Bottom Of The Death Valley
Author : Duele
Finishing : April 2013
Fandom : Dir en grey
*****
Krssk…
krrssskk… ngiiing…
Bunyi
dari gelombang radio tua yang terpasang di dashboard
mobil melengking tajam. Tombol pemutar signalnya seperti tertahan dan sulit
menemukan sinyal dari pemancar radio setempat. Suara keras dari wiper mobil berbunyi keras. Membesit
kaca depan dengan ujung suara mendecit. Embun dari pendingin di dalam mobil
menimbulkan uap air yang terlihat di sisi kanan pintu mobil.
Di
dalamnya seorang pria dengan mata yang tajam sedang duduk. Di mulutnya terapit
sebatang rokok yang sudah habis setengah. Matanya sedang memperhatikan sesuatu
di depannya. Sudah hampir satu jam mobilnya berhenti dan ia biarkan mesinnya
tetap menyala.
Malam
itu hujan turun, tidak terlalu deras namun cukup awet karena ini sudah
berlangsung sejak siang. Tetapi dia membiarkan airnya masuk melalui celah-celah
kaca mobil yang ia buka setengah. Airnya merembes pada sisi jok mobil dan
cipratannya sudah hampir membasahi sisi dashboard
sebelah kiri. Namun, pria dengan ornament tattoo yang menghias di kedua
tangannya—hampir seluruh tangannya—kelihatan nyaman dengan suasana yang sedang
ia bangun.
Dari
luar, cahaya lampu mobil menyala. Bersinar dan memantulkan asap dari knalpot
belakang, sementara di depannya titik-titik air hujan tertangkap cahaya. Mobil Mustang Cobra berwarna merah menyala itu
sesekali menggerung karena mesin mobilnya yang dibiarkan menyala sejak tadi.
Terkadang, getaran mesin mobilnya terasa mengocok si pengemudi.
Sepuntung
rokok lagi-lagi jatuh, bertabrakan dengan puntung-puntung lainnya ke tanah.
Apinya segera dengan lelehan hujan yang mengenainya. Seolah mengulangi kegiatan
pertamanya, pria itu mengambil lagi satu batang rokok putih dari paknya.
Mengambil geretan berwarna silver dan mulai menyalakannya. Asap putih kembali
membumbung gemulai ke udara.
Desah
nafasnya yang berat menghembuskan asap. Kedinginan dan dan asap rokok. Ujung
rambutnya meneteskan air, kemeja putihnya basah dan lepek karena air. Jok kulit
yang ia duduki merembes, kedua kakinya lembab dan lengket. Bibirnya yang pucat
terselamatkan oleh belasan batang rokok yang ia hisap selama satu jam terakhir.
Dan rasanya ia mulai mengantuk.
Duk!
Duk!
Tiba-tiba
suara berisik terdengar. Entah dari mana datangnya?
Tetapi
suara itu hilang. Suasana kembali mendingin.
Duk!
Duk!!
“Ngghh!!”
Suara
itu muncul kembali, kali ini diselingi dengan suara aneh. Pria itu masih
terpaku di dalam mobilnya.
Duk!!
Jduuk!! Dak! Duk!! Duk!!
Suara-suara
itu seperti suara jeritan dan teriakan yang tertahan.
Duk!!
Jduuk!! Dak! Duk!! Duk!!
Pria
itu merasakan mobilnya goyah. Ia menelan ludahnya dalam-dalam. Kemudian,
pelan-pelan dia keluar dari mobilnya. Menutup pintu mobil dengan lembut dan
berdiri di samping mobil.
Duk!!
Duk!! Duk!!
Suara
itu masih belum hilang. Bahkan terdengar begitu kesal, sepertinya. Pria itu
terdiam sejenak kemudian mengambil sesuatu dari dalam mobilnya. Sebuah senjata,
senapan laras panjang.
Ia
berjalan perlahan, meninggalkan batang rokok yang dia hisap ke tanah. Kedua
tangannya memegangi senapan besar itu. Langkahnya yang pelan tapi pasti
mendekati arah suara berisik yang mengejutkan itu. Ia berjalan dan terus
berjalan, dan dia menemukan sumber suara tersebut.
Bagasi
mobil.
Ia
membuka bagasi mobil belakangnya.
Hening.
Pria
itu terdiam melihat isi bagasi mobilnya. Tak ada satupun yang melintas di
kepalanya. Tak ada. Kosong.
T
etapi
ada seorang wanita dengan tubuh yang compang-camping berseragam SMA. Kedua
tangannya terikat ke belakang. Mulutnya terikat oleh kain yang membuatnya sulit
bicara. Ada noda darah segar merembes di kain itu, bekas luka dari ujung
bibirnya yang robek. Gadis itu menangis. Wajahnya jadi basah dan kuyu. Di
pelipis kirinya terdapat luka robek yang masih mengalir darahnya. Rambutnya yang
panjang terlihat sangat berantakan.
Ia
menangis.
Di
bawah tubuh gadis itu ada seorang pria yang tertelungkup. Dia mati. Lalu ada
tubuh seorang wanita bermuka paruh baya yang tergencet oleh tubuh pria tadi.
Diapun sudah mati.
Gadis
itu menatap pria di depannya dengan wajah memelas. Menangis dan mencoba bicara.
“Nii-chan…”
samar suaranya terdengar lirih.
Pria
itu terpaku melihatnya. Airmata itu seolah tak berhenti menetes dari kelopak
mata gadis naas itu. Sedih. Sebening airmata mengalir di mata gadis itu, itu
pula yang kini mengalir tipis di sela kelopak mata pria itu.
Airmatanya
meleleh.
Tetapi
wajahnya tidak menangis; hanya ekspresi dingin yang terlihat.
Ia
dan gadis itu saling menatap dengan mimik yang berbeda, seperti sedang berbicara
dalam diam dan memahami mimik keduanya.
“…nii-chan…”
Mustang Cobra itu menggerung hebat seperti
ular yang mendesis dan mengibaskan ekornya layaknya derik. Suara hening itu
akhirnya pecah dengan suara mendentum sedang antara kayu dan sesuatu.
Jduukk!!
Hening…
Ada
darah mengalir. Tersisa kulit manusia di ujung senapan berbahan dasar besi dan
kayu tersebut.
Gadis
itu kini sudah tidak menangis lagi. Dia sudah tidur. Sama seperti kedua orang
tuanya. Mereka tidur bersama, seperti dulu.
Pemuda
itu menutup bagasi mobilnya dengan sedikit membantingnya, tetapi tidak keras
sekali. Kemudian, dia berjalan santai ke depan sambil sebelah tangannya merogoh
pak rokok di sakunya. Dengan cepat dia apitkan sebatang rokok itu ke mulutnya
ketika tubuhnya masih ke dalam mobil. Ia menaruk senapannya di samping kursi
pengemudi. Ia mengambil geretannya dan menyalakan rokoknya. Lagi.
Hembusan
asap itu sudah tak lagi kelihatan elok di matanya. Karena semua berpencar dan
meniadakan keserasian. Ia terusik. Kakinya sedang menginjak kompling dan rem
saat ia mengganti persnelingnya. Saat ia mengangkat remnya, mobil itu berjalan.
Pelan, lalu kencang dan kemudian melesat bagai batu besar yang dilempar
kuat-kuat menghantam sungai.
DASH!
Dan
sebentar kemudian, suara dentuman meledak dengan hebat, membuncahnya air dalam
ngarai. Mereka kini hilang dari lembah dan mendarat dengan damai di dasar
ngarai.
Yang
tersisa tak banyak, hanya puntung rokok yang mengambang di permukaan.
Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar