expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

04 Desember 2015

Re-post: The Housemates (Part 4)



The Housemates (Part 4)

Title : The Housemates
Author : Duele
Finishing : April 2014
Genre : AU, Drama Romance, Comedy
Rating : PG15
Chapter(s) : 4/on going
Fandom(s) : Dir en Grey
Pairing(s) : …?
Note Author : The housemates is like a family.



*****

          “Darahnya tidak mau berhenti, bagaimana ini?” Shinya panik sambil mencocoki hidung Die dengan tissue yang ia temukan di kamar Kyo.

          Die hanya bisa meringis saat itu. Ini benar-benar kejadian paling memalukan yang ia alami. Die memang pernah mimisan, tapi itu jarang dan sudah lama tidak kumat. Kini, dia harus menanggung malu mimisan di depan Shinya. Seperti bocah sekolah dasar yang K.O upacara pagi karena mimisan.
         

          “Coba kau tidurkan kepalamu ke bawah. Itu bisa menghentikan aliran darahnya.”

          Die pun mengikuti apa kata pemuda itu. Dia tidur dengan posisi horizontal sehingga kepalanya terdongak dengan sendirinya. Shinya mengambil beberapa helai tissue lagi dan mengambil kepala Die lalu menaruhnya di bantalan tangannya. Die sedikit terkejut, tapi niat Shinya terlalu baik hingga ia menuruti saja apa tindakannya.
          Shinya mengganti tissue penuh darah yang menyumbat di kedua lubang hidung Die. Lalu menggantinya dengan yang baru. Die benar-benar menikmatinya, walau berusaha tetap terjaga. Saking asyiknya, mereka tak sadar kalau pintu sudah terbuka dan Kyo berdiri dengan wajah yang sebal.

          “Waduh, enak betul berkasih-kasihan di kamar orang.” Cibirnya.
           

*****

          Kaoru pulang dari klinik setelah sehari dirawat. Kakinya kini dibungkus oleh gips super besar. Bukannya prihatin, para penghuni rumah justru dengan senang hati membubuhkan tanda tangan di kakinya.

          “Kalau begini kan rada keren dikit,” tukas Die penghuni terakhir yang membubuhkan tanda tangannya.
          “Sombong banget,” cibir Kyo, “Kalau Kaoru di kaki, kau di hidung, tuh!”

          Sontak saja yang lain tertawa. Die kena getahnya.

          “Terus kalau Kaoru nggak bisa jalan, nanti siapa yang bakalan masak di dapur?” celetuk Toshiya. “Aku nggak mau lagi makan makanan eksperimen dari yang lain.” Toshiya melihat jelek ke arah Kyo dan Die.

          Kyo dan Die saling memandang lalu membuang muka. Dulu, Kaoru sempat dirawat di rumah sakit beberapa hari karena kecelakaan mobil. Seolah tertimpa sial yang hampir sama, semua penghuni rumah sedang terlilit keuangan yang kritis. Maka, untuk menghindari kekurangan gizi dan kelaparan, mereka semua mencoba untuk memasak sendiri di rumah secara bergantian.
          Penghuni yang pertama kali menyuguhkan makanan adalah Die, tapi belum sempat tertelan mereka semua sudah memuntahkannya karena rasanya yang tak karuan. Hari berikutnya Kyo mulai unjuk gigi. Sebenarnya mereka ragu untuk mencoba, apa lagi tampilan masakannya yang tak mengundang selera sama sekali; gosong di sana-sini. Tapi karena lapar yang menyiksa, akhirnya mereka mencoba makan masakan pemuda itu. Dan walaa~ setelah makan mereka berebut untuk bisa masuk ke dalam WC.
Mengingat itu, Kyo dan Die hanya bisa mengurut kening masing-masing. Untung saja Kaoru masih lebih bijak dari mereka. “Kalau soal masak, sih, tidak apa-apa. Aku masih bisa berjalan-jalan ke dapur. Cuman, mungkin aku butuh bantuan kalian untuk berbelanja setiap minggunya.” Katanya dengan senyum.

          Duh, pekerjaan rumah bertambah lagi!


*****
         
          Die tak bisa tidur malam itu. Berulang kali ia memejamkan matanya namun kantuknya tak kunjung datang. Ia menoleh pada jam yang sudah menunjukan angka 2 pagi. Terlalu pagi kalau dia berencana menghabiskan waktu untuk jogging dan ini sudah terlalu larut untuknya menonton tivi. Tak ada acara seru yang bisa ia tonton di jam-jam seperti ini kecuali saat piala dunia.
          Berulang kali ia menghela ketika tak menemukan cara yang bisa mengalihkan isi pikirannya yang kacau. Die tak bisa mengenyahkan kejadian-kejadian yang ia alami akhir-akhir ini. Semuanya seperti terus berputar di kepalanya. Membuatnya jadi seperti orang linglung dan sulit berpikir.
         
          “Tidak! Tidak! Tidak!” Untuk ke sekian kalinya Die menggelengkan kepalanya berusaha menepis satu kesimpulan yang ada di otaknya. Kesimpulan yang gila, yang menurut Die tidak masuk akal.
          Die memikirkan Shinya.
          Bagaimana bisa? Bagaimana seorang lelaki normal seperti Die sibuk memikirkan seorang lelaki lain dalam benaknya? Bagaimana bisa Die bersikap gugup setiap kali berhadapan dengannya? Bagaimana bisa hati Die berdebar-debar setiap kali bertatap muka dengannya?
          Die normal. Dia menyukai lawan jenisnya. Dia menyukai perempuan. Dia masih suka payudara, yang montok tentu saja :P Tapi mengapa pikirannya bisa kacau hanya karena memikirkan seorang anak laki-laki yang baru muncul di rumah mereka. Mencuri setiap perhatiannya karena….wajahnya yang cantik.
          Ia berat mengakui bahwa sejak awal Die memang terpesona dengan kecantikan wajah Shinya. Ia malu mengakui bahwa Die sempat terpedaya dengan kemolekan dan bahasa tubuhnya yang gemulai seperti anak perempuan. Die terjerat! Itu tipu muslihat!!
          Namun, bukankah sejak awal Die sudah diberitahu sebelum jatuh lebih dalam bahwa Shinya sejenis dengannya? Dan semuanya sudah melupakannya, bahkan menganggapnya bagaikan angin lalu. Bahkan Kyo dan Kaoru sudah biasa saja, kecuali Toshiya. Die mendecak. Iya, Toshiya. Toshiya wajar melihat sebuah keanehan karena dirinya sendiri aneh. Toshiya sejak dulu memang miring. Beda dengan yang lain. Tapi Die tak sepertinya, Die normal! NORMAL!
         
          “Argh!!” Die membanting tubuhnya ke ranjang dan menutup kepalanya dengan bantal. Mengintip dari sela gulingnya dan terpaku pada dinding di sebrangnya. Dinding yang menyekat kamarnya dan kamar Shinya. Die tercenung begitu lama membayangkan isi kamar yang dihuni oleh pemuda itu. Bagaimana posisi ranjangnya? Bagaimana posisi meja belajarnya? Bagaimana posisi tidurnya? Bagaimana dengan…
          “Arrgghh!!” Kenapa Die malah memikirkannya lebih jauh. Kenapa kepalanya tidak mau membantunya untuk memikirkan sesuatu yang NORMAL! Die bangkit dari ranjangnya, kemudian mengambil sesuatu di bawah kasurnya. Beberapa judul majalah porno ia sembunyikan di sana.
Die membukanya sehelai demi sehelai. Melihat betapa mulus dan eloknya tubuh-tubuh perempuan telanjang. Posisi yang memikat dan tatapan mata yang nakal. Die tersenyam-senyum sendirian, bahkan terkikik. Namun, ketika wajah dari salah satu model terlihat mirip dengan wajah Shinya, sontak Die melemparkan majalah itu dan terkejut mematung di ranjangnya. Ia mengucek matanya dan kembali memokuskan penglihatannya pada wajah sang model. Bukan. Bukan Shinya.
Kini Die menutup wajahnya ingin menangis. Ya Tuhan, bagaimana ini?! Shinya sudah menginvasi seluruh isi kepalanya!!!

         
          “Mampus!” Kyo memencet stik gamenya dendam. Lawan pertarungannya masih belum mati juga. Kyo semakin kesumat menjatuhkannya. Panas bara api semangatnya demi memenangkan permainan itu akhirnya membuahkan hasil saat ia dinyatakan menang. “Yeah!!” jeritnya kegirangan.
          Die menjatuhkan badannya ke sofa di belakang Kyo. Menguap keras menguarkan bau tak sedap.
         
“Tumben udah bangun,” tukasnya tanpa melirik pria itu.
“Gak bisa tidur,”
“Bukannya setiap malam juga insomnia? Wajar.”

Die tak menjawab lagi. Perhatiannya kini teralih pada Kaoru yang tergopoh-gopoh berjalan dengan tongkatnya. Kakinya yang masih dibungkus dengan gips nampak tidak menyurutkan semangatnya untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa.

“Toshiya mana?” tanya Die yang bosan.
“Ngampus.” Jawab Kyo. “Tapi gak tau beneran ngampus atau ketemu penggemar.”
“Memangnya kenapa?”
“Dari semalam teleponnya berdering terus. Kayaknya, sih, bertengkar.”
“Ooh,” Die mengangguk-angguk. “Jadi sekarang kau sudah mengikhlaskan Toshiya jalan dengan Hakuei?”
“Bodo amat, deh! Selama dia gak ganggu yang lain dan gak bikin keributan di sini, terserah mereka mau ngapain. Not my business mamen.
“Ciyee, belagak. Studi bahasa asing ngulang aja.” Cibir Die sambil terkekeh.

*****

          “Jangan marah lagi,” Toshiya memohon, “…please…

          Hakuei menghela panjang lalu beralih kepadanya. “Ribuan kali, loh.”

          “Iya, iya, aku tahu. Tapi posisinya waktu itu aku sedang bingung. Dan kau terus mendesakku, aku jadi semakin bingung.”
          “Itu karena kau langsung kabur begitu saja! Dihubungi selalu menghindar, sampai akhirnya aku telepon ke rumah itu pun kau lama merespon!”
          “Iya, maaf. Maaf.” Toshiya menggelayut manja di lengan pria itu. “Sudah, ya. Jangan marah.”
          “Lain kali aku tidak mau seperti ini lagi.”
          “Iya, aku janji.” Toshiya mengangkat dua jarinya membentuk V.

         
*****
         
          Shinya baru saja mendaftar sebagai pengurus perpustakaan. Hari ini dia sibuk mengurus kartu keanggotaannya yang akan keluar. Rencananya, setelah ia terdaftar ia akan meminjam buku yang banyak untuk bahan bacaannya selama di rumah.

          “Terachi Shinya?” seorang pria menyerahkan kartu anggota padanya. Shinya menerimanya dengan senyum terkembang. “Terima kasih.”
          “Selamat bergabung di perpustakaan kami.” Katanya. “Kenalkan,” dia mengangkat tangannya memperkenalkan diri, ketika Shinya menyalaminya dia menyebutkan namanya, “aku Motokatsu Miyagami, ketua pengurus perpus.”
          “Oh..” Shinya membungkuk sopan. “Salam kenal.”
         
          “Aku senang masih ada yang peduli untuk menjadi pengurus perpus. Mahasiswa baru di tahun ini belum ada yang mengajukan diri untuk jadi pengurus. Baru kau saja.”
          “Ooh,”
          “Suka buku apa?”
          “Aku suka banyak buku. Terutama soal binatang.”
          “Oh, ya?! Kau suka binatang? Apa kau punya peliharaan?”
          “Di rumah. Tapi sekarang aku tinggal di rumah sewa, jadi tidak boleh ada hewan peliharaan.”
          “Oh, begitu. Sayang sekali.” Motokatsu mengangguk maklum. “Tapi dari pada hanya membaca buku dan melihat-lihat gambarnya, kenapa kau tidak pergi saja melihat hewan-hewan? Di belakang kampus kan ada taman penelitian hewan.”
          “Iya, aku sering ke sana. Binatangnya semuanya lucu-lucu.”
          “Sudah lihat apa saja?”
          “Rusa, ilama, dan burung.” Jawabnya. “Apa ada yang lain?”
          “Ular. Kau suka ular?”

          Wajah Shinya berubah lalu menggeleng cepat, “A-aku tak suka reptil.”

          “Oh, begitu… haha bisa kutebak.”

          Sepertinya Shinya punya kawan baru.


*****

          Die akhirnya memaksakan diri keluar rumah setelah Miss Miki berulang kali menghubunginya. Alih-alih hutang menraktirnya makan siang, Die seperti dipaksa untuk menemaninya pergi ke pub malam ini.
          Sebenarnya Die agak khawatir pergi dengan Miss Miki setelah sadar bahwa wanita itu mulai menyukainya. Harusnya Die senang bahwa masih ada wanita yang suka padanya dan mengejarnya. Tapi sungguh, kali ini mood Die sedang tak ingin bersama siapa pun. Namun karena wanita itu sudah banyak membantunya Die tidak bisa menghindarinya.

          “Daisuke, kemari!”

          Die memasang senyum lebar dan berjalan malas ke arahnya. Wanita itu bersama dengan teman-temannya yang lain. Tipikal wanita dewasa dengan pakaian serba minim. Kesukaannya. Miss Miki pun kelihatan sangat berbeda malam ini. Wanita yang sehari-harinya berbaju formal selama mengajar, kini berubah kelihatan nakal dengan setelan gaun berkerlap-kerlip yang super mini. Lekuk tubuhnya benar-benar terekspos. Juga dengan dandanan menor bak ageha yang sedang ngetrend di kalangan anak-anak perempuan gaul di Jepang.
          Die melihat seisi pub yang riuh dengan suara musik house yang berbunyi keras dari speaker besar di sana-sini. Gemerlap cahaya lampu disko dan para penghuni pub yang meliuk-liuk menari dengan aneh. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya ia ke pub, Die bahkan pernah menghabiskan malamnya di klub striptis telanjang. Namun malam ini ia benar-benar merasa tak nyaman. Pikirannya ingin cepat pulang.
         
“Kau bercanda saja, tak mungkin!” seru wanita lain. “Dia kelihatan sangat matang!”
“Sana, tanya sendiri!”

Seorang wanita setengah mabuk teman dari Miss Miki mendatanginya sambil menenteng segelas minuman alkohol. Ia datang dan merajuk kepada Die seperti wanita penghibur.

“Nee~ benarkah kau masih mahasiswa?”
“Euh..heuheu…” Die tertawa aneh. Bingung bagaimana menghadapi wanita itu. Ia melihat Miss Miki, meminta bantuan. Tapi wanita itu juga kelihatan mabuk dengan beberapa temannya yang lain. “Ma-maaf, aku harus ke toilet.”

Ia membanting pintu toilet dan masuk ke dalam sebuah bilik yang kosong. Aroma tak sedap tercium. Die menutup hidungnya dan menaikan kakinya ke atas kloset. Die benar-benar tidak tahan dan ingin pulang. Tapi bagaimana caranya ia pulang tanpa membuat Miss Miki tersinggung?

“Duh!” Die menepuk keningnya keras.


*****


          Kaoru duduk di kursi dalam diam. Cangkir kopinya kelihatan masih baru dengan uap yang masih menguar. Hampir pagi dan Toshiya masih belum kembali. Ia berulang kali melihat ponselnya dan melihat nomor Toshiya. Setiap kali dia akan menelepon, Kaoru selalu menghentikannya. Rasanya berat mengganggu orang lain biar itu Toshiya sekali pun.
          Kaoru terlampau khawatir dengan anak itu. Anak ceroboh yang sejak tiga tahun lalu tinggal bersamanya. Tak sadar Kaoru jadi mengingat kembali bagaimana pertama kali Toshiya datang ke rumah ini ditemani dengan seorang pria tua yang membawa koper-kopernya.

          “Di sini rumah sewa terdekat dengan kampus, Toshi-sama.” Pria tua bernama Igor mengantar Toshiya ke dalam rumah setelah Kaoru mempersilahkan mereka masuk.

          Malam itu udara sangat dingin karena salju sudah mulai turun. Dengan sweater tebal dan syal yang masih melilit lehernya, Toshiya kelihatan begitu rapuh. Wajah putihnya yang pucat kelihatan penasaran dengan rumah yang baru ia jajaki. Beberapa kali ia melihat ke sekitar rumah dan melongok ke beberapa ruangan tanpa panduan. Ia mengamati sudut demi sudut ruangan di rumah itu.

          “Ini surat dari Nyonya. Setiap bulan akan di transfer uang sewa dan segala kebutuhan Toshi-sama. Mohon untuk dijaga.” Pria itu membungkukkan badannya ke Kaoru yang juga membalasnya.

          Setelah menutup pintu, Kaoru mendatangi pemuda itu. “Semua kamar penghuni ada di lantai dua. Lantai satu ada ruang keluarga, ruang makan, dapur dan ruang tamu. Di sana beranda dan belakangnya lagi kebun.” Kaoru menjelaskan singkat.

          Saat itu Toshiya masih belum banyak bicara. Bahkan ketika Kaoru mengantarkannya ke kamar barunya.

          “Ini kamarmu.” Kaoru membuka pintu dan menyalakan tombol lampu di samping pintu.
          “Wah~!” Toshiya berjalan masuk dan meletakan mantelnya sembarang. Hal yang pertama kali ia lihat adalah jendela kamar yang terbuka lebar. Ia seperti burung yang baru bebas dari sangkarnya. Menikmati segala detik kebebasannya di arena barunya setelah terlepas dari penjara yang bernama rumah.
          Kaoru sudah melihat banyak burung-burung lelah seperti Toshiya yang merasa kerasan di tempat ini. Tetapi Toshiya sedikit berbeda. Sangat berbeda. Ketika pertama kalinya dia menoleh ke arah Kaoru sambil tersenyum, Kaoru tahu ada sesuatu yang mengikatnya dengan pemuda itu.

          Waktu dengan cepat berlalu, padahal sepertinya kejadian itu baru saja terjadi beberapa minggu yang lalu. Dibalik keras wajah lelakinya, Kaoru mampu tersenyum demi mengingat seberkas memori manis di kepalanya yang tak pudar. Baginya, Toshiya yang dulu dan sekarang tetaplah sama. Walau pun tetap perubahan itu selalu ada merenggut manisnya keluguannya.

          “Kaoru-,”

          Kaoru terkejut ketika melihat Shinya berdiri di dekat tangga. Pemuda itu kelihatan baru saja terbangun dari tidur.

          “Ada apa Shinya?”
          “Tidak apa-apa. Aku hanya mau mengambil air dan kulihat kau masih di sini.” Shinya mendekat ke lemari pendingin di dekat kompor. “Tidak tidur?”
          “Belum ngantuk.”
          “Uhm…” Shinya meneguk gelasnya lalu terdiam sejenak. “Kaoru,” Shinya mendekati meja dan menarik kursi. “Apakah kalian sering berlibur bersama?”
          “Liburan bersama?” Kaoru mengulang. “Liburan sama siapa?”
          “Ehm, maksudku, apakah di rumah ini semua penghuninya pernah berlibur bersama ke suatu tempat?”
          “Dulu sekali pernah. Tapi semenjak penghuni lain punya urusan masing-masing dengan rencana liburan mereka, ya, mereka liburan sendiri. Memangnya kenapa kau tanyakan itu?”
          “Begini, Ayahku bilang kalau kau tidak sibuk dan teman-teman lain libur, kalian diundang mampir ke penginapan milik keluarga kami. Kebetulan, bulan lalu sebetulnya Ayahku membuka jasa penginapan. Jadi, beliau bilang sekalian ajak kalian untuk berlibur bersama.”
          “Wow!” Kaoru takjub, “Undangan yang sangat menggiurkan. Sudah lama aku tidak berlibur. Tapi, untuk mengajak anak-anak yang lain sepertinya sulit. Karena setiap liburan kuliah mereka punya jadwal masing-masing. Jadi aku tidak bisa janji.”
          “Kau dan Kyo juga tidak apa-apa, kok. Kyo sudah kuberi tahu, dan dia bilang tinggal menunggu waktu liburan semester saja setelah ujian.”
          “Oh, ya? Kapan liburan semesternya?”
          “Setelah aku ujian. Mungkin satu setengah bulan lagi.”
         
          Kaoru nampak berpikir, “Oke. Aku akan beritahu penghuni lain. Semoga mereka bisa!”


*****

          Die buru-buru menjatuhkan tubuh Miss Miki yang mabuk berat ke atas ranjangnya setelah setengah jam membopongnya dari taksi menuju kamar sewanya di lantai lima. Dia mengelap keringatnya setelah bersusah payah mengembalikan manusia menyusahkan yang satu ini kembali ke alamnya.
          Ini sudah hampir pagi dan Die masih berjibaku dengan wanita ini. Mau pulang pun percuma karena bus dan kereta sudah tak beroperasi di jam-jam seperti ini. Dia harus menunggu pagi agar bisa pulang dengan kereta.

          “Gila! Cakep-cakep badannya berat banget!” Keluhnya sambil beranjak ke dapur. Dengan leluasa, ia mengambil isi makanan dan minuman dari lemari pendingin. Die sangat lapar saat itu dan mampu menghabiskan dua mangkuk mie instant dengan lahap. Ia tak peduli lagi dengan Miss Miki yang sudah tidak sadar tergolek caur di kamar. Die harus segera mengisi perut sebelum mati kelaparan!

         
          Toshiya terjaga semalaman. Sama sekali tidak bisa tidur nyenyak. Walau pun sudah berkali-kali menginap di tempat Hakuei, entah mengapa dia tidak pernah merasa senyaman di rumah. Ia bangun dari pembaringannya menuju dapur kecil minimalis yang ada di luar kamar mereka. Toshiya mengambil segelas air untuk minum.
          Pemuda itu melihat sekelilingnya, terasa sangat dingin dan berbeda dengan di rumah. Toshiya rindu rumahnya. Ia rindu kamarnya. Ia ingin pulang tetapi tertahan. Rasanya ia kesepian.
         
*****

          Shinya sudah bersiap untuk pergi ke kampusnya padahal ini masih pukul enam pagi. Ia ingin melewatkan sarapan paginya karena telah ada janji pergi dengan ketua pengurus perpustakaan. Setelah benar-benar mantap memeriksa barang bawaannya, ia bergegas keluar kamar.
          Tapi saat ia sampai di lantai bawah, Shinya tercenung sebentar. Di sofa ruang keluarga ada seonggok tubuh terkulai di sana. Ketika ia dekati ternyata Die sedang terlelap. Sepertinya baru pulang pagi dan sudah sangat mengantuk sampai ia tidur di sofa. Ia masih mengenakan sepatu dan jaketnya, namun kedua tangannya disembunyikan di antara tangannya. Sepertinya menahan dingin.
          Shinya merasa kasihan melihat teman serumahnya begitu memprihatinkan. Walau pun terkadang sikapnya aneh terhadapnya, Shinya tetap peduli. Ia kembali naik ke lantai atas dan membawakan sehelai selimutnya yang belum terpakai. Setelah menyelimutinya, pemuda itu segera meninggalkan rumah.
          Tak tahu kalau Die sebenarnya terjaga. Sekarang dia ingin menangis karena perhatian Shinya yang menusuk batin ke-NORMAL-annya. LOL.

         
          Toshiya diantar sampai rumah oleh Hakuei. Pemuda itu bersikeras untuk mengantarnya walau pun Toshiya menolaknya. Ketika dia masuk ke dalam rumah, Kaoru dan Kyo sedang mengobrol.

          “Hey, Tosh!” sapa Kyo. Kaoru menoleh setelah menyeruput kopi panasnya. Toshiya menghampiri mereka dengan wajah sumringah. “Hey! Lagi apa? Tumben berdua akur.” Candanya.
          “Akurlah, emangnya situ sama si itu.” Balas Kyo sengit. Kaoru tak menjawab dan membuang muka sambil meminum kopinya. Wajah Toshiya mulai cemberut. “Deuh, ngambek. Sudah sini duduk, duduk!” Kyo menarik kursi di sebelahnya. “Mau denger berita seru gak?”
          “Hah? Apa? Apa?” Toshiya semangat.
          “Liburan semester udah ada acara belum?”
          “Belum, sih. Kenapa?”
          “Shinya mengajak kita semua berlibur ke tempat tinggalnya.” Sambung Kaoru.
          “Eh, beneran??”
          “Iya, kalau mau ikut biar masuk list. Jadi bisa dipesankan kamar.” Kata Kyo.
          “Ikuuut~!”
         
          Tak lama Die pun turun dengan wajah bangun tidurnya. Melewati ketiganya melenggang ke depan pintu lemari pendingin.

          “Pulang jam berapa, jagoan?” Kyo meledeknya sambil tertawa.

          Tapi Die sepertinya sedang tidak mood berurusan dengan mereka, ia tak menjawab dan langsung naik ke atas. Kaoru yang memanggilnya pun diabaikannya.

          “Dasar anak tidak sopan!” cibir Toshiya sebal.
          “Ya sudahlah, Die mungkin masih belum sadar betul dari tidurnya.” Kaoru mengalihkan mereka.
          “Akhir-akhir ini dia agak kacau.” Kyo berkomentar.
          “Kenapa? Apa masih belum ikhlas Miss Erina menikah?” suara Toshiya meninggi.
          “Bukan. Bukan. Itu, sih, sudah basi.” Kyo mengibaskan tangannya. “Dia belum bisa mengajukan judul Tugas Akhir karena harus mengulang satu mata kuliah lagi.”
          “Apa itu?”
          “Statistik.”
          “Ya ampun, kasihan…” Toshiya berduka. Ini serius.

          Kaoru melihat kedua pemuda itu dengan mimik bingung. Perbincangan mahasiswa yang di luar jangkaunnya. Apa benar mengulang mata kuliah itu seberat itu?

*****

          Die duduk sejauh mungkin dari bangku tempat Shinya duduk. Pemuda itu sedang berusaha memahami pelajaran yang satu ini. Namun dijelaskan beberapa kali pun kelihatannya Die sama sekali tak paham. Ia butuh seseorang yang bisa membantunya mengerjakan tugasnya, eh, maksudnya membantunya untuk memahami pelajaran ini. Tapi siapa?

          “Terachi?”

          Perhatian Die buyar ketika Shinya dipanggil dosen untuk maju mengerjakan salah satu soal yang kelihatannya sangat rumit. Setelah dia mengerjakannya, dosen sempat bertanya kenapa Shinya mengerjakan dengan cara seperti itu, kelihatannya ia cukup mahir untuk menjelaskan caranya.

          “Duh!”

         
          Kyo masih terbengong-bengong di kelas sambil memikirkan model sculpture yang cocok untuk tugas akhirnya. Walau pun diberikan waktu lebih, Kyo tidak mau mengulur waktu. Setidaknya, ia harus sudah memutuskan akan membuat tema seperti apa. Setelah itu mengukur panjang dan mulai memahat. Kyo luarnya saja yang cuek, namun ia sangat serius dengan proyek akhirnya.

          “Cakep. Lupa lagi…” gerutunya.

Saking seriusnya, Kyo sampai lupa ingin membuat apa :P


*****
         
          Sore itu Kaoru kelihatan sedang menunggu sesuatu. Ada lima kantong plastik menggembung yang ada di bawah kursi meja makan tergeletak seperti sampah. Itu adalah pakaian anak-anak penghuni rumah yang akan dilaundry. Kaoru punya langganan laundry yang setiap tiga hari sekali mampir ke tempat untuk mengambil pakaian kotor, tapi hari itu tak biasanya tukang laundry langganannya tak kunjung muncul.

          “Hari ini hari mencuci, ya?” Toshiya menyapanya saat ke dapur.
          “Sepertinya mereka libur.”
          “Yah, kok libur. Baju kotornya gimana?” Toshiya menarik kantong baju miliknya.
          “Mau bagaimana lagi. Terpaksa laundry sendiri.” Kata Kaoru tergopoh-gopoh. Kakinya masih belum sembuh dan ia menggunakan tongkat jalannya. Melihatnya Toshiya jadi tak tega.
          “Mau kau apakan?”
          “Ya, dikirim ke laundry.”
          “Pakai apa? Memangnya kau bisa bawa mobil dengan kondisi begitu?”
          “Lalu?”

         
          “Ini kenapa mesti…” Die melirik Toshiya yang tersenyum lebar menghiburnya. Pemuda itu memaksanya untuk mengemudikan mobil ke laundry terdekat. Berhubung Kyo masih belum kembali dari kampus.
         
          Lima belas menit kemudian mereka menepikan mobil ke parkiran dan turun dengan membawa kantong-kantong baju ke dalam. Masing-masing kantong diberi nama agar tak tertukar baik itu ketika masuk dan keluar dari laundry. Sampai di dalam, Die dan Toshiya sempat berkomentar mengenai petugas yang tak datang menjemput cucian mereka.

          “Ah, sorry, si A Cheng lagi cuti. Kami jadi kurang orang, deh.” Jawab wanita berdarah China si pemilik laundry.
          “Butuh pegawai, Ci? Tuh, abang bongsor butuh sampingan. Hahaha!” Toshiya meledek Die yang tengah memasukan pakaian kotor ke dalam mesin cuci.
          “Hahaha, tapi bagus juga si A Cheng gak masuk. Jadi kalian bisa mampir lagi ke sini.”
          “Iya, ya. Sejak ada kurir yang menjemput cucian, kami jadi jarang ke sini.” Toshiya malah mengobrol dengan sang pemilik.

          Die menghela sambil menarik satu kantong terakhir yang belum ia masukan. Ia sempat terdiam sejenak melihat pemilik kantong baju tersebut. Punya Shinya.
         

          “Hai, Shinya!” Pemuda bernama Motokatsu itu mendatanginya sambil berlari kecil. Shinya menghentikan jalannya. “Kenapa? Ada yang bisa kubantu?”
          “Bisa sekali!” Moto tertawa, “Sabtu ini ada acara?” tanyanya dengan mata penuh minat. Shinya mengingat-ingat kemudian menggeleng pelan, tak yakin. “Sepertinya tidak ada.”
          “Baguslah. Aku mau mengajakmu ke pet show.” Mendengar itu mata Shinya membulat. Tertarik. “Kalau kau mau ikut nanti kujemput. Anak-anak kampus pecinta binatang rata-rata semuanya ikut.”
          “Eh, tapi kan, aku tidak kenal semuanya.” Ia ragu.
          “Ya justru itu, kau harus ikut. Membaur dengan yang lain. Kalau punya hobi sama pasti seru! Kan bagus untuk menambah teman. Ya?” bujuknya.
          “Ooh.. baiklah.”

*****
         
          Ding dong!
          Kaoru mengambil tongkatnya dan menuju pintu depan. Tak biasanya ada tamu di jam-jam seperti ini, pikirnya. Saat ia membukakan pintu ia sedikit terkejut melihat tamunya. Seorang pria tinggi berdiri di depannya. Kaoru mengernyitnya keningnya. Pria itu juga beraut sama, tidak menyangka bahwa akan dibukakan pintu oleh Kaoru.

          “Toshiya, ada?” tanyanya.
          “Belum pulang.”
          “Ooh,” tanggapnya dingin. “Kau tak membiarkan tamu masuk?” sindirnya.

          Kaoru menghela pendek, “Masuklah.”

          Hakuei masuk sambil memperhatikan Kaoru yang terpincang-pincang. Terlihat lucu baginya hingga ia tersenyum saja. Entah sejak kapan mereka berdua mulai tidak saling menyukai.
          Sejak Hakuei memaksa untuk menunggui Toshiya di rumah itu, Kaoru menyingkir. Beberapa menit setelah itu pendatang baru yang lain muncul, Kyo dan Shinya. Keduanya kelihatan kaget melihat tamu di ruang depan. Hakuei memberikan wajah ramahnya menyapa keduanya. Kyo melenggang ke dapur sementara Shinya segera naik ke lantai dua.

          “Toshiya ke mana?” Kyo balik bertanya kepada Hakuei.
          “Oh, aku juga sedang menunggunya.”
          “Ooh,” Kyo mengangguk-angguk.

          Kaoru muncul dari beranda belakang dengan wajah sedatar mungkin. Kyo meninggalkan keduanya ke lantai atas. Sesampainya di atas, Kyo tidak langsung masuk ke dalam kamar dan mencoba mengintip dari bawah kakinya. Shinya yang baru saja keluar dari kamar jadi bingung melihat posisi Kyo yang mencurigakan. Ia pun mendekatinya.

          “Sedang apa?” Sepertinya Shinya tahu Kyo sedang mengamati tamu di bawahnya.
          “Ck! Cari perkara.” Tukas Kyo mengomentari kedatangan Hakuei. “Kayaknya habis ini bakalan ada perang dingin lagi.”
          “Kenapa?”
          “Masa kau nggak menyadari kalau Kaoru nggak suka sama tamu yang satu itu?”
          “Memangnya dia ada masalah apa dengan Kaoru?” tanya Shinya polos. Kyo menoleh dengan mata segaris. --__--

         
Tawa Toshiya sekejap hilang ketika melihat sebuah mobil mewah terparkir di sisi jalan. Matanya tidak lepas memerhatikan plat nomor yang ia kenal. Mendadak Toshiya jadi berdebar-debar. Pikirannya langsung kacau.

“Kenapa nggak turun?” Die melongok ke dalam mobil.
“Oh, iya, iya.” Toshiya keluar dengan wajah yang bingung.
“Mobil siapa tuh? Kece juga.” Komentar sambil menunjuk mobil Mercy di sebrang jalan. Sayang, ia tidak melihat raut wajah Toshiya di belakangnya. Sewaktu Die masuk, ia melihat seorang tamu yang mengejutkan.
“Hey, Die!” Sapanya.
“Hakuei?”

Pemuda itu menghampiri Die yang berdiri di depan pintu. Menyapanya seperti tak terjadi apa-apa.

“Aku mencari Toshiya,”

Die tidak lekas menjawabnya, ia hanya melirik ke belakangnya. Hakuei mengikuti. Nampak Toshiya berdiri memunggungi mereka.






To be continue…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar