Finishing : April 2013
Part : Oneshot
Pairing : DiexShinya
Band : Dir en grey
Notes : Wuooooohhh meh miss my Dieshin! Karena kangen Dieshin jaman Happy Lesson, maka saya buatkan salah satu cerita sekuel dari judul tersebut. Check this out!
****
‘I miss you, too…’
Jawaban
sms dari Shinya baru aku terima lima belas menit kemudian. Berbeda denganku
yang secepat kilat membalas semua pesannya yang masuk sampai kemudian dia akan
mengakhiri kirim-kiriman pesan ini dengan pamitan akan pergi tidur. Sementara
aku di sini, di Negara seberangnya sedang terang benderang akan merasa sangat
bosan dengan kehidupan datar ini.
Acara
Thanks Giving keluarga besar di New York menyeretku kembali pulang ke kampung halaman.
Karena natal tahun kemarin keluarga besar kami tak berkumpul. Maka pada setiap
perayaan Thanks Giving masing-masing keluarga kami menyempatkan diri berkumpul
di rumah besar. Rumah kakek; ayahnya Ayah dan Kaoru.
Maka,
tiga hari lalu aku dan Kaoru terbang ke New York City, bertemu dengan Ayah dan
Ibu yang sudah sampai lebih dulu serta beberapa keluarga yang sudah sangat lama
tidak kami jumpai. Rencananya kami akan tetap di New York hingga seminggu
lamanya setelah acara Thanks Giving selesai. Tradisi yang sudah menjadi kewajiban
sekaligus hak karena kami semua sudah lama tidak berjumpa.
Bip!
Bip!
Setelah
mengecek ponselnya, Kaoru bangkit dari sofa dengan mimik muka tegang. Aku tahu
bahwa Oom bermuka penjahat itu sedang bersiap melarikan diri dengan cara ‘wajar’
dari rumah untuk menemui pacarnya. Ya, siapa lagi? Benar. Toshiya.
Aku
kadang sebal kepada mereka, atau lebih tepatnya iri. Tahu bahwa Kaoru akan
pulang dan Toshiya akan merasa mati kebosanan tak bisa hidup seharipun tanpa
Kaoru, anak itu menyiapkan strategi bagus untuk pergi berlibur ke New York
tanpa sepengetahuan yang lain. Lalu kenapa aku tahu? Percayalah, Kaoru juga
tipe manusia galau cinta. Selain padaku memangnya dia bisa cerita pada siapa
lagi?
“Mau
titip sesuatu?” ujarnya sebelum pergi. Aku bergeleng dengan seringai aneh, dan
Kaoru membalas sengit memperingatkan.
Aku
meninggalkan Shinya di Tokyo. Di apartemenku. Shinya bilang, jika dia merasa
kesepian di rumah dia akan pergi ke Osaka sampai aku pulang. Kusarankan lebih
baik begitu daripada aku terus-terus berpikir bahwa apartemenku akan kecurian
dan Shinya diperkosa penjahat. OH TUHAN!
Baik,
itu seperti sugesti buruk sehingga aku setiap saat menjadi kuatir, maka tak
henti-hentinya kukirimkan sms padanya. Aku tahu ini menyebalkan, aku juga
merasa begitu. Dan aku tidak marah kalau Shinya jarang merespon cepat sms
dariku.
“Booooo……….”
Aku menguap. “….riiiiiing.”
Shinya
lagi-lagi tidak membalas sms-ku.
Terkadang
aku merasa bahwa Shinya tidak terlalu memedulikan bahwa aku sangat sayang
padanya. Setiap kali pikiran buruk selalu menghantui saat aku tidak bersamanya.
Seperti saat ini. Apalagi saat ini. Sudah kuduga, sekarang aku mulai paranoid.
Kalau kuingat bagaimana jauhnya jarak kami sekarang. Jika Shinya sakit dan
tidak ada seorangpun tahu dan dia sekarat dalam kamar. BAGAIMANA?
“Shiiit!!”
“Eeerr….
Dai, are you okay, bro?” Lung, sepupu jauhku mungkin sudah menganggap aku gila
karena melihatku tiba-tiba meloncat dari sofa dan menjambak rambut sendiri.
“I’m
sorry. I think I need sleep.” Kataku.
“Oh,
I think so. Cause you’re look-so-not-fresh.” Dia tertawa.
Hahahaha.
Lucu….
Ya? Krik. Krik.
Saat
aku melewati koridor rumah, kulihat malam ini bulan cukup besar bersinar
terhalang pohon rumah. Aku pikir sekarang Shinya sedang makan siang.
*****
Aku
menghapus semua isi text sms yang baru saja aku ketik. Kemudian, aku berpikir
lagi dan mulai mengetik lagi. Tapi kemudian hal yang sama selalu terjadi; Aku
mengetik-wajahku mengkerut-bingung-hapus text-berpikir lagi-mengetik
lagi-bingung-hapus text. Apa yang lebih buruk daripada bingung mau mengungkap
perasaan gelisah diri sendiri? Sampai sekarangpun, aku masih belum mampu untuk
sangat amat terbuka pada Die. Padahal hubungan kami sudah terjalin cukup lama.
Saat
Die memutuskan untuk ikut pulang bersama Kaoru untuk bertemu keluarganya, aku
sangat mendukung. Walaupun aku sempat tergoda atas ajakan Die yang menawarkannya
untuk ikut, tetapi aku berhasil menolak. Selain karena tidak terlalu paham
berbahasa Inggris dengan piawai, aku masih merasa enggan dengan keluarga Die. Aku
lebih memilih untuk tinggal di rumah. Tadinya, aku berencana untuk pulang juga
ke Osaka setelah aku tahu bahwa Toshiya juga ikut pergi diam-diam demi Kaoru.
Oh, aku merasa dikhianati -__-;
Tetapi
pada akhirnya aku tetap tinggal di rumah; apartemen Die. Aku ingin tetap di
sini. Bagiku, berada di sekitar benda-benda orang yang aku sayangi akan cukup
membuatku cukup merasa tenang, tidak sendirian dan nyaman. Tapi aku meleset
untuk perasaan besar bernama rindu. Aku salah memperkirakan bahwa berada di sekitar
benda-benda orang yang kita sayangi akan terus membuat kita ingat dan ingat
terus pada yang empunya barang. Aku menyesal dan sepertinya ingin bilang pada
Die bahwa aku sangat kesepian dan menginginkan pemuda itu cepat kembali.
Namun
setiap kali aku melihat kalender dan mengingat natal tahun kemarin, aku merasa
seperti orang jahat yang tega merebut Die dari keluarganya. Maka, aku berusaha
untuk tetap bertahan sampai Die pulang minggu depan.
Biip!!
Ah,
ponselku berbunyi. Aku merasa sangat senang. Kubuka isi text yang datangnya
dari Die.
‘Oyasumi. Good
nite.’
Ooh,
Die sudah mau tidur… *sigh*
Aku
menutup ponselku dan melirik pada jendela rumah yang kini benderang dengan
cahaya matahari siang.
*****
Lagi-lagi
Shinya tidak membalas smsku. Tapi aku tidak ingin absen untuk tetap menyapanya
walau mungkin sekarang giliran dia terlelap.
‘Morning!! Hey, kau
tidur, ya? Oyasumi :*’
Aku
ingin sekali mendengar suaranya, tetapi Shinya seringkali memarahiku jika aku
menelepon dengan alasan abonemen yang mahal antara New York dan Tokyo. Sifatnya
pelitnya tidak hilang, hehe…
“Daisuke,”
tiba-tiba Ibu muncul di pintu kamarku. “Can you come with me for buying some
turkey?”
“Ah,
yess, Mom.”
Ibu
membeli dua ekor ayam kalkun besar. Berukuran sangat besar. Sepertinya pesta
Thanks Giving malam ini akan menjadi malam perayaan yang cukup ramai.
“Could
you help me to take the ketchup?”
Aku
pergi meninggalkan keranjang belanja untuk mengambil beberapa botol kecap yang
berada tak jauh dari rak sayur dingin. Saat mengambilnya, aku melihat beberapa
botol yoghurt dingin terpajang di sana. Shinya suka yoghurt.
Aku
cek kembali ponselku, tetapi belum ada sms balik dari Shinya. Terus terang saja
aku sedikit kecewa.
“What’s
wrong? Something bothering you?” tanya Ibu sewaktu aku selesai memasukan
belanjaan kami ke bagasi belakang mobil Chevrolet miliknya.
“Umm,
no.”
“Do
you miss someone?” godanya.
“N-no…!”
“Aw,
Shinya will be sad.”
“Moooomm~!”
“Hihhi…”
suara tertawa Ibu tak hilang juga saat aku mulai menyalakan mesin mobil.
Ibu
tidak tahu saja bahwa aku yang rindu berat dan sedih karena Shinya tidak
merindukanku.
Kenapa
aku berkata begitu?
Mungkin
hanya perasaanku yang sensitive. Tetapi aku merasa ungkapan perasaanku terlalu
besar dan terlihat mulai menyebalkan, ya? Hapir setiap saat aku mengiriminya
sms, tetapi dari sepuluh sms yang kukirim, mungkin hanya empat sampai 6 sms
yang dia jawab. Apa Shinya merasa senang dengan kepergianku, sehingga dia bisa
dengan bebas membaca buku semalaman tanpa kuganggu seperti biasa?
Bosan.
Aku
bosan membaca buku. Aku mulai tidak menyukai kegiatan ini dan ingin sekali
pergi keluar. Tetapi setiap kali pergi ke depan pintu, aku bingung mau pergi
kemana? Karena biasanya, Die selalu punya opsi tempat jalan-jalan yang begitu
bagus. Aku tidak tahu harus kemana sekarang.
Aku
berlari mengambil ponselnya yang berbunyi, senyumku mengembang saat melihat
pesan pendek dari Die.
‘:*’
Itu
icon cium, kan?
Shinya
terkekeh.
****
‘Mau tidur…’ isi sms Shinya.
‘Nice.
Dreaming ‘bout me, okay?’ Die terkekeh.
‘No. I won’t.’
‘Why?!!
Don’t you miss meh, dear Yamochan? See, Diezemon going to crazy in here.’
Shinya
menahan tawanya yang hampir meledak. Senyumnya tak habis mengembang terus.
‘Oyasumi
:) ’
‘Not fair. Kau
mengalihkan pembicaraan -__-;’
Tawa
Shinya terdengar kecil.
‘Well, do you miss
me?’ Shinya
menjawab.
‘I
do!’
‘Me,
too :) ’
Send.
Receive.
Sejenak,
saat Shinya mengirimnya dan Die baru saja membacanya keduanya termenung pada
dunianya masing-masing. Menatap layar ponsel yang begitu hangat di kedua tangan
mereka. Shinya yang tak bisa menyembunyikan rasa rindu, namun terlalu singkat
untuk dijelaskan. Dan Die yang selalu menggebu, namun belum mau beranjak.
Keduanya sama-sama rindu, tetapi sadar terantuk pada jarak dan sebuah kerjasama
bernama toleransi. Shinya harus berbagi, Die harus sadar posisi.
Shinya
menyelimuti dirinya sendiri, tetapi matanya tetap melihat pada layar ponselnya.
Die mencium layar ponselnya kilat. Hanya mereka yang tahu seberapa besar rindu
ini mampu tertahan.
****
Die
terusik saat mendengar ponselnya bordering dari kamarnya. Dengan malas ia
mengangkat dirinya yang masih ingin bersantai di depan layar LCD tivi dengan
game-nya. Siapa yang menelponnya siang-siang bolong begini?
“Shinya…?”
Die
tersenyum senang.
“Hey,
darl-”
“Hikss…”
Seketika
raut wajah Die berubah. Mendengar isakan di sebrang line-nya.
“Sh-shinya..?”
Die menajamkan telinganya, menutup pintu kamarnya. “Darling, are you okay?”
samar ia hanya mendengar sebuah isakan yang semakin jelas. “Shinya! Shinya…!”
“Diee…hkss…”
“Hey…
kenapa?” suara Die melembut. Cukup lama ia mendengar Shinya terisak di sana. “Hey…,
ada apa?”
“Hkss…
Aku- hhkss…aku…”
“Kenapa…?”
“Aku
bermimpi buruk…”
Die
melihat jam tangannya, tengah hari. Sekarang di Tokyo mungkin sudah dinihari.
“Hey…”
Die memanggilnya saat Shinya masih terisak. “Apa yang kau mimpikan?”
“Hkkss…”
“Seburuk
itu?”
“Aku…aku…hkkss…”
“Ssshhh…”
“Hmm…hksss…hhh…”
“Ssshh..”
Setengah
jam itu Die hanya mendengarkan isak tangis Shinya yang akhirnya berhenti dengan
sendirinya. Tanpa Shinya memberitahunya mengenai mimpi buruknya. Shinya hanya
bisa menghabiskan ketakutannya dengan menangis di sisi Die. Setidaknya, Die
mendengarkannya. Setiap tarikan nafas dan desah pedihnya, rasanya berat. Shinya
mengalami depresi dalam setiap tarikan nafasnya yang menganggu emosinya.
“…maaf.” Suara parau Shinya sehabis
menangis terdengar kacau.
“Apa
kau mau tidur?”
“Ya…”
“Kutemani,”
kata Die. “Jangan tutup teleponnya, dengarkan aku mengoceh, setelah kau tidak
menjawab, aku akan tutup teleponnya dari sini.”
“Mm…baiklah.”
“Jadi,
mau mendengar cerita tentang anak-anak sini?”
“Hu-um…”
“Banyak
yang aneh di sini, Kaoru juga… kau tahu dia hari ini….”
Die
bercerita panjang lebar, hingga ia pastika Shinya terlelap dan sudah tidak
mampu mendengarkannya lagi. Die menutup ponselnya dengan helaan kecil. Lalu ia
berlari ke ruang depan. Ibu dan beberapa sepupunya sedang sibuk mengobrol
sambil menikmati sepiring cupcake.
“Uum…
aku akan pulang ke Tokyo, malam ini.” Pamitnya.
The
End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar