Author : Duele
Terandou Mori
Periode : Mei
2011
Genre : Horror,
Darkness, Thrill
Rating : NC17
Chapter(s) : 5/5
Fandom(s) : Dir
en Grey
Pairing(s) :
DiexShinya
~*~
Die masih
berdiri disana. Dengan penglihatannya yang masih memperlihatkan sosok seorang
dokter dengan jubah putihnya yang kotor dengan cipratan darah yang nampak masih
segar menetes dari sudut dagunya. Melelehkan darah kental kehitaman itu dari
mata kirinya yang masih tertancap sesuatu disana.
“Hhh.” Bibir Die
bergetar menahan rasa takutnya. Akhirnya dia benar-benar berhadapan dengan ketakutan
terbesarnya, Dr. Camui. “Hhn!!” Die mundur, panik. Berbalik meraih pintunya,
namun, RAIB!
Pintu dimana Die
memasuki ruangan ini mendadak lenyap dan berubah menjadi dinding yang kokoh
tanpa ventilasi udara. Die kebingungan, meraba-meraba dinding dingin tersebut
dengan perasaan yang sulit digambarkan. Bagaimana ini?
Tap.
Die berbalik
tatkala mendengar langkah kaki itu mulai bergerak. Die merapatkan dirinya pada
dinding dan terus menjauhi sosok berjubah itu dengan waspada. Die tak memiliki
apa pun untuk melawan, sementara sosok itu kini menghunus pisau. Tapi dia tak mendekat
pada Die, justru sosok itu kini hanya berdiri di samping ranjang usang di
tengah-tengah ruangan tersebut. Die melihatnya dengan kerutan dikeningnya yang
tak mengerti. Namun dia sadar akan sesuatu. Dr. Camui memintanya untuk
berbaring tanpa dipaksa.
Sekejap, Die
seolah kembali pada masa lalunya. Menjadi seorang Daisuke kecil yang hanya bisa
berdiri menatap Dr. Camui dengan seringai diwajahnya. Bagaimana dia meminta
agar Die naik keranjangnya tanpa paksaan. Tekanan psikis dia lancarkan agar Die
mau mengikuti kemauannya. Membuatnya menurut pada perintahnya dan melakukan
semua kemauannya. Terakhir kali, setelah Die berbaring disana mereka mengikat
kedua tangan dan kakinya. Memaksanya untuk diam ketika mereka semua mulai
beroperasi.
“Ukh!!” Die
terjatuh. Lumpuh dengan masa lalunya. Seketika kepala Die terasa berat dan
sakit. “Uuukhhh!!!” terus memegangi kepalanya. Mencengkramnya dengan rasa sakit
yang tak tertahankan.
~*~
Srrk!
Tubuh Shinya
yang masih tak sadarkan diri kini diseret. Darah yang mengucur dari kening dan
bibirnya menempel pada lantai kotor itu meninggalkan jejak. Tak ada yang tahu
hendak di bawa tubuh Shinya saat ini. Hingga tiba-tiba ponsel Shinya berdering.
Rrrr… Rrrr…
Rrrr…!
Cahaya terang
dari ponsel itu menembus tebalnya cardigan yang tengah Shinya pakai. Dia
berhenti dan melihat nama yang tertera pada ponsel tersebut.
“Duh! Kenapa
Shinya tidak menjawab teleponnya?!” Kyo merutuk sambil mematikan ponselnya.
Matanya kini kembali fokus pada jalanan gelap di bukit. Dengan perasaan cemas
dan panik, Kyo mengemudikan mobilnya lebih cepat.
Dengan kecepatan
tinggi akhirnya Kyo sampai pada tujuannya. RS. Jiwa McCandle!
Kyo bergegas
keluar dari mobilnya dan mendatangi tempat menyeramkan tersebut. Biar pun rasa
takut kini menyusup padanya, tapi dengan langkah yang pasti Kyo masuk juga ke
dalam bangunan misterius tersebut.
BYUUR!
Tubuh Shinya dijatuhkan
ke dalam kubangan air. Setelahnya, seseorang menutup palka pipa besar tersebut.
Mengunci Shinya di sana. Dalam ketidaksadarannya kini tubuh Shinya mulai jatuh
perlahan dalam dasar kubangan air kotor tersebut. Di sela air yang keruh
berwarna kehitaman, Shinya hanyut bersama daging-daging kental yang
menggenanginya.
……
“Kaoru!”
Kyo panik
tatkala melihat sosok Dokter muda itu terkapar tak berdaya di tanah. “Kaoru!!”
Kyo mencoba membangunkan dokter yang masih teman sekolahnya tersebut.
“Ugh!” Kaoru
mulai sadar. “Kyo…”
“Kau kenapa?
Mana Shinya?!” Tanya Kyo cemas.
“Dia… Daisuke,
ukh!” Kaoru kesakitan, memegangi perutnya.
“Aku akan
menelpon polisi!”
“Kyo, tolong
Shinya dulu. Aku tak bisa menemukannya, dia mengejar Daisuke.” Ujarnya.
Kyo terhenyak.
“Ung!! Uhukk!!!”
dengan gerakan spontan saat mulut dan hidungnya menghisap air, Shinya bangun
dengan kepanikan. “Aakhh!” Shinya menyembulkan kepalanya ke permukaan. Kakinya
mencoba bergerak dengan cepat, tubuhnya panik dan bergerak tak beraturan.
Shinya terbatuk-batuk ketika hidung dan mulutnya penuh dengan air kotor.
“Hhh!!! Hha!!” Shinya
semakin bingung dan panik tatkala melihat sekelilingnya yang penuh dengan air. Kotor dan menyengat.
Ini dimana?
–pikirnya. Dia menengok sekelilingnya yang gelap. Pipa-pipa besi
mengelillinginya. Air kotor dengan aroma menusuk hidung ini? Sudah dipastikan
sekarang Shinya berada di dalam saluran pembuangan!
Untungnya
saluran tersebut tak cukup dalam, hingga kaki Shinya bisa menapak permukaan
tanah. Saat itu suasananya benar-benar gelap, hanya sedikit cahaya yang masih
ke dalam sana. Namun Shinya masih mampu melihat sekelilingnya.
Air kotor yang
menggenanginya tingginya hampir mencapai pinggangnya, dengan bau menyengat yang
sangat menusuk. Shinya memeluk dirinya sendiri karena kini dingin menyergap
sekujur badannya. Pipa yang besar dan lembab itu membuat suhunya menjadi lebih
rendah. Shinya menatap sekelilingnya. Permukaan air itu benar-benar kotor,
sampah seperti botol-botol infus dan benda-benda rumah sakit lainnya
mengambang. Mengalir lambat mengikuti arus yang bergerak.
Shinya berpikir,
mungkin dengan mengikuti arus ini dia akan menemukan jalan keluar. Tapi tunggu,
mendadak Shinya ingat sesuatu! Sesuatu yang membuat Shinya begitu terkejut dan
panik!
“Die!!” Shinya
tiba-tiba mencoba berlari, namun berjalan dalam genangan air tidaklah mudah.
Shinya yang kurang cekatan beberapa kali terbenam kembali dan jatuh pada
kubangan tersebut. “Uhh!!” Shinya panik, bergerak tak beraturan. Dia mencoba
kembali bangkit dan menepi pada tepian di sisi saluran air tersebut.
“Hh. Hh.” Nafas
kelelahannya semakin menjadi-jadi, Shinya benar-benar lelah saat ini. Tubuhnya
lemas tak bertenaga. Lalu Shinya mencari-cari sesuatu dalam sakunya.
“Ponselku!” benda yang dia cari sepertinya tak bisa ia temukan. Atau jangan-jangan
hilang ketika Shinya dalam saluran air?
Tuut…tuutt…tuut~!
Kyo masih
berusaha menghubungi Shinya. Tapi sejak tadi Shinya tak mengangkat teleponnya.
Pikirnya, Shinya bisa saja sedang pingsan di salah satu ruangan ini. Setelah
meninggalkan Kaoru di tempat yang aman, Kyo mencoba mencari sepupunya itu
sendirian. Akan lebih bagus lagi jikalau Kyo juga menemukan Die!
Rrrr… Rrrr…
Rrrr…!
Tiba-tiba
langkah Kyo terhenti ketika mendengar suara dering telepon.
“Shinya…?”
Rrrr… Rrrr…
Rrrr…!
Suara itu
semakin lama semakin jelas ketika Kyo menyusuri lorong gelap itu. Namun Kyo
terhenti sesaat ketika mengingat lorong di sebrangnya. Itu lorong dimana Kyo
mulai merasakan sesuatu yang menakutkan tentang bangunan ini. Lorong gelap yang
benar-benar mampu membuat Kyo takut.
Rrrr… Rrrr…
Rrrr…!
Namun suara
ponsel Shinya tak berhenti berbunyi.
“SHINYA!” Kyo
mencoba memanggil, namun tidak ada jawaban.
Rrrr… Rrrr…
Rrrr…!
“Shit!”
Teleponnya masuk mesin penjawab. Kyo mencoba menghubungi kembali, namun kali
ini dengan bermodalkan suara dari telepon Shinya, Kyo maju melawan rasa
takutnya mendatangi ketakutannya sendiri!
~*~
Shinya menggapai
dinding di sebelahnya, meraba kesana-kemari untuk mendapatkan pegangan. Perih
dari luka di keningnya mulai ia rasakan menyegat rasa sakit dikepalanya. Tapi
Shinya tak berhenti berjalan menyusuri saluran air tersebut. Tiba-tiba dia
berhenti, ada pertigaan dalam saluran tersebut. Saluran mana yang harus Shinya
ambil sekarang?
~*~
Kyo mendapatkan
cahaya dari ponsel Shinya yang berpendar dalam kegelapan, segeranya dia
mendatangi dan mengambilnya. Tapi sang pemilik benda tersebut tak kunjung dia temukan. Kyo berjongkok di
sana, melihat ponsel Shinya yang masih berbunyi. Ada retak pada layarnya, juga darah
yang tercecer.
“Ini…” Kyo
panik. “Shinya!” Kyo berbalik, tapi…
BUK!
Kyo jatuh ke
tanah ketika seseorang menghantam kepalanya dengan balok kayu.
~*~
‘Kau harus
menuruti perkataanku!’
‘Bakar! Bakar!!’
‘Daisuke.’
‘Daisuke.’
“Ungh!” Die
menutup kedua telinganya kuat-kuat. Matanya memejam paksa tak mau ingat. Namun
kejadian 20 tahun silam itu benar-benar sangat menganggunya. Terekam, dan
terulang. Tergambar dengan sangat nyata di kepala Die. Bagaimana pemaksaan dan
penganiayaan itu menimpanya. Mereka diseret dan dipaksa. Die ingat, benar-benar
sangat ingat. Hingga Die berontak dan menghujamkan mata pisau itu padanya.
‘Kau tidak akan
kulepaskan, Daisuke!’
Die ingat
kata-kata terakhir Dr. Camui ketika tubuhnya diseret oleh mereka. Die tak bisa
melupakan mata yang telah menanamkan perasaan takut padanya. Wajah iblis
bertopengkan seorang dokter jiwa. Nyatanya dia sendiri adalah seorang pesakitan
yang sakit mental!
‘Daisuke…, Die…’
Namun bayangan
itu perlahan berganti rupa. Dengan sosok Shinya. Tubuh Die bergetar. Mengingat
sosok yang sudah bertahun-tahun bersamanya. Sekarang dimana?
‘Die…’
Die tercenung,
suara itu memanggilnya. Saat Die mendongakkan kepalanya. Sosok bayang
menyerupai Dr. Camui berdiri tepat di hadapannya. Menghunus pisau bedah yang
siap menusuk kepala Die kapan saja.
‘Kau tidak akan
aku lepaskan, Daisuke.’
“Hehehe…” namun
aneh, kini Die terkekeh. Melihat sosok Dokter tersebut dengan tawanya. Perlahan
pelan, kemudian terbahak. “HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!!!!” seketika berhenti. Die
bangkit dan menyongsong bayangan sang Dokter dengan sebuah mata pisau
tergenggam di balik tangannya yang dingin.
Die melawan.
~*~
Tap. Tap.
Suara langkah
kaki Shinya begitu nyaring. Di padu dengan suara tetesan air pada pipa-pipa
pembuangan yang kecil disekitarnya. Berjatuhan pada kubangan air yang semakin
lama semakin sedikit airnya. Tapi tidak menghilangkan kelembaban dan bau
menyengatnya. Justru semakin Shinya telusuri jalan ini, bau menyengat ini
semakin pekat. Kini selain harus melindungi tubuhnya yang mengigil kedinginan,
Shinya harus menutup hidungnya.
Clak. Clak.
Suara tetesan
air kotor itu terdengar keras. Shinya memperlambat langkahnya. Di ujung sana
tiba-tiba Shinya melihat sebuah cahaya, berpendar. Layaknya menemukan ujung
dari sebuah terowongan gelap. Langsung saja Shinya berlari dengan hati yang
senang. Berharap itu adalah sebuah jalan keluar. Namun,
BRUKK!
“Aawh!” Shinya
tersungkur. Jalan yang ia tapaki terlalu licin hingga membuatnya tergelincir.
Tapi lebih dari pada itu Shinya seperti telah menginjak sesuatu. Ketika Shinya
bangkit, sebuah pintu terbuka terlihat. Gelap dan sangat bau. Apa mungkin bau
menyengat ini asalnya dari sana? Shinya menggigit bibirnya. Walau perasaan
enggan dan takut mulai merasuk, tapi Shinya sangat ingin tahu asal muasal dari
bau menyengat ini.
Maka dengan
langkah yang hati-hati, Shinya mendekat pada pintu tersebut. Suara langkah
kakinya mulai menakutinya. Shinya hamper saja sampai, dan bau ini semakin
menyengat. Ada bangkai kah?
Ciit! Ciiit!!!
“Kyaaa!!”
Gabruk!
Shinya yang
terkejut karena ulah tikus yang tiba-tiba saja keluar dari ruangan itu membuat
Shinya kembali terjatuh. Tapi ketika tahu itu hanya binatang pengerat, Shinya
cukup berlega hati. Hingga saat ia rasakan dia memegang sesuatu. Tangan Shinya
berlendir. Shinya di hujam rasa takut luar biasa saat itu. Perlahan menoleh
pada samping kanannya, dan mendapati tangannya menumpuk pada sesuatu.
Daging-daging merah yang membusuk.
“HHkkss!!!”
Shinya membuang muka. Airmatanya mengalir tanpa bisa dihentikan. Tanpa bicara
dan mengulur waktu, Shinya segera bangkit dan pergi dari tempat itu.
……
Shinya terus
berlari hingga akhirnya menemukan ujung pada saluran air yang mengurungnya.
Sambil merangkak Shinya terus bergerak menyusuri pipa-pipa kotor tersebut.
Dengan isak tangis yang berusaha dia tahan. Demi apa pun, Shinya benar-benar
ingin keluar dari tempat ini.
“Ugh!”
Sayangnya, ujung
saluran air tersebut ditutup oleh jeruji besi. Shinya terjebak!
“Die!!! Diee!!!
Hhhks!” Shinya memukul-mukul jeruji besi tersebut sembari menyerukan nama Die
yang tak kunjung dia temukan. “Die!! Aku mau keluar dari sini!! Die!!!” Shinya
benar-benar tidak tahu lagi harus melakukan apa. Hingga akhirnya pria itu hanya
mampu menangis sendiri dalam saluran pipa air tersebut.
Shinya tak
berani menggunakan tangan kanannya yang tadi mengenai sesuatu. Tangan yang kini
bergetar dan kotor itu benar-benar membuat Shinya jengah. Shinya tidak
menyangka akan menemukan hal seperti itu disini. Shinya takut!
Tapi ketika
Shinya sadar bahwa ada orang lain yang mengincar Die selain Dr. Camui, tangis
Shinya berhenti. Dengan cepat pemuda itu menyeka air matanya dan mundur dari
jeruji besi dihadapannya. Merubah posisinya dengan kaki menghadap pada jeruji
besi berkarat tersebut. Dan pada hitungan ketiga, kedua kaki Shinya
menendangnya dengan kuat.
“Ugh!” tapi itu
tak cukup membuat jeruji tersebut lepas dari engselnya. “UGH!” Berulang kali
Shinya melakukan hal yang sama. Hingga akhirnya jeruji tersebut lepas. Shinya
keluar dari sana dengan cepat. Merangkak seperti bayi. Dengan tubuh yang basah
dan kuyup serta luka dan tubuh yang kotor akhirnya Shinya menemukan jalan
keluar. Tapi lagi-lagi Shinya dibuat ternganga dengan apa yang dilihatnya.
“Ini penjara.”
Gumamnya dengan nafas terengah. Kini mata Shinya menatap sekelilingnya.
Tebaklah. Kini
Shinya menapaki penjara bawah tanah. “Tuhan, tempat apa ini?”
Shinya berjalan,
di sisi kiri dan kanannya banyak ruangan kecil dengan jeruji besi yang lebih
mirip dengan penjara terpampang dengan jelas. Dinding-dinding yang telah
berlumut, bahkan sebagiannya telah di tumbuhi tanaman-tanaman kecil. Shinya
menoleh pada langit-langitnya. Nampak anyaman-anyaman besi bronjong membuat
suatu jalan sendiri di atas tempat itu. Namun, sisi dari atasnya, sebagian
telah terkubur oleh tanah.
Desah nafas
Shinya masih terdengar, kini malah lebih keras dengan isaknya. Shinya tak menyangka
akan menemukan tempat seperti ini. Ini seperti penjara khusus yang disiapkan
sebelum mereka mengebiri pasien-pasiennya satu persatu.
“Hhss!!” Shinya
menutup mulutnya yang hampir saja bersuara. Shinya tak tahan.
Sampai akhirnya,
sesuatu bergetar di atas kepala Shinya. Bunyi derap langkah kaki seseorang yang
berlari tepat diatas kepalanya. Shinya menoleh, serpihan tanah-tanah dari atas
mendadak berjatuhan. Tapi Shinya cepat menangkap bayang Die yang berlari
disana.
“Die!!!” Shinya
ikut berlari, mengikuti arah lari Die yang lurus menyusuri kawat anyaman
bronjong ini. “Die! Dieee!!!” Shinya terus mengikutinya.
“DIEEEE!!!!!”
Die terhenti.
Menengok ke belakangnya. Seseorang memanggilnya. “Shinya…?” matanya
mencari-cari, tapi sosok Shinya tak ada di sana. Hanya tempat gelap di balik dinding
rumah sakit menakutkan itu.
“DIE!!!” Shinya
kembali memanggil.
Die merunduk
pada bawah kakinya,
“SHINYAAA!!!!”
Die langsung bersujud, memegangi kawat yang tengah dia pijak. Tepat di bawah
kakinya, Shinya berdiri dengan keadaan yang menyedihkan. “Shinya!”
“Die!”
“Shinya, kau
tidak apa-apa?!!” Die bermuka cemas.
“Die! Keluarkan
aku dari sini.” Tangis Shinya pecah saat itu.
“Ya! Aku akan
mengeluarkanmu!”
“Die…,” Shinya
menatap nanar, tapi tatapannya sekejap berubah menjadi tatapan terkejut. “DIE,
AWAS!!! DI BELAKANGMU!!”
Die menoleh,
tapi sayang dia dijatuhkan. Kini mereka bergumul.
“Kau!”
Shinya ketakutan
dan panik. Ternyata selama ini orang yang dia percayai mampu mengurus Die
justru kini berubah berbalik menyerang mereka.
“KAORU!” Shinya
menggemerutukan giginya.
Kaoru dan Die
saling bergumul. Kaoru memukulnya berulang-ulang.
“Die!” Shinya
panik.
Kaoru membalikan
badannya kasar, mencekik pria itu dengan penuh nafsu. Die kesulitan bernafas.
“Eekhh!! Ka-
Kauu… kenapa melakukan hal ini?!” Die masih mampu bertanya walau pun kesulitan.
“Jawabannya
mudah. Tapi kau tidak perlu tahu. Kau cukup membantuku dengan menjadi korban
jiwa!”
“Eekh!” Leher
Die semakin tercekat. Pria berjas dokter ini benar-benar berniat membunuhnya.
Tapi Die berusaha bertahan.
“Diam saja kau
Daisuke, masuk ke dalam riwayat cerita McCandle dan menjadi satu dengan
teman-temanmu yang lain, hahaha.”
“Ukkhh!!!”
Ujung kaki Die
meronta, kedua tangannya masih memegangi tangan Kaoru yang mencekiknya.
Sementara itu Shinya yang bingung mencari jalan keluar demi membantu Die yang
hampir mati.
Dimana jalan
keluarnya?! Batin Shinya berpacu dengan waktu.
“Ukkkh!!” Die
mulai lemas. Kaoru bisa melonggarkan diri dengan mengambil sesuatu dalam saku
jasnya sementara tangannya yang lain masih terus menekan dan mencekiknya. Mata
Die menangkap sesuatu yang dikeluarkan oleh Kaoru. “Nngh!!” Die mencoba
berontak, ketika Kaoru membuka tutup dari suntikan yang sudah ia siapkan.
“Jangan melawan.
Ini kematian yang tidak akan menyakitkan untukmu, Dai.” Dia tersenyum,
menyeringai.
Die waspada,
ketika Dokter tersebut hendak menyuntikkan sesuatu padanya. Tangan Die yang
segera menepis hingga Kaoru kehilangan suntikannya. Ia murka!
“Bedebah!!”
BUK!
Satu hantaman
keras mendarat di pipi Die mengakibatkan lebam dan sakit yang menyentaknya.
Darah segar mengucur di ujung bibirnya yang kering. Die mengerang kesakitan.
“Kalau kau mau
mati dengan cara yang menyakitkan, aku turuti!”
“UUKKHH!!!” Die
terengah-engah saat tak ada udara yang bisa masuk ke dalam paru-parunya. Kaoru
mengetatkan cekikannya kuat-kuat. Matanya mulai memerah, melihat Kaoru yang
bengis. Die mencoba memukulinya, tapi kekuatannya cepat melemah karena tak ada
tenaga.
“Setelah ini,
kau menyusul Dokter Camui dan mengakhiri riwayat McCandle. Tentu saja, Camui
akan senang melihat pembunuhnya mati, kan?”
Bibir Die mulai
membiru, wajahnya kian pucat. “Kau…”
“Kau tak akan
pernah tahu siapa aku?”
“Kau yang BEDEBAH!”
Syut! Sst!
Mata Kaoru
membelalak besar tatkala sesuatu mengenai tengkuknya. Ia menoleh, ada Shinya
yang berdiri di sana. Shinya mundur teratur ketika Kaoru memandangnya dengan
mata yang menyeramkan. Ia melepaskan cekikannya pada Die, dan kini tangannya
beralih pada tengkuknya yang tertancap jarum suntiknya. Kaoru bangkit dari
sana, mencoba mendekati Shinya dengan tampangnya yang benar-benar ingin
membunuhnya. Shinya yang ketakutan terus mundur hingga terpojok dan beradu
dengan dinding. Kaoru melayangkan tangannya, Shinya membuang muka, lalu,
BRUUK!!
Shinya membuka
matanya perlahan dan mendapati Kaoru yang terkapar. Dari mulutnya mengeluarkan
busa putih dan darah yang keluar dari hidung serta matanya.
“Die!” Shinya
melangkahi mayat Kaoru yang sudah tak bernyawa. Mendatangi Die yang juga tak
sadarkan diri. Die sudah tidak bernafas. “Diee!!! Hkss!” Shinya tersedu. Tapi
dia tidak mau meyakini bahwa Die juga sudah mati. Dengan cepat Shinya
mendekatkan telinganya pada dada Die.
Detak jantungnya
masih ada!
“Die! Die!”
Shinya terus memanggilnya sambil memompa dada pria tersebut. Tapi Die tak
kunjung sadar. Cara lain Shinya lakukan, memberi nafas buatan agar pria itu
bisa kembali bernafas. “Die! Bangun!” lalu memompa kembali dada Die. “Die! Aku
mohon bangunlah!!!” Shinya terus melakukan hal tersebut berulang-ulang, hingga
akhirnya…
“Uhukk!
Uhuukk!!!” Die terbatuk, dan membuka mulutnya menghirup udara. “Uhhukk!”
“Die!” Shinya
membantunya. Namun Die kembali terkapar, tubuhnya lemas sekali. “…Shinya…”
“Ya, Die… iyaa…”
“Shin…”
Shinya memeluk
pria itu erat walau Die hanya mampu membalasnya pelan.
“Shinya! Die!”
Kyo muncul, Shinya dan Die menoleh bersamaan. “Kalian tidak apa-apa?” Kyo
berlari ke arah mereka.
“Kyo…”
Di belakang Kyo
muncul banyak sekali orang berseragam patroli. Beberapa perawat berbaju putih
yang dengan cepat menghampiri mereka.
“Aku sudah
menelpon polisi. Tempat ini sudah di evakuasi. ” ujarnya, bergabung dengan Die
dan Shinya yang terluka.
~*~
“Aku melihatnya
membawamu. Maka dari itu aku melawan. Aku sangat takut dia membawamu pergi.”
Shinya hanya
bisa tersenyum jika mengingat kembali bagaimana Die menjelaskan bagaimana dia
terlepas dalam cengkraman masa lalu dan halusinasinya. Halusinasi yang
membuatnya gila. Tapi kini Die bisa bertahan karena masa lalu terburuknya telah
tertimpa pada kenangan masa sekarangnya. Beruntung dia bisa mengenal Shinya.
“Terima kasih,
Die.”
……
Sebulan
kemudian.
Rumah sakit jiwa
McCandle akhirnya dirobohkan. Dari hasil penelusuran polisi telah ditemukan
banyak sekali tulang belulang manusia dengan prediksi usia di bawah 12 tahun. Juga
tulang belulang yang telah lama terbakar. Diperkirakan tulang belulang yang
mereka temukan adalah tulang dari Dr. Camui yang di baker hidup-hidup bersama
para perawatnya di ruang isolasi. Namun yang lebih miris dari itu, mereka juga
menemukan banyak sekali gumpalan daging yang di buang di saluran pembuangan air,
yang ternyata adalah bangkai-bangkai dari janin manusia.
Ternyata selama
ini, rumah sakit tersebut dijadikan sebuah tempat pembuangan bagi Kaoru ternyata
menjadi seorang dokter aborsi. Di balik pekerjaannya itu, dia menutup
pekerjaannya dengan menjadi seorang dokter rumah sakit jiwa. Tak ada yang tahu
hingga bertahun-tahun. Sampai akhirnya dia merasa terancam karena Die dan
Shinya muncul. Merasa takut rahasia tentang pembuangan janin tersebut, Kaoru berencana
melenyapkan mereka semua. Termasuk Kyo, temannya yang dulu sempat satu tempat kuliah
dengannya.
“Tapi aku heran.
Kenapa Dr. Niikura tidak terpengaruh dengan Dr. Camui? Kau saja bisa
melihatnya.” Die menatap Shinya yang masih mengupas apelnya.
Shinya hanya
tersenyum. “Mungkin hantu itu sadar kalau Kaoru itu sama iblisnya dengan
mereka. Atau mungkin mereka memang satu golongan.”
“Ha?”
“Sudahlah. Kau jangan
banyak berpikir, besok kau keluar dari rumah sakit, kan. Lukamu sudah mulai
membaik.” Shinya mengalihkan pembicaraan. Mengusap wajah Die yang masih sedikit
pucat.
“Ya.”
Shinya
menyodorkan irisan-irisan apel tersebut padanya, lalu beranjak. Menatap ke arah
jendela kamar rawat Die. Dengan wajah yang cerah Shinya melihat aktifitas para
pasien di luar sana. Sesekali dia melirik Die yang masih menyantap makanan
ringannya. Terkadang Shinya tersenyum. Die kukuh melawan rasa takutnya sendiri,
walau itu bisa membuat nyawanya melayang.
Tentu saja Shinya
tidak akan pernah mengatakan bahwa Dr. Niikura adalah keluarga dari Dr. Camui. Shinya
sudah mengetahuinya sejak gelagatnya di rumah sakit ketika Dr. Niikura mengambil
alih daftar pasien McCandle. Shinya melihat kemiripan antara Dr. Niikura dan
Dr. Camui. Walau Shinya tak menyangka perkiraannya tepat. Jika ia boleh
menebak, mungkin Dr. Niikura adalah cucu dari Dr. Camui.
Sebenarnya jika
di telisik kembali. Alasan kuat mengapa Dr. Niikura hendak melenyapkan Die
dengan begitu gigih, mungkin adalah dendam pribadinya yang tidak senang dengan
pembunuh sang kakek. Jika Dr. Niikura hanya menginginkan rahasianya terjaga,
bukan Die yang dia bunuh. Tapi Shinya. Di lihat dari aspek apa pun, Shinya yang
akan memberatkannya di pengadilan jika Shinya selamat. Tetapi Kaoru hanya
membuangnya ke pembuangan. Pikirnya mungkin Shinya akan mati terkurung di
dalamnya. Dr. Niikura lebih ingin membunuh Die sebenarnya. Jika Die mati, mudah
saja baginya untuk memiliki alibi. Bisa saja dia mengatakan Die mati karena
ulahnya sendiri. Sungguh dia benar-benar seorang yang licik.
Tetapi, Shinya
tak mengingkari bagaimana rencana Dr. Niikura berjalan begitu rapih. Salahnya
hanyalah, dia tidak membunuh Shinya lebih dulu. Namun Shinya tak peduli.
Sekarang Shinya sudah bisa memperkuat dirinya sendiri. Terlebih lagi, orang
yang dia sayangi kini juga telah terlepas dari bayang masa lalunya. Mengingat
bagaimana Die yang mungkin jauh lebih tersiksa. Shinya pun tak akan menyerah.
Jika Dr. Camui
yang di bunuh oleh Die mengejarnya hingga dasar kematian. Shinya akan
menghadapi hantu Dr. Niikura, jika benar dia mengejarnya. Karena Shinyalah yang
telah membunuhnya. Tapi jika benar hantu Niikura itu ada. Hah, tapi rasanya
mustahil.
Shinya membalas
senyum Die dan kembali beralih pada jendela tosonya. Melihat kembali keriuhan orang-orang
yang menikmati senja kala itu. Tiba-tiba ada yang menarik perhatian Shinya.
Seseorang berjas rapih dengan rambutnya yang tebal, berdiri di tengah-tengah
keramaian. Shinya menyipitkan matanya.
Dia menengadah.
Menatap Shinya dengan lurus walau mereka berselang sejauh 200 meter dengan
ketinggian dari kamar yang tengah Shinya jajaki saat ini. Namun mata itu tepat
menusuk mata Shinya hanya berdiri dengan mata membulat padanya. Dia tersenyum,
di tangannya sebuah jarum suntik tersemat di balik jarinya.
DOKTER NIIKURA!!!
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar