Author : Duele
Terandou Mori
Periode : April 2011
Genre : Horror,
Darkness, Thrill
Rating : NC17
Chapter(s) : 2/5
Fandom(s) : Dir
en Grey
Pairing(s) :
DiexShinya
~*~
Sesuai janjinya,
akhirnya Shinya membawa Die ke rumah sakit jiwa ditemani oleh Kyo. Mereka
membawa Die ke sebuah rumah sakit jiwa yang terletak cukup jauh dari padatnya
kota. Tentu saja Die mengamuk hebat saat itu. Terlebih lagi ia sadar, bahwa
Shinya sendiri yang menjebloskannya dalam penjara berkedok rumah sakit ini.
“Shinya!!!
Shinya!!!” Die terus memanggilnya ketika badannya diseret paksa beberapa
perawat penjaga yang tubuhnya dua kali jauh lebih besar darinya. “Shinya!! Kau
harus percaya padaku!!! Bukan aku yang melakukannya!!! Tapi- AAKHH!!”
Shinya membuang
muka, menahan pedih ketika Die kembali ditenangkan oleh zat sedative yang
kembali membiusnya. Kyo yang memperhatikannya hanya bisa menepuk bahunya dengan
rasa prihatin.
“Ayo, Shin. Kita
temui Dokter yang menangani Die.”
~*~
Shinya dan Kyo
duduk berhadapan dengan sang Dokter yang menangangi Die sekarang, Kaoru
Niikura.
“Kami akan
mencoba membantunya sebisa kami. Jadi, Saya harap kalian tetap tenang dan
mensupportnya agar mentalnya tidak terlalu terpuruk.”
“Apa aku masih
bisa menungguinya?” Tanya Shinya yang langsung mendapat lirikan tajam dari Kyo.
“Maaf, tapi demi
keselamatan pasien tidak boleh ditunggui. Tapi Anda boleh mengunjungi, tapi itu
pun tidak setiap hari. Pasien akan kami bantu untuk bisa kembali mandiri.”
Shinya hanya
diam. Kaoru melihat Kyo sekarang. “Aku akan melaporkan perkembangannya padamu
nanti.”
~*~
Setengah dari
kesadaran Die belumlah hilang sepenuhnya. Nyatanya pria itu masih bisa melihat
keadaan sekitarnya walau dengan bayangan yang buram. Dalam penglihatannya
sebuah lampu meneranginya. Die seperti sedang terbaring di sebuah sanitarium.
Samar terdengar suara seseorang mendekatinya.
“Ugh!” Die
berusaha menggerakan tubuhnya, namun sayang ternyata kedua tangan dan kakinya
diikat. Kini dia hanya bisa terbaring di sana saat sesosok bayang seorang pria
muncul didepannya. “Nnh!” Die mengerang.
Bayangan yang
terpantul dari matanya memperlihatkan sosok aneh itu. Dia seperti seorang
Dokter. Dengan masker dan jubah khasnya. Berdiri sambil melihat Die. Dia
mengangkat kedua tangannya yang sudah dilapisi dengan sarung tangan karetnya.
Namun saat Die perhatikan lagi, ditangan kanannya tergenggam sesuatu.
“Unnghh!!” Die
panik. Matanya membelalak. Itu pisau bedah. Die berusaha bergerak, tapi
tubuhnya tak mau merespon perintah dari otaknya. Tubuh Die seolah lumpuh.
“Hhnn!!” Die
mengerang ketika tangan sang Dokter kini memegangi rahang wajahnya yang keras.
“Sshh!!” Die berdesis, takut. Saat Dokter itu kini meremas rahangnya begitu
kuat. Die merasakan sakit yang luar biasa ketika dia menekannya. Dan kini
tangannya beralih pada kening Die. Tangannya menahan kepala Die agar kepala
pria itu tidak bergerak. Die semakin ketakutan. Die terus menggeram, ujung
kakinya mulai bergerak gelisah.
Dalam
tekanannya, Die tak mampu berkedip menatap langkah selanjutnya yang akan si
Dokter lakukan kepadanya. Namun sungguh diluar dugaan. Jantung Die seolah
terpacu semakin kencang saat Dokter itu membalikan pegangan pisau bedahnya.
Perlahan ia arahkan ujung mata pisau kecil itu ke mata Die yang membelalak.
“Unnh!!”
Mendekati garis mata bawahnya dan menekan pisaunya disana. “AAARRRGGGHHH!!!”
Dan jeritannya pun akhirnya terdengar, Die melepaskan tenaganya lewat mulutnya
saat mata pisau kecil itu memaksa masuk dan mencungkil matanya. Darah segarnya
menyembur ganas.
“AAAAAAAAKKKHHH!!!!”
“!!!”
Shinya dan Kyo
saling bertatapan satu sama lainnya. Tapi Shinya lebih cepat bergerak ketika
mengenali suara jeritan ini. Dengan cepat Shinya berlari kearah kamar Die yang
sudah dia tinggalkan. Disusul oleh Kyo dibelakangnya. Sama seperti Shinya, Kyo
pun panik mendengar jeritan histeris tersebut.
“Die?!” Saat
Shinya sampai disana, Die telah dibius kembali. Kali ini hingga dia benar-benar
tertidur. Tapi Shinya mendadak panic saat melihat luka yang menganga tepat di
pelipis kanan Die. “Die!” Shinya mendekat, tapi dihalangi oleh Kaoru. “Apa yang
terjadi padanya?” Shinya meminta penjelasan.
“Dia melukai
dirinya sendiri.”
Kening Shinya
mengkerut, aneh. “Sebelumnya Die tidak pernah begitu!”
“Ini sebuah
kecelakaan. Obat biusnya habis dan dia mulai panic. Tapi karena kedua tangan
dan kakinya diikat dia berusaha menjatuhkan dirinya dari atas ranjang. Luka
dipelipisnya itu karena dia membentur ujung meja.”
“Tapi-”
“Shinya,” Kyo
mencoba menengahi keduanya. “Shin, kau harus tenang. Kau harus menyadari apa
yang sebenarnya terjadi sekarang ini. Biarkan mereka yang mengurusnya di sini.”
“Kami akan
membantu Andou-san agar segera pulih.” Janji Kaoru.
Kyo berusaha
menggiring Shinya yang hanya bisa menatap Kaoru dengan pandangan sedikit kesal.
Ajakan Kyo terpaksa membuatnya kembali meninggalkan Die di sana. Tapi mata
Shinya kini tertuju pada Die yang tergolek di ranjangnya.
“Ayo, Shin kita
pulang.”
~*~
Sejak tadi
Shinya hanya diam tak bicara. Kyo yang mengemudikan kendaraan siang itu mulai
tidak senang dengan kebisuan ini. Ia sadar Shinya masih memikirkan masalah Die.
Terlebih lagi mereka sempat bertengkar tentang niat Shinya yang ingin menunggui
Die di rumah sakit ini. Jelas saja niat Shinya langsung ditolak mentah-mentah
oleh Kyo. Itu bisa membahayakannya. Terlebih lagi dengan apa yang terjadi pada
Die hari ini. Die sudah mulai melukai dirinya sendiri, jika Shinya ikut
menungguinya. Tidak menutup kemungkinan Die yang gila akan mencelakakan pemuda
disampingnya ini.
“Kau harus
percaya Die akan lebih baik di sana. Aku tahu rumah sakit itu bisa membuat
orang gila seperti Die sembuh.”
“Bisa tidak kau
tidak menyebut Die ‘orang gila’, itu keterlaluan. Lagipula Die tidak gila.”
Shinya membuang muka.
“Dengan apa yang
menimpa Toshiya dan kejadian yang dia lakukan hari ini kau masih belum paham
juga, Shin? Kekasihmu itu sudah gila!” Tiba-tiba nada suara Kyo naik. Tapi
Shinya tidak mau menjawabnya. Pemuda kurus itu seolah tak mau mendengarkan apa
pun yang Kyo ucapkan padanya. Shinya masih percaya, ada sesuatu yang membuat
Die jadi seperti ini.
Sebelum Die
pergi tak ada yang aneh padanya. Shinya yakin ada sesuatu yang membuatnya
menjadi gila. Ada sesuatu yang tidak Shinya ketahui tentang kepergiannya tempo
hari. Entah apa itu Shinya harus mencari tahu sebelum mereka benar-benar
membuat Die mati karena kegilaan ini.
Namun ketika
Shinya sedang memikirkan bagaimana cara untuk bisa mengetahui sesuatu di balik
masalah Die. Pandangannya tiba-tiba terpaku pada sesuatu. Sebuah bangunan tua
yang usang dan jelek. Bangunan yang terpagari pagar besi lapuk yang terkunci
dan digembok oleh rantai-rantai besar. Bangunan tua ini mirip dengan rumah
sakit. Saat mobil mereka melaju sedang, Shinya mampu melihat arca nama yang
sudah mulai buram dengan kondisi yang sudah memprihatinkan karena dindingnya
yang sudah mengelupas.
‘Rumah Sakit
Jiwa Anak-Anak McCandle’ –begitu tulisannya yang Shinya baca. Bangunan besar
itu nampak sudah lama tak terpakai. Usang dan kotor dengan dinding-dinding
bangunan yang sudah lapuk termakan usia. Ditambah lagi dengan sampah-sampah
dari dedaunan dan ranting-ranting kayu disekitar halaman dari rumah sakit
tersebut. Sungguh bangunan yang seram.
“Shinya!”
“Ha!” Shinya
terkejut. Lalu menoleh kearah Kyo.
“Kau
mendengarkan aku?” Tanyanya. “Aku minta maaf kalau perkataanku soal Die
menyinggungmu.” Pintanya.
“Ya, lupakan
saja.” Jawab Shinya yang kembali memperhatikan bangunan tua yang sudah
terlewati lewat kaca spionnya.
~*~
Malam itu Shinya
nampak sibuk dikamarnya. Lantai kamarnya terlihat berantakan dengan kertas dan
file-file lain yang berserakan memenuhi kamarnya. Shinya nampak terburu-buru
mencari sesuatu didalam sebuah laci. Tapi nampaknya ia tidak menemukan sesuatu
yang dia cari. Maka, tak berapa lama Shinya pun beranjak dari sana. Menyalakan
notebook-nya dan mulai duduk sambil menunggu perangkat tersebut menyala dengan sempurna.
Dengan gesit
Shinya mengetik sebuah password untuk membuka kunci dari Notebook yang ternyata
kepunyaan Die tersebut. Matanya segera mencari-cari file yang sepertinya
mencurigakan. Tetapi, ketika konsentrasi Shinya langsung pecah tatkala mendengar
bunyi telepon-nya yang berdering.
Kriiing~
Kriiing!
Shinya menoleh,
itu bukan bunyi dari ponselnya atau pun telepon rumah mereka. Ketika Shinya
mencari asal suara tersebut, ternyata suara itu berasal dari ponsel milik Die.
Shinya terpaku, menatap layer biru yang menampilkan sebuah nama. Dan Shinya pun
segera menjawabnya…
“Moshi-moshi…”
~*~
Seorang wanita
nampak gelisah menunggu di sebuah kafe sore itu. Terkadang kepalanya bergerak
menoleh kesana-kemari mencari-cari seseorang. Dari kejauhan nampak seorang pria
berjalan dengan tergesa-gesa lalu menghampiri mejanya.
“Nora?” Sapa
pria yang ternyata Shinya.
“Iya, saya Nora.
Ada perlu apa ya kau mengajakku bertemu?” Tanya wanita berambut pendek itu.
“Aku mau meminta
bantuanmu,” Shinya menatapnya serius. “Ini tentang Die.”
Wanita itu pun
hanya mampu melihat Shinya dengan raut wajah yang kebingungan.
~*~
Di sudut sebuah
ruangan yang kosong nampak kelengangan dan kesunyian terpancar. Tidak ada
suara-suara berisik walau ini rumah sakit jiwa yang seharusnya lebih hingar
daripada rumah sakit biasanya. Malam ini semua pasien yang gila nampak tenang,
seolah mereka semua tertidur. Sepertinya rumah sakit ini memang selalu
memberikan dosis zat penenang pada setiap pasiennya. Terkecuali, Die.
Pria yang sudah
sadar dari tidurnya itu memang sengaja tak mau bersuara agar para perawat dan
Dokter tak kembali membiusnya. Tapi Die harus menghadapi ketakutannya sendiri
dengan jelas. Terbukti saat Die kini duduk menyendiri di sudut ruangan kamarnya
yang remang.
Kamar yang Die
huni saat ini memang terpisah dari pasien-pasiennya yang lain. Die memang
sengaja ditempatkan di kamar sendiri, berbeda dengan pasien yang lain yang
disatukan dalam satu bangsal.
“Hhh…” Dalam
kesunyian itu, suara desah nafas Die terdengar begitu gelisah. Keringatnya
mengucur, matanya melirik waspada ke sekitarnya. Terutama sisi kamarnya yang
gelap. Die menatapnya dengan mata yang sangat takut. Jantungnya seolah tak
berhenti memacu dan menabuh adrenalin ketakutannya.
Die dirudung dalam
ketakutan dan kegelisahan saat ini. Ditangannya, nampak tergenggam sesuatu yang
sejak tadi dia sembunyikan di balik dadanya.
Tuk.Tuk.
Die terkejut.
Telinganya menangkap suara hentakan sepatu tersebut. Mendekatinya dan terus
mendekatinya. Die semakin gelisah dan gusar. Tubuhnya semakin mendorong agar
terus berada dalam cahaya lampu ranjangnya walau Die tidak mau tidur diatasnya
dan tetap memilih duduk menyendiri di sudut ruanganya. Tapi…
Klik.
Lampu itu padam.
“Hhh!! Hhh!”
Nafas Die memburu, mencekat lehernya. Membuatnya sulit bernafas. Tubuhnya
bergetar luar biasa hebatnya. Keringatnya pun meleleh semakin banyak, membasahi
seragam pasien Die yang kehijauan.
Tuk. Tuk.
Die menutup
kedua telinganya. Gundah dan takut. Dia tak mau melihat dan tidak mau mendengar
suara-suara menakutkan ini. Ini selalu mengusiknya. Inilah yang membuat Die
selalu histeris. Tapi ketika Die mulai berpikir, sesosok bayangan silut
memantul ditubuhnya. Mata Die yang merunduk tetap bisa melihat sepasang kaki
yang dibalut dengan celana panjang hitam dan sepatu kulitnya menapak jelas di
depan Die.
Perlahan-lahan
Die mulai menaikan kepalanya. Melihat sosok yang sekarang berdiri sambil
menatap Die dengan senyum.
“Hhhss!!” Die
panic!
Matanya berkaca,
seolah tidak membohongi bagaimana takutnya Die melihat sosok tersebut berdiri
dengan seringai yang menakutkan. Kedua tangannya yang semula berada dalam
kantung jasnya, mulai dia keluarkan. Dan nampaklah sebuah pisau stainsteel yang
mengkilap memukau mata Die.
“Hhhuu..”
Airmata Die pun jatuh. Ketika di balik sosok berseragam putih itu kini
bermunculan para perawat lain yang segera mengepung Die.
“AAAAAARRGGGHHHH!!!!”
“!!!” Kepala
Shinya jatuh, membuatnya sadar dari tidurnya yang sekarang tengah berada di
depan Notebook-nya. Shinya tertidur ketika sedang memperhatikan beberapa file
e-mail kiriman dari Nora untuknya.
Setelah
meregangkan otot-ototnya yang kaku Shinya kembali membuka file kiriman dari
Nora yang ada cukup banyak. Tapi karena rasa kantuk ini sudah tidak
tertahankan, Shinya pun mulai malas. Akhirnya pemuda itu beranjak dari sana
membiarkan file kirimannya terus bertambah, sementara Shinya pergi ke dapur
untuk membuat secangkir kopi.
Ketika Shinya
kembali, ia sempat tertegun sejenak dengan file kiriman yang sempat dia buka.
Nampak beberapa buah gambar bangunan tua yang telah lapuk terpampang di sana.
Shinya menaruh kopinya dan kembali duduk di depan mejanya sambil memperhatikan
foto-foto itu dengan seksama.
Sore tadi Shinya
memang meminta Nora yang ternyata adalah manager dari band yang sedang Die
tangani untuk mengirimkannya beberapa file. File tersebut adalah gambar-gambar
tempat yang Die kunjungi ketika melihat pengambilan scene video clip. Nora
mengatakan, tempat-tempat yang mereka kunjungi memang lebih banyak bangunan tua
karena theme song yang mereka bawakan memang beraliran lebih gelap. Maka dari
itu pengambilan gambar dan scene video pun dilakukan di tempat-tempat yang
sedikit menyeramkan.
Namun bukan
karena itu Shinya tertarik. Shinya terpaku saat ini karena matanya menangkap
sebuah foto dimana Shinya seolah pernah melihatnya sebelumnya. Sebuah foto
bangunan tua yang sepertinya Shinya kenali. Walau samara karena Shinya lupa
tepatnya dimana dia pernah melihat bangunan seperti ini.
Bangunan tua
yang memanjang dan memiliki pagar besi dengan symbol aneh. Gembok-gembok tua
yang dan rantai yang sudah berkarat terlihat familiar untuk Shinya. Dimana
Shinya pernah melihat bangunan ini?
Saat Shinya
kembali menelusuri file-filenya akhirnya Shinya menemukan titik terang.
“…Rumah sakit
jiwa McCandle?”
Continue…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar