expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

02 April 2013

The A’sylum (Part 2)

Title : The A’sylum

Author : Duele Terandou Mori

Periode : April 2011

Genre : Horror, Darkness, Thrill

Rating : NC17

Chapter(s) : 2/5

Fandom(s) : Dir en Grey

Pairing(s) : DiexShinya

 

~*~

 

Sesuai janjinya, akhirnya Shinya membawa Die ke rumah sakit jiwa ditemani oleh Kyo. Mereka membawa Die ke sebuah rumah sakit jiwa yang terletak cukup jauh dari padatnya kota. Tentu saja Die mengamuk hebat saat itu. Terlebih lagi ia sadar, bahwa Shinya sendiri yang menjebloskannya dalam penjara berkedok rumah sakit ini.

 

“Shinya!!! Shinya!!!” Die terus memanggilnya ketika badannya diseret paksa beberapa perawat penjaga yang tubuhnya dua kali jauh lebih besar darinya. “Shinya!! Kau harus percaya padaku!!! Bukan aku yang melakukannya!!! Tapi- AAKHH!!”

 

Shinya membuang muka, menahan pedih ketika Die kembali ditenangkan oleh zat sedative yang kembali membiusnya. Kyo yang memperhatikannya hanya bisa menepuk bahunya dengan rasa prihatin.

 

“Ayo, Shin. Kita temui Dokter yang menangani Die.”

 

~*~

 

Shinya dan Kyo duduk berhadapan dengan sang Dokter yang menangangi Die sekarang, Kaoru Niikura.

 

“Kami akan mencoba membantunya sebisa kami. Jadi, Saya harap kalian tetap tenang dan mensupportnya agar mentalnya tidak terlalu terpuruk.”

“Apa aku masih bisa menungguinya?” Tanya Shinya yang langsung mendapat lirikan tajam dari Kyo.

“Maaf, tapi demi keselamatan pasien tidak boleh ditunggui. Tapi Anda boleh mengunjungi, tapi itu pun tidak setiap hari. Pasien akan kami bantu untuk bisa kembali mandiri.”

 

Shinya hanya diam. Kaoru melihat Kyo sekarang. “Aku akan melaporkan perkembangannya padamu nanti.”

               

~*~

 

Setengah dari kesadaran Die belumlah hilang sepenuhnya. Nyatanya pria itu masih bisa melihat keadaan sekitarnya walau dengan bayangan yang buram. Dalam penglihatannya sebuah lampu meneranginya. Die seperti sedang terbaring di sebuah sanitarium. Samar terdengar suara seseorang mendekatinya.

 

“Ugh!” Die berusaha menggerakan tubuhnya, namun sayang ternyata kedua tangan dan kakinya diikat. Kini dia hanya bisa terbaring di sana saat sesosok bayang seorang pria muncul didepannya. “Nnh!” Die mengerang.

               

Bayangan yang terpantul dari matanya memperlihatkan sosok aneh itu. Dia seperti seorang Dokter. Dengan masker dan jubah khasnya. Berdiri sambil melihat Die. Dia mengangkat kedua tangannya yang sudah dilapisi dengan sarung tangan karetnya. Namun saat Die perhatikan lagi, ditangan kanannya tergenggam sesuatu.

               

“Unnghh!!” Die panik. Matanya membelalak. Itu pisau bedah. Die berusaha bergerak, tapi tubuhnya tak mau merespon perintah dari otaknya. Tubuh Die seolah lumpuh.

“Hhnn!!” Die mengerang ketika tangan sang Dokter kini memegangi rahang wajahnya yang keras. “Sshh!!” Die berdesis, takut. Saat Dokter itu kini meremas rahangnya begitu kuat. Die merasakan sakit yang luar biasa ketika dia menekannya. Dan kini tangannya beralih pada kening Die. Tangannya menahan kepala Die agar kepala pria itu tidak bergerak. Die semakin ketakutan. Die terus menggeram, ujung kakinya mulai bergerak gelisah.

               

Dalam tekanannya, Die tak mampu berkedip menatap langkah selanjutnya yang akan si Dokter lakukan kepadanya. Namun sungguh diluar dugaan. Jantung Die seolah terpacu semakin kencang saat Dokter itu membalikan pegangan pisau bedahnya. Perlahan ia arahkan ujung mata pisau kecil itu ke mata Die yang membelalak.

               

“Unnh!!” Mendekati garis mata bawahnya dan menekan pisaunya disana. “AAARRRGGGHHH!!!” Dan jeritannya pun akhirnya terdengar, Die melepaskan tenaganya lewat mulutnya saat mata pisau kecil itu memaksa masuk dan mencungkil matanya. Darah segarnya menyembur ganas.

               

“AAAAAAAAKKKHHH!!!!”

 

               

“!!!”

Shinya dan Kyo saling bertatapan satu sama lainnya. Tapi Shinya lebih cepat bergerak ketika mengenali suara jeritan ini. Dengan cepat Shinya berlari kearah kamar Die yang sudah dia tinggalkan. Disusul oleh Kyo dibelakangnya. Sama seperti Shinya, Kyo pun panik mendengar jeritan histeris tersebut.

               

“Die?!” Saat Shinya sampai disana, Die telah dibius kembali. Kali ini hingga dia benar-benar tertidur. Tapi Shinya mendadak panic saat melihat luka yang menganga tepat di pelipis kanan Die. “Die!” Shinya mendekat, tapi dihalangi oleh Kaoru. “Apa yang terjadi padanya?” Shinya meminta penjelasan.

“Dia melukai dirinya sendiri.”

 

Kening Shinya mengkerut, aneh. “Sebelumnya Die tidak pernah begitu!”

               

“Ini sebuah kecelakaan. Obat biusnya habis dan dia mulai panic. Tapi karena kedua tangan dan kakinya diikat dia berusaha menjatuhkan dirinya dari atas ranjang. Luka dipelipisnya itu karena dia membentur ujung meja.”

“Tapi-”

“Shinya,” Kyo mencoba menengahi keduanya. “Shin, kau harus tenang. Kau harus menyadari apa yang sebenarnya terjadi sekarang ini. Biarkan mereka yang mengurusnya di sini.”

“Kami akan membantu Andou-san agar segera pulih.” Janji Kaoru.

 

Kyo berusaha menggiring Shinya yang hanya bisa menatap Kaoru dengan pandangan sedikit kesal. Ajakan Kyo terpaksa membuatnya kembali meninggalkan Die di sana. Tapi mata Shinya kini tertuju pada Die yang tergolek di ranjangnya.

 

“Ayo, Shin kita pulang.”

 

~*~

 

Sejak tadi Shinya hanya diam tak bicara. Kyo yang mengemudikan kendaraan siang itu mulai tidak senang dengan kebisuan ini. Ia sadar Shinya masih memikirkan masalah Die. Terlebih lagi mereka sempat bertengkar tentang niat Shinya yang ingin menunggui Die di rumah sakit ini. Jelas saja niat Shinya langsung ditolak mentah-mentah oleh Kyo. Itu bisa membahayakannya. Terlebih lagi dengan apa yang terjadi pada Die hari ini. Die sudah mulai melukai dirinya sendiri, jika Shinya ikut menungguinya. Tidak menutup kemungkinan Die yang gila akan mencelakakan pemuda disampingnya ini.

               

“Kau harus percaya Die akan lebih baik di sana. Aku tahu rumah sakit itu bisa membuat orang gila seperti Die sembuh.”

“Bisa tidak kau tidak menyebut Die ‘orang gila’, itu keterlaluan. Lagipula Die tidak gila.” Shinya membuang muka.

“Dengan apa yang menimpa Toshiya dan kejadian yang dia lakukan hari ini kau masih belum paham juga, Shin? Kekasihmu itu sudah gila!” Tiba-tiba nada suara Kyo naik. Tapi Shinya tidak mau menjawabnya. Pemuda kurus itu seolah tak mau mendengarkan apa pun yang Kyo ucapkan padanya. Shinya masih percaya, ada sesuatu yang membuat Die jadi seperti ini.

               

Sebelum Die pergi tak ada yang aneh padanya. Shinya yakin ada sesuatu yang membuatnya menjadi gila. Ada sesuatu yang tidak Shinya ketahui tentang kepergiannya tempo hari. Entah apa itu Shinya harus mencari tahu sebelum mereka benar-benar membuat Die mati karena kegilaan ini.

               

Namun ketika Shinya sedang memikirkan bagaimana cara untuk bisa mengetahui sesuatu di balik masalah Die. Pandangannya tiba-tiba terpaku pada sesuatu. Sebuah bangunan tua yang usang dan jelek. Bangunan yang terpagari pagar besi lapuk yang terkunci dan digembok oleh rantai-rantai besar. Bangunan tua ini mirip dengan rumah sakit. Saat mobil mereka melaju sedang, Shinya mampu melihat arca nama yang sudah mulai buram dengan kondisi yang sudah memprihatinkan karena dindingnya yang sudah mengelupas.

               

‘Rumah Sakit Jiwa Anak-Anak McCandle’ –begitu tulisannya yang Shinya baca. Bangunan besar itu nampak sudah lama tak terpakai. Usang dan kotor dengan dinding-dinding bangunan yang sudah lapuk termakan usia. Ditambah lagi dengan sampah-sampah dari dedaunan dan ranting-ranting kayu disekitar halaman dari rumah sakit tersebut. Sungguh bangunan yang seram.

               

“Shinya!”

“Ha!” Shinya terkejut. Lalu menoleh kearah Kyo.

“Kau mendengarkan aku?” Tanyanya. “Aku minta maaf kalau perkataanku soal Die menyinggungmu.” Pintanya.

“Ya, lupakan saja.” Jawab Shinya yang kembali memperhatikan bangunan tua yang sudah terlewati lewat kaca spionnya.

 

~*~

 

Malam itu Shinya nampak sibuk dikamarnya. Lantai kamarnya terlihat berantakan dengan kertas dan file-file lain yang berserakan memenuhi kamarnya. Shinya nampak terburu-buru mencari sesuatu didalam sebuah laci. Tapi nampaknya ia tidak menemukan sesuatu yang dia cari. Maka, tak berapa lama Shinya pun beranjak dari sana. Menyalakan notebook-nya dan mulai duduk sambil menunggu perangkat tersebut menyala dengan sempurna.

 

Dengan gesit Shinya mengetik sebuah password untuk membuka kunci dari Notebook yang ternyata kepunyaan Die tersebut. Matanya segera mencari-cari file yang sepertinya mencurigakan. Tetapi, ketika konsentrasi Shinya langsung pecah tatkala mendengar bunyi telepon-nya yang berdering.

 

Kriiing~ Kriiing!

 

Shinya menoleh, itu bukan bunyi dari ponselnya atau pun telepon rumah mereka. Ketika Shinya mencari asal suara tersebut, ternyata suara itu berasal dari ponsel milik Die. Shinya terpaku, menatap layer biru yang menampilkan sebuah nama. Dan Shinya pun segera menjawabnya…

 

“Moshi-moshi…”

 

~*~

 

Seorang wanita nampak gelisah menunggu di sebuah kafe sore itu. Terkadang kepalanya bergerak menoleh kesana-kemari mencari-cari seseorang. Dari kejauhan nampak seorang pria berjalan dengan tergesa-gesa lalu menghampiri mejanya.

 

“Nora?” Sapa pria yang ternyata Shinya.

“Iya, saya Nora. Ada perlu apa ya kau mengajakku bertemu?” Tanya wanita berambut pendek itu.

“Aku mau meminta bantuanmu,” Shinya menatapnya serius. “Ini tentang Die.”

 

Wanita itu pun hanya mampu melihat Shinya dengan raut wajah yang kebingungan.

 

~*~

 

Di sudut sebuah ruangan yang kosong nampak kelengangan dan kesunyian terpancar. Tidak ada suara-suara berisik walau ini rumah sakit jiwa yang seharusnya lebih hingar daripada rumah sakit biasanya. Malam ini semua pasien yang gila nampak tenang, seolah mereka semua tertidur. Sepertinya rumah sakit ini memang selalu memberikan dosis zat penenang pada setiap pasiennya. Terkecuali, Die.

 

Pria yang sudah sadar dari tidurnya itu memang sengaja tak mau bersuara agar para perawat dan Dokter tak kembali membiusnya. Tapi Die harus menghadapi ketakutannya sendiri dengan jelas. Terbukti saat Die kini duduk menyendiri di sudut ruangan kamarnya yang remang.

 

Kamar yang Die huni saat ini memang terpisah dari pasien-pasiennya yang lain. Die memang sengaja ditempatkan di kamar sendiri, berbeda dengan pasien yang lain yang disatukan dalam satu bangsal.

 

“Hhh…” Dalam kesunyian itu, suara desah nafas Die terdengar begitu gelisah. Keringatnya mengucur, matanya melirik waspada ke sekitarnya. Terutama sisi kamarnya yang gelap. Die menatapnya dengan mata yang sangat takut. Jantungnya seolah tak berhenti memacu dan menabuh adrenalin ketakutannya.

               

Die dirudung dalam ketakutan dan kegelisahan saat ini. Ditangannya, nampak tergenggam sesuatu yang sejak tadi dia sembunyikan di balik dadanya.

 

Tuk.Tuk.

Die terkejut. Telinganya menangkap suara hentakan sepatu tersebut. Mendekatinya dan terus mendekatinya. Die semakin gelisah dan gusar. Tubuhnya semakin mendorong agar terus berada dalam cahaya lampu ranjangnya walau Die tidak mau tidur diatasnya dan tetap memilih duduk menyendiri di sudut ruanganya. Tapi…

 

Klik.

Lampu itu padam.

 

“Hhh!! Hhh!” Nafas Die memburu, mencekat lehernya. Membuatnya sulit bernafas. Tubuhnya bergetar luar biasa hebatnya. Keringatnya pun meleleh semakin banyak, membasahi seragam pasien Die yang kehijauan.

 

Tuk. Tuk.

Die menutup kedua telinganya. Gundah dan takut. Dia tak mau melihat dan tidak mau mendengar suara-suara menakutkan ini. Ini selalu mengusiknya. Inilah yang membuat Die selalu histeris. Tapi ketika Die mulai berpikir, sesosok bayangan silut memantul ditubuhnya. Mata Die yang merunduk tetap bisa melihat sepasang kaki yang dibalut dengan celana panjang hitam dan sepatu kulitnya menapak jelas di depan Die.

 

Perlahan-lahan Die mulai menaikan kepalanya. Melihat sosok yang sekarang berdiri sambil menatap Die dengan senyum.

 

“Hhhss!!” Die panic!

 

Matanya berkaca, seolah tidak membohongi bagaimana takutnya Die melihat sosok tersebut berdiri dengan seringai yang menakutkan. Kedua tangannya yang semula berada dalam kantung jasnya, mulai dia keluarkan. Dan nampaklah sebuah pisau stainsteel yang mengkilap memukau mata Die.

 

“Hhhuu..” Airmata Die pun jatuh. Ketika di balik sosok berseragam putih itu kini bermunculan para perawat lain yang segera mengepung Die.

 

“AAAAAARRGGGHHHH!!!!”

 

 

“!!!” Kepala Shinya jatuh, membuatnya sadar dari tidurnya yang sekarang tengah berada di depan Notebook-nya. Shinya tertidur ketika sedang memperhatikan beberapa file e-mail kiriman dari Nora untuknya.

 

Setelah meregangkan otot-ototnya yang kaku Shinya kembali membuka file kiriman dari Nora yang ada cukup banyak. Tapi karena rasa kantuk ini sudah tidak tertahankan, Shinya pun mulai malas. Akhirnya pemuda itu beranjak dari sana membiarkan file kirimannya terus bertambah, sementara Shinya pergi ke dapur untuk membuat secangkir kopi.

 

Ketika Shinya kembali, ia sempat tertegun sejenak dengan file kiriman yang sempat dia buka. Nampak beberapa buah gambar bangunan tua yang telah lapuk terpampang di sana. Shinya menaruh kopinya dan kembali duduk di depan mejanya sambil memperhatikan foto-foto itu dengan seksama.

 

Sore tadi Shinya memang meminta Nora yang ternyata adalah manager dari band yang sedang Die tangani untuk mengirimkannya beberapa file. File tersebut adalah gambar-gambar tempat yang Die kunjungi ketika melihat pengambilan scene video clip. Nora mengatakan, tempat-tempat yang mereka kunjungi memang lebih banyak bangunan tua karena theme song yang mereka bawakan memang beraliran lebih gelap. Maka dari itu pengambilan gambar dan scene video pun dilakukan di tempat-tempat yang sedikit menyeramkan.

 

Namun bukan karena itu Shinya tertarik. Shinya terpaku saat ini karena matanya menangkap sebuah foto dimana Shinya seolah pernah melihatnya sebelumnya. Sebuah foto bangunan tua yang sepertinya Shinya kenali. Walau samara karena Shinya lupa tepatnya dimana dia pernah melihat bangunan seperti ini.

 

Bangunan tua yang memanjang dan memiliki pagar besi dengan symbol aneh. Gembok-gembok tua yang dan rantai yang sudah berkarat terlihat familiar untuk Shinya. Dimana Shinya pernah melihat bangunan ini?

Saat Shinya kembali menelusuri file-filenya akhirnya Shinya menemukan titik terang.

 

“…Rumah sakit jiwa McCandle?”

 

 

 

Continue…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar