The
Housemates (Part 5)
Title : The
Housemates
Author : Duele
Finishing : April 2014
Genre : AU,
Drama Romance, Comedy
Rating : PG15
Chapter(s) : 5/on
going
Fandom(s) : Dir
en Grey
Pairing(s) : …?
Note Author :
*****
“Kau marah?” Hakuei melihat Toshiya
yang hanya diam sejak mereka pergi dari rumah. Sampai sekarang Toshiya masih
tidak mau bicara. “Seriously,..”
Hakuei kesal didiamkan. “Toshiya,”
“Kenapa harus datang ke rumah, sih?”
“Memangnya kenapa?”
“Kau bilang kau nggak suka ke rumah
itu.”
“Aku memang nggak suka!” tiba-tiba
suara Hakuei meninggi. “Kau kira aku suka datang ke rumah itu lagi dan melihat
tingkah teman-temanmu juga si tua bangka pemilik rumahmu!!”
“Cukup!”
“Huh?”
“Berhenti, kataku!”
Hakuei cuek. Dia tak mau menghentikan
mobilnya. Toshiya memalingkan wajahnya kesal. Sangat kesal. Seperempat jam
perjalanan dihabiskan keduanya tanpa bicara sama sekali. Itu terlalu
membosankan dan menjengkelkan, sehingga Hakuei segera menepikan mobilnya.
Setelah berhenti, Toshiya segera turun dan berjalan menjauhi mobilnya. Hakuei
bergegas mengejarnya dan berdebat lagi di sisi jalan sepi malam itu.
“Lihat aku…” Hakuei membujuk.
“…”
“Toshiya!” pria itu memeganginya.
“Lepaskan aku!” Toshiya masih berusaha
melepaskan diri.
Mereka berdebat, suara-suara mereka
meninggi dan saling adu argumen. Hakuei yang sombong dan tidak menginginkan
Toshiya tinggal di rumah itu, sementara Toshiya tak suka siapa pun
menjelek-jelekan orang rumah dalam masalah pribadinya. Baginya, penghuni rumah
yang lain tidak ada sangkut pautnya dengan hal ini, terutama Kaoru.
Tak ada seorang pun yang boleh
menghinanya.
“Kau suka pada si tua sombong itu?!”
“Siapa yang kau sebut sombong?”
“Kau nggak akan melihatnya sombong
karena kau menyukai dia!”
“Kaoru orang baik. Dan dia nggak ada
hubungannya dengan masalah ini!” Toshiya masih membelanya.
“Ada! Jelas ada! Pertengkaran kita
sekarang karena orang tua itu!”
“Kalau kau bisa santai sedikit, nggak
bakalan yang ada namanya pertengkatang dan adu mulut!”
“Ck!”
Toshiya menepis tangan Hakuei lalu
berjalan ke jalan untuk mencari taksi. Hakuei menariknya ke tepian karena
merasa masalah mereka belum selesai.
“Kau mau ke mana?!” pria itu menyeret
Toshiya ke pinggir.
“Aku mau pulang!”
“Mau mengadu dan merengek pada si
pincang itu?”
“Hakuei!!”
Pertengkaran yang tadinya hanya adu
mulut, sekarang berubah menjadi adu otot. Keduanya saling menarik dan dan
mendorong. Semakin lama semakin kacau dan menjadi sebuah perkelahian. Hakuei
kena pukul. Begitu pun sebaliknya.
*****
“Kenapa masih terus dilanjutin? Kenapa
nggak putus saja.” Kyo berkomentar santai ketika membahas masalah Toshiya
dengan Die.
“Mungkin Toshiya sudah benar-benar
jatuh cinta.”
“Jatuh cinta?” Kyo memutar kursi
putarnya menghadap pada Die yang sedang merakit gundam. “Toshiya? Si manusia
tanpa komitmen itu? Ajaib.”
“Ada saatnya, kan, orang bakalan menemukan
yang namanya true love.”
“Hoo
so sweet…” gumam Kyo datar sambil memutar kembali kursinya kembali ke hadapan
layar macbooknya.
Kyo mungkin tak sadar bahwa Die pun
sedang berusaha memahami perasaannya sendiri. Walau pun samar, ini tentang
jatuh cinta.
*****
Toshiya tak pulang lagi malam tadi.
Dan pagi hari saat sarapan tak seperti biasanya. Semuanya hening dan terasa
sangat sunyi. Bahkan Kaoru kelihatan lebih cuek dari biasanya. Kyo baru saja
turun dan menarik kursi di sebelah Shinya yang sedang mengoles nutella cokelat
pada rotinya. Kemunculan Kyo, membuat penyelamatan kecil bagi Die yang sumpek
melihat arah dapur terus menerus demi menghindari Shinya di hadapannya.
“Ini sarapan cuman begini saja?” tukas
Kyo. Shinya menyikutnya. Pandangannya langsung menuju pada Kaoru yang sedang
mencuci piring. Kyo menatap penuh isyarat pada Shinya yang menggeleng.
Kyo beralih pada Die yang sedang
mengunyah rotinya penuh khidmat. Sama halnya seperti Shinya, Die pun hanya
menggeleng. Kyo hanya memangku dagu.
“Aku selesai.” Shinya beranjak dari
kursinya.
Beberapa detik setelah Shinya pergi,
Die ikut menyelesaikan makannya dan pergi ke garasi. Hari ini Die berencana
akan pergi setelah ikut mata kuliah statistik ke suatu bar. Oleh karena itu,
dia menggunakan motornya yang sudah diistirahatkan lama.
Di perjalanan ke luar dari perumahan,
Die melihat Shinya yang terburu dengan hanya berjalan kaki.
“Butuh tumpangan?”
Shinya terdiam.
Setelah semalaman berpikir keras dan
mencari-cari tentang kerumitan perasaannya di internet, Die akhirnya
mendapatkan sebuah ujian yang ingin ia coba. Jika memang orientasi seksualnya mulai
berubah kini saatnya dia menguji dirinya sendiri dengan sekalian menceburkan
diri ke dalam alur keanehan yang ia rasakan.
Pertama, Shinya.
Dalang dari semua ini adalah
karenanya. Maka Die mencoba menguji dirinya untuk berdekatan langsung. Seperti
memberikan tumpangan tadi pagi. Sungguh, jika saja Die tidak fokus dengan jalan
dan musik di telinganya, sudah dipastikan motornya akan melipir dan menabrak
apa pun di depannya.
Kedua, teman-temannya.
Die imbang bermain antara teman
laki-laki dan teman perempuannya. Tapi akhir-akhir ini ia jarang pergi bersama
mereka. Orang yang paling dekat dengannya di kampus adalah Inoue. Die akan
mencoba menguji perasaannya kepada laki-laki. Jika perasaannya ternyata sama
dengan apa yang ia rasakan kepada Shinya, maka Die harus mengakui kalau
sekarang dia menyimpang.
“Gue bawa motor, Die.” Inoue menatap
bingung saat Die memberikan helm.
“Bareng aja kenapa?”
“Butuh tatih tayang banget, sih, Die.”
Inoue terkikik geli. Die merinding.
“Udah, ah, cepetan!” Die mulai menyalakan
mesin motornya.
Inoue segera naik dan bersiap-siap. Di
perjalanan Die sama sekali tak merasakan apa pun. Ia dan Inoue malah terlibat
obrolan seru. Saking serunya, ia lupa bahwa telah menghabiskan seharian dengan
pria itu. Tak ada tanda-tanda yang ia rasakan seperti kepada Shinya. Bahkan di
bar Die sempat berkenalan dengan seorang wanita muda dan bertukar nomor
telepon.
Berarti Die normal!
Die senang dia normal. Bahkan sekarang
ia sibuk berkirim pesan dengan wanita kenalannya yang baru. Namanya Emiko. Gadis
itu cukup cantik dan merupakan tipe kesukaan Die. Walau pun sedikit lebih
pendek. Saat berkirim pesan dengannya, Die bisa melupakan kegalauannya mengenai
Shinya dan yang lainnya. Ternyata Die memang butuh pengalihan.
Tapi sedang senang-senangnya, Kyo
malah mengganggunya dengan suara derap kakinya yang berlarian di koridor.
Berulang kali Die mengacuhkannya tapi Kyo sepertinya sengaja berlarian di luar.
Hingga Die kesal dan melongok keluar pintu tepat ketika Kyo masuk ke dalam
kamar.
“Kyo! Peraturan rumah, nggak boleh
berlarian di koridor kamar! Berisik!” protes Die.
“Sorry,
lagi urgent!” kata Kyo mengambil
jaketnya.
“Lagian tengah malam begini mau ke
mana sih, buru-buru banget.”
“Shinya kecelakaan!”
“HAH?!” Die terkejut.
“Kyo, cepat!” suara Kaoru di bawah
memanggil.
“Iya!” teriaknya. “Duh, semoga anak
itu gak apa-apa!” Kyo segera menuruni anak tangga. Die bergegas mengikuti.
“Hey! Hey! Benar Shinya kecelakaan?” tanyanya panik.
“Bus yang ditumpangi Shinya terbakar,
Shinya menunggu entah di mana. Tadi dia menelepon.” Jawab Kaoru.
“Kyo! Aku ikut!” Die bergegas
mengikuti Kyo ke luar rumah. Kaoru meminjamkan mobilnya untuk menjemput Shinya.
*****
“Teleponin Shinya, dong!” Kyo
memberikan ponselnya pada Die sementara dia menyetir. Die segera mencari dan
meneleponnya dengan perasaan yang kalut. Teleponnya tersambung namun tak
diangkat. Ia mencoba lagi tapi hasilnya sama.
“Duh, jangan-jangan hape-nya lowbat,
makanya dia nggak berani angkat telepon!” Kyo berbelok ke jalan lain.
“Sebenarnya Shinya ini nunggunya di
mana?” tanya Die tak kalah cemas.
“Dia bilang halte. Halte apa-nya itu
yang nggak jelas karena terputus!”
Die diam, berusaha mencari jalan
keluar. Ia lalu menyalakan radio dan mencari berita. Untungnya apa yang ia
pikirkan ternyata nyata. Radio itu menyiarkan singkat mengenai kebakaran bus
dan letak kejadiannya. Die segera menitah Kyo untuk berbalik arah dan
mendatangi lokasi kejadian.
Hampir satu jam mereka berkendara,
akhirnya sampai juga. Mereka segera mencari, tetapi sosok Shinya tidak mereka
temukan. Ketika akan dihubungi, nomornya malah tidak aktif. Kyo mendecak.
“Benar, kan, hapenya mati!” Sekarang keduanya semakin bingung.
Di sana begitu ramai sehingga mereka
sulit mencari keberadaan Shinya yang telah menyingkir. Halte yang mereka kira
sebelumnya, ternyata penuh sesak karena dijadikan tempat berkumpul orang-orang
yang melihat kejadian itu. Akhirnya, Kyo dan Die berbagi tugas mencarinya dari
dua arah yang berbeda. Berbekal dengan ingatan Die tentang baju yang dipakainya
tadi pagi mereka mencari sosok yang mirip dengan Shinya. Tapi sampai satu jam
lebih mereka tak menemukannya juga.
“Ketemu?!” Die bingung.
“Belum!!” Kyo stress.
Sekali lagi mereka mencari. Die
berjalan menjauhi keramaian dan terus berjalan. Di ujung sebuah jalan ia
melihat sebuah box telepon dan seseorang yang duduk di tepian jalan. Die segera
mempercepat langkahnya dan menghampiri orang itu. Dan benar saja, itu Shinya!
“Shinya!”
Shinya menoleh. “Die-san?!”
“Kau nggak apa-apa, kan?!”
“I-iya…”
“Kenapa di sini? Katanya kau menunggu
di halte?”
“Iya, aku menunggu di sana. Tapi sejak
semuanya menjadi ramai, aku takut…”
Die terpaku. Shinya menundukan
kepalanya. “A-aku melihat box telepon, kupikir bisa menelepon ke rumah. Tapi
ternyata ponselnya mati. Aku bingung.”
Rasanya nafas Die semakin tercekat. Ia
segera melepaskan jaketnya dan memakaikannya pada Shinya, lalu membawanya
pergi. “Ayo, pulang.”
Itu pertama kalinya Die tak peduli apa
pun, kecuali membawanya pulang bersamanya.
*****
Kyo baru selesai menyeduh kopi di
bawah ketika Kaoru keluar dari kamarnya. Dia mendatangi Kyo yang sedang khidmat
menyesap kopinya pelan-pelan dengan wajah yang bingung. Ia meminta Kyo untuk
menelepon Toshiya karena sejak dua hari lalu dia tak kunjung pulang.
“Biasanya juga biasa aja.” Komentar
Kyo.
“Masalahnya teleponnya tidak aktif dan
dia tidak membalas pesanku.”
“Mungkin dia lagi asyik, Kao.”
“Aku tidak akan mengganggunya. Aku
cuman mau tahu dia di mana sekarang.”
“Di mana lagi? Ya, di tempat
yayangnya.” Goda Kyo.
“Iya, iya. Tapi tolong coba kau
hubungi saja dia.” Kaoru memaksa.
Dengan malas, Kyo kembali ke kamarnya
dan mengambil ponselnya, tepat saat itu Die turun. Ia menenteng gayung dan
peralatan mandinya.
“Keran di atas kering. Tukang ledeng
masih belum datang?”
“Oh, maaf. Aku belum menelepon lagi.”
“Oh, oke.” Die berjalan menuju kamar
mandi. “Kenapa?” tanyanya kemudian.
“Ah, gak apa-apa. Kau mau pakai kamar
mandi yang mana?”
“Belakang. Gak apa-apa, kan?”
“Ya, pakai saja.”
Kyo turun sembari menelepon Toshiya.
“Gak aktif, nih, Kao, masih tidur kali anaknya.” Katanya.
“Tapi sudah dua hari.”
“Dia lagi indehoy kali makanya nggak mau digangguin.” Kyo mengambil cangkir
kopinya lagi.
“Kenapa, sih?” Die yang melihat mereka
jadi penasaran.
“Toshiya gak ada kabar dua hari. Kaoru
cemas.” Jawab Kyo yang baru menyalakan tivi.
“Biasanya dia balas pesannya.” Kata
Kaoru.
“Deuh, Kaoru, cemas amat. Namanya juga
remaja (uhuk), ntar juga balik.” Die melengos ke kamar mandi.
Mereka semua tidak tahu, sih, cemas
yang dirasakan Kaoru.
“Hah? Toshiya?” Shinya yang menaruh chocolatte-nya sewaktu Toshiya
meneleponnya dengan nomor asing. Sepertinya dia terlibat pembicaraan yang
sangat rahasia. “Iya, nanti aku ke sana.”
Pembicaraan siang itu berakhir saat Shinya
beranjak dari kamarnya sembali membawa sebuah tas yang mencurigakan.
“Aku pergi dulu, ya.” Shinya mengambil
sepatunya di rak.
Mereka semua menoleh. “Mau ke mana?”
tanya Kyo.
“Toko buku.”
*****
Ini sudah malam kelima, tapi Toshiya
masih tak kunjung memberi kabar. Kaoru yang biasanya tenang-tenang saja walau
badai topan menyapu rumah (gak mungkin, sih, nyantai lol) sekarang mulai
kelihatan sekali cemasnya. Dia bahkan berencana untuk melaporkan Toshiya
sebagai orang hilang. Kontan saja yang lain menertawakan.
“Gila! Biasa aja, sih, Kaoru. Kau
kayak nggak tahu kebiasaan Toshiya kalau udah kelayapan kayak apa.” Cibir Die
sambil tertawa.
“Iya. Kayak tahun baru waktu dulu, kan
dia juga sempat melancong sampai seminggu. Tapi kau biasa saja, tuh.” Sambung
Kyo.
“Iya, aku tahu. Tapi tak biasanya dia
tidak memberi kabar. Lagipula,”
“Duh, udah, deh. Nggak usah panik.
Nanti orangnya kalau sudah bosen juga pulang sendiri.” Kyo menggeleng-geleng
lucu sambil melanjutkan game-nya.
“Aku pulang.” Shinya baru muncul.
Mereka menoleh bersamaan, lalu kembali
melanjutkan urusan masing-masing. Hanya Die yang kelihatannya masih tak bisa
berkilah melihat gelagat Shinya yang aneh akhir-akhir ini. Sudah dua hari ini,
Shinya sering pulang larut. Bahkan, Sabtu kemarin Shinya absen dari mata kuliah
statistik dan pulang cukup larut. Entah apa yang ia kerjakan, Die jadi curiga.
Maka keesokan harinya Die yang
penasaran mencoba mencari tahu. Tapi selama ia mengikutinya Die tidak menemukan
keganjalan yang ia curigai. Seharian itu Shinya mengikuti kegiatan kuliah
seperti biasa dan berakhir di perpustakaan.
Die terkantuk-kantuk menunggunya di
perpustakaan. Shinya benar-benar kutu buku. Sudah empat jam dia di sana dan
sama sekali tak ada respon akan menggeser pantatnya. Die sangat bosan dan
memutuskan untuk pergi. Tapi ternyata Shinya mendahuluinya. Pemuda itu sudah
lebih dulu angkat kaki. Die menghela, kemudian pulang.
Sesampainya di rumah. Die terkejut
saat mengetahui Shinya pulang lebih larut darinya. Ketika ditanya, Shinya
menjawab perpustakaan sebagai alibinya. Tetapi, Die semakin curiga.
“Membuntuti Shinya?” Kyo mendelik.
“”Die, kau serius…?
“Serius!”
“Shinya cowok, loh.”
“Duh! Bukan itu!” Die mengecilkan
suaranya. “Kau gak curiga akhir-akhir ini dia selalu pulang malam?”
“Biasanya juga begitu, kan?”
“Nggak, aku curiga. Karena kemarin aku
melihatnya pulang lebih dulu dari kampus tapi dialah yang pulang paling larut.”
Kyo hening. “Die, kepo abis.” Komentarnya
cuek.
“Kyo~, dengar dulu.”
“Die, Shinya mungkin sudah punya pacar.”
Kini, Die yang hening.
*****
“Toshiya, kau di mana?!” Suara Kaoru
terdengar panik sewaktu Toshiya menelepon ke rumah malam itu.
Penghuni rumah yang mengetahuinya
cukup lega akhirnya Toshiya memberi kabar juga. Setidaknya itu cukup membuat
Kaoru menjadi lebih tenang.
Setelah berbincang cukup lama di
telepon, akhirnya Kaoru bisa sedikit lebih tenang.
“Apa katanya?” tanya Die.
“Kenapa dia baru menelepon?” sambung
Kyo juga.
“Dia di rumah temannya,” semuanya menjawab
‘Oh!’ dengan muka yang datar, bayangan seorang pria tinggi yang angkuh
terlintas di benak mereka. Siapa lagi? Hakuei.
“Dia bilang ponselnya jatuh dan rusak,
makanya tidak aktif.”
“Tuh, kan. Apa kubilang, Kao. Nanti
juga dia menelepon. Kau, sih, terlalu cemas.” Kata Kyo.
Iya, sih. Tapi kenapa Kaoru masih
merasa cemas?
*****
“Kenapa kau nggak pulang saja? Yang
lain mencemaskanmu.” Shinya merapihkan bukunya.
“Nanti, setelah luka lebam ini
hilang.” Toshiya menyingsingkan bajunya. “Aku nggak bisa pulang dengan kondisi
yang begini. Bisa-bisa Kaoru ngamuk.”
“Kau sangat disayang Kaoru, ya.”
“Kaoru lebih mirip pengasuh, sih.
Haha..” candanya.
“Tapi bukannya bagus, ya, ada orang
yang selalu peduli kepada kita walau pun itu bukan keluarga.”
“Hmm…” Toshiya hanya tersenyum saja.
“Kau sendiri, Shin? Apa kau punya seseorang yang selalu peduli padamu?”
“Kyo-kun? Tapi dia terlalu datar.”
“Hahaha, Kyo? Sulit dipercaya.”
Toshiya tergelak. “Tapi dia kan sepupumu, maksudku, orang yang benar-benar
peduli padamu. Suka padamu, gitu.”
Shinya tidak menjawabnya. Toshiya
menggodanya. “Kenapa? Kau malu, ya?”
“Bukannya malu. Tapi kurasa nggak ada
yang seperti itu.”
Toshiya berkedip. Kaget dengan sikap
jujur Shinya. “Terus, kau punya orang yang kau sukai?”
“Ada.” Jawab Shinya cepat tanpa
berpikir.
“HAAA, siapa?!”
“Kakak kelasku, dulu. Waktu aku masih
SMP.”
“Cantik?”
Lagi-lagi Shinya diam. Toshiya
berdehem. “Kenangan buruk, ya? Sorry.”
“Ng, nggak buruk juga, sih. Cuma,
sewaktu aku masuk ke SMP, dia sudah lulus. Jadi, aku cuma bertemu dengannya
beberapa kali saat masa ospek. Itu pun dikenalkan sekali sewaktu promo kegiatan
ekstrakurikuler.”
“Wih, sepertinya menyenangkan.
Memangnya waktu itu dia masuk ekskul apa?”
“Kendo.”
*****
Die masih memikirkan tentang omongan
Kyo soal Shinya yang katanya sudah memiliki pacar. Secara tidak langsung itu
membuat perasaan Die jadi kacau dan membingungkan. Die merasa lega sekaligus
kaget. Ia lega karena Shinya normal (lalu bagaimana dengan dirinya?),
setidaknya Die tidak harus berpikiran macam-macam lagi dan berusaha untuk
melupakan perasaan aneh yang sempat menjangkitinya. Tapi dia kaget. Sangat
kaget. Bahwa ada perempuan yang mau dengan Shinya. Ah, bukan menghina. Tapi Die
sungguh tak bisa membayangkan tipe gadis macam apa yang pernah dipacari Shinya,
atau yang sekarang sedang menjalin hubungan dengannya.
Itu mengusik pikirannya.
“Aku pulang.”
Shinya baru pulang malam itu. Rumah
masih nampak ramai dengan Kyo dan Die yang masih adu game di ruang tengah.
Kaoru yang sedang menikmati kopi sembari memperhatikan permainan keduanya.
“Shinya, sudah makan belum?” tanya
Kaoru.
“Iya, sudah.”
“Dari mana Shin?”
“Mm… toko buku.” Jawabnya kemudian
naik ke lantai atas.
Melihat itu Die merasa semakin curiga
dan tak konsen dengan permainannya.
“MENANG!!” seru Kyo kemudian.
“Nyanyanya~ bayarin makan siang~ bayarin makan siang~” ledeknya pada Die yang
tak berekspresi sambil menari aneh.
Untuk memastikan kecurigaannya yang
kian besar. Sekali lagi, Die mencoba mengikuti Shinya. Sebenarnya Die sangat
benci menjadi penguntit. Tetapi Die penasaran dengan apa yang dilakukan Shinya
setiap harinya di luar rumah. Entah apa yang dikerjakannya sampai ia selalu
pulang larut malam.
Maka tanpa sepengetahuan yang lain Die
mengikutinya. Mula-mula ke kampus, Shinya belajar seperti biasa. Kemudian,
perpustakaan. Tempat yang sangat membosankan bagi Die, bahkan untuk menunggu
sekali pun. Tapi kali ini ia bernasib mujur, Shinya hanya memulangkan beberapa
buku pinjaman dan pergi. Ia sempat menerima telepon dan mampir ke sebuah toko
makanan siap saji.
Setelah membeli sekantung makanan,
Shinya menyetop sebuah taksi dan pergi. Die mengikutinya dengan cara yang sama,
menguntit lewat taksi. Setengah jam kemudian, Shinya turun di sebuah perumahan
kecil dan berjalan. Dia melewati beberapa rumah susun, dan berhenti di sebuah
gedung kecil berlantai dua. Itu seperti kamar susun yang sangat murah.
Shinya naik ke lantai dua dan mengetuk
sebuah kamar di ujung tangga. Die memperhatikannya dan ia terkejut saat melihat
Toshiya yang membuka pintu.
“Toshiya?”
Apa
yang dilakukannya di tempat seperti ini? Batin Die penasaran.
“Maaf, ya, jadi merepotkanmu.” Toshiya
membuka bungkus burgernya.
“Nggak apa-apa. Aku juga belum makan
siang.” Shinya menata meja kecil di depannya. “Kau nggak bosan di sini terus?”
“Bosan banget.” Toshiya menghela,
“Tapi aku belum bisa pulang.”
“Kenapa nggak jujur saja ke Kaoru.
Kalau kau membicarakannya baik-baik, dia mungkin mau mengerti.”
“Aku mau, sih… tapi…”
Tok! Tok! Tok!
Kedua pemuda itu tertegun melihat ke
arah pintu dengan mata horror. Lalu saling berpandangan sebentar. Shinya
kemudian beranjak untuk membuka pintu. Mereka terkejut melihat tamu yang
datang.
*****
Petang itu rumah sunyi senyap meski
pun seluruh penghuni rumah berkumpul di satu ruangan; ruang tengah. Tak ada
satu pun dari mereka yang bicara, bahkan Kyo yang biasanya banyak mulut untuk
mencairkan suasana nampak larut dalam kebisuan itu.
Para penghuni rumah memang sudah
sering kali tersandung masalah. Tetapi itu semua selalu dapat diselesaikan
bersama. Kaoru melihat Toshiya yang duduk dengan pasrah. Luka lebam di wajahnya
masih kelihatan. Shinya yang duduk di sebelahnya juga tidak bisa berbuat
apa-apa. Menyembunyikan masalah Toshiya dan membantunya untuk bersembunyi, dia
jadi merasa bersalah. Die yang berada di antara perasaan bersalah dan gemas
dengan kondisi seperti ini tidak lepas mengamati Shinya sejak tadi. Tidak hirau
dengan pandangan Kyo yang sejak tadi memandanginya.
“Kaoru…” akhirnya Toshiya angkat
suara. “Aku minta maaf.”
“Buat apa?” Kaoru masih ketus.
“Soalnya nggak pulang.”
“Udah biasa kan?” jawabnya masih
dingin. Kyo, Die dan Shinya sempat menolehnya dengan wajah bingung. Toshiya
semakin merunduk. Rasa bersalahnya kini bercampur takut. Kaoru marah.
Tapi kalau dipikir lagi, masalah
Toshiya tidaklah terlalu besar. Tidak seperti masalah si ‘anu’ yang menyeret
seisi rumah pada kesialan karena permasalahan narkoba. Masalah Toshiya
sebenernya hanyalah pada tindakan bodoh dan sifatnya yang kekanak-kanakan. Tindakan
yang akhirnya membuat seisi rumah menjadi kebingungan dengan menghilangnya dia
dari rumah.
Kaoru sendiri tidak mempermasalahkan
tentang tidak pulangnya dia ke rumah. Hanya saja dia tidak bisa menyembunyikan
bagaimana rasa marah kini berkecamuk di dadanya. Melihat penghuni rumahnya
babak belur dihajar orang, Kaoru merasa terinjak-injak. Dia merasa tidak
terima.
“Aku nggak ngasih kabar. Maaf.” Kata
Toshiya lagi. Kali ini suaranya terdengar lirih.
“U-udahlah, ya, Kaoru-” Kyo yang mau
menengahi terpaksa diam ketika Kaoru mengibaskan tangannya memintanya tak ikut
campur. Jadinya, Kyo mundur.
“Shinya,” Kaoru memanggilnya, Shinya
kaget. “Kamu sudah tahu Toshiya begini dari kapan? Kenapa tidak bilang?!”
“Ung… itu…anu…”
“Oi~ kok jadi nyalahin orang lain?”
spontan Die melontarkan protes. Kyo dan Kaoru meliriknya dengan muka aneh. Die
mundur.
“Sebenernya sejak dua hari Toshiya
nggak pulang, dia sudah telepon. Awalnya aku juga mau bilang ke yang lain. Tapi…”
“Shinya aku paksa supaya nggak bilang.
Jadi, dia nggak salah apa-apa.” Potong Toshiya.
“Memangnya siapa yang bilang Shinya
bersalah?” Kaoru memonyongkan bibirnya. Mukanya masih kelihatan sebal. Shinya
menunduk lagi. Ketiga orang penghuni lainnya bermuka aneh. “Toshiya,” Kaoru
menyilangkan kedua tangannya. “Aku tidak keberatan kalau kau tidak pulang ke
rumah, tapi satu hal yang wajib kau lakukan. Beri kabar.”
“Iya…”
“Kau membuat yang lain khawatir.
Mereka mencemaskanmu.” Kaoru bermuka serius.
Di sudut sofa Kyo berusaha menahan
senyumnya. Kaoru pandai menamengkan orang lain untuk mengatakan isi hatinya
yang sebenarnya.
“Kita semua keluarga di sini.
Permasalahanmu adalah permasalahan di sini juga. Kesenangan dan kesedihanmu
juga bagian dari rumah ini. Jangan menganggap kalau tak memberi kabar berarti
masalah akan hilang. Justru itu bisa menyebabkan masalah yang lain.”
“Iya…”
“Minta maaflah pada Shinya.” Kata
Kaoru. Shinya mendelik. Toshiya meminta maaf, “Shinya aku minta maaf.”
“Eh-eh… nggak apa-apa, bukan salahmu.
A-aku juga minta maaf sama yang lain karena sudah merahasiakan masalah ini dan
membuat yang lain cemas.” Wajah Shinya memerah, matanya berair. “A-aku…”
“Dih! Shinya, kenapa nangis!” tukas
Kyo dan Die hampir berbarengan.
“Iiih… Shinya…” Toshiya merangkulnya.
“Ma-maaf…habisnya…” Shinya menutupi
wajahnya.
Kaoru menghela berat. Tapi berakhir
dengan senyum lega. Keluarganya kembali utuh.
*****
“Terus, putus?” Kyo sampai
menghentikan kegiatan memahatnya.
“Udah bonyok gitu, siapa yang mau
lanjut?” Die menjawabnya dengan enteng.
“Lagian, sih, ya… ck! Cowok ringan
tangan itu keterlaluan.” Kyo mengomentari sambil melanjutnya kegiatan
memahatnya.
Die tidak bisa berkomentar apa-apa.
Dia masih mengganggu Kyo dengan tugas akhirnya. Sebenernya, hari itu dia bolos
kuliah karena kesiangan. Hanya ada Kyo di rumah sementara yang lainnya pergi. Shinya
kuliah, sementara Kaoru sedang periksa ke klinik ditemani Toshiya.
Die akhir-akhir ini sering bengong.
Lamunannya bermacam-macam tetapi satu tujuan. Semuanya kembali lagi kepada
sosok kemayu yang bercokol di kepalanya. Saat dia sedang melamun, Shinya lewat
di depannya. Sepertinya sudah pulang dari kampus. Die terlena hingga tidak
sadar kalau Kyo sejak tadi memanggilnya. Ia baru sadar ketika kepalanya
dipukul.
“Ck!!” gerutunya kesal.
“Dipanggil dari tadi juga.” Kyo
melemparkan clay di tangannya. “Oh
iya, aku jadi ingat sesuatu. Kaoru mengajak kita semua liburan.”
“Kapan?”
“Liburan semester ini lah. Ikut
nggak?”
“Sorry, udah ada acara sama Inoue dkk.
Lagian, Kaoru tumben amat mau keluar duit. Biasanya juga pelit.”
“Soalnya dia disponsorin.”
“Hee? Sama siapa?”
“Tuh…” Kyo mengendikan bahunya ke arah
pintu. Die menoleh dan melihat Shinya yang berdiri sambil membawa sekotak
donat.
To be continue….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar