expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

02 April 2013

The A’sylum (Part 4)

Title : The A’sylum

Author : Duele Terandou Mori

Periode : April 2011

Genre : Horror, Darkness, Thrill

Rating : NC17

Chapter(s) : 4/5

Fandom(s) : Dir en Grey

Pairing(s) : DiexShinya

 

 

~*~

 

“DIE!”

 

Shinya segera berlari menghampiri Die yang tidur tertelungkup dengan kedua tangan dan kakinya yang terikat. Di susul dengan Kaoru yang segera melepaskan semua ikatannya dibadannya.

 

“Die!” Panggil Shinya.

“Lepaskan aku!” Die memberontak.

“Kami sudah melepaskanmu, tenanglah!”

“Pergi dariku!! Pergi dariku!!! Jangan menyakitiku!” Die histeris.

“Tidak ada siapa pun yang menyakitikumu, Die!” Shinya mengguncang tubuh Die hingga pria itu menatapnya dengan matanya yang membelalak. “Sh- Shinya…”

“Iya, ini aku.”

“Kh…hh…” Die seraya memeluknya, mendekapnya begitu erat dan menangis. “Dia mau membunuhku. Dia mau membalas dendam padaku. Kh..” tutur Die dalam isaknya.

“Siapa yang mau membunuhmu?” Kaoru bertanya. Shinya menoleh padanya. Dalam dekapannya Die masih terisak kecil dengan tubuh bergetar, namun dia menjawab, “Dr. Camui...”

 

~*~

 

Die dibawa kembali ke ruang rawat pasien. Di sana akhirnya Die mau menceritakan peristiwa yang selama ini menganggunya. Mulai dari mimpi buruk hingga kenyataan yang Die tutupi selama ini.

 

Sejak kecil, Die sudah tidak memiliki orang tua. Masa kecilnya kurang menyenangkan tidak seperti kebanyakan anak-anak seumurnya yang lain. Ketika Die berumur delapan tahun, sang Paman yang selama itu memberikan tempat tinggal padanya memasukan Die ke rumah sakit jiwa anak-anak karena Die sempat menyerang salah satu pelanggan ditokonya. Walau Die bukan seorang anak yang gila, namun karena rencana licik dari sang Paman yang tidak menyukai Die sejak awal akhirnya dia berhasil menjebloskan Die ke rumah sakit jiwa anak-anak McCandle.

 

Setahun berlalu hingga Die menginjak umur 9 tahun, masa-masa aneh mulai terjadi di rumah sakit tersebut. Sejak Dokter kepala meninggal dan digantikan oleh Dr. Camui sebagai penggantinya, kegiatan rumah sakit berubah drastis. Pengobatan yang keras dan disiplin yang otoriter membuat semua penghuni rumah sakit yang di huni oleh anak-anak di bawah umur pun mulai gelisah. Tak jarang sesuatu yang aneh terjadi. Hingga beberapa pasien anak-anak dikabarkan hilang setelah masuk ke dalam ruang isolasi. Ada yang mengatakan bahwa mereka mati karena mal praktek yang dilakukan oleh Dokter tua tersebut. Namun pihak rumah sakit selalu mengatakan bahwa, anak-anak tersebut telah kembali kerumahnya karena telah pulih dari penyakit kejiwaan mereka.

 

Suatu hari, Die beserta teman-temannya yang lain mencoba masuk ke ruangan isolasi McCandle. Mereka terkejut tatkala melihat ruangan itu ternyata jauh dari bayangan tempat pengobatan. Rantai besi, kerangkeng, bahkan sanitarium dengan ranjang yang dipenuhi darah-darah kering. Apa benar teman-temannya yang telah masuk kedalam ruang isolasi ini telah sembuh? Rumah sakit jiwa anak-anak McCandle ternyata menyimpan banyak rahasia kebusukan. Semua anak-anak yang mengalami penyakit jiwa mereka bunuh satu persatu untuk mengambil organ dalamnya dan di jual di pasar gelap.

 

Naas bagi Die dan teman-temannya yang saat itu diketahui oleh Dr. Camui dan perawatnya yang lain. Satu persatu dari mereka di seret paksa dan mulai dianiaya. Die yang saat itu hampir saja di bunuh ketika Dr. Camui hendak mengambil kedua matanya justru menyerangnya lebih dulu. Tangan kecil Die berhasil menggapai sebuah pisau bedah dan menancapkannya terlebih dulu pada mata Dr. Camui.

 

Namun bukan hanya Die, ternyata anak-anak penghuni rumah sakit ini pun mulai memberontak dan membalas perlakuan mereka. Seperti yang gila mereka bergiliran menusuk dan menyiksa para perawat tak terkecuali Dr. Camui. Mereka membunuh dan mengarak mayat mereka seperti kelompok bar-bar. Die yang saat itu terluka tidak tahu apa yang terjadi dengan Dr. Camui karena mayatnya telah disembunyikan oleh anak-anak yang lain. Bahkan mereka pun membakar rumah sakit McCandle. Membakar tempat yang selama ini mengurung dan menyiksa mereka dengan Dr. Camui yang hangus di dalamnya.

 

“Maafkan aku, Shin…” Die menatap Shinya hanya bisa terenyuh mendengar cerita Die yang benar-benar diluar dugaan. “Bukan salahmu, Die.” Shinya mengambil Die dan kembali mendekapnya. “Maafkan aku…,” isaknya.

“Tapi sekarang dia kembali!! Dia sudah melihatku datang ke tempat itu! Dia akan membunuhku dan membalas dendam kematiannya, Shin! Dia akan membunuhku!” Tiba-tiba Die pun panik.

“Tidak. Dia sudah mati, Die. Dia tidak akan membunuh siapa pun.” Shinya berusaha menenangkan.

“Tidak, Shin. Dia tidak mati. Dia tidak bisa mati. Dia sudah melukai, Toshiya,” Die ketakutan. “Dokter itu yang membuat Toshiya jatuh dari rumah kita.”

 

Shinya terkejut, begitu pula dengan Kaoru yang sedari tadi hanya diam.

 

“Dia selalu mengikutiku kemana pun aku pergi. Dia mau membunuhku, karena aku yang membunuhnya.” Die mulai meracau, ketakutan itu terlihat jelas dimatanya. Shinya hanya bisa menenangkannya dalam dekap. Namun tak urung Shinya menjadi ikut takut dan cemas sambil menatap Kaoru yang mengangguk mengerti.

 

~*~

 

Die tertidur setelah Kaoru menyuntikan obat penenang padanya. Shinya hanya bisa menatap wajah Die yang lesu dengan perasaan iba.

 

“Sepertinya halusinasi-nya membawanya seolah kembali ke masa lalunya.” Kaoru berujar.

Namun Shinya menanggapinya berbeda, “Aku pikir itu bukan halusinasi-nya semata,” jawabnya. Shinya menoleh pada Kaoru, “Mungkin benar apa yang Die katakan, Dr. Camui memang masih ada.”

“Apa sekarang kau sudah percaya tentang ‘Dokter’ itu?”

“Aku akan lebih mempercayai Die sekarang walau ini terdengar gila.” Shinya berbalik, kembali menatap Die dengan wajah serius.

 

Sementara Kaoru akhirnya pamit meninggalkan Shinya di sana. Memberikan ijin khusus untuk Shinya agar pemuda itu tetap bisa berada di sisi Die.

 

~*~

 

Siang hari itu Shinya, Kaoru dan Kyo yang datang karena mendengar cerita dari kedua orang itu –Shinya&Kaoru, menyambangi bangkai rumah sakit jiwa McCandle yang disebut-sebut Die sebagai rumah sakit neraka.

Dari sanalah kegilaan Die berasal. Maka dari itu ketiga pria itu memutuskan untuk melihat –bahkan ingin mencari keberadaan kepala rumah sakit McCandle tersebut.

 

Seperti yang bisa dibayangkan sebelumnya. Bangunan itu memang memiliki tempat-tempat yang menyeramkan dan kumuh. Usang dan lapuk. Kotoran dan sampah-sampah yang berserakan disana membuat tempat itu semakin tak nyaman dan tak layak. Gambar-gambar graffity yang yang diukir oleh para seniman berandal -yang mungkin pernah singgah- pun turut membuat dinding-dinding rumah sakit tua itu semakin kotor.

 

Simbol-simbol aneh, angka-angka yang mengatasnamakan iblis, tulisan-tulisan yang bernada seram, semakin membuatnya terlihat angker. Namun itu semua tidak terlalu berarti ketika Shinya dan yang lainnya masuk kedalam bangunan tersebut. Mereka tak jarang tercenung, bahkan terhenyak tatkala melihat isi bangunan yang benar-benar menyedihkan.

 

“Aku akan kesana.” Kyo memisahkan diri, Shinya dan Kaoru masih bersama.

“Kyo, jangan gegabah.” Shinya mencegah.

“Ayolah, Shin. Hantu tidak akan muncul siang hari kan?” Sindirnya, lalu tergelak lalu menghilang.

 

Yah, sejak Shinya menceritakan tentang keganjilan yang terjadi pada Die dan kecurigaannya tentang hantu Dr. Camui. Kyo yang tak percaya terus saja mengejeknya. Namun pemuda itu tetap mau ikut serta ketika Shinya berkeinginan untuk memeriksa tempat ini. Kyo beralasan bahwa dia hanya ingin membuktikan bahwa hantu yang Shinya curigai tidak pernah ada sebelumnya. Kyo terlampau sesumbar mengenai ketidakpercayaannya kepada sang hantu.

 

“Aku mau mencari sesuatu, kau mau ikut?” Ujar Kaoru. Shinya menoleh.

 

Shinya mengikuti Kaoru dibelakangnya. Dengan langkah yang hati-hati keduanya naik ke lantai dua dari gedung yang telah lapuk tersebut. Sementara Kyo masih melihat-lihat isi bangunan tersebut. Berjalan seorang diri terpisah dari dua rekannya yang lain.

 

Kyo berjalan ke ruang lain. Sama seperti tempat yang lainnya, ruangan yang tengah ia singgahi pun begitu kumuh lembab dan berbau tak enak. “Ugh!” hingga dia pun harus menutup hidung. Hidungnya yang memang sensitive terhadap bau-bau yang menyengat serasa menangkap bau busuk. “Bau apa ini?” Kyo mencoba mendekati lorong-lorong yang kumal dengan percikan air kotor yang mengalir dari saluran air di atasnya. Mungkin air yang mengalir ini adalah sisa-sisa dari air hujan yang mengendap dalam saluran terbuka di atap.

 

Kyo menyalakan senternya, lalu berjalan kembali menyusuri lorong tersebut. Di sisi kanannya nampak jendela-jendela usang yang berhiaskan sarang laba-laba meneranginya, namun karena kotoran dan lumut yang menahun pada sekat-sekat kayunya, lorong itu pun bisa dikatakan temaram. Lorong itu lurus, jauh membawa mata Kyo yang menatapnya untuk bisa melihat ujung dari akhir lorong tersebut. Di ujung sana kegelapan sudah menghias perhentian dari ujung tempat ini.

 

Kyo terdiam. Pria itu hanya bisa melihat ujung kegelapan itu dengan kedua matanya. Aneh, dengan cuaca seterik ini ruangan macam apa yang bisa membuat tempat segelap itu? –pikirnya. Kyo mencoba mengarahkan senternya ke ujung ruangan tersebut. Namun ternyata matanya masih tak mampu melihat bayang dari ujung lorong tersebut. Kyo mencoba berjalan mendekat, namun tak dielakan kini jantungnya bertabuh semakin kencang. Akan dia lanjutkan pengamatannya atau cukup sampai disini. Menyadari akan rasa takutnya yang perlahan seolah mengejeknya pun Kyo mulai nekat.

 

Dengan langkah pelan tapi pasti Kyo mendatangi ujung lorong tersebut. Namun, Kyo tak menyadari di belakangnya kini berdiri seorang pria berjas putih berdiri menatapnya dengan sengit. Kyo masih mencoba menyinari ujung lorong dihadapannya, sementara tangannya yang lain memegangi dinding-dinding ruangan berpintu tersebut. Dan ketika angin berhembus, Kyo tersentak!

 

“Hh!!” Spontan dia menoleh kebelakangnya dan melihat sekitarnya. Kosong!

 

Kyo termangu disana. Sempat tersirat dibenaknya Kyo merasakan adanya kehadiran seseorang. Tapi ternyata sekitarnya kosong tak berpenghuni. Sialnya, kini rasa penasaran Kyo berubah menjadi rasa takut yang mulai menghantuinya. Benarkah rumah sakit jiwa anak-anak ini berhantu?

 

“Ck!” Dengan cepat Kyo hengkang dari sana meninggalkan rasa penasaraannya. Tak berani menoleh pada ujung lorong gelap tersebut walau kini nampak beberapa tangan manusia menghinggapi tangan. Meronta.

 

~*~

 

Shinya dan Kaoru sampai di sebuah ruangan yang masih terlihat rapih namun tetap debu dan lebatnya sarang binatang berkaki enam itu mengotori sekitarnya.

 

“Puh!” Kaoru meniup debu di atas berkas-berkas yang telah ia dapatkan. Disisi lain Shinya pun nampak menemukan beberapa kertas-kertas yang mencurigakan.

“Lihat! Ini daftar anak-anak yang pernah di rawat di rumah sakit ini.” Kaoru menemukan sesuatu yang bagus. Shinya menghampirinya dan segera mengambil alih. “Coba kau cari nama Daisuke!” titah Kaoru.

 

Dengan hanya dibantu senter kecilnya, Kaoru dan Shinya mencoba mencari tahu kebenaran tentang keberadaan Die semasa kecil serta kegiatan terlarang yang sempat dilakukan.oleh para perawat dan Dokter di rumah sakit ini. Dan benar saja, nama Die ternyata terpampang di sana sebagai pasien penghuni kamar 304.

“Biar data-data ini aku yang membawanya.” Kaoru mengepaki berkas-berkas usang tersebut.

 

“Hey! Kalian di sini?!” Kyo tiba-tiba saja muncul mengejutkan mereka.

“Kyo, kau darimana saja?” Tanya Shinya.

“Sudah, tidak perlu bertanya. Sudah kalian dapatkan apa yang kalian cari?”

 

~*~

 

Tengah malam itu Shinya dikejutkan oleh suara teleponnya yang terus berdering. Dengan malas Shinya menjawabnya.

 

“Moshi-”

“Shinya!”

 

Shinya tersadar. “Die?!” Pekiknya.

 

“Shinya! Tolong aku! Shinya!!! Dia kembali!!! Shinya! Jangan tinggalkan aku!! Shinyaa!!!” Die histeris membabi buta.

“Die! Kau dimana? Die? Jawab aku!” Shinya bangkit segera dari tempat tidurnya menuju pintu depan, berlari secepat mungkin seraya menyambar kunci mobilnya.

“Shinya! Dia datang lagi, dia-” suara Die terputus, matanya membelalak saat melihat sosok berjas putih itu muncul di pinggir lorong rumah sakit. Di sampingnya berdiri seorang pemuda dengan darah yang mengucur dari dadanya. “AAAAAAAAAAA~~~~~~!!!!!”

 

Ngiiing!!

Shinya menjatuhkan teleponnya ketika jeritan Die melengking ditelinganya. Dengan panik Shinya mengambil ponselnya kembali. “Halo?! Die? Die!” Tapi telepon tersebut sudah tak bersuara. “Ukh!” Shinya menghantam stir mobilnya kesal. Hatinya kini dirudung rasa ketakutan hebat akan kehilangan Die yang sekarang jauh dari jangkauannya. Shinya pun melaju dengan kecepatan tinggi menembus gelapnya jalan malam itu.

 

~*~

 

Drap! Drap! Drap!

Shinya berlari sekencang mungkin. Para perawat penjaga yang lain berhamburan keluar. Shinya tak mengerti, untungnya Shinya menemukan Kaoru yang juga berlarian dari sebrang.

 

“Dimana Daisuke?!” Shinya panik karena tak menemukannya di rumah sakit ini.

“Dia kabur!”

 

Shinya membelalak luar biasa. Tapi keterkejutannya berubah menjadi rasa was-was yang menjadi-jadi. Kecurigaannya kini membawanya berlari keluar gedung rumah sakit.

 

“Terachi-san!” Kaoru mengikuti.

 

Shinya menghempaskan badannya melewati pekatnya malam menyusuri jalan setapak yang pernah dia lalu untuk menuju tempat itu! Yah, sudah tidak diragukan lagi, Die pasti di tempat itu! Rumah sakit jiwa McCandle!

 

~*~

 

“Shinya!”

 

Die berlari tak berhenti ketika bayangan itu membawa sosok Shinya bersamanya. Die tidak tahu mengapa kenapa dokter gila itu bisa menangkap Shinya!

 

“Shinya!” Die terus memanggilnya hingga memasuki kawasan rumah sakit tersebut. Pintu gerbang yang selama ini terkunci dan tergembok rapat, kini terbuka menyambut kedatangan Die yang menyongsong ke dalamnya tanpa ragu. “SHINYA!”

 

Sementara itu Shinya dan Kaoru yang sudah tahu kemana langkah derap kaki mereka mulai menuju arah ke rumah sakit McCandle. Walau Kaoru terlambat menyadarinya namun tindakan Shinya yang bertindak seorang diri bisa membahayakan nyawanya. Terlebih lagi mereka akan menemui isi dari McCandle pada malam hari. Bukannya Kaoru tak tahu berita dan isu yang merebak mengenai rumah sakit itu. Namun jika begini, Kaoru harus meminta bantuan.

 

Riing~

 

“Moshi-moshi?”

“Kyo-san!”

 

~*~

 

“DIEEE!!!”

 

Shinya berputar di halaman rumah sakit tersebut. Dia memanggil-manggil nama kekasihnya, tapi tetap tak ada jawaban. Maka Shinya pun mengikuti perasaannya untuk masuk ke dalamnya. Die pasti tersembunyi di dalam. Arwah dokter gila itu pasti yang membawanya sampai ke tempat ini.

 

“Hah!” Kaoru kehabisan tenaga ketika dia sampai di depan rumah sakit McCandle. Sosok Shinya telah hilang sejak tadi. Pria itu sudah kehilangan jejaknya. Kini Kaoru sendirian di tempat itu. Rasa takutnya mulai menyambanginya. Bagaimana Kaoru melangkah masuk kedalamnya?

 

~*~

 

Cahaya temaram bulan purnama yang kini tengah bersinar cukup membantu Shinya untuk melihat bayangan disekelilingnya. Walau kegelapan masih menyelimuti jalannya Shinya masih berusaha untuk menemukan Die dan membawanya dari tempat ini.

 

“Die!” Panggilnya. Shinya seolah tak takut dengan kata-kata hantu yang selama ini menghantui Die. Dengan langkah mantap pemuda itu masuk lebih dalam kedalam perut bangunan tersebut.

 

…..

 

“Die! Die, kau dimana?” Shinya masuk dan mencari-cari pria itu. Tapi tetap saja hasilnya nihil. Dia tak bisa menemukan Die dimana pun.

Tapi Shinya tak menyerah, dengan keberanian dan kenekatannya yang entah darimana dia dapatkan Shinya terus menelusuri ruangan demi ruangan yang ada di bangunan tersebut.

 

“Die?” Shinya membuka sebuah pintu yang tua dengan kaca-kaca segi empat disisinya. Dari dalam ruangan itu terlihat sesosok bayangan yang nampak seperti sedang terduduk. Shinya mencoba memeriksanya.

 

Kriet.

 

“Die?” Shinya berhati-hati. Walau tak pelak kini rasa takut itu masuk kedalam hatinya saat ini. Shinya mendadak ingat dengan isu hantu yang di lihat oleh Die. Jika benar ini hantu dan bukan Die bagaimana?

 

“Shinya!”

 

Shinya terkejut. Telinganya mendengar suara Die dari arah lain. Dengan bergegas Shinya berbalik dan tak mempedulikan sosok bayangan, yang jika di lihat dari dekat sebenarnya sosok itu adalah seorang bocah yang duduk tanpa bola mata dengan darah segar yang masih mengalir.

 

“Die!” Shinya berlari lagi. Kali ini melewati lorong-lorong yang bercabang. Sialnya, kini Shinya tertahan di tengah-tengah perempatan lorong. Tak ada siapapun di sana. Shinya bingung bagaimana memilih lorong yang akan dia telusuri.

“DIE!” Maka dia pun mencoba memanggil, semoga Die merespon dan Shinya bisa menebak dimana dia harus menemukan Die. Mulanya Shinya tak mendapat respon, tapi tiba-tiba mata Shinya menangkap sosok Die yang masuk ke sebuah ruangan dengan cepat.

“DIE!” Shinya mengejarnya, tepat mengambil jalan lorong yang lurus.

 

Tapi keanehan terus terjadi baru sesaat Shinya berlari, matanya lagi-lagi melihat sosok Die yang keluar dari ruangan lain. “Die!” Shinya mengikuti. Namun sesaat kemudian, hal yang sama kembali terulang. Ketika Shinya hendak mengejar Die, sosok Die yang lain masuk ke ruangan lain. Shinya kebingungan. “Die!”

 

Shinya seperti sedang dipermainkan oleh hal-hal aneh. Apa ini halusinasi? Apa ini… Shinya tak berani menyimpulkan. Ketika Shinya sedang bingung, kini matanya melihat sesosok pria dengan jas putihnya berdiri di sebrang lorong. Shinya bahkan harus menyipitkan matanya untuk bisa melihat sosok tersebut dalam ruangan gelap ini.

“Niikura-san?” tebaknya.

 

Cling!

Tiba-tiba Shinya terkejut ketika melihat kemilau benda yang dia bawa ditangannya. Nampak seperti pisau. Shinya tersentak dan mulai mundur teratur. Jangan-jangan inilah sosok Dokter Camui!

Suasana mencekam itu semakin meruncing ketika Shinya semakin membelalak dan terkejut bukan main tatkala semua pintu di sisi kiri dan kanan terbuka dengan sendirinya.

 

BRAK! BRAK!

Shinya tersentak luar biasa ketika mendengar suara-suara keras itu. Nafasnya yang tadi teratur kini berubah memburu. Detak jantungnya terpacu cepat. Rasa takutnya menjalar seketika. Hal itu semakin diperparah ketika di setiap pintu tersebut muncul tangan-tangan yang merayap dengan kondisi yang memucat, bahkan diantaranya ada beberapa tangan yang menjalar di lantai.

 

“AAAAKKKHHH!!!” Shinya menjerit. terus mundur. Kali ini dengan panik dan ketakutan. “Kyaaah!!!” Shinya berusaha menjauhi tangan-tangan yang datang kepadanya. Shinya berlari menjauhinya, berlari dengan rasa takut yang besar.

 

~*~

 

“Shinya!”

Die terhenti di sebuah ruangan yang sangat gelap. Sosok Shinya dan Dr, Camui yang dia kejar menghilang di tempat itu. Nafas Die memburu hebat, matanya menerawang bayang gelap yang mulai bisa ia lihat saat pupil matanya mengecil. Tiba-tiba…

 

KLIK!

Die menutup wajahnya yang tiba-tiba di serang oleh sebuah sinar yang sangat terang. Dengan kedua tangannya yang menutupi daerah wajah dan matanya yang terkena sinar menyilaukan itu Die mulai mengintip. Setelah matanya menyesuaikan diri, Die membuka wajahnya dan melihat ruangan itu kembali.

 

Sebuah ranjang dengan lampu sanitarium yang sangat besar menyala dan seolah menunggunya. Dipersiapkan dengan peralatan bedah yang lengkap. Di balik gelapnya ruangan itu seseorang berdiri menatap Die yang hanya mematung disana.

 

“Hhh….” Deru nafas Die bergemuruh.

 

~*~

 

“Hah! Hh!” Shinya berhenti, tenaganya sudah habis. Pemuda itu tak sanggup lagi berlari. Kini Shinya berhenti di sebuah ruangan yang kotor tetapi tak banyak barang disana sini. Shinya tidak tahu ini tempat apa. Ketika Shinya beranjak tepat di bacah kakinya sebuah lubang kecil terlihat disana. Lubang yang terbentuk dari retakan kayu yang sudah lapuk, Shinya harus berhati-hati agar dia tak terperosok. Shinya pun memutuskan untuk keluar dari sana, tapi ketika dia berbalik, Shinya terkejut!

 

“Ha!!!” Mata Shinya membelalak besar karena terkejut. Dengan gerakan cepat orang itu menghentak lantai di bawah kaki Shinya hingga retak dan pecah.

 

KRAAK!!!

BRUUK!!!

 

“Aaaaaaakkkhhhh!!!!!”

 

Shinya pun terjatuh ke dalam kegelapan di bawah tanah. Menabrak sesuatu yang keras yang melumpuhkannya hingga tak sadarkan diri.

 

 


 

Continue…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar