expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

04 Desember 2015

The Housemates (Part 6)



The Housemates (Part 6)

Title: The Housemates
Author: Duele
Finishing: Mei - Juli 2014
Genre: AU, Drama Romance, Comedy
Rating: PG15
Chapter(s): 6/on going
Fandom(s): Dir en Grey
Pairing(s): …?
Note Author:




*****

         
          “Kakimu masih sakit?” Toshiya melihat gips yang masih membungkus kaki Kaoru.
          “Sudah lumayan, sih.”
          “Hmm… syukurlah. Eh, haus nggak? Aku beli minuman dulu, ya.”
          “Oke.”

          Toshiya berjalan ke luar ruang tunggu menuju ke mesin penjual minuman. Kaoru memperhatikannya dari jauh. Hari itu, Toshiya menemaninya untuk memeriksakan kakinya yang terkilir ke klinik. Entah karena dia masih merasa bersalah atau bagaimana. Akhir-akhir ini Toshiya menjadi anak rumahan yang penurut.


          “Nih.”  Dia memberikan sebotol air mineral kepada Kaoru. “Giliranmu masih lama ya?”
          “Sebentar lagi sepertinya.”
          “Hoo…”

          Kemudian beberapa saat mereka diam.

          “Kaoru,”
          “Hmm?”
          “Aku minta maaf, ya.” Katanya tak berani menatap Kaoru.
          “Soal apa?”
          “Soal yang waktu aku tidak pulang.”
          “Lupakan.”
          “Aku merasa sangat bersalah.”
          “Kalau begitu jangan diulangi lagi.”
          “Aku merasa perlu dihukum.”
          “Hah?”
          “Dulu waktu kecil kalau aku melakukan kesalahan biasanya aku akan dihukum orangtuaku atau kepala pengurus rumah tangga. Sekarang aku merasa aku sering melakukan hal-hal yang seenaknya tanpa ada yang mengontrol. Maka dari itu aku jadi tidak tahu diri.”
          “Toshiya…”
          “Rasanya malu sekali sudah membuat kalian semua pusing karena aku. Jadi, kalau kau mau… kau bisa menghukum aku.”

          Kaoru menatapnya tanpa berkedip. Entah kenapa kata-kata hukuman itu tidak bisa masuk ke dalam kepalanya.

          “Toshiya…”
          “Kaoru…”
          “Toshiya…”
          “Kaoru…” Toshiya menghela, “namamu udah dipanggil perawat, tuh!” ujarnya menyadarkan Kaoru XD


*****


          Die langsung membatalkan janji liburannya dengan Inoue dan kawan-kawan mainnya yang lain. Setelah dia tahu bahwa liburan nanti mereka akan berlibur ke tempat keluarga Shinya. Die merasa sangat tidak sabar. Hatinya berdebar-debar. Rasanya dia ingin cepat-cepat liburan.
          Tapi…

          “Yang remidi terpaksa ngulang dan nggak bisa liburan.”  

          Anjir!
          Die lupa soal ujian akhir statistiknya. Manaan dia masih bahlul banget! Duh!
          Setelah dia meninggalkan Miss Miki di apartmennya. Hubungannya dengan Miss Miki tidak seakur yang dulu. Miss Miki sekarang sudah tak mau membantunya karena dia sudah banyak menyia-nyiakan kesempatan yang diberi. Die sudah dicoret dari daftar pengguna bantuan Miss Miki (lol)

          “Aduh, sial.” Die merutuk, frustasi!

          Apa yang harus dia lakukan agar ujian statistiknya tidak remidi. Die takut sekali tidak bisa liburan dan sendirian di rumah! Aaaaa!! Ini menganggu!!

          “Die… suram amat?” tukas Kyo saat sarapan pagi. Die menghela. Sepertinya nafas saja susah. “Duh, berat banget kayaknya masalah idupnya.” Gumam Kyo. Antara mencibir dan kasihan lol
          “Pusing!!” Die mengacak-acak rambutnya.
          “Eh, santai, dong! Ketombenya bececeran, nih.” Kyo menyelamatkan serealnya.

          Tak lama Toshiya muncul.

          “Hai~”
          “Yo!” Sapa Kyo.
          “Idih, Die… kucel amat?” Toshiya kelihatan takjub.
          “Bukannya udah biasa kucel? Ghihihi…” Kyo masih menggodanya.
          “Kenapa?” Tanya Toshiya.
          “Pusing.”
          “Pusing kenapa?”
          “Kuliah!”
          “HAH!” Toshiya dan Kyo mendelik bersamaan. “TUMBEN!”
          “Ck! Kalian ini…” Die mulai sebal.
          “Ada masalah?”
          “Banyak!” Die mulai ketus.
          “Contohnya?”
          “Statistik…” kata Die lemah.
          “Hoo…” Toshiya dan Kyo mengangguk bersamaan. Mereka sungguh mengerti!
          “Kalau semisalnya ujian akhir ini masih remidi, aku tidak bisa libur.”
          “Loh, kalo kau nggak bisa libur. Berarti kau nggak bisa ikutan liburan bareng kita, dong?”
          “Makanya~~~” Die membentur-benturkan wajahnya ke meja makan.

          Melihatnya, Toshiya dan Kyo saling tertawa geli. Tidak berapa lama Shinya muncul dan duduk di antara mereka. Toshiya langsung memandanginya. Lalu terpikirkan sebuah ide.

          “Die, kau masih punya kesempatan, kok!” ujarnya dengan nada semangat.
          “Apaan?!” Saat Die menegakkan kepalanya, matanya bertatapan langsung dengan Shinya di sebrangnya.
          “Se-selamat pagi.” Sapa Shinya dengan wajah tersenyum.

          Die menggangguk. Iya, iya… Die masih punya satu kesempatan lagi.


*****


          “Hati-hati membawanya, ya.” Kyo mengarahkan dua orang tukang yang sedang menggotong box kaca ke dalam rumah. Kaoru hanya terbengong-bengong ketika mereka membawa box kaca tersebut ke lantai atas.
         
          “Terima kasih banyak atas bantuannya.” Kyo membungkuk sopan ketika kedua pria itu pergi.
          “Itu untuk apa?” tanya Kaoru.
          “Tugas akhirku.”
          “Sudah dapat pencerahan?”
          “Sedikit. Tapi butuh lebih banyak pencerahan.” Kata Kyo.
          “Mau kupasangi lampu di matamu?” ledek Kaoru terkekeh.
          “Lampu tembak boleh.” Balas Kyo tak asyik sambil menutup pintu.
         
          Kaoru tertawa geli.

          “Ngomong-ngomong Shinya ke mana, ya?” Tanya Kyo.
          “Ooh, tadi kusuruh menemani Toshiya belanja mingguan.”
          “Ooh…”


*****
         
          “Ngajarin? Eh, tapi aku juga masih belum paham betul. Gimana caranya mengajarkan orang lain?” Shinya kaget mendengar permintaan Toshiya yang memintanya untuk mengajarkan Die mata kuliah statistic. “Apalagi, Die-san itu kan seniorku.”
          “Senior kalo bodoh juga tetap aja.” Ujar Toshiya jahat. “Dia itu paling nggak bisa pelajaran hitung-hitungan. Dasarnya aja sial, semester awal tetep ketemu statistik.”
          “Tapi…”
          “Makanya, Shinya bantu, ya?” Toshiya merangkul.
          “Tapi aku ngga pede.”
          “Ngga pede kenapa? Kau jangan mikir kalau kau harus menjadi guru private-nya. Kalian cukup belajar bersama aja, kayak teman sekelas gitu. Aku dengar dari Kyo kalau Shinya anak yang cukup pintar. Atau… kamu pelit ngasih ilmu,ya?” cibirnya.
          “Nggak, kok! Aku nggak gitu! Pasti aku bantu!”
          “Bagus!”

          Shinya terjebak.


*****

          Malamnya semua penghuni berkumpul di ruang makan untuk makan malam bersama. Jarang-jarang, nih, semua penghuni rumah bisa berkumpul dan makan malam bersama seperti sekarang ini. Suasana ramai dengan bahan obrolan ringan dan ledekan mengalir. Toshiya yang biasanya jarang pulang ke rumah, sudah seminggu ini terus menerus di rumah. Die yang sering kali melewatkan makan malam pun akhir-akhir ini selalu menyempatkan waktunya. Kalau Kyo, sih, tidak usah ditanya. Dialah satu-satunya penghuni rumah yang selalu tepat waktu duduk di ruang makan untuk makan. Bahkan Shinya sang penghuni baru yang katanya pemalu dan sedikit penutup itu bisa lancar mengobrol dengan yang lain.

          “Aku sudah selesai.” Kyo menaruh mangkuk nasi dan sumpitnya. “Hari ini bukan giliranku cuci piring, kan?” tanyanya pada Kaoru.
          “Iya, sekarang giliran Toshiya.” Jawabnya yang langsung disambut muka malas oleh Toshiya.
          “Aku duluan kalau begitu.” Kyo bangkit dari kursinya dan menuju kamarnya.
          “Tumben akhir-akhir ini dia kelihatan sibuk. Biasanya sehabis makan langsung nge-game.” Tutur Die sambil mengunyah makanannya.
          “Dia sibuk dengan tugas akhirnya.” Jawab Kaoru. “Kemarin dia sudah menyiapkan box kaca untuk hasil patungnya.”
          “Gece juga dia..!” Die tertawa.
          “Satu orang lagi juga harus gece kayak Kyo, supaya bisa lewat dari remidi Statistik.” Sindir Toshiya.
         
          Die tersedak. Lol


*****


          “Ja-jadi begini…” Die mengatur nafasnya. Shinya di depannya duduk menunggu. Die mencoba menjelaskan maksud kedatangannya, tetapi rasanya sulit. “Eu…”
          “Kalau mau belajar bersama aku rasa nggak apa-apa.”
          “Iya, itu maksudnya, hahaha…” Die tertawa garing. Aduh, kenapa jadi canggung begini?? Pikir Die.

          Shinya mengeluarkan catatan statistiknya dan mulai membuka halaman demi halaman. Die yang hanya membawa buku catatannya kelihatan bingung harus melakukan apa. Dia bingung harus memulainya dari mana.

          “Die-san sepertinya beberapa kali bolos kuliah.”
          “Hah? Oh, itu, anu…aku..”
          “Ini catatanku, kau bisa mencatatnya dulu. Nanti aku bisa jelaskan kalau ada yang tidak dimengerti.”
          “Oh…okay.”

          Selama Die mencatat, pikirannya tidak bisa fokus. Kamar Shinya begitu rapih dan wangi. Beberapa patung terpajang di rak-rak kecil. Tapi hampir semuanya berbentuk anjing. Jika diperhatikan hampir semua barang miliknya berornament anjing. Anak ini terlalu polos dan….aneh. Menurut Die. Sesaat kemudian, Die menangkap sebuah figura photo seorang bocah sambil menggendong seekor anak anjing golden retriever.

          “Die-san?”
          “Hah! Oh… ya?!”
          “Kau sudah mencatatnya?”
          “Be-belum selesai. Maaf, aku lanjut dulu.” Ujarnya gagap sambil melanjutkan catatannya.

          Suasana hening kembali menyelimuti ruangan itu.

          “Die-san…”
          “Ya?”
          “Suka binatang?”
          “Anjing?” tebaknya.
          “Iya. Atau binatang lain?”
          “Aku tidak terlalu suka binatang.” Jawab Die.
          “Ooh…”
          “Tapi ada binatang yang aku suka.”
          “Apa itu?”
          “Ular.”
          “Ah…uh.. oh..” Shinya menggeser duduknya.
          “Kenapa? Kau takut ular?”
          “Mmm… aku nggak suka reptil.”
          “Ooh…”

          Setelah itu keduanya kembali membisu.

          “Shinya,”
          “Ya?”
          “Kau suka binatang?”
          “Anjing.”
          “Ya, aku tahu.”
          “Terus, kenapa tanya?”
          “Sorry.”

          Lalu mereka kembali diam.

          “Shinya?”
          “Apa?”
          “Kau ngga suka ular dan kadal, ya?”
          “Iya.”
          “Kalau kecoa?”
          “Iih! Kenapa Die-san tanya begitu?”
          “Habis… aku lihat di punggungmu ada kecoa…”
          “GYAAAAAAAAAA~!!!”

          Shinya panik!! Saking paniknya dia langsung berdiri dan menjerit-jerit. Kecoa di belakang punggungnya berjalan mengitari tubuhnya dan membuatnya semakin histeris. Die ikut panik.

          “Die-san usir kecoanya!!”
          “Gimana mau ngusir! Kamunya nggak bisa diem!”
          “Nggaaaakkk!! Aku benci kecoaaa!!”
          “Bu-buka bajumu!!”
          “Ugh!!”
          “Buka sekarang, Shinya!”

          Tanpa pikir panjang, Shinya langsung membuka kaosnya dan melemparkannya ke sudut kamar. Tapi sepertinya dia masih panik dan meminta Die memeriksa kecoa di badannya.

          “Masih ada nggak!?” Shinya gemetaran. Die memeriksa belakang rambutnya dan mengusap-usap kepalanya. “Udah nggak ada…”
          “Udah?” Shinya kelihatan takut sekali. Mukanya berubah pucat. Die terdiam, baru sadar kalau posisinya begitu dekat dengan Shinya. “Ka-kayaknya di rambutmu ada sesuatu, deh…” katanya.
          “Huaaaa!!” Shinya menjadi panik lagi dan memeluk Die begitu kuat. “Tolong singkirkan~! Singkirkan!!”
          “Iya… iya…” Die tersenyum jumawa. Tangannya terus mengusap kepala Shinya. Sementara tubuh Shinya gemetaran.

          “Ghihihi…!”

         
         
*****


          Sejak hari itu sikap Shinya jadi lebih dingin kepada Die. Walaupun mereka tetap belajar bersama, tapi logat bicara Shinya akhir-akhir jadi ketus padanya. Walaupun sudah minta maaf, Shinya sepertinya masih marah.

          “Terus kenapa dipikirin?” Die merenung. Kenapa juga dia harus bingung memikirkan kenapa Shinya marah. Haruskah dia yang sibuk untuk mengembalikan sikap Shinya? Toh, pada awalnya juga mereka tidak dekat. Harusnya, sih, Die senang bahwa sedikit demi sedikit ada jarak di antara mereka. Jadi Die tidak perlu kuatir jatuh lebih dalam pada perasaannya. Eh, tapi tunggu… kenapa Die sempat-sempatnya memikirkan bahwa dia akan jatuh pada perasaannya? Die…normal, kan?

          “Ck!” Lagi-lagi dia terpikirkan hal itu.

          Lalu tiba-tiba ponselnya berdering. Secara mengejutkan Die dihubungi oleh Emiko, gadis kenalannya sewaktu di bar. Die dan Emiko memang sudah bertukar email dan sempat dekat. Hanya saja belakangan ini dia menghindar karena wanita itu tipe yang posesif. Setiap kali Emiko mengirimkannya email, biasanya Die tidak menjawabnya. Tapi kali ini dia tergerak untuk membalas email dan bahkan menyetujui ajakan gadis itu untuk pergi besok.

          “Iyalah. Buat apa susah-susah memikirkan sesuatu yang tak jelas kalau di depan mata ada daging yang jelas nyata dikasih.” Gumam Die.


*****
         
           
          Ujian tinggal menghitung hari. Toshiya semakin gencar bolak-balik ke kampus untuk merampungkan sisa-sisa mata kuliah yang terbengkalai. Sama seperti Kyo, seharusnya dia juga sudah melakukan tugas akhir. Namun Toshiya terlambat mengajukan judul tugasnya dan terpaksa mengulang di tahun depan.

          “Shinya!” Toshiya mendatangi Shinya yang tak sengaja ia lihat di koridor. “Lagi ngapain?”
          “Oh, ini… aku sedang membantu senior membawa buku ke perpus.” Jawabnya. Di sebelahnya seorang pria tersenyum dan menyapa Toshiya. “Hai!”
          “Toshiya, ini kepala perpus sekaligus seniorku, Motokatsu Miyagami-san.” Ujar Shinya. “Moto-san, ini teman serumahku, Toshiya.”
          “Shinya banyak cerita soal kalian di rumah.”
          “Ooh begitu…” Toshiya menyeringai. “Ya sudah kalian lanjut saja, aku mau ke kantin.”
          “Boleh bareng?” kata Shinya. “Aku juga mau ke kantin setelah ini.”
          “Iyah…!”
          “Aku juga. Kita makan bareng bertiga saja.” Sambar Motokatsu.


          Di kantin…

          “Udah siap nih kayaknya.” Kyo muncul sembari menenteng nampan makan siangnya. Die kelihatannya masih sibuk menghitung dan mengulang pelajaran statistik kemarin.
          “Siap ga siap, ya mesti siap.”
          “Ini kesiapan atau kepasrahan?” Kyo terkikik geli.
         
          Die hanya bisa menghela. Sepertinya memang jatuhnya ke pasrah, sih.

          “Kyon~~~ Die~~~!!” Dari kejauhan Toshiya melambaikan tangan. Die dan Kyo menoleh bersamaan.
          “Wah, muncul lagi manusia pasrah.” Komen Kyo.
          “Kenapa dia?” Tanya Die.
          “Dia kan ngulang tugas akhir ampe tahun depan.” Ujar Kyo.
          “Bagus, berarti ada temennya.” Gumam Die.

          Toshiya dan dua pendatang baru lainnya muncul. Sebenarnya yang benar-benar baru hanyalah seorang di antara mereka. Orang yang sejak tadi berdiri berdampingan dengan Shinya.

          “Bagus! Bagus! Ketemu di sini. Sekalian makan bareng aja.” Kata Toshiya semangat sambil melambaikan tangan kepada pramusaji.
          “Bayarin, yak!” Kyo tak kalah semangat.
          “Hih!” Toshiya mendecak keki.

          Saat pramusaji datang mereka memesan makanan. Manusia yang bernama Motokatsu ini sedari tadi diperhatikan oleh Die. Tatapannya membingungkan. Layaknya seperti pasangan, dia selalu menyamakan pilihannya dengan pilihan Shinya, mulai dari makanan, minuman hingga pencuci mulut.

          “Die nggak pesan makan?” Tanya Toshiya.
          “Dia diet.” Sambung Kyo cepat.
          “Nggak lapar. Bentar lagi juga pergi.” Kata Die.
          “Eh, Die-san… bukannya kau ini gitaris dari band D?” celetuk Motokatsu.
          “Oh? Kau tahu?”
          “Aku melihatmu di festival kesenian Universitas Y beberapa bulan lalu. Kau keren!” katanya.

          Hmm… Die ketawa jumawa dalam hati. Si Motokatsu ternyata boleh juga, pikirnya.

          “Aku masih sepupu dengan vokalisnya, si *beep*…” katanya.
          “Oh, begitu…”
         
          Kyo dan Toshiya saling berpandangan. Kalau Die sih memang tidak mengherankan dekat dengan siapapun, bahkan orang baru seperti Motokatsu.

          “Eh, Shin-chan, bukannya kau tidak suka makanan pedas, ya?”

          SHIN-CHAN?!
          Tiba-tiba mereka semua saling memandangi Motokatsu dan Shinya dengan intens. SEJAK KAPAN?!

*****


          Die terdiam. Bukannya mendengarkan pembahasan yang sedang dijelaskan oleh dosen, dia lebih fokus memerhatikan Shinya yang berada di kursi bawahnya. Pemuda itu kelihatan teliti mencatat dan mendengarkan. Sesekali dia menghitung ulang dan mencocokan jawabannya dengan yang dijelaskan oleh dosen.
          Die teringat soal Motokatsu yang memanggilnya dengan imbuhan –chan. Sebenarnya hubungan mereka memangnya sedekat apa? Sampai Shinya memperbolehkan orang memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Tapi, bukankah itu hal yang bagus. Jika kenyataan berkata bahwa Shinya sudah punya seseorang seperti Motokatsu itu berarti ini seperti realita yang harus Die ketahui bahwa dia sudah tak memiliki kesempatan.
          Aduh, bodohnya. Kenapa Die harus berpikir bahwa dia sedang mengincar Shinya? Selama ini bukankah dia yang sedang meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia tidak menyimpang? Die sudah pernah melakukan beberapa percobaan sebelumnya untuk membuktikan apakah dia menyimpang atau tidak? Jika sekarang orientasinya mulai menyukai sesama jenis, seharusnya ketika bersama dengan teman-teman lelakinya yang lain, Die bisa merasakan perasaan berdebar-debar dan cemas seperti yang ia rasakan kepada Shinya. Tetapi sepertinya hal itu tidak berlaku untuk orang lain. Die hanya bisa merasakan perasaan berdebar-debar dan tidak keruan jika bersama Shinya saja.
          Tunggu, Die pernah merasakan hal yang sama sebelumnya dengan gadis-gadis yang dia temui di acara Goukon. Dia bisa merasakan berdebar-debar kalau ada gadis yang menggelayuti tangannya dan tak sengaja tangannya bergesekan dengan dada mereka. Die masih bisa merasa terangsang dengan hal-hal seperti itu. Tetapi itu jika bersentuhan. Jika ia pikir lagi, selama dengan Shinya jangankan bersentuhan setiap kali mereka memulai percakapan saja dada Die mulai terasa tak keruan dan menjadi salah tingkah.
          Duh, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Die menjadi aneh seperti ini?

          “Itu namanya jatuh cinta…” tiba-tiba kuping Die bergerak. Dua orang mahasiswi di belakangnya sedang mengobrol serupa berbisik-bisik.
          “Aku tak yakin, Rina…”
          “Kenapa? Kan kau sendiri yang merasakan hal itu. Cuman kepada dia kau akan jadi salah tingkah dan selalu berdebar-debar. Memang sih kayak anak kecil dan kedengaran aneh, tapi proses jatuh cinta bukannya begitu, ya? Soalnya aku juga selalu begitu saat aku mulai menyukai seseorang.”

          Die tertunduk. Ini tidak mungkin. Lalu menoleh ke arah Shinya. Die… terhadap Shinya?

          “TIDAAAAAAAAAAAAAKKKK~~!!”

          “Kyo!? Ada apa?!” Kaoru mendatangi kamar Kyo dengan wajah yang panik. Baru kali ini Kyo berteriak-teriak aneh.
          “Kaoru…” Kyo menoleh ke arah Kaoru dengan sejentik air mata di matanya.

          Terpampanglah hasil isi kamar Kyo yang berantakan. Lantai kamarnya sangat berantakan dengan remehan clay dan sisa-sisa lumpur serta cat. Meja belajarnya saja sudah tak berbentuk.

          “Kyo…”
          “Hancurlah sudah masa depanku…” gumamnya lirih.


          *****


          “HEEEE?! Kok, ngga ikut?!” Toshiya kaget mendengar pernyataan Kyo yang mengatakan dia tak akan ikut liburan. “Kok, gitu sih, Kyo~? Padahal kan kau sendiri yang ngajak.”
          “Yang ngajak Shinya. Bukan aku!” jawabnya ketus.
          “Iya, tahu… tapi kan…”
          “Udah, ah. Berisik!” Kyo kemudian pergi dari ruangan itu menuju kamarnya. Meninggalkan semua penghuni yang lain dengan wajah bingung.
          “Dia lebih judes daripada biasanya.” tukas Die.
          “Maklumlah, dia lagi sensi gara-gara tugasnya berantakan.” ujar Kaoru.

          Kemarin Kyo mengalami kejadian buruk. Patung hasil pahatannya jatuh dan pecah. Padahal dia sudah berusaha keras untuk membuatnya demi tugas akhirnya. Dia hanya diberikan waktu empat bulan sebelum menyerahkannya ke galeri. Dan kini tugasnya yang hampir selesai itu hancur karena kelalaian. Kyo menjadi stress, karena waktu pengumpulannya semakin dekat. Kyo tidak mau menunggu mengulang tugas akhirnya demi mengejar kelulusan. Hal yang tak ia prediksikan sebelumnya justru membuatnya menjadi sangat kesal.
         
          “Biarin saja dulu dia menenangkan diri. Kyo butuh waktu sendirian.” kata Kaoru.

          Mereka semua menghela nafas.

          “Anu…” tiba-tiba Die juga bicara. “Aku juga tidak yakin kalau bisa ikut liburan bareng kalian.”
          “Loh, kenapa?” Toshiya kaget.
          “Ya, kau kan tahu…aku tidak yakin sama ujian statistik nanti. Mungkin saja bakal remidi.”
          “Loh, kan ada Shinya…” Toshiya melirik Shinya yang menunduk.
          “Nggak membantu.” lalu Die pun pergi.
         
          “Ihh! Kenapa semuanya jadi egois, sih!” Toshiya menghempaskan tubuhnya ke kursi. Wajahnya sangat kesal.
         
          Kaoru dan Shinya hanya diam.

         
          *****

          Malam itu ruang makan kelihatan sepi. Hanya ada Toshiya dan Shinya saja yang ikut makan malam itu.

          “Kyo masih ngambek?” tanya Toshiya.
          “Nggak tahu. Kamarnya dikunci sejak siang.”
          “Sudah makan belum?”
          “Sepertinya belum.”
          “Hih! Anak itu! Sibuk sih sibuk, tapi jangan sampai lupa makan juga dong!” Toshiya mendengus. “Terus Die juga ikut-ikutan ngambek?”
          “Nggak. Kayaknya Die tidur…. akhir-akhir ini sepertinya dia kurang tidur.”

          Toshiya kemudian beranjak dari kursinya dan mengambil mangkuk nasi. “Kao, bikin lauk buat Kyo, kan?”

          “Iya.”
          “Sini biar aku antar makanannya. Sekalian disuapin!” gerutunya kesal.

          Shinya dan Kaoru terkekeh. Toshiya walaupun nadanya marah dia tetap peduli teman.

          Tok! Tok!

          “Sape?” suara Kyo terdengar.
          “Kyo, makan dulu nih.”
          “Kan udah bilang lagi sibuk.”
          “Sibuk boleh, tapi makan tetep lanjut. Kan motto hidupmu kayak gitu. Emang nggak laper apa?”
          “Enggak.”
          “Cih! Bukan Kyo kamu ya? Setan mana kamu?! Buka!” tukas Toshiya menggedor-gedor pintu. “Buka!! Akan kuselamatkan Kyo!!”
          “Berisik, Totchi!”
          “Bukaaa!!!”

          Tak berapa lama, dari pintu sebrang Die melongok dan menjerit kesal. “Toshiya! Udah malem jangan berisik! Ganggu orang tidur tahu nggak!”

          “Udah malem? Jam 7 begini masih sore! Kepalamu, tuh, isinya tidur doang!” Toshiya mengomel.
          “Apaan, sih, nggak jelas! Jangan bikin kacau, deh!” Die geram.
          “Kyoo!!” Toshiya tak menggubris kekesalan Die dan masih menggedor kamar Kyo.

          Tak berapa lama Kaoru dan Shinya muncul di koridor dengan muka yang aneh dan kebingungan dengan segala keributan yang sedang terjadi di rumah itu. Bertepatan dengan itu Kyo juga membukakan pintu untuknya.

          “Ada apaan, sih? Ribut banget. Kalian bisa mengganggu tetangga yang lain!” Omel Kaoru.

          Mereka semua terdiam, Kyo mencomot nampan makanan di tangan Toshiya dan langsung membanting pintu kamarnya. Kaoru menggeleng pusing. Die pun membanting pintunya dengan kesal setelah bertatapan dengan Shinya. Suasana menjadi semakin tak nyaman.

          *****

          Shinya melamun kala itu. Seharusnya hari ini dia bertemu dengan Motokatsu untuk membahas sebuah buku novel. Namun Shinya sedang tidak enak hati. Maka dari itu dia berbohong dan membatalkan janjinya. Ia pun pergi ke sebuah kafe sepi yang tak jauh dari kampus untuk sekedar berpikir. Akhir-akhir ini banyak sekali yang terjadi.
          Tidak berapa lama ponselnya berdering. Salah satu nama keluarganya tertera. Shinya menjawabnya dengan ragu.

          “Iya?”

          Setelah beberapa menit bicara ia kembali menaruh ponselnya ke atas meja dan menghela dengan berat. Rasanya baru kali ini Shinya merasakan sesuatu yang berbeda. Dia jadi banyak memikirkan hal yang seharus tak ia pikirkan.

          “Loh, Shinya?” Toshiya tiba-tiba saja muncul di tempat itu. “Kok, ada di sini?”
          “Eh, Totchi…”
          “Hihihi… kau bolos, ya?” godanya. “Becanda, deng~”
          “Iya, aku bolos.”
          “Hah?”

          Walaupun wajah kalau mahasiswa suka membolos dari kuliah, tapi tetap saja mengetahui bahwa Shinya bisa nakal, Toshiya agak sedikit kaget. Apalagi melihat wajahnya yang kelihatannya tidak ceria.

          “Kau kenapa? Ada masalah?”
          “Un~” Shinya menggeleng. “Nggak ada.”
          “Jangan bohong. Kita kan sudah berteman bertahun-tahun.”
          “Anoo… aku baru kenal kamu tahun ini aja.”
          “Oh, salah ya? Hahaha…” Toshiya tergelak. Maksudnya sih untuk mencairkan suasanya kaku. Tapi Shinya sama sekali tidak terpancing. “Duh, kau kenapa sih? Kalau ada masalah cerita saja. Kau kan sudah banyak membantuku waktu itu. Jadi, aku juga mau membantumu kalau kau ada masalah.” ujarnya sambil mengembangkan senyum.
          “Toshiya… sebenernya… umm…”
          “Kenapa?”
          “Soal liburan…”
          “Oh, iya sih… soal itu ya. Aku paham. Anak-anak pada egois sih, jadi tidak memikirkan perasaan orang lain. Padahal orangtuamu sudah berbaik hati mengundang kita semua. Tapi nggak apa-apa kan kalau cuman aku sama Kaoru saja yang datang?”
          “Hmm… iya nggak apa-apa, kok.”
          “Tapi memang lebih bagus kalau kita semua bisa ikut.”
          “Iya!” Shinya terdiam sejenak. “Tapi mereka sibuk. Aku nggak bisa maksa.” Shinya menghela. “Sebenernya kalau aku mampu, aku ingin sekali membantu Kyo atau Die-san.”

          Toshiya terdiam sejenak. “Shinya kau sudah kerasan ya tinggal bareng kita?”

          “Hm?”
          “Kau menganggap kami keluarga?”
          “Kurasa begitu. Soalnya meskipun kalian menyebalkan, tapi kalian semua baik. Aku pikir aku sudah bisa merasakan kerasan tinggal bersama kalian.”
          “Jadi…?”
          “Apa?”
          “Kalau kau mau membantu mereka, aku juga akan bantu. Aku juga akan bantu supaya mereka bisa ikut.”
          “Caranya?”

         


          To be continued…

1 komentar: