The
Housemates (Part 6)
Title: The
Housemates
Author: Duele
Finishing: Mei - Juli 2014
Genre: AU, Drama
Romance, Comedy
Rating: PG15
Chapter(s): 6/on
going
Fandom(s): Dir
en Grey
Pairing(s): …?
Note Author:
*****
“Kakimu masih sakit?” Toshiya melihat
gips yang masih membungkus kaki Kaoru.
“Sudah lumayan, sih.”
“Hmm… syukurlah. Eh, haus nggak? Aku
beli minuman dulu, ya.”
“Oke.”
Toshiya berjalan ke luar ruang tunggu menuju
ke mesin penjual minuman. Kaoru memperhatikannya dari jauh. Hari itu, Toshiya
menemaninya untuk memeriksakan kakinya yang terkilir ke klinik. Entah karena
dia masih merasa bersalah atau bagaimana. Akhir-akhir ini Toshiya menjadi anak
rumahan yang penurut.
“Nih.” Dia memberikan sebotol air mineral kepada
Kaoru. “Giliranmu masih lama ya?”
“Sebentar lagi sepertinya.”
“Hoo…”
Kemudian beberapa saat mereka diam.
“Kaoru,”
“Hmm?”
“Aku minta maaf, ya.” Katanya tak
berani menatap Kaoru.
“Soal apa?”
“Soal yang waktu aku tidak pulang.”
“Lupakan.”
“Aku merasa sangat bersalah.”
“Kalau begitu jangan diulangi lagi.”
“Aku merasa perlu dihukum.”
“Hah?”
“Dulu waktu kecil kalau aku melakukan
kesalahan biasanya aku akan dihukum orangtuaku atau kepala pengurus rumah
tangga. Sekarang aku merasa aku sering melakukan hal-hal yang seenaknya tanpa
ada yang mengontrol. Maka dari itu aku jadi tidak tahu diri.”
“Toshiya…”
“Rasanya malu sekali sudah membuat
kalian semua pusing karena aku. Jadi, kalau kau mau… kau bisa menghukum aku.”
Kaoru menatapnya tanpa berkedip. Entah
kenapa kata-kata hukuman itu tidak bisa masuk ke dalam kepalanya.
“Toshiya…”
“Kaoru…”
“Toshiya…”
“Kaoru…” Toshiya menghela, “namamu
udah dipanggil perawat, tuh!” ujarnya menyadarkan Kaoru XD
*****
Die langsung membatalkan janji
liburannya dengan Inoue dan kawan-kawan mainnya yang lain. Setelah dia tahu
bahwa liburan nanti mereka akan berlibur ke tempat keluarga Shinya. Die merasa
sangat tidak sabar. Hatinya berdebar-debar. Rasanya dia ingin cepat-cepat
liburan.
Tapi…
“Yang remidi terpaksa ngulang dan
nggak bisa liburan.”
Anjir!
Die lupa soal ujian akhir
statistiknya. Manaan dia masih bahlul banget! Duh!
Setelah dia meninggalkan Miss Miki di apartmennya. Hubungannya
dengan Miss Miki tidak seakur yang
dulu. Miss Miki sekarang sudah tak
mau membantunya karena dia sudah banyak menyia-nyiakan kesempatan yang diberi.
Die sudah dicoret dari daftar pengguna bantuan Miss Miki (lol)
“Aduh, sial.” Die merutuk, frustasi!
Apa yang harus dia lakukan agar ujian
statistiknya tidak remidi. Die takut sekali tidak bisa liburan dan sendirian di
rumah! Aaaaa!! Ini menganggu!!
“Die… suram amat?” tukas Kyo saat
sarapan pagi. Die menghela. Sepertinya nafas saja susah. “Duh, berat banget
kayaknya masalah idupnya.” Gumam Kyo. Antara mencibir dan kasihan lol
“Pusing!!” Die mengacak-acak
rambutnya.
“Eh, santai, dong! Ketombenya
bececeran, nih.” Kyo menyelamatkan serealnya.
Tak lama Toshiya muncul.
“Hai~”
“Yo!” Sapa Kyo.
“Idih, Die… kucel amat?” Toshiya
kelihatan takjub.
“Bukannya udah biasa kucel? Ghihihi…”
Kyo masih menggodanya.
“Kenapa?” Tanya Toshiya.
“Pusing.”
“Pusing kenapa?”
“Kuliah!”
“HAH!” Toshiya dan Kyo mendelik
bersamaan. “TUMBEN!”
“Ck! Kalian ini…” Die mulai sebal.
“Ada masalah?”
“Banyak!” Die mulai ketus.
“Contohnya?”
“Statistik…” kata Die lemah.
“Hoo…” Toshiya dan Kyo mengangguk
bersamaan. Mereka sungguh mengerti!
“Kalau semisalnya ujian akhir ini
masih remidi, aku tidak bisa libur.”
“Loh, kalo kau nggak bisa libur.
Berarti kau nggak bisa ikutan liburan bareng kita, dong?”
“Makanya~~~” Die membentur-benturkan
wajahnya ke meja makan.
Melihatnya, Toshiya dan Kyo saling
tertawa geli. Tidak berapa lama Shinya muncul dan duduk di antara mereka.
Toshiya langsung memandanginya. Lalu terpikirkan sebuah ide.
“Die, kau masih punya kesempatan,
kok!” ujarnya dengan nada semangat.
“Apaan?!” Saat Die menegakkan
kepalanya, matanya bertatapan langsung dengan Shinya di sebrangnya.
“Se-selamat pagi.” Sapa Shinya dengan
wajah tersenyum.
Die menggangguk. Iya, iya… Die masih
punya satu kesempatan lagi.
*****
“Hati-hati membawanya, ya.” Kyo
mengarahkan dua orang tukang yang sedang menggotong box kaca ke dalam rumah. Kaoru hanya terbengong-bengong ketika
mereka membawa box kaca tersebut ke
lantai atas.
“Terima kasih banyak atas bantuannya.”
Kyo membungkuk sopan ketika kedua pria itu pergi.
“Itu untuk apa?” tanya Kaoru.
“Tugas akhirku.”
“Sudah dapat pencerahan?”
“Sedikit. Tapi butuh lebih banyak
pencerahan.” Kata Kyo.
“Mau kupasangi lampu di matamu?” ledek
Kaoru terkekeh.
“Lampu tembak boleh.” Balas Kyo tak
asyik sambil menutup pintu.
Kaoru tertawa geli.
“Ngomong-ngomong Shinya ke mana, ya?”
Tanya Kyo.
“Ooh, tadi kusuruh menemani Toshiya
belanja mingguan.”
“Ooh…”
*****
“Ngajarin? Eh, tapi aku juga masih
belum paham betul. Gimana caranya mengajarkan orang lain?” Shinya kaget
mendengar permintaan Toshiya yang memintanya untuk mengajarkan Die mata kuliah
statistic. “Apalagi, Die-san itu kan seniorku.”
“Senior kalo bodoh juga tetap aja.”
Ujar Toshiya jahat. “Dia itu paling nggak bisa pelajaran hitung-hitungan.
Dasarnya aja sial, semester awal tetep ketemu statistik.”
“Tapi…”
“Makanya, Shinya bantu, ya?” Toshiya
merangkul.
“Tapi aku ngga pede.”
“Ngga pede kenapa? Kau jangan mikir
kalau kau harus menjadi guru private-nya.
Kalian cukup belajar bersama aja, kayak teman sekelas gitu. Aku dengar dari Kyo
kalau Shinya anak yang cukup pintar. Atau… kamu pelit ngasih ilmu,ya?”
cibirnya.
“Nggak, kok! Aku nggak gitu! Pasti aku
bantu!”
“Bagus!”
Shinya terjebak.
*****
Malamnya semua penghuni berkumpul di
ruang makan untuk makan malam bersama. Jarang-jarang, nih, semua penghuni rumah
bisa berkumpul dan makan malam bersama seperti sekarang ini. Suasana ramai
dengan bahan obrolan ringan dan ledekan mengalir. Toshiya yang biasanya jarang
pulang ke rumah, sudah seminggu ini terus menerus di rumah. Die yang sering
kali melewatkan makan malam pun akhir-akhir ini selalu menyempatkan waktunya.
Kalau Kyo, sih, tidak usah ditanya. Dialah satu-satunya penghuni rumah yang
selalu tepat waktu duduk di ruang makan untuk makan. Bahkan Shinya sang
penghuni baru yang katanya pemalu dan sedikit penutup itu bisa lancar mengobrol
dengan yang lain.
“Aku sudah selesai.” Kyo menaruh
mangkuk nasi dan sumpitnya. “Hari ini bukan giliranku cuci piring, kan?”
tanyanya pada Kaoru.
“Iya, sekarang giliran Toshiya.”
Jawabnya yang langsung disambut muka malas oleh Toshiya.
“Aku duluan kalau begitu.” Kyo bangkit
dari kursinya dan menuju kamarnya.
“Tumben akhir-akhir ini dia kelihatan
sibuk. Biasanya sehabis makan langsung nge-game.”
Tutur Die sambil mengunyah makanannya.
“Dia sibuk dengan tugas akhirnya.”
Jawab Kaoru. “Kemarin dia sudah menyiapkan box kaca untuk hasil patungnya.”
“Gece juga dia..!” Die tertawa.
“Satu orang lagi juga harus gece kayak
Kyo, supaya bisa lewat dari remidi Statistik.” Sindir Toshiya.
Die tersedak. Lol
*****
“Ja-jadi begini…” Die mengatur
nafasnya. Shinya di depannya duduk menunggu. Die mencoba menjelaskan maksud
kedatangannya, tetapi rasanya sulit. “Eu…”
“Kalau mau belajar bersama aku rasa
nggak apa-apa.”
“Iya, itu maksudnya, hahaha…” Die
tertawa garing. Aduh, kenapa jadi canggung begini?? Pikir Die.
Shinya mengeluarkan catatan
statistiknya dan mulai membuka halaman demi halaman. Die yang hanya membawa
buku catatannya kelihatan bingung harus melakukan apa. Dia bingung harus
memulainya dari mana.
“Die-san sepertinya beberapa kali
bolos kuliah.”
“Hah? Oh, itu, anu…aku..”
“Ini catatanku, kau bisa mencatatnya
dulu. Nanti aku bisa jelaskan kalau ada yang tidak dimengerti.”
“Oh…okay.”
Selama Die mencatat, pikirannya tidak
bisa fokus. Kamar Shinya begitu rapih dan wangi. Beberapa patung terpajang di
rak-rak kecil. Tapi hampir semuanya berbentuk anjing. Jika diperhatikan hampir
semua barang miliknya berornament anjing. Anak ini terlalu polos dan….aneh.
Menurut Die. Sesaat kemudian, Die menangkap sebuah figura photo seorang bocah
sambil menggendong seekor anak anjing golden retriever.
“Die-san?”
“Hah! Oh… ya?!”
“Kau sudah mencatatnya?”
“Be-belum selesai. Maaf, aku lanjut
dulu.” Ujarnya gagap sambil melanjutkan catatannya.
Suasana hening kembali menyelimuti
ruangan itu.
“Die-san…”
“Ya?”
“Suka binatang?”
“Anjing?” tebaknya.
“Iya. Atau binatang lain?”
“Aku tidak terlalu suka binatang.”
Jawab Die.
“Ooh…”
“Tapi ada binatang yang aku suka.”
“Apa itu?”
“Ular.”
“Ah…uh.. oh..” Shinya menggeser
duduknya.
“Kenapa? Kau takut ular?”
“Mmm… aku nggak suka reptil.”
“Ooh…”
Setelah itu keduanya kembali membisu.
“Shinya,”
“Ya?”
“Kau suka binatang?”
“Anjing.”
“Ya, aku tahu.”
“Terus, kenapa tanya?”
“Sorry.”
Lalu mereka kembali diam.
“Shinya?”
“Apa?”
“Kau ngga suka ular dan kadal, ya?”
“Iya.”
“Kalau kecoa?”
“Iih! Kenapa Die-san tanya begitu?”
“Habis… aku lihat di punggungmu ada
kecoa…”
“GYAAAAAAAAAA~!!!”
Shinya panik!! Saking paniknya dia
langsung berdiri dan menjerit-jerit. Kecoa di belakang punggungnya berjalan
mengitari tubuhnya dan membuatnya semakin histeris. Die ikut panik.
“Die-san usir kecoanya!!”
“Gimana mau ngusir! Kamunya nggak bisa
diem!”
“Nggaaaakkk!! Aku benci kecoaaa!!”
“Bu-buka bajumu!!”
“Ugh!!”
“Buka sekarang, Shinya!”
Tanpa pikir panjang, Shinya langsung
membuka kaosnya dan melemparkannya ke sudut kamar. Tapi sepertinya dia masih panik
dan meminta Die memeriksa kecoa di badannya.
“Masih ada nggak!?” Shinya gemetaran.
Die memeriksa belakang rambutnya dan mengusap-usap kepalanya. “Udah nggak ada…”
“Udah?” Shinya kelihatan takut sekali.
Mukanya berubah pucat. Die terdiam, baru sadar kalau posisinya begitu dekat
dengan Shinya. “Ka-kayaknya di rambutmu ada sesuatu, deh…” katanya.
“Huaaaa!!” Shinya menjadi panik lagi
dan memeluk Die begitu kuat. “Tolong singkirkan~! Singkirkan!!”
“Iya… iya…” Die tersenyum jumawa.
Tangannya terus mengusap kepala Shinya. Sementara tubuh Shinya gemetaran.
“Ghihihi…!”
*****
Sejak hari itu sikap Shinya jadi lebih
dingin kepada Die. Walaupun mereka tetap belajar bersama, tapi logat bicara
Shinya akhir-akhir jadi ketus padanya. Walaupun sudah minta maaf, Shinya
sepertinya masih marah.
“Terus kenapa dipikirin?” Die
merenung. Kenapa juga dia harus bingung memikirkan kenapa Shinya marah.
Haruskah dia yang sibuk untuk mengembalikan sikap Shinya? Toh, pada awalnya
juga mereka tidak dekat. Harusnya, sih, Die senang bahwa sedikit demi sedikit
ada jarak di antara mereka. Jadi Die tidak perlu kuatir jatuh lebih dalam pada
perasaannya. Eh, tapi tunggu… kenapa Die sempat-sempatnya memikirkan bahwa dia
akan jatuh pada perasaannya? Die…normal, kan?
“Ck!” Lagi-lagi dia terpikirkan hal
itu.
Lalu tiba-tiba ponselnya berdering.
Secara mengejutkan Die dihubungi oleh Emiko, gadis kenalannya sewaktu di bar.
Die dan Emiko memang sudah bertukar email dan sempat dekat. Hanya saja
belakangan ini dia menghindar karena wanita itu tipe yang posesif. Setiap kali
Emiko mengirimkannya email, biasanya Die tidak menjawabnya. Tapi kali ini dia
tergerak untuk membalas email dan bahkan menyetujui ajakan gadis itu untuk
pergi besok.
“Iyalah. Buat apa susah-susah
memikirkan sesuatu yang tak jelas kalau di depan mata ada daging yang jelas
nyata dikasih.” Gumam Die.
*****
Ujian tinggal menghitung hari. Toshiya
semakin gencar bolak-balik ke kampus untuk merampungkan sisa-sisa mata kuliah
yang terbengkalai. Sama seperti Kyo, seharusnya dia juga sudah melakukan tugas
akhir. Namun Toshiya terlambat mengajukan judul tugasnya dan terpaksa mengulang
di tahun depan.
“Shinya!” Toshiya mendatangi Shinya
yang tak sengaja ia lihat di koridor. “Lagi ngapain?”
“Oh, ini… aku sedang membantu senior
membawa buku ke perpus.” Jawabnya. Di sebelahnya seorang pria tersenyum dan
menyapa Toshiya. “Hai!”
“Toshiya, ini kepala perpus sekaligus
seniorku, Motokatsu Miyagami-san.” Ujar Shinya. “Moto-san, ini teman serumahku,
Toshiya.”
“Shinya banyak cerita soal kalian di
rumah.”
“Ooh begitu…” Toshiya menyeringai. “Ya
sudah kalian lanjut saja, aku mau ke kantin.”
“Boleh bareng?” kata Shinya. “Aku juga
mau ke kantin setelah ini.”
“Iyah…!”
“Aku juga. Kita makan bareng bertiga
saja.” Sambar Motokatsu.
Di kantin…
“Udah siap nih kayaknya.” Kyo muncul
sembari menenteng nampan makan siangnya. Die kelihatannya masih sibuk menghitung
dan mengulang pelajaran statistik kemarin.
“Siap ga siap, ya mesti siap.”
“Ini kesiapan atau kepasrahan?” Kyo
terkikik geli.
Die hanya bisa menghela. Sepertinya
memang jatuhnya ke pasrah, sih.
“Kyon~~~ Die~~~!!” Dari kejauhan
Toshiya melambaikan tangan. Die dan Kyo menoleh bersamaan.
“Wah, muncul lagi manusia pasrah.”
Komen Kyo.
“Kenapa dia?” Tanya Die.
“Dia kan ngulang tugas akhir ampe
tahun depan.” Ujar Kyo.
“Bagus, berarti ada temennya.” Gumam
Die.
Toshiya dan dua pendatang baru lainnya
muncul. Sebenarnya yang benar-benar baru hanyalah seorang di antara mereka.
Orang yang sejak tadi berdiri berdampingan dengan Shinya.
“Bagus! Bagus! Ketemu di sini.
Sekalian makan bareng aja.” Kata Toshiya semangat sambil melambaikan tangan
kepada pramusaji.
“Bayarin, yak!” Kyo tak kalah
semangat.
“Hih!” Toshiya mendecak keki.
Saat pramusaji datang mereka memesan
makanan. Manusia yang bernama Motokatsu ini sedari tadi diperhatikan oleh Die.
Tatapannya membingungkan. Layaknya seperti pasangan, dia selalu menyamakan pilihannya
dengan pilihan Shinya, mulai dari makanan, minuman hingga pencuci mulut.
“Die nggak pesan makan?” Tanya
Toshiya.
“Dia diet.” Sambung Kyo cepat.
“Nggak lapar. Bentar lagi juga pergi.”
Kata Die.
“Eh, Die-san… bukannya kau ini gitaris
dari band D?” celetuk Motokatsu.
“Oh? Kau tahu?”
“Aku melihatmu di festival kesenian Universitas
Y beberapa bulan lalu. Kau keren!” katanya.
Hmm… Die ketawa jumawa dalam hati. Si
Motokatsu ternyata boleh juga, pikirnya.
“Aku masih sepupu dengan vokalisnya,
si *beep*…” katanya.
“Oh, begitu…”
Kyo dan Toshiya saling berpandangan.
Kalau Die sih memang tidak mengherankan dekat dengan siapapun, bahkan orang
baru seperti Motokatsu.
“Eh, Shin-chan, bukannya kau tidak
suka makanan pedas, ya?”
SHIN-CHAN?!
Tiba-tiba mereka semua saling
memandangi Motokatsu dan Shinya dengan intens. SEJAK KAPAN?!
*****
Die terdiam. Bukannya mendengarkan
pembahasan yang sedang dijelaskan oleh dosen, dia lebih fokus memerhatikan
Shinya yang berada di kursi bawahnya. Pemuda itu kelihatan teliti mencatat dan
mendengarkan. Sesekali dia menghitung ulang dan mencocokan jawabannya dengan
yang dijelaskan oleh dosen.
Die teringat soal Motokatsu yang
memanggilnya dengan imbuhan –chan. Sebenarnya hubungan mereka memangnya sedekat
apa? Sampai Shinya memperbolehkan orang memanggilnya dengan sebutan seperti
itu. Tapi, bukankah itu hal yang bagus. Jika kenyataan berkata bahwa Shinya
sudah punya seseorang seperti Motokatsu itu berarti ini seperti realita yang
harus Die ketahui bahwa dia sudah tak memiliki kesempatan.
Aduh, bodohnya. Kenapa Die harus
berpikir bahwa dia sedang mengincar Shinya? Selama ini bukankah dia yang sedang
meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia tidak menyimpang? Die sudah pernah
melakukan beberapa percobaan sebelumnya untuk membuktikan apakah dia menyimpang
atau tidak? Jika sekarang orientasinya mulai menyukai sesama jenis, seharusnya
ketika bersama dengan teman-teman lelakinya yang lain, Die bisa merasakan
perasaan berdebar-debar dan cemas seperti yang ia rasakan kepada Shinya. Tetapi
sepertinya hal itu tidak berlaku untuk orang lain. Die hanya bisa merasakan
perasaan berdebar-debar dan tidak keruan jika bersama Shinya saja.
Tunggu, Die pernah merasakan hal yang
sama sebelumnya dengan gadis-gadis yang dia temui di acara Goukon. Dia bisa
merasakan berdebar-debar kalau ada gadis yang menggelayuti tangannya dan tak
sengaja tangannya bergesekan dengan dada mereka. Die masih bisa merasa
terangsang dengan hal-hal seperti itu. Tetapi itu jika bersentuhan. Jika ia
pikir lagi, selama dengan Shinya jangankan bersentuhan setiap kali mereka
memulai percakapan saja dada Die mulai terasa tak keruan dan menjadi salah tingkah.
Duh, apa yang sebenarnya terjadi?
Kenapa Die menjadi aneh seperti ini?
“Itu namanya jatuh cinta…” tiba-tiba
kuping Die bergerak. Dua orang mahasiswi di belakangnya sedang mengobrol serupa
berbisik-bisik.
“Aku tak yakin, Rina…”
“Kenapa? Kan kau sendiri yang
merasakan hal itu. Cuman kepada dia kau akan jadi salah tingkah dan selalu
berdebar-debar. Memang sih kayak anak kecil dan kedengaran aneh, tapi proses
jatuh cinta bukannya begitu, ya? Soalnya aku juga selalu begitu saat aku mulai
menyukai seseorang.”
Die tertunduk. Ini tidak mungkin. Lalu
menoleh ke arah Shinya. Die… terhadap Shinya?
“TIDAAAAAAAAAAAAAKKKK~~!!”
“Kyo!? Ada apa?!” Kaoru mendatangi
kamar Kyo dengan wajah yang panik. Baru kali ini Kyo berteriak-teriak aneh.
“Kaoru…” Kyo menoleh ke arah Kaoru
dengan sejentik air mata di matanya.
Terpampanglah hasil isi kamar Kyo yang
berantakan. Lantai kamarnya sangat berantakan dengan remehan clay dan sisa-sisa
lumpur serta cat. Meja belajarnya saja sudah tak berbentuk.
“Kyo…”
“Hancurlah sudah masa depanku…”
gumamnya lirih.
*****
“HEEEE?! Kok, ngga ikut?!” Toshiya
kaget mendengar pernyataan Kyo yang mengatakan dia tak akan ikut liburan. “Kok,
gitu sih, Kyo~? Padahal kan kau sendiri yang ngajak.”
“Yang ngajak Shinya. Bukan aku!”
jawabnya ketus.
“Iya, tahu… tapi kan…”
“Udah, ah. Berisik!” Kyo kemudian
pergi dari ruangan itu menuju kamarnya. Meninggalkan semua penghuni yang lain
dengan wajah bingung.
“Dia lebih judes daripada biasanya.”
tukas Die.
“Maklumlah, dia lagi sensi gara-gara
tugasnya berantakan.” ujar Kaoru.
Kemarin Kyo mengalami kejadian buruk.
Patung hasil pahatannya jatuh dan pecah. Padahal dia sudah berusaha keras untuk
membuatnya demi tugas akhirnya. Dia hanya diberikan waktu empat bulan sebelum
menyerahkannya ke galeri. Dan kini tugasnya yang hampir selesai itu hancur
karena kelalaian. Kyo menjadi stress, karena waktu pengumpulannya semakin
dekat. Kyo tidak mau menunggu mengulang tugas akhirnya demi mengejar kelulusan.
Hal yang tak ia prediksikan sebelumnya justru membuatnya menjadi sangat kesal.
“Biarin saja dulu dia menenangkan
diri. Kyo butuh waktu sendirian.” kata Kaoru.
Mereka semua menghela nafas.
“Anu…” tiba-tiba Die juga bicara. “Aku
juga tidak yakin kalau bisa ikut liburan bareng kalian.”
“Loh, kenapa?” Toshiya kaget.
“Ya, kau kan tahu…aku tidak yakin sama
ujian statistik nanti. Mungkin saja bakal remidi.”
“Loh, kan ada Shinya…” Toshiya melirik
Shinya yang menunduk.
“Nggak membantu.” lalu Die pun pergi.
“Ihh! Kenapa semuanya jadi egois,
sih!” Toshiya menghempaskan tubuhnya ke kursi. Wajahnya sangat kesal.
Kaoru dan Shinya hanya diam.
*****
Malam itu ruang makan kelihatan sepi.
Hanya ada Toshiya dan Shinya saja yang ikut makan malam itu.
“Kyo masih ngambek?” tanya Toshiya.
“Nggak tahu. Kamarnya dikunci sejak
siang.”
“Sudah makan belum?”
“Sepertinya belum.”
“Hih! Anak itu! Sibuk sih sibuk, tapi
jangan sampai lupa makan juga dong!” Toshiya mendengus. “Terus Die juga
ikut-ikutan ngambek?”
“Nggak. Kayaknya Die tidur….
akhir-akhir ini sepertinya dia kurang tidur.”
Toshiya kemudian beranjak dari
kursinya dan mengambil mangkuk nasi. “Kao, bikin lauk buat Kyo, kan?”
“Iya.”
“Sini biar aku antar makanannya.
Sekalian disuapin!” gerutunya kesal.
Shinya dan Kaoru terkekeh. Toshiya
walaupun nadanya marah dia tetap peduli teman.
Tok! Tok!
“Sape?” suara Kyo terdengar.
“Kyo, makan dulu nih.”
“Kan udah bilang lagi sibuk.”
“Sibuk boleh, tapi makan tetep lanjut.
Kan motto hidupmu kayak gitu. Emang nggak laper apa?”
“Enggak.”
“Cih! Bukan Kyo kamu ya? Setan mana
kamu?! Buka!” tukas Toshiya menggedor-gedor pintu. “Buka!! Akan kuselamatkan Kyo!!”
“Berisik, Totchi!”
“Bukaaa!!!”
Tak berapa lama, dari pintu sebrang
Die melongok dan menjerit kesal. “Toshiya! Udah malem jangan berisik! Ganggu
orang tidur tahu nggak!”
“Udah malem? Jam 7 begini masih sore!
Kepalamu, tuh, isinya tidur doang!” Toshiya mengomel.
“Apaan, sih, nggak jelas! Jangan bikin
kacau, deh!” Die geram.
“Kyoo!!” Toshiya tak menggubris
kekesalan Die dan masih menggedor kamar Kyo.
Tak berapa lama Kaoru dan Shinya
muncul di koridor dengan muka yang aneh dan kebingungan dengan segala keributan
yang sedang terjadi di rumah itu. Bertepatan dengan itu Kyo juga membukakan
pintu untuknya.
“Ada apaan, sih? Ribut banget. Kalian
bisa mengganggu tetangga yang lain!” Omel Kaoru.
Mereka semua terdiam, Kyo mencomot
nampan makanan di tangan Toshiya dan langsung membanting pintu kamarnya. Kaoru
menggeleng pusing. Die pun membanting pintunya dengan kesal setelah bertatapan
dengan Shinya. Suasana menjadi semakin tak nyaman.
*****
Shinya melamun kala itu. Seharusnya
hari ini dia bertemu dengan Motokatsu untuk membahas sebuah buku novel. Namun
Shinya sedang tidak enak hati. Maka dari itu dia berbohong dan membatalkan
janjinya. Ia pun pergi ke sebuah kafe sepi yang tak jauh dari kampus untuk
sekedar berpikir. Akhir-akhir ini banyak sekali yang terjadi.
Tidak berapa lama ponselnya berdering.
Salah satu nama keluarganya tertera. Shinya menjawabnya dengan ragu.
“Iya?”
Setelah beberapa menit bicara ia
kembali menaruh ponselnya ke atas meja dan menghela dengan berat. Rasanya baru
kali ini Shinya merasakan sesuatu yang berbeda. Dia jadi banyak memikirkan hal
yang seharus tak ia pikirkan.
“Loh, Shinya?” Toshiya tiba-tiba saja
muncul di tempat itu. “Kok, ada di sini?”
“Eh, Totchi…”
“Hihihi… kau bolos, ya?” godanya.
“Becanda, deng~”
“Iya, aku bolos.”
“Hah?”
Walaupun wajah kalau mahasiswa suka
membolos dari kuliah, tapi tetap saja mengetahui bahwa Shinya bisa nakal,
Toshiya agak sedikit kaget. Apalagi melihat wajahnya yang kelihatannya tidak
ceria.
“Kau kenapa? Ada masalah?”
“Un~” Shinya menggeleng. “Nggak ada.”
“Jangan bohong. Kita kan sudah
berteman bertahun-tahun.”
“Anoo… aku baru kenal kamu tahun ini
aja.”
“Oh, salah ya? Hahaha…” Toshiya
tergelak. Maksudnya sih untuk mencairkan suasanya kaku. Tapi Shinya sama sekali
tidak terpancing. “Duh, kau kenapa sih? Kalau ada masalah cerita saja. Kau kan
sudah banyak membantuku waktu itu. Jadi, aku juga mau membantumu kalau kau ada
masalah.” ujarnya sambil mengembangkan senyum.
“Toshiya… sebenernya… umm…”
“Kenapa?”
“Soal liburan…”
“Oh, iya sih… soal itu ya. Aku paham.
Anak-anak pada egois sih, jadi tidak memikirkan perasaan orang lain. Padahal
orangtuamu sudah berbaik hati mengundang kita semua. Tapi nggak apa-apa kan
kalau cuman aku sama Kaoru saja yang datang?”
“Hmm… iya nggak apa-apa, kok.”
“Tapi memang lebih bagus kalau kita
semua bisa ikut.”
“Iya!” Shinya terdiam sejenak. “Tapi
mereka sibuk. Aku nggak bisa maksa.” Shinya menghela. “Sebenernya kalau aku
mampu, aku ingin sekali membantu Kyo atau Die-san.”
Toshiya terdiam sejenak. “Shinya kau
sudah kerasan ya tinggal bareng kita?”
“Hm?”
“Kau menganggap kami keluarga?”
“Kurasa begitu. Soalnya meskipun
kalian menyebalkan, tapi kalian semua baik. Aku pikir aku sudah bisa merasakan
kerasan tinggal bersama kalian.”
“Jadi…?”
“Apa?”
“Kalau kau mau membantu mereka, aku
juga akan bantu. Aku juga akan bantu supaya mereka bisa ikut.”
“Caranya?”
To be continued…
Lanjuuuuut!! LANJUT!
BalasHapus