expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

02 April 2013

The A’sylum (Part 1)


Title : The A’sylum

Author : Duele

Periode : April 2011

Genre : Horror, Darkness, Thrill

Rating : NC17

Chapter(s) : 1/ on going

Fandom(s) : Dir en Grey

Pairing(s) : DiexShinya
 

 

~*~

 

“AAAAARRRRGGHHH…..!!!!! AAAAARRGGHH!!!!”

Teriakan itu membahana menggemparkan seisi gedung rumah sakit tersebut. Sekuat tenaga Shinya menutup kedua telinganya. Tak mau mendengar suara kesakitan luar biasa yang Die alami saat ini. Yah, teriakan itu berasal dari Die. Kekasihnya.

“AAAAAAAARRRGGGHHH!!! AAAAAARRRRGGGHHH!!!”

“Ugh!”

Namun perlahan suara itu menghilang, seraya dengan hilangnya kesadaran Die yang telah dibius dengan obat penenang. Pelan-pelan Shinya membuka kedua telinganya. Suara Die telah memudar, tenang dan damai. Namun kini berganti dengan isak Shinya. Isak kepedihan atas ketidakberdayaannya yang hanya mampu mendengar jeritan Die setiap harinya. Menerima penderitaan dan kesakitan ini. Shinya merasa pedih.

 

~*~

 

“Kau tenang saja, obat tidurnya mampu membuatnya beristirahat semalaman ini. Lebih baik kau juga pulang lalu beristirahat, Shin.”

Shinya tak menjawab usulan dari Kyo –Dokter yang menangani kesehatan Die saat ini. Sambil terus mengusap kening prianya yang berkeringat, Shinya masih terus memandanginya tanpa mempedulikan Kyo yang akhirnya pamit. Ditatapnya wajah lesu Die yang telah tertidur. Memucat kelelahan. Dengan keringat yang bercokol di kening dan wajahnya, Shinya tahu Die belumlah tenang. Walau itu dalam mimpi sekalipun.

 

~*~

 

                “Ugh!” Suara erangan itu terdengar. Saat kedua pelupuk mata itu bergetar dan mulai menampakan isinya. Mata itu terbuka, mencoba menangkap segala bayang yang terlihat buram. Dia bergeleng mencoba membenarkan penglihatannya yang masih belum jelas. Maka terlihatlah bentuk dari segala benda disekitarnya.

                Tangannya meraba-raba. Terkadang tanah-tanah dan kotoran kecil terselip di ujung kukunya yang panjang. “Aah..” Dia tersadar, tengah tergolek di lantai yang kotor dan berdebu. Dengan sampah-sampah kering yang usang menyemarakan lantai lapuk yang sedang dia singgahi.

                Dia pun bangkit dengan perlahan, walau belum sepenuhnya sadar. Dimana dia? Melihat sekelilingnya yang sepi tanpa penghuni. Rusak dan jelek. Tempat ini sungguh seram –pikirnya. Dengan dinding-dinding yang terkelupas. Karatan dari besi-besi tua yang menyerupai kerangka besi tempat tidur dan kursi. Tergeletak sembarang di tengah-tengah ruangan.

                Setelah mengumpulkan kesadaran dan kekuatan pada dirinya, pria itu bangkit. Berdiri di tengah-tengah ruangan tersebut. Melihat sekelilingnya yang tak ia kenali. Tempat apa ini? Kenapa begitu kotor? Saat melihat ke kiri, nampak lorong-lorong gelap menyajikan warna kegelapan yang dalam. Dia menoleh, berbalik ke kanan, namun hal serupa pun tersaji di sana. Ketakutan bersarang di hatinya. Maka dia berbalik ke belakang, sebuah tembok besar seolah menghalangi jarak pandangnya. Membatasi ruang geraknya dan hanya menyisakan satu pilihan, jalan lurus.

                Namun saat matanya menatap kembali ke tempat semua –jalan lurus yang dimaksud- dia menemukan seseorang berdiri di ujung sana. Tapi dia tak mampu melihat wajahnya dengan jelas. Dia hanya mampu mengenalinya sebagai seorang Dokter, karena jubah putih yang dia kenakan.

                Tuk! Tuk!

                Suara sepatunya nyaring berantuk dengan lantai. Sosok itu berusaha mendekatinya. Dia yang didekati hanya mampu mematung, walau tubuhnya ingin sekali bergerak. Lari kemanapun jika bisa. Tapi dia tak mampu. Meskipun ketakutan itu semakin menjalar dinadinya, dia tak bisa bergerak. Saat matanya menangkap sang dokter mengeluarkan sebuah pisau bedah, ketakutannya memuncak.

                “AAAAAARRRRRRGGGHH!!! AAAAAAAARGGGHH!!!” Dia menjerit! Berusaha meminta bantuan pada siapapun yang mendengarnya. “AAARGGGH!!!” Berkomunikasi dengan jeritan dari rasa ketakutannya. Namun Dokter itu semakin mendekat.

                “Tidaaaaaaakkkk!!!”

                Mendapatkannya. Menarik –menjambak rambutnya dan mengarahkan pisau bedah itu ke udara. Matanya mendelik menatap kerlip mata pisau stainless yang terhunus kepadanya. Lalu mengayunkannya…

 

                “AAAAAARRRRRGGGGHHHH!!!!!”

                “Die!!! DIEE!!”

                Shinya memegangi tubuh Die yang menggelinjang kesana kemari. Tak mampu mengendalikan halusinasinya. Beberapa perawat wanita membantunya, memegangi kedua tangan dan kaki Die dengan kuat. Sementara seorang lain mengambil seutas tali, mengikat tubuh Die yang bergerak tak beraturan.

                “Aaaarrrgghhh!!! Aaaaarrrrrggh!!!!!” Die menjerit tak henti, membelalak menatap langit-langit dengan muka bengis.

                “Die…” Isak Shinya kembali terdengar saat melihat pria itu kembali diikat.

                Kyo muncul dengan beberapa orang, mengambil suntikannya dan memaksa pemuda itu diam.

                “Bangsaatt!!” Die mengumpat. Kakinya yang terikat bergerak menendangi siapapun termasuk Kyo. “Ugh!”

                “Die!” Shinya panik saat tubuh Die berhasil menyingkirkan dan menumbangkan para perawat dengan tendangan dan pukulan bertubi. Shinya berusaha menghalangi, namun Die mendorongnya hingga jatuh.

                BRUUK!

                “Kejar dia!” Kyo memerintah saat pasiennya berusaha kabur.

                Rombongan perawat penjaga mengejar, begitu pun mereka yang berada di luar. Melihat Die yang berlari dengan mengenakan seragam pasien, mereka berusaha meringkusnya membabi buta. Shinya bangkit, ikut mengejar.

 

                GABRUUK!!

                Die tersungkur tatkala seseorang menjatuhkannya. Menubruknya, lalu diringkus beramai-ramai bak maling.

                “AAAARRRGGHHH!!! Lepaskan aku, setan!” Die menggeram. Namun jumlah para peringkusnya lebih banyak kali ini hingga dia tak berdaya. “AAAAARRRGGHHH!!!”

                “DIE!” Shinya yang sampai hanya bisa menyaksikan suaminya diikat dengan sabuk. Kyo melewatinya dan langsung menancapkan suntikannya telak pada lengannya yang tegang.

                “UUKKH!!!” Badan Die menegang, rasa sakit menyerangnya kembali. Kyo menekan suntikannya hingga isinya tertelan habis ke dalam darah Die yang tengah bergejolak. Sesaat kemudian pria pengamuk itu mulai tenang. Matanya nampak kantuk walau mulutnya masih berdesis. Beberapa menit kemudian, dia lumpuh.

                Shinya membuang muka ketika Die diangkut ke ranjang dorongnya. Kembali menyaksikan bagaimana Die diringkus dan disakiti paksa di depan matanya. Shinya menangis. Die pun dia bawa kembali ke ruangannya.

                “Bisa kau keruanganku sebentar, Shin? Aku mau bicara.” Kyo menepuk bahu Shinya yang bergetar.

 

~*~

 

                “Rumah sakit jiwa?” Shinya terkejut. “Kau bercanda, Kyo?”

                Kyo bergeleng, “Aku sudah melihat ketidakberesan pada penyakit Die. Ini bukan sakit fisik Shinya, dia sakit jiwa. Setiap kali dia mengamuk dan mengatakan hal yang bukan-bukan. Kondisi mentalnya sedang terganggu. Dan rumah sakit ini bukan tempat yang tepat untuk menyembuhkannya sekarang.”

                “Lalu kau menyuruhku untuk membawanya ke rumah sakit jiwa? Die tidak gila!” Shinya menolak.

                “Jika dia tidak gila. Bisa kau jelaskan kenapa dia terus-terusan mengamuk?”

                Shinya terdiam. Kyo menghela kecil. “Shin, kalau kau peduli padanya. Kau harus membantunya untuk sembuh. Kalau kau terus membiarkannya terus di sini, kejiwaannya akan semakin terganggu. Dia harus segera di rehabilitasi ke rumah sakit jiwa.”

 

~*~

 

                Shinya mengemasi barang-barang Die dari rumah sakit sambil berkucur airmata. Dengan hati yang masih kalut Shinya terus memikirkan keputusannya yang akhirnya menyanggupi untuk membawa Die kerumah sakit jiwa. Shinya tak pernah membayangkan sebelumnya hal ini akan terjadi pada Die. Padahal sebelumnya, Die tidak pernah begini. Sejak kepergiannya sebulan lalu, gejala penyakit aneh Die muncul.

                Tepatnya ketika akhir bulan Juli, ketika Die memutuskan untuk pamit pada Shinya bekerja di luar kota. Saat itu, Die yang bekerja sebagai composer tak biasanya ikut dalam pengambilan scene dalam pembuatan video dari band yang tengah dia tangani. Berpikir untuk memberikannya liburan, maka Shinya pun membolehkannya. Tidak ada satu firasat pun saat itu ketika Die pergi meninggalkannya.

                Die akhirnya kembali seminggu kemudian. Mulanya tidak ada yang aneh dengannya. Die masih bisa bercanda dan menjahilinya seperti biasa. Namun seminggu setelahnya, perubahan mulai terlihat. Terlebih lagi ketika saat Die terlelap. Die selalu di ganggu oleh mimpi-mimpi buruk. Hingga akhirnya Die jarang sekali mau tidur. Kondisinya pun melemah. Ketika ditanya, Die hanya menjawab soal mimpi buruk yang tidak pernah dia ceritakan bagaimana kronologisnya.

                Namun lambat laun, mimpi buruk itu nampaknya mulai mengusik kesadaran Die hingga saat ini. Dia sering berhalusinasi, berteriak dan menjerit ketakutan jika sendirian. Entah dalam tidur atau dalam kondisi terbangun. Entah apa yang terjadi pada Die sebenarnya. Shinya tidak tahu. Ketika bertanya pada para kru yang lain, mereka pun selalu memberikan jawaban yang sama; tidak tahu.

                Kini kondisi Die semakin buruk. Die seolah tidak bisa mengenali siapapun lagi. Termasuk Shinya. Waktunya habis terbuang di atas ranjang dengan obat penenang yang membiusnya. Sudah cukup lama Die tidak bicara pada Shinya. Die lebih banyak menjerit histeris dan mengamuk. Shinya prihatin, ia bingung harus melakukan apa?

 

~*~

 

                Malam itu seperti biasanya Shinya menunggui Die di rumah sakit. Besok adalah hari dimana Die akan dipindahkan kerumah sakit jiwa rujukan dari Kyo. Suasana yang tenang malam itu membuat Shinya sedikit merasa kantuk, hingga tak sadar dia tertidur. Sambil terus menggenggam tangan Die yang sudah pulas, Shinya akhirnya memejamkan matanya. Namun ternyata Die terbangun.

                “Shi- Shinya…”

                Shinya terkejut, dia terbangun segera dan menatap Die yang terlihat pucat menatapnya datar.

                “Die…?” Shinya bergumam kecil, rasanya tak percaya mendengar namanya di panggil setelah sekian lama Die terus berteriak histeris. “Iya, Die. Aku di sini. Apa yang kau mau?” Shinya semakin mendekatkan dirinya pada Die yang masih terbaring.

                “Aku mau pulang.” Tutur Die.

                “Die…,” Shinya bingung. “Tapi kau masih sakit.”

                “Aku tidak gila, Shinya. Aku tidak gila.”

                Mata Shinya mulai berkaca-kaca. Ada nada perih terdengar saat Die mengucapkannya. “Aku tidak…gila.”

                “Aku tahu…,” Shinya memeluk pria itu. Die membalasnya, erat mendekap tubuh Shinya yang kurus. “Aku tahu Die… Aku tahu.” Shinya berbisik di sela sakit hatinya.

                “Jangan tinggalkan aku, Shin…” Die lirih. Membuat Shinya akhirnya menangis, terisak sambil mengangguk. Shinya tak akan pernah meninggalkannya tentu saja. “Aku mau pulang, Shin.” Akhirnya, airmata Die jatuh.

                “… aku mau pulang.”

 

~*~

 

                 “Kau yakin dengan keputusanmu, Shinya?”

                Shinya mengangguk mantap. “Aku akan membawanya pulang. Die tidak gila, Kyo. Semalam dia bicara padaku.”

                “Die memang belum gila. Tapi jika kau biarkan dia bisa benar-benar gila!”

                “Dia tidak pernah menyakiti siapa pun! Itu hanya mimpi-mimpi buruknya saja. Die hanya butuh ketenangan.”

                “Shin, mungkin yang kau bilang itu benar. Tapi kau sendiri pasti mengerti, kalau ini hanya sekedar mimpi-mimpi buruk. Bagaimana kau bisa menjelaskan tentang amukannya, pemberontakannya, dia sempat menyerang para perawat.”

                “Itu karena kalian yang menyakitinya lebih dulu! Kalian yang memperlakukannya seperti orang gila! Kau selalu menyuntikan obat bius kepadanya! Dia marah karena kalian menyakitinya!”

                Helaan kecil terdengar dari mulut Kyo. Akhirnya Dokter muda itu mengalah kepada sepupunya ini. “Baiklah, Shinya. Kau boleh membawa Die pulang. Tapi jika dia mengamuk atau menyakiti siapa pun, kau sendiri yang harus membawanya ke rumah sakit jiwa.”

                Shinya terdiam, “Baik.”

 

~*~

 

                “KEJUTAN!”

 

                DAR!

                Serpihan-serpihan kertas berkerlip itu berhamburan mengenai wajah serta rambut Die dan Shinya yang baru saja sampai ke rumah mereka. Di sana nampak Toshiya dengan wajah gembira menyambut kedatangan keduanya.

                “Totchi…” Shinya bingung karena Toshiya mendadak muncul di rumah mereka. Sementara Die, dia hanya bisa diam. Tak merespon.

                “Aku tahu kalian akan pulang. Jadi aku menyempatkan diri membuat pesta kejutan. Bagaimana? Terkesan?” Ujarnya sambil berjalan ke dapur. “Aku memasakan kalian sesuatu. Tapi kalau tidak percaya dengan kualitas masakan yang kumasak, aku juga membelikan kalian makanan dari luar kok. Jadi kalian ngga akan sakit perut! Ayo dong!” Toshiya yang ceria mulai bercerita panjang lebar.

                “Terima kasih, Toshiya.” Sejenak raut sedih di wajah Shinya memudar dengan senyum manis tatkala Toshiya membantunya untuk kembali semangat. Lewat kata, perbuatan yang tak banyak namun itu cukup membuat Shinya sedikit lebih baik dari kemarin.

                Ketika dia melihat Die yang hanya bisa terdiam, Shinya tersenyum sambil mengusap keringat yang mengalir pelan dari pelipisnya.

                “Kita makan dulu ya sebelum tidur?” Ajak Shinya.

 

~*~

 

                Setelah memastikan Die tertidur, Shinya mendatangi Toshiya yang hanya bisa menatapnya sambil melipat kedua tangannya.

                “Aku akan menginap di sini beberapa hari, boleh?” Toshiya meminta ijin.

                “Toshiya,” Shinya teringat sesuatu. “Apa ini permintaan, Kyo?” tebaknya.

                “Tidak. Um.. maksudku, iya juga sih. Tapi bukan semata karena Kyo. Kyo hanya memintaku untuk mengawasi kalian, tapi kalau hanya mengawasi saja aku tidak tenang. Jadi aku pikir tinggal bersama kalian dan melihat perkembangan kondisi Die lebih dekat itu mungkin lebih baik,” Jawabnya. “Aku tidak menganggu kalian, kan?” Godanya.

                Shinya tersenyum lalu memukul lengan pemuda tinggi itu pelan. Keduanya tergelak kecil, namun berhenti ketika Die mengerang. Tubuhnya bergerak, tapi kembali terlelap.

                “Kenapa kau membiarkan Die tidur di sofa?”

                “Die tidak mau tidur di kamar.”

                “Kenapa?” Toshiya penasaran.

                “Dia tidak mau berada di tempat gelap.”

                “Dasar, kekanakan,” Ledek Toshiya. Tapi melihat Shinya terdiam, dia jadi tidak enak hati. “Kenapa kau tidak menyalakan lampunya saja?”

                “Dia tidak mau sendirian.”

               

~*~

 

                Malam itu Shinya terpaksa harus keluar rumah. Setelah menitipkan Die pada Toshiya, Shinya bergegas menyelesaikan urusannya yang belum terselesaikan.

                Sementara itu Toshiya yang hanya berdua dengan Die mencoba untuk mengajaknya berkomunikasi. Sudah dua hari ini Die tidak bicara pada Toshiya. Padahal mereka berkawan.

                “Die, kau merasa lebih baik?” Tanya Toshiya sopan.

                “Iya, Toshiya.” Jawabnya.

                Die merespon juga akhirnya, walaupun terkesan dingin dan datar. Bahkan matanya tidak melihat Toshiya di sana. Seperti ada ruang lain yang sedang Die perhatikan. Toshiya sengaja duduk di depan Die demi melihatnya lebih dekat. Die akhirnya mau melihatnya.

                “Bagaimana perasaanmu?” Tanyanya lagi.

                “Entahlah.”

                “Kau mau aku melakukan sesuatu? Mengambilkanmu camilan atau-” Toshiya mendadak diam ketika mata Die kembali melihat kearah lain. Hingga Toshiya harus menolehkan kepalanya kebelakangnya dan hanya mendapati dapur terbuka mereka. Toshiya kembali melihat Die yang menunduk. “Die, kau baik-baik saja?”

                “Yah,.. iya, aku baik.” Jawabnya tanpa memperlihatkan wajahnya.

                Toshiya mulai merasa tak nyaman dengan suasana ini. Maka dia pun memutuskan untuk mengambil ponselnya yang tertinggal di kamar. Meninggalkan Die sejenak di sana. Sambil terus menoleh pada Die yang masih duduk di sana, Toshiya bergegas secepat mungkin menaiki anak tangga.

                “Toshiya!” Die menoleh, namun tidak mendapati Toshiya di sana. Die pun panik.

 

                Toshiya kembali ke kamarnya dan melihat ponselnya yang tergeletak di ranjangnya. Pemuda tinggi itu segera mengambilnya, namun tiba-tiba Toshiya merasakan sesuatu di sana. Toshiya menoleh kearah pintu kamar yang sedikit terbuka. Seperti ada sesuatu yang mengintainya. Perlahan Toshiya berbalik kearah pintu. Sambil terus menggenggam ponsel itu ditangannya, Toshiya mendekat.

                “Die?” panggilnya. Menebak jikalau hanya Die yang mengintipnya. Namun ini terlalu menakutkan baginya. “Die, ayolah jangan bermain-main. Masuk saja kalau kau ada perlu denganku.” Ujar Toshiya.

                Dan ketika Toshiya menunggu sang tamu masuk ke dalam kamarnya, Toshiya tercengang ketika pintu itu terbuka perlahan. Matanya membelalak.

                “Aa-”

 

~*~

 

                Shinya sampai di rumah malam itu. Dengan badan yang lelah Shinya membuka pintu rumahnya. Sambil berjalan gontai setelah menaruh payungnya di pintu depan, Shinya masuk ke dalam rumah. Aneh, rumahnya sangat gelap. Lampunya tak menyala.

                “Toshiya? Die?” Shinya meraba dinding di sampingnya, mencari saklar lampu untuk menyalakannya. Ketika Shinya mendapatkannya, maka ruangan itu pun kembali terang. Namun Shinya tak mendapati Die atau pun Toshiya di sana.

                “Toshiya!? Die!?” Shinya mulai panik, mencari-cari. Shinya segera ke ruang depan, tapi orang-orang yang dia cari tidak dia temukan. Shinya kembali berlari mencoba mencari mereka di tempat lain sambil terus memanggil-manggil nama keduanya. “Die! Toshiya!?”

                Shinya akhirnya menuju dapur, ruangan terakhir yang belum dia singgahi. Tapi lagi-lagi hasilnya nihil. Shinya kembali berbalik dan mencoba naik ke lantai atas menuju kamar tamu yang Toshiya tempati, namun matanya sekejap melihat sosok seorang pria di luar beranda.

                Kaca-kaca itu nampak jelas memperlihatkan sosok Die yang berdiri di dekat kolam renang sambil terus merunduk.

                “Die!!!” Shinya membuka pintu kacanya. “Die!!” Shinya mendekati, tapi dia mendadak histeris.

                “KYAAAAAAAAAA!!!!!!”

 

~*~

 

                Toshiya segera dilarikan ke rumah sakit. Dengan luka yang cukup parah di bagian kepala dan patah pada tulang rusuknya, Toshiya jatuh dari beranda kamar di lantai dua. Toshiya dimasukan ke dalam ruang Unit Gawat Darurat. Shinya tak berhenti menangis. Sementara Die hanya bisa diam tak bicara. Pemuda itu tak mau bicara tentang kronologis kejadian yang menimpa Toshiya.

                Pertama kali ditemukan tubuh Toshiya telah tergeletak bersimbah darah di beranda belakang. Tepat menyamping pada kolam renang. Darah yang keluar dari kepala Toshiya merembes mengalir pada air kolam. Membuatnya keruh dengan darahnya. Tapi Die hanya bisa diam, tak mau menjawab walau pun Shinya memaksa.

                Apa benar Die yang mendorong Toshiya dari kamar atas? Apa benar Die yang melakukannya? Apa benar Die sudah gila?

 

 
               

 

Continue…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar