Title : The
A’sylum
Author : Duele
Periode : April
2011
Genre : Horror,
Darkness, Thrill
Rating : NC17
Chapter(s) : 1/
on going
Fandom(s) : Dir
en Grey
Pairing(s) :
DiexShinya
~*~
“AAAAARRRRGGHHH…..!!!!!
AAAAARRGGHH!!!!”
Teriakan
itu membahana menggemparkan seisi gedung rumah sakit tersebut. Sekuat tenaga
Shinya menutup kedua telinganya. Tak mau mendengar suara kesakitan luar biasa
yang Die alami saat ini. Yah, teriakan itu berasal dari Die. Kekasihnya.
“AAAAAAAARRRGGGHHH!!!
AAAAAARRRRGGGHHH!!!”
“Ugh!”
Namun
perlahan suara itu menghilang, seraya dengan hilangnya kesadaran Die yang telah
dibius dengan obat penenang. Pelan-pelan Shinya membuka kedua telinganya. Suara
Die telah memudar, tenang dan damai. Namun kini berganti dengan isak Shinya.
Isak kepedihan atas ketidakberdayaannya yang hanya mampu mendengar jeritan Die
setiap harinya. Menerima penderitaan dan kesakitan ini. Shinya merasa pedih.
~*~
“Kau
tenang saja, obat tidurnya mampu membuatnya beristirahat semalaman ini. Lebih
baik kau juga pulang lalu beristirahat, Shin.”
Shinya
tak menjawab usulan dari Kyo –Dokter yang menangani kesehatan Die saat ini.
Sambil terus mengusap kening prianya yang berkeringat, Shinya masih terus
memandanginya tanpa mempedulikan Kyo yang akhirnya pamit. Ditatapnya wajah lesu
Die yang telah tertidur. Memucat kelelahan. Dengan keringat yang bercokol di
kening dan wajahnya, Shinya tahu Die belumlah tenang. Walau itu dalam mimpi
sekalipun.
~*~
“Ugh!” Suara erangan itu
terdengar. Saat kedua pelupuk mata itu bergetar dan mulai menampakan isinya.
Mata itu terbuka, mencoba menangkap segala bayang yang terlihat buram. Dia
bergeleng mencoba membenarkan penglihatannya yang masih belum jelas. Maka
terlihatlah bentuk dari segala benda disekitarnya.
Tangannya meraba-raba. Terkadang
tanah-tanah dan kotoran kecil terselip di ujung kukunya yang panjang. “Aah..”
Dia tersadar, tengah tergolek di lantai yang kotor dan berdebu. Dengan
sampah-sampah kering yang usang menyemarakan lantai lapuk yang sedang dia
singgahi.
Dia pun bangkit dengan perlahan,
walau belum sepenuhnya sadar. Dimana dia? Melihat sekelilingnya yang sepi tanpa
penghuni. Rusak dan jelek. Tempat ini sungguh seram –pikirnya. Dengan
dinding-dinding yang terkelupas. Karatan dari besi-besi tua yang menyerupai
kerangka besi tempat tidur dan kursi. Tergeletak sembarang di tengah-tengah
ruangan.
Setelah mengumpulkan kesadaran
dan kekuatan pada dirinya, pria itu bangkit. Berdiri di tengah-tengah ruangan
tersebut. Melihat sekelilingnya yang tak ia kenali. Tempat apa ini? Kenapa
begitu kotor? Saat melihat ke kiri, nampak lorong-lorong gelap menyajikan warna
kegelapan yang dalam. Dia menoleh, berbalik ke kanan, namun hal serupa pun
tersaji di sana. Ketakutan bersarang di hatinya. Maka dia berbalik ke belakang,
sebuah tembok besar seolah menghalangi jarak pandangnya. Membatasi ruang
geraknya dan hanya menyisakan satu pilihan, jalan lurus.
Namun saat matanya menatap
kembali ke tempat semua –jalan lurus yang dimaksud- dia menemukan seseorang
berdiri di ujung sana. Tapi dia tak mampu melihat wajahnya dengan jelas. Dia
hanya mampu mengenalinya sebagai seorang Dokter, karena jubah putih yang dia
kenakan.
Tuk! Tuk!
Suara sepatunya nyaring berantuk
dengan lantai. Sosok itu berusaha mendekatinya. Dia yang didekati hanya mampu
mematung, walau tubuhnya ingin sekali bergerak. Lari kemanapun jika bisa. Tapi
dia tak mampu. Meskipun ketakutan itu semakin menjalar dinadinya, dia tak bisa
bergerak. Saat matanya menangkap sang dokter mengeluarkan sebuah pisau bedah,
ketakutannya memuncak.
“AAAAAARRRRRRGGGHH!!!
AAAAAAAARGGGHH!!!” Dia menjerit! Berusaha meminta bantuan pada siapapun yang
mendengarnya. “AAARGGGH!!!” Berkomunikasi dengan jeritan dari rasa
ketakutannya. Namun Dokter itu semakin mendekat.
“Tidaaaaaaakkkk!!!”
Mendapatkannya. Menarik
–menjambak rambutnya dan mengarahkan pisau bedah itu ke udara. Matanya mendelik
menatap kerlip mata pisau stainless yang terhunus kepadanya. Lalu
mengayunkannya…
“AAAAAARRRRRGGGGHHHH!!!!!”
“Die!!! DIEE!!”
Shinya memegangi tubuh Die yang
menggelinjang kesana kemari. Tak mampu mengendalikan halusinasinya. Beberapa
perawat wanita membantunya, memegangi kedua tangan dan kaki Die dengan kuat.
Sementara seorang lain mengambil seutas tali, mengikat tubuh Die yang bergerak
tak beraturan.
“Aaaarrrgghhh!!!
Aaaaarrrrrggh!!!!!” Die menjerit tak henti, membelalak menatap langit-langit
dengan muka bengis.
“Die…” Isak Shinya kembali
terdengar saat melihat pria itu kembali diikat.
Kyo muncul dengan beberapa
orang, mengambil suntikannya dan memaksa pemuda itu diam.
“Bangsaatt!!” Die mengumpat.
Kakinya yang terikat bergerak menendangi siapapun termasuk Kyo. “Ugh!”
“Die!” Shinya panik saat tubuh
Die berhasil menyingkirkan dan menumbangkan para perawat dengan tendangan dan
pukulan bertubi. Shinya berusaha menghalangi, namun Die mendorongnya hingga
jatuh.
BRUUK!
“Kejar dia!” Kyo memerintah saat
pasiennya berusaha kabur.
Rombongan perawat penjaga
mengejar, begitu pun mereka yang berada di luar. Melihat Die yang berlari
dengan mengenakan seragam pasien, mereka berusaha meringkusnya membabi buta.
Shinya bangkit, ikut mengejar.
GABRUUK!!
Die tersungkur tatkala seseorang
menjatuhkannya. Menubruknya, lalu diringkus beramai-ramai bak maling.
“AAAARRRGGHHH!!! Lepaskan aku,
setan!” Die menggeram. Namun jumlah para peringkusnya lebih banyak kali ini
hingga dia tak berdaya. “AAAAARRRGGHHH!!!”
“DIE!” Shinya yang sampai hanya
bisa menyaksikan suaminya diikat dengan sabuk. Kyo melewatinya dan langsung
menancapkan suntikannya telak pada lengannya yang tegang.
“UUKKH!!!” Badan Die menegang,
rasa sakit menyerangnya kembali. Kyo menekan suntikannya hingga isinya tertelan
habis ke dalam darah Die yang tengah bergejolak. Sesaat kemudian pria pengamuk
itu mulai tenang. Matanya nampak kantuk walau mulutnya masih berdesis. Beberapa
menit kemudian, dia lumpuh.
Shinya membuang muka ketika Die
diangkut ke ranjang dorongnya. Kembali menyaksikan bagaimana Die diringkus dan
disakiti paksa di depan matanya. Shinya menangis. Die pun dia bawa kembali ke
ruangannya.
“Bisa kau keruanganku sebentar,
Shin? Aku mau bicara.” Kyo menepuk bahu Shinya yang bergetar.
~*~
“Rumah sakit jiwa?” Shinya
terkejut. “Kau bercanda, Kyo?”
Kyo bergeleng, “Aku sudah
melihat ketidakberesan pada penyakit Die. Ini bukan sakit fisik Shinya, dia
sakit jiwa. Setiap kali dia mengamuk dan mengatakan hal yang bukan-bukan.
Kondisi mentalnya sedang terganggu. Dan rumah sakit ini bukan tempat yang tepat
untuk menyembuhkannya sekarang.”
“Lalu kau menyuruhku untuk
membawanya ke rumah sakit jiwa? Die tidak gila!” Shinya menolak.
“Jika dia tidak gila. Bisa kau
jelaskan kenapa dia terus-terusan mengamuk?”
Shinya terdiam. Kyo menghela
kecil. “Shin, kalau kau peduli padanya. Kau harus membantunya untuk sembuh.
Kalau kau terus membiarkannya terus di sini, kejiwaannya akan semakin
terganggu. Dia harus segera di rehabilitasi ke rumah sakit jiwa.”
~*~
Shinya mengemasi barang-barang
Die dari rumah sakit sambil berkucur airmata. Dengan hati yang masih kalut Shinya
terus memikirkan keputusannya yang akhirnya menyanggupi untuk membawa Die
kerumah sakit jiwa. Shinya tak pernah membayangkan sebelumnya hal ini akan
terjadi pada Die. Padahal sebelumnya, Die tidak pernah begini. Sejak
kepergiannya sebulan lalu, gejala penyakit aneh Die muncul.
Tepatnya ketika akhir bulan
Juli, ketika Die memutuskan untuk pamit pada Shinya bekerja di luar kota. Saat
itu, Die yang bekerja sebagai composer tak biasanya ikut dalam pengambilan
scene dalam pembuatan video dari band yang tengah dia tangani. Berpikir untuk
memberikannya liburan, maka Shinya pun membolehkannya. Tidak ada satu firasat
pun saat itu ketika Die pergi meninggalkannya.
Die akhirnya kembali seminggu
kemudian. Mulanya tidak ada yang aneh dengannya. Die masih bisa bercanda dan
menjahilinya seperti biasa. Namun seminggu setelahnya, perubahan mulai
terlihat. Terlebih lagi ketika saat Die terlelap. Die selalu di ganggu oleh
mimpi-mimpi buruk. Hingga akhirnya Die jarang sekali mau tidur. Kondisinya pun
melemah. Ketika ditanya, Die hanya menjawab soal mimpi buruk yang tidak pernah
dia ceritakan bagaimana kronologisnya.
Namun lambat laun, mimpi buruk
itu nampaknya mulai mengusik kesadaran Die hingga saat ini. Dia sering
berhalusinasi, berteriak dan menjerit ketakutan jika sendirian. Entah dalam
tidur atau dalam kondisi terbangun. Entah apa yang terjadi pada Die sebenarnya.
Shinya tidak tahu. Ketika bertanya pada para kru yang lain, mereka pun selalu
memberikan jawaban yang sama; tidak tahu.
Kini kondisi Die semakin buruk.
Die seolah tidak bisa mengenali siapapun lagi. Termasuk Shinya. Waktunya habis
terbuang di atas ranjang dengan obat penenang yang membiusnya. Sudah cukup lama
Die tidak bicara pada Shinya. Die lebih banyak menjerit histeris dan mengamuk.
Shinya prihatin, ia bingung harus melakukan apa?
~*~
Malam itu seperti biasanya
Shinya menunggui Die di rumah sakit. Besok adalah hari dimana Die akan
dipindahkan kerumah sakit jiwa rujukan dari Kyo. Suasana yang tenang malam itu
membuat Shinya sedikit merasa kantuk, hingga tak sadar dia tertidur. Sambil
terus menggenggam tangan Die yang sudah pulas, Shinya akhirnya memejamkan
matanya. Namun ternyata Die terbangun.
“Shi- Shinya…”
Shinya terkejut, dia terbangun
segera dan menatap Die yang terlihat pucat menatapnya datar.
“Die…?” Shinya bergumam kecil,
rasanya tak percaya mendengar namanya di panggil setelah sekian lama Die terus
berteriak histeris. “Iya, Die. Aku di sini. Apa yang kau mau?” Shinya semakin
mendekatkan dirinya pada Die yang masih terbaring.
“Aku mau pulang.” Tutur Die.
“Die…,” Shinya bingung. “Tapi
kau masih sakit.”
“Aku tidak gila, Shinya. Aku
tidak gila.”
Mata Shinya mulai berkaca-kaca.
Ada nada perih terdengar saat Die mengucapkannya. “Aku tidak…gila.”
“Aku tahu…,” Shinya memeluk pria
itu. Die membalasnya, erat mendekap tubuh Shinya yang kurus. “Aku tahu Die… Aku
tahu.” Shinya berbisik di sela sakit hatinya.
“Jangan tinggalkan aku, Shin…”
Die lirih. Membuat Shinya akhirnya menangis, terisak sambil mengangguk. Shinya
tak akan pernah meninggalkannya tentu saja. “Aku mau pulang, Shin.” Akhirnya,
airmata Die jatuh.
“… aku mau pulang.”
~*~
“Kau yakin dengan keputusanmu, Shinya?”
Shinya mengangguk mantap. “Aku
akan membawanya pulang. Die tidak gila, Kyo. Semalam dia bicara padaku.”
“Die memang belum gila. Tapi
jika kau biarkan dia bisa benar-benar gila!”
“Dia tidak pernah menyakiti
siapa pun! Itu hanya mimpi-mimpi buruknya saja. Die hanya butuh ketenangan.”
“Shin, mungkin yang kau bilang
itu benar. Tapi kau sendiri pasti mengerti, kalau ini hanya sekedar mimpi-mimpi
buruk. Bagaimana kau bisa menjelaskan tentang amukannya, pemberontakannya, dia
sempat menyerang para perawat.”
“Itu karena kalian yang
menyakitinya lebih dulu! Kalian yang memperlakukannya seperti orang gila! Kau
selalu menyuntikan obat bius kepadanya! Dia marah karena kalian menyakitinya!”
Helaan kecil terdengar dari
mulut Kyo. Akhirnya Dokter muda itu mengalah kepada sepupunya ini. “Baiklah,
Shinya. Kau boleh membawa Die pulang. Tapi jika dia mengamuk atau menyakiti
siapa pun, kau sendiri yang harus membawanya ke rumah sakit jiwa.”
Shinya terdiam, “Baik.”
~*~
“KEJUTAN!”
DAR!
Serpihan-serpihan kertas
berkerlip itu berhamburan mengenai wajah serta rambut Die dan Shinya yang baru
saja sampai ke rumah mereka. Di sana nampak Toshiya dengan wajah gembira
menyambut kedatangan keduanya.
“Totchi…” Shinya bingung karena
Toshiya mendadak muncul di rumah mereka. Sementara Die, dia hanya bisa diam.
Tak merespon.
“Aku tahu kalian akan pulang.
Jadi aku menyempatkan diri membuat pesta kejutan. Bagaimana? Terkesan?” Ujarnya
sambil berjalan ke dapur. “Aku memasakan kalian sesuatu. Tapi kalau tidak
percaya dengan kualitas masakan yang kumasak, aku juga membelikan kalian
makanan dari luar kok. Jadi kalian ngga akan sakit perut! Ayo dong!”
Toshiya yang ceria mulai bercerita panjang lebar.
“Terima kasih, Toshiya.” Sejenak
raut sedih di wajah Shinya memudar dengan senyum manis tatkala Toshiya membantunya
untuk kembali semangat. Lewat kata, perbuatan yang tak banyak namun itu cukup
membuat Shinya sedikit lebih baik dari kemarin.
Ketika dia melihat Die yang
hanya bisa terdiam, Shinya tersenyum sambil mengusap keringat yang mengalir
pelan dari pelipisnya.
“Kita makan dulu ya sebelum
tidur?” Ajak Shinya.
~*~
Setelah memastikan Die tertidur,
Shinya mendatangi Toshiya yang hanya bisa menatapnya sambil melipat kedua
tangannya.
“Aku akan menginap di sini
beberapa hari, boleh?” Toshiya meminta ijin.
“Toshiya,” Shinya teringat
sesuatu. “Apa ini permintaan, Kyo?” tebaknya.
“Tidak. Um.. maksudku, iya juga
sih. Tapi bukan semata karena Kyo. Kyo hanya memintaku untuk mengawasi kalian,
tapi kalau hanya mengawasi saja aku tidak tenang. Jadi aku pikir tinggal bersama
kalian dan melihat perkembangan kondisi Die lebih dekat itu mungkin lebih
baik,” Jawabnya. “Aku tidak menganggu kalian, kan?” Godanya.
Shinya tersenyum lalu memukul
lengan pemuda tinggi itu pelan. Keduanya tergelak kecil, namun berhenti ketika
Die mengerang. Tubuhnya bergerak, tapi kembali terlelap.
“Kenapa kau membiarkan Die tidur
di sofa?”
“Die tidak mau tidur di kamar.”
“Kenapa?” Toshiya penasaran.
“Dia tidak mau berada di tempat
gelap.”
“Dasar, kekanakan,” Ledek
Toshiya. Tapi melihat Shinya terdiam, dia jadi tidak enak hati. “Kenapa kau
tidak menyalakan lampunya saja?”
“Dia tidak mau sendirian.”
~*~
Malam itu Shinya terpaksa harus
keluar rumah. Setelah menitipkan Die pada Toshiya, Shinya bergegas menyelesaikan
urusannya yang belum terselesaikan.
Sementara itu Toshiya yang hanya
berdua dengan Die mencoba untuk mengajaknya berkomunikasi. Sudah dua hari ini
Die tidak bicara pada Toshiya. Padahal mereka berkawan.
“Die, kau merasa lebih baik?”
Tanya Toshiya sopan.
“Iya, Toshiya.” Jawabnya.
Die merespon juga akhirnya,
walaupun terkesan dingin dan datar. Bahkan matanya tidak melihat Toshiya di
sana. Seperti ada ruang lain yang sedang Die perhatikan. Toshiya sengaja duduk
di depan Die demi melihatnya lebih dekat. Die akhirnya mau melihatnya.
“Bagaimana perasaanmu?” Tanyanya
lagi.
“Entahlah.”
“Kau mau aku melakukan sesuatu?
Mengambilkanmu camilan atau-” Toshiya mendadak diam ketika mata Die kembali
melihat kearah lain. Hingga Toshiya harus menolehkan kepalanya kebelakangnya
dan hanya mendapati dapur terbuka mereka. Toshiya kembali melihat Die yang
menunduk. “Die, kau baik-baik saja?”
“Yah,.. iya, aku baik.” Jawabnya
tanpa memperlihatkan wajahnya.
Toshiya mulai merasa tak nyaman
dengan suasana ini. Maka dia pun memutuskan untuk mengambil ponselnya yang
tertinggal di kamar. Meninggalkan Die sejenak di sana. Sambil terus menoleh
pada Die yang masih duduk di sana, Toshiya bergegas secepat mungkin menaiki
anak tangga.
“Toshiya!” Die menoleh, namun
tidak mendapati Toshiya di sana. Die pun panik.
Toshiya kembali ke kamarnya dan
melihat ponselnya yang tergeletak di ranjangnya. Pemuda tinggi itu segera
mengambilnya, namun tiba-tiba Toshiya merasakan sesuatu di sana. Toshiya
menoleh kearah pintu kamar yang sedikit terbuka. Seperti ada sesuatu yang
mengintainya. Perlahan Toshiya berbalik kearah pintu. Sambil terus menggenggam
ponsel itu ditangannya, Toshiya mendekat.
“Die?” panggilnya. Menebak
jikalau hanya Die yang mengintipnya. Namun ini terlalu menakutkan baginya.
“Die, ayolah jangan bermain-main. Masuk saja kalau kau ada perlu denganku.”
Ujar Toshiya.
Dan ketika Toshiya menunggu sang
tamu masuk ke dalam kamarnya, Toshiya tercengang ketika pintu itu terbuka
perlahan. Matanya membelalak.
“Aa-”
~*~
Shinya sampai di rumah malam
itu. Dengan badan yang lelah Shinya membuka pintu rumahnya. Sambil berjalan
gontai setelah menaruh payungnya di pintu depan, Shinya masuk ke dalam rumah.
Aneh, rumahnya sangat gelap. Lampunya tak menyala.
“Toshiya? Die?” Shinya meraba
dinding di sampingnya, mencari saklar lampu untuk menyalakannya. Ketika Shinya
mendapatkannya, maka ruangan itu pun kembali terang. Namun Shinya tak mendapati
Die atau pun Toshiya di sana.
“Toshiya!? Die!?” Shinya mulai
panik, mencari-cari. Shinya segera ke ruang depan, tapi orang-orang yang dia
cari tidak dia temukan. Shinya kembali berlari mencoba mencari mereka di tempat
lain sambil terus memanggil-manggil nama keduanya. “Die! Toshiya!?”
Shinya akhirnya menuju dapur,
ruangan terakhir yang belum dia singgahi. Tapi lagi-lagi hasilnya nihil. Shinya
kembali berbalik dan mencoba naik ke lantai atas menuju kamar tamu yang Toshiya
tempati, namun matanya sekejap melihat sosok seorang pria di luar beranda.
Kaca-kaca itu nampak jelas
memperlihatkan sosok Die yang berdiri di dekat kolam renang sambil terus
merunduk.
“Die!!!” Shinya membuka pintu
kacanya. “Die!!” Shinya mendekati, tapi dia mendadak histeris.
“KYAAAAAAAAAA!!!!!!”
~*~
Toshiya segera dilarikan ke
rumah sakit. Dengan luka yang cukup parah di bagian kepala dan patah pada
tulang rusuknya, Toshiya jatuh dari beranda kamar di lantai dua. Toshiya
dimasukan ke dalam ruang Unit Gawat Darurat. Shinya tak berhenti menangis.
Sementara Die hanya bisa diam tak bicara. Pemuda itu tak mau bicara tentang
kronologis kejadian yang menimpa Toshiya.
Pertama kali ditemukan tubuh
Toshiya telah tergeletak bersimbah darah di beranda belakang. Tepat menyamping
pada kolam renang. Darah yang keluar dari kepala Toshiya merembes mengalir pada
air kolam. Membuatnya keruh dengan darahnya. Tapi Die hanya bisa diam, tak mau
menjawab walau pun Shinya memaksa.
Apa benar Die yang mendorong
Toshiya dari kamar atas? Apa benar Die yang melakukannya? Apa benar Die sudah
gila?
Continue…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar