidak lapar.” Kata Kyo.
Kaoru menghela.
Toshiya masih asyik menelepon ketika
Kaoru mendatanginya ke atas. Ini sudah lewat dari waktu makan malamnya. Ketika
Kaoru masuk Toshiya menyembunyikan ponselnya.
“Maaf aku gak makan malam tadi,” kata Toshiya sedikit gugup.
Kaoru tidak menjawab sama sekali kecuali menaruh jatah makan malamnya ke
atas meja di tengah kamarnya. Setelahnya dia pergi tanpa basa-basi. Melihat itu
Toshiya jadi tak enak hati.
“Salahmu juga, sih.” Die berkomentar ketika keesokan harinya ia
bercerita kepadanya. “Biasanya kan kau selalu bilang kalau ada apa-apa,
sekarang kau kayak main kucing-kucingan sama Kaoru.”
“Habis, kayaknya gara-gara aku sakit kemarin, Kaoru jadi gak suka sama
Hakuei. Penyakitku kumat kan karena aku sendiri bukan karena Hakuei.” Belanya.
“Ooh,” Die menanggapinya datar, “Terus sebenarnya kau sama Hakuei itu
bagaimana?”
“Bagaimana apanya?”
“Benar kalian jalan sekarang?”
Toshiya mengatupkan bibirnya. “Entahlah.”
“Kau suka?”
“Mm…” Toshiya jadi bingung.
*****
“Lalu, sekarang mereka ‘jadian’?” Kyo
penasaran. Die mengendikan bahu. “Tapi kalau pun benar, memangnya masalah?”
“Masalah!” tandas Kyo. “Kaoru pasti
kecewa berat!”
“Kok, Kaoru, sih?”
Kyo satu-satunya orang yang selalu
menepis hubungan kekeluargaan di antara Kaoru dan Toshiya. Baginya sikap Kaoru
kepada Toshiya lebih intim dari pada hanya sekadar perasaan peduli biasa. Walau
pun pola pikirnya ini sering mendapat tentangan dari Die yang selalu berusaha
meluruskan kekeliruannya, namun Kyo tetap kukuh. Hingga saat ini pun dia masih
menyangka hubungan Kaoru dan Toshiya lebih dari itu.
“Kyo, dengan siapa Toshiya berhubungan
itu kan bukan urusan kita. Suka atau tidaknya, kita hanya penonton. Kau tidak
perlu berasap hanya karena kau memihak Kaoru.”
“Aku tidak memihak siapa pun, aku
cuman merasa kalau Toshiya terlalu cepat memutuskan. Lagian, kenapa, sih, si
Hakuei itu pakai muncul segala. Bikin keruh!”
“Terserahlah, toh, yang menjalani Toshiya. Aku gak mau ikut-ikutan.”
“Memangnya kau kira aku juga mau
ikut-ikutan?” Kyo ngeyel. Kemudian pergi.
“Dih, ngeselin!”
Sebenarnya Die sedikit penasaran juga
dengan kelanjutan cerita Toshiya versus Hakuei. Sayang dia terlalu sibuk
menghadapi Ms. Miki yang mengamuk gara-gara keputusannya yang mengulang mata
kuliah Statistik.
“Dulu saja kau menyembah-nyembah
supaya tidak mengulang. Eeh, sekarang kenapa mau mengulang? Kerja keras saya memohon
ke Pak Kepala jadi sia-sia, kan.” Omelnya.
“Iya, Miss. Maaf, deh. Tapi saya sadar, sih, sebetulnya saya memang harus
mengulang mata kuliah itu.” Jawab Die bijak. Entah itu sungguhan, atau hanya
akal-akalannya saja.
Ms. Miki kelihatan masih tidak percaya
bahwa Die bisa berkata begitu. Sampai kemudian lelaki itu menyadari sesuatu.
“Iya, Miss. Besok saya traktir makan
siang, deh.” Kataya menghela. Wanita itu tertawa geli.
*****
Hari ini Toshiya memutuskan untuk
datang ke kampus setelah tiga hari berbaring di rumah. Sebenarnya cukup enak
meliburkan diri dengan alasan sakit. Tapi rasa nyaman liburan di rumah sudah
tidak semenyenangkan dulu semenjak sikap Kaoru jadi acuh kepadanya. Toshiya
jadi malas di rumah.
“Hai!” Hakuei menemukannya. Toshiya
membalas sapanya. “Sudah sembuh?”
“Iya,”
“Sudah makan?” Hakuei perhatian.
“Belum.”
“Makan dulu, yuk.”
Die pulang lebih cepat hari ini.
Terlalu pusing menghadapi ulah Ms. Miki. Sewaktu ia memasuki rumah,ia melihat
Kaoru sedang mengobrol dengan Shinya yang sepertinya baru pulang sama
sepertinya.
“Eh, Die, kebetulan!” sap Kaoru
mendatanginya.
“Ada apa?”
“Tolong bantu aku.” Ujarnya.
“Kenapa?”
“Begini, musim penghujan akan datang.
Aku lupa kalau kamar Shinya masih belum direnovasi semenjak si ‘anu’ pergi.
Beranda belakang juga. Aku butuh kau membantuku untuk membeli peralatan cat.”
Kata Kaoru. “Kau bisa pakai mobilku untuk ke tukang bangunan.”
Die melirik pada Shinya yang
memandangi mereka. Kaoru sedikit menghela.
“Shinya, kau bantu Die pergi ke toko
bangunan, ya?”
*****
“Oh, jadi begitu…” Hakuei menaruh kue
yang sudah digigitnya ke atas piring saji lalu menaruhnya berjarak dari
hadapannya. Ia melihat Toshiya yang murung di sampingnya. Pria itu sedang
menceritakan tentang kondisi rumah tinggalnya yang sekarang, juga tentang beban
pikirannya mengenai perubahan sikap Kaoru.
“Kenapa tidak pindah saja?”
“Hah? Pindah?” Toshiya kaget
mendengarnya.
“Iya…, pindah.” Hakuei menjawabnya
dengan enteng. “Kalau sudah tidak merasa nyaman tinggal di sana, kenapa kau
tidak pindah saja?”
“Tapi…” Toshiya jadi bingung. Hatinya
terasa berat memikirkan masalah pindahan. Sementara itu, Hakuei mencoba
menghiburnya, membujuknya agar segera meninggalkan tempat tinggalnya yang
sekarang. “Kalau masih ragu, kau coba saja dulu untuk tinggal beberapa hari di
luar.” Katanya, sambil menyentuh Toshiya di sana-sini. Mengusap-usap pipi dan
lengannya.
“Entahlah. Aku bingung…”
“Kalau tinggal di tempatku sementara,
bagaimana?”
Toshiya menoleh, pria tampan di
sampingnya tersenyum optimis.
*****
Kyo pulang dengan perut yang lapar.
Tempat yang ia tuju pertama kali adalah ruang makan. Wangi sup yang menguar
dari sana begitu mengundang nafsu makannya kala itu. Tapi kali ini dapur sangat
sepi. Biasanya selalu ramai.
“Ke mana yang lain?” tanya Kyo
mendekat ke meja dapur. Mengambil beberapa makanan kecil yang bisa ia kunyah
untuk sekadar mengganjal perut.
“Toshiya belum pulang. Die dan Shinya
sedang pergi ke toko bangunan membeli peralatan cat.”
“Ooh,”
“Minggu nanti kita semua kerja bakti.”
“Hah?” Air muka Kyo langsung berubah.
Kaoru melempar lap tangannya ke samping meja di sebelah Kyo. “Sekarang sudah
mulai turun hujan, aku belum merenovasi. Kalau kuberikan pekerjaan kepada
tukang itu akan memakan banyak biaya. Jadi aku minta perhatian semua penghuni
untuk membantuku merenovasi rumah.”
“Bulan depan bayar sewa kamar diskon
berapa persen?” Kyo bercanda.
“Kyo…?” Kaoru memberi tatapan
pembunuhnya yang legendaris. Kyo nyengir. Kaoru menggelengkan kepalanya, untung
hanya Kyo yang perhitungan, kalau penghuni rumah semuanya berkepala ekonomi
sepertinya bisa-bisa Kaoru bakalan gulung tikar.
“Ngomong-ngomong, Die dan Shinya nggak
bakalan kewalahan, tuh, bawa-bawa peralatan cat?” Kyo mencomot kroket tanpa
sepengetahuan Kaoru.
“Kan pakai mobil.” Tiba-tiba Kaoru
diam, teringat sesuatu. Kyo apa lagi, mukanya langsung pucat, kroket yang ia
makan serasa tak tertelan.
“Kaoru, cepat panggil ambulans!!! Kau
mencelakakan Shinya!!” Kyo panik.
Pasalnya, walau pun Die punya SIM,
cara mengemudinya seperti orang mabuk. Sedikit-sedikit ngantuk! Dan Kyo tahu,
Shinya tak bisa menyetir! Habislah mereka!
Truuu! Truuu!!
Shinya menoleh ke belakang jok. Suara
dering telepon membuyarkan keheningan perjalanan mereka.
“Ponselmu bunyi.” Kata Shinya.
“Bi-biarkan saja.” Jawab Die tak
menoleh, ia berusaha fokus ke jalan. Keringatnya mengucur sejak tadi.
“Kau baik-baik saja?” Shinya khawatir.
“Iya.”
Diiin!! Diiinn!!
Shinya menoleh ke belakang, sejak tadi
banyak sekali mobil di belakang mereka yang membunyikan klakson. Kemudian, satu
per satu dari mereka menyalip mobil mereka sambil mengumpat.
“Hoy!! Nenek-nenek saja lebih cepat
jalannya dari pada mobilmu!! Sana pergi!”
Die hanya mendecak. Shinya menoleh ke speedometer mobil yang berada di angka
40km/jam, jarumnya pun terlihat galau, turun-naik. Sudah satu setengah jam
mereka keluar dari pertokoan bangunan di distrik. Namun hingga sekarang mereka
belum sampai rumah juga. Shinya tidak tahu apa yang terjadi dengan Die. Dia
mengemudikan mobil begitu tegang dan kelihatan sangat gugup.
Truuu!! Truuu!!
Lagi-lagi ponsel Die berdering.
Mengganggu saja!
“Kau mau aku mengambilkan ponselmu?”
“Tidak usah.”
“Tapi sepertinya penting. Dia
menelepon berulang-ulang.”
“Abaikan saja.”
Shinya menatap Die sejenak kemudian
menoleh ke dashboard. Perjalanan ini
terlalu sunyi. Die sama sekali tidak bicara kepadanya. Shinya juga bingung
harus bicara apa.
“Ka-kalau kau bosan, nyalakan radionya.”
Kata Die melirik cepat.
“Oh, iya…” Shinya menoleh takjub ke
Die yang sepertinya bisa membaca pikirannya. Lalu ia menyalakan radio
rebel—kalau tidak mau dibilang usang—yang terpasang. Ia mencari volume channel yang sesuai. Hingga sampai ke suara radio yang lumayan
jernih untuk didengar.
‘Ciyee
yang lagi nge-date berdua aja, sampe grogi gitu…’
“A-apaan, neh?!” Die langsung berkomentar galak. Tak sengaja menginjak
pedal gas dan rem hampir bersamaan sehingga keduanya sempat tersentak ke jok.
Shinya jadi kaget.
“Ka-kayaknya iklan.” Buru-buru Shinya
memutar channel yang lain. Sampai kemudian ia mendapatkan suara radio yang
sedang memutarkan lagu-lagu POP yang sedang naik daun. “Ini?”
“Lu-lumayan.”
Perjalanan mereka masih berlanjut. Beberapa
menit radio tanpa iklan itu memutarkan lagu-lagu yang semakin lama semakin
membuat Die ngantuk. Hingga tak sadar perhatiannya memudar.
“A-awas!! Ada anjing!!!” Shinya
membeliak sambil menunjuk ke depan jalan.
Die yang panik langsung membanting setir ke kiri dan menginjak rem sekuat
mungkin.
Ckiiittt!!!
Mobil mereka langsung berhenti drastis. Tubuh mereka yang sempat terombang-ambing
berakhir menyentak jok di punggung keduanya dengan keras.
“Hey, kau nggak apa-apa??!
Mananya yang sakit?!” Die segera memegangi tubuh Shinya yang syok menegang di
kursinya. Matanya membeliak, lalu melihat Die dengan ekspresi yang sama.
“Cukup!” Toshiya bangun sambil
membenarkan pakaiannya yang melorot di sana-sini. Hakuei kelihatan sedikit
kecewa permainan mereka terganggu hari ini.
“Kenapa, sih?”
“Aku sedang nggak mood.” Toshiya beranjak, “Aku mau pulang.”
“Yakin nggak mau di sini? Nanti kamu
di rumah bakalan kesal.”
“Nggak apa-apa. Aku pulang saja.”
Toshiya memeluk tasnya dan berjalan terburu-buru keluar kamar apartmen Hakuei.
Ia keluar dari gedung dan menunggu
taksi. Namun tak ada taksi yang kosong malam itu. Saat ia tengah menoleh ke
sana-sini, Toshiya melihat dua orang yang tak asing tengah berdiri di luar
sebuah mobil. Pria itu segera mendatangi mereka.
“Die? Shinya?” katanya takjub melihat
kedua orang itu. Die dan Shinya berwajah sama ketika melihat Toshiya di tempat
itu. “Kenapa kalian ada di sini?” tanya Toshiya.
Shinya kelihatan pucat, Die juga. Toshiya
mendekati Shinya dan menenangkannya yang terlihat syok. “Shinya, kau kenapa?”
“Hh..” Shinya sepertinya masih kaget
dengan kejadian tadi. “Anuu…”
“Tadi kami hampir menabrak.” Jawab Die
cepat.
“Kok, bisa?!”
“Bisalah! Namanya juga tegang bawa
mobil, terus sama dia diteriaki, ‘Awas, anjing!’ siapa yang nggak panik, coba?”
Die menjelaskan dengan nada emosi.
“Siapa yang bawa mobil?” tanya
Toshiya.
Keduanya sempat diam, lalu Shinya
menunjuk Die yang sudah lebih dulu mengangkat tangan, grogi.
“Pantesan!” Toshiya langsung mendekati
Die dan merebut kunci mobilnya, “Sudah sini biar aku yang bawa!”
“Heh!! Kau kira kau lebih baik dari
pada aku!!?” Die mengejar Toshiya yang sudah masuk ke dalam mobil.
“Terus aku harus membiarkanmu membawa
ini dan membiarkan kita semua mati?” Toshiya kejam.
“Ya, nggak gitu juga, sih.” Die serba
salah.
“Masuk!!” perintah Toshiya, “Gak pakai
bantah!”
“Ya Tuhan, itu mobilnya!!!” Kyo yang
stress berlari ke jalan diikuti Kaoru di belakangnya. Akhirnya, mobil Austin
mini berwarna merah itu berhenti perlahan di depan rumah mereka. Kaoru yang
mendatangi kursi pengemudi kelihatan kaget saat melihat Toshiya di sana.
“Kaoru!” Pekiknya. Ia keluar dari
mobil dan memeluk pria itu. Kaoru terbengong-bengong. “To-Toshiya…?”
“Takut sekali.. di jalan nakutin.
Banyak polisi tidurnya, hiks..”
Die melihat keduanya dengan wajah
sedatar jalanan aspal. Kyo membantu Shinya keluar dari mobil wajahnya pucat,
tubuhnya lemas. “Shin?” Shinya yang keluar dari mobil langsung oleng dan
akhirnya jatuh pingsan.
“Shinya!”
Seisi rumah panik total. Tidak ada
yang tahu seberapa parah syok yang Shinya derita selama ikut perjalanan maut
antara Die dan Toshiya. Kedua orang itu benar-benar membuat kenangan buruk
dalam ingatannya. Haha.
*****
Minggu di pagi hari suara rutukan dan
kutukan dari Kyo menggumam. Pasalnya dia sudah diganggu saat matahari baru saja
terbit. Itu kan saatnya dia tidur, tapi Kaoru sudah memaksanya untuk bangun dan
menggedor-gedor pintu kamarnya. Sama halnya seperti Kyo yang mendadak jadi
pekerja bangunan, Die yang punya kebiasaan tidur di pagi hari pada hari libur
seperti ini juga kelihatan masih belum sadar betul. Beberapa kali kepalanya
oleh dan ketiduran di sofa belakang.
Berbeda dengan Toshiya dan Shinya,
keduanya kelihatan sangat siap dan mulai membantu Kaoru untuk mengambil
beberapa peralatan yang disediakan. Mereka menggeser lemari, lalu menutupi
semua barang-barang dengan kain dan koran sebelum mulai mengecat.
Pekerjaan kali ini dibagi menjadi
beberapa regu. Toshiya dan Shinya mengurus kamar Shinya yang memang sudah cukup
usang warna catnya. Die dan Kyo membantu untuk kamar yang lain, sementara Kaoru
sibuk mengurus atap yang bocor.
“Shinya, kau sudah mulai betah tinggal
di sini?” tanya Toshiya yang mengecat di belakangnya.
“Umm, iya.” Jawabnya.
“Oh, iya. Kudengar dari Kaoru katanya
kau punya restoran, ya? Asyik, dong!”
“Itu usaha keluargaku. Ayah yang
menjalankannya.”
“Ibumu kerja apa?”
“Ibuku mengurus kebun untuk restoran,”
“Kedengerannya asyik sekali!”
Saat sedang asyik mengobrol, Die
muncul di ambang pintu.
“Toshiya, ada telepon untukmu.”
“Siapa?”
“Siapa lagi? Penggemar beratmu.” Die
melengos.
“Die!”
“Apa?”
“Tolong gantikan aku sebentar.”
Die melihat Shinya yang meliriknya
lalu beralih ke kaleng catnya. Dengan canggung Die masuk ke sana dan menerima
kuas cat milik Toshiya sementara pria itu berlari ke lantai bawah. Tanpa
menyapa, Die mulai mengecat sisi dinding yang berlawanan dengan Shinya.
Kyo menutup gagang teleponnya ketika
Toshiya baru saja muncul. “Kok, ditutup?” protesnya.
“Lah, udah mati.” Jawab Kyo enteng.
“Kok, mati?”
“Mana tahu. Maksudku tadi mau kutanya
cari siapa, tapi sudah putus.”
Toshiya menggembungkan kedua pipinya
sebal saat Kyo berlalu melewatinya. Hakuei pasti marah karena Toshiya tidak
mengaktifkan ponselnya beberapa hari ini. Sampai kemudian dia menelepon ke
rumah. Padahal, Hakuei paling malas kalau harus menelepon ke rumah ini. Tapi
Toshiya memang sengaja menghindarinya. Ia masih ragu dengan ajakannya waktu
itu.
Saat kembali, wajah Toshiya berubah.
Wajahnya jadi tidak enak dipandang mata. Begitu yang dilihat Die sampai-sampai
ia tegur.
“Kenapa? Berantem lagi?” tebaknya.
“Boro-boro.” Toshiya melengos ke samping Die. “Teleponnya mati.”
Jawabnya kesal.
“Kenapa nggak telepon balik?”
“Nggak mau.”
“Jangan egois, ah. Nanti kalau putus malah nyariin.” Ledeknya.
“Idih, siapa yang jadian?” Toshiya menyikut Die hingga pemuda itu
mengaduh. Tapi berakhir dengan tawa.
Tidak sadar Shinya memperhatikan keduanya hingga tawa mereka lekas raib.
Die memandang Shinya yang mengambil kaleng cat kosong dan berlari ke luar
kamar. Toshiya memperhatikannya dengan seulas senyum.
“Deuuu, yang masih diperhatiin.” Godanya.
“Apaan?”
“Sudah ngomong belum?”
“Ngomong apa?” Die bingung.
“Soal Shinya.”
Die menoleh tajam. Toshiya masih
tertawa kecil sambil mengecat. Die membalikan wajahnya ke dinding. “Nggak
ngerti apa maksudnya.”
“Hihihi, pura-pura terus.” Godanya
sambil menguas wajah Die hingga berlumur cat.
“Toshiya!!”
Kaoru mendongak ke atas plafon begitu
mendengar pekikan Die dan suara tawa Toshiya yang keras. Shinya di depannya
menaruh kaleng cat kosong dan mengelap tangannya.
“Sudah selesai?” tanya Kaoru. Shinya
mengangguk saja.
“Aku pesan katering. Sebentar lagi
datang. Panggil yang lain, ya.” Kata Kaoru. Tanpa menjawab, Shinya kembali naik
ke lantai atas.
*****
Setelah makan, mereka melanjutkan
kembali pekerjaan rumah ini. Seluruh kamar penghuni hampir selesai dicat.
Bagian luar rumah juga hampir selesai. Kyo kalau sudah diiming-imingi sesuatu
yang menarik memang bisa diandalkan. Semua pekerjaan habis dikerjakan dengan
giat.
Kaoru masih sibuk di atas atap rumah.
Sisi sebelah barat belum semuanya ia lapisi dengan cat. Padahal Kyo sudah
memintanya agar melapisi bagian yang bocor saja, tapi Kaoru ingin pengerjaan
yang total. Maka seluruh atap ia cat seluruhnya.
Di dalam rumah, semangat Die, Toshiya
maupun Shinya sudah mulai luntur. Letih sudah mulai terasa menyiksa di badan
mereka. Bahkan Toshiya beberapa kali mangkir dari tugas demi mencuri waktu
istirahat. Meninggalkan Die dan Shinya yang masih berjibaku dengan satu ruangan
lagi yang belum di cat. Kamar Kyo.
Shinya kelihatan kesusahan dengan
tongkat dari kuas catnya saat ia mengecat plafon. Mereka sengaja tak memakai
kursi untuk menghindari kecelakaan kerja. Melihatnya, Die mencoba menawarkan
bantuan.
“Bisa tidak?” tanyanya.
“Bisa.” Shinya menjawab sambil
terengah karena kepalanya mendongak ke atas.
Die agak khawatir, apalagi melihat
kaleng-kaleng cat di bawah kaki Shinya. Jika ia tidak hati-hati dia akan
menendang kaleng-kaleng cat itu dan seluruh lantai bisa berantakan. Maka tanpa
berpikir panjang Die membungkuk dan mengambil kaleng cat di bawahnya saat
Shinya berjalan mundur hingga akhirnya tersandung badan Die dan menimpanya.
“Aduh!”
Keduanya jatuh. Die yang tengkurap dan
Shinya yang jatuh terlentang membentur ke bawah, tongkat dari kuas catnya
terlempar dan mendorong pintu kamar Kyo menutup dengan keras.
Braak!!
Die dan Shinya mengaduh bersamaan. Keduanya
bangkit dari posisi jatuh yang menyakitkan.
“Maaf,” lontar keduanya. Kemudian
hening.
Sesaat setelahnya, sesuatu mengejutkan
terjadi. Suara keras berdebum terdengar dari luar diikuti dengan jeritan Kyo
yang keras.
“Kaoru!!”
Die dan Shinya segera berlari ke pintu
keluar setelah mendengar suara jeritan kedua dari Toshiya. Saat Die mencoba
membuka pintu, wajahnya menjadi pucat. Pintu tak bisa dibuka.
“Terkunci!!!” paniknya.
Toshiya dan Kyo berhasil menggotong
Kaoru yang jatuh dari tangga saat turun ke bawah. Tak ada luka yang serius,
hanya memar dan…
“ARGH!” Kaoru menjerit sakit saat
kakinya digerakan.
“Aduh! Jangan-jangan ada yang patah!”
Toshiya panik.
Kyo berlari ke meja telepon dan
menelepon klinik terdekat. Saat ia kembali suara Die dan Shinya yang memanggil-manggil
mereka dari lantai dua terdengar nyaring.
“Toshiya!! Kyoo!! Bukaa!!”
Ketiga orang itu melongok ke atas
tangga. Kaoru menyuruh Kyo naik untuk melihat mereka. Di atas sana, suara Die
dengan gedoran pintu cukup keras terdengar dari dalam kamarnya.
“Die?!”
“Kyo! Tolong! Kami terkunci!”
“Ini siapa yang nutup, sih! Udah tahu
kunci pintu kamar lagi macet. Dibanting, ya?!” kata Kyo sambil memutar-mutar
knop pintu berwarna perak tersebut.
“Kecelakaan!” jawab Die cepat. “Cepat
buka! Aku bisa mati!” Die serius. Tapi terdengar bercanda.
“Alah, lebay!” Kyo menjauh dari pintu.
“Tunggu aja dulu. Aku mengurus Kaoru dulu, dia jatuh dari tangga. Kakinya
patah, tuh!”
“Apa? Patah!?” giliran Die terkejut.
“Udah, tunggu dulu aja di dalam. Kalau
kurang oksigen, buka aja jendela kamarnya.” Kyo kemudian berlalu dengan cuek.
“Hah? Kyo!! Kyo!!” Die histeris.
Kyo turun ke lantai bawah dengan
tergesa-gesa, Toshiya sudah mencegatnya di sana. “Kita harus bawa Kaoru ke
klinik!”
Kyo mengangguk lalu menyambar kunci mobil
yang tergantung di dinding. Bersama Toshiya dia membantu Kaoru berjalan ke
garasi.
“Eh, itu bagaimana dengan Die sama
Shinya? Mereka kenapa?” Kaoru bingung mendengar suara Die masih
memanggil-manggil.
“Kerjaan berdua, tuh! Udah tahu pintu
kamar lagi macet malah dibanting. Ya, kekunci!”
“Dibukain, dong!” Toshiya mendecak.
“Mau ngurus Kaoru dulu atau mereka?!”
Kyo mengancam.
“Kaoru, dong!”
Akhirnya keduanya menggotong Kaoru menuju
klinik.
Sementara itu, Die kelihatannya sudah menyerah
memanggil-manggil para pengkhianat itu. Ia dibiarkan berdua saja dengan Shinya
di kamar sumpeknya Kyo. Saat Die mencoba membuka jendela, teralis besi
menghalangi jendela.
“Bener-bener, deh!” Die memendam emosi
kemudian duduk di ranjang Kyo yang berlapis koran.
“Sudah, tunggu saja. Nanti juga
pulang.” Kata Shinya memandang jemu keluar jalan dari balik teralis besi kamar
Kyo. Persis kayak tahanan yang tidak bisa kabur.
Die diam saja. Karena kini masalah
lain timbul akibat terlalu lama di dalam ruangan. Pendingin kamar Kyo mati dan
lampu belum bisa dinyalakan. Semuanya terlihat gelap karena hari sudah petang.
Panas dari ruangan mulai menyergap tubuh Die. Die memang tak kuat dengan udara
panas, suhu tubuhnya tidak cukup menahannya. Ia kemudian membuka pakaiannya dan
hanya bersinglet ria. Ketika Shinya berbalik, ia menjerit.
“Ap-apa?” Die kaget. Shinya terdiam.
“Jangan kaget begitu, dong. Aku kan masih pakai singlet.” Kata Die santai.
“Bu-bukan itu.” Jawab Shinya terbata,
ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
“Kenapa?”
Shinya kemudian menurunkan tangannya
dan mengacungkan telunjuknya tepat ke bawah hidungnya.
“…darah.” Gumamnya. Die terdiam, tak
mengerti. Shinya memperjelas perkataannya. “Darah! Hidungmu berdarah!!”
jeritnya.
“Whoaa!!” Die panik.
Die mimisan!! xDD
To be continue…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar