Title
: Ain't Afraid To DIE
Author
: Duele
Last
Edited : 10 Nov 2009
Genre
: Romance
Chapter
(s) : Oneshot
Rating
: 15+
Band(s)
: Dir en grey
Pairing(s)
: DiexShinya
Summary
: Die, ya Die...
Disclaimer
: In a Lucid Dream - Duele
Song
Author : The Hardest Day - The Corrs
Note
Author : Ini bukan lanjutan, cuman mengulang cerita ‘In a Lucid Dream’ dari
sudut pandang Die.
~*~
GRAAK.
Terkejut,
begitu responnya. Tapi secepat kilat ia kendalikan dengan lihainya. Saat mata
mereka bertemu, saat Die sadar hanya ada dia seorang dimatanya saat ini.
"
Um, yang lain mana ?" tanya Die datar. Sungguh berat baginya untuk
bersikap kelewat kaku begini, karena ini bukan cirinya.
"
Yang lain belum datang." jawab seorang lainnya. Seorang yang telah
terlebih dahulu duduk ditempatnya, belakang drumset.
"
Ooh..." tanggapnya datar.
BLAM.
Die
keluar, secepat mungkin. Maaf Shinya, tapi ini demi menyelamatkan diri Die
sendiri. Dirinya yang sedang larut dalam kekalutan dan kegalauan tentangmu, cintanya..
Berusaha
seirit mungkin bertemu denganmu demi mengikis perasaannya.
Mencoba
menenangkan diri dari kalapnya perasaan yang selalu mendongkrak berpuluh ribu
ambisi untuk memilikimu. Walau Die tahu, itu tak mungkin. Jangan tanya kenapa ?
Namun tak apa kau menyebutku manusia jahat yang tak berperasaan karena
mengacuhkanmu tanpa mengungkapkan alasan.
Kumohon,
benci aku Shinya...
"
Ternyata kalian disini." Die menemukan juga sosok Kaoru cs.
"
Oh, gomen. Lagi tanggung." Kaoru sibuk kembali bicara pada Kyo, sementara
Toshiya sedang seru-serunya bergosip di telepon.
Die
berjingit. Tak apa, mereka akan menyusulnya sehingga kali ini tak ada kata
hanya berdua dengan Shinya tanpa Diru. Setidaknya Die akan lebih kuat
menghadapinya karena terpaut pada pekerjaannya, walau kini terlalu sering
bayang Shinya mengisi lembar memorinya.
GRAAK.
Dan
kali ini apa ?
Mata
itu menangkap sosok lain yang kini bersama Shinya, mengumbar kemesraannya
diam-diam ?!
"
Die-san... apa kabar?" 'orang lain' itu menyapa Die.
"
Hoh baik." Die berusaha untuk tetap tenang, walau segores luka kini
menyayat dihatinya.
Jangan
kira Die tak lihat!
Die
tahu apa yang kalian lakukan. Shinya yang dikenal tak akrab dengan siapapun
sekarang dengan santainya bercengkrama dengan orang lain yang bahkan Die tak
kenal siapa ?! Dan lihat, tadi Shinya memakai sebuah topi?! Haha... Die tertawa
kecut dalam hati. Seumur hidup dia kenal Shinya tak pernah Shinya menyanggupi
untuk memakai topi, bahkan dari permintaannya. Hal kecil yang membuat Die kini
merasakan betapa aura marah dan kecewanya ia pada Shinya saat ini.
"
Aku keluar dulu, nanti ku telepon yah." pamit Ken pada Shinya.
SHIT
!
Die
menarik nafasnya tinggi-tinggi. Untungnya tak ada yang sadar ini adalah sebuah
obat yang cukup mujarab bagi Die untuk meredakan letupan-letupan rasa iri dan
kesalnya.
Tidak!
Die
tidak ingin melihat Shinya saat ini. Setidaknya biarkan dia menenangkan dirinya
dalam diamnya. Mencoba berkonsentrasi pada permainannya hari ini. Demi
melupakan segumpal rasa benci ini!
~*~
"
Duluaaan~"
Semua
berhamburan. Keluar meninggalkan studio yang telah tiga jam lebih mereka
tempati.
"
Eh, masii sore nih. Gimana kalo kita ke club..?" ajak Totchi.
"
Usul bagus." celetuk Kaoru.
"
Kyo ikut ga ?" tanya Totchi, walau sudah yakin tau jawabannya pasti TIDAK!
"
Ikut~"
Tapi
kali ini jawaban sang vokalis cukup mengejutkannya, dan berakhir dengan senyum
dan guyonan ala Totchi.
"
Cieee~ udah kepincut mbak2 diclub yah~" ledeknya ganas. Celotehan Totchi
yang selalu sukses membuat Kaoru tertawa geli.
Kalau
Die, tidak usah ditanya. Sekarang hobinya memang kumpul bocah dengan Totchi dan
Kaoru. Jadi jika keduanya sepakat akan ke club, Die akan turut kesana.
"
Aku ngga ikut." jawab Shinya.
Sudah
bisa Die tebak kok.
"
Gomen ne~" pinta Shinya.
"
Kau punya urusan yah ?" tanya Kyo.
"
Iya." jawab Shin polos.
Shinya
berpamitan. Die tak mau melihat. Terlalu menyakitkan, lagipula tak mungkin
Shinya menatapnya sebelum pergi. Silahkan! Silahkan pergi dengan kawanmu yang
baru!
Sesuatu
yang Die syukuri, tetapi tak pelak ini juga membentur perasaannya. Tapi semoga
Shinya bisa merasakan kesenangan lebih daripadanya.
~*~
"
Hey!" Kaoru menyikut Die yang sedari tadi bengong dengan minumannya.
Diujung
sana, Kyo dan Toshiya sedang asyiknya bermain billboard.
"
Tak bersemangat seperti biasanya ne~?" goda Kaoru.
"
Ceweknya dikit." jawab Die meyakinkan.
"
Ahahahahahkk!" Kaoru tergelak.
Lalu
menepuk punggung Die hingga akhirnya dia berlalu ketika Toshiya memanggilnya.
Wanita ?! Tentu saja Die butuh, tapi tidak untuk saat ini ketika pikirannya
melayang memikirkan seseorang.
Ditatapnya
ponsel miliknya yang sedari diam tak bergerak. Shinya kemana ?!
Tak
pernahkah ia sadar bahwa Die sengaja melakukan ini padanya. Mengacuhkannya,
mendiamkan, semata hanya ingin melihat respon Shinya padanya. Tapi ternyata...
Die
memasukkan kembali ponselnya pada kantung celananya. Meneguk tanpa ragu minuman
didepannya. Segelas pun tak cukup, bahkan sebotol pun mungkin tak akan pernah
cukup untuk melegakan dahaganya yang lebih panas dari pada api. Ini api
cemburunya.
~*~
"
Shinya akrab yah, sama si Kenzi ituh." celetuk Totchi suatu siang.
"
Siapa ?" tanya Kaoru yang masih menikmati bir dinginnya.
"
Si tukang service drumset." enteng Totchi menjawab.
"
Bukan akrab, cuman basa-basi kok." jawab Kao.
"
Loh, beda loh Kao-samaa~~~ orang yang akrab dengan orang yang sedang
berbasa-basi karena pekerjaan itu beda sekalih!" sanggah Totchi.
"
Jadi nurutmu ?"
"
Jangan-jangan Shinya suka sama Kenzi." akhirnya spekulasi dini itu keluar
dari mulut Totchi xD
Tentu
saja, sang Leader hanya bisa membalas dengan tawa. Tak masuk akal!
"
Iya kan Die ?" kini Totchi beralih pada Die yang sibuk dengan rokok dan
majalahnya.
"
Hum.. Humm~" Die manggut-manggut tapi matanya tak lepas dari majalah
Rolling Stones.
Bad
Toshiya.
Kamu
sengaja yah membuka topik menyebalkan ini di depan Die?!
Sengaja
mengingatkan Die pada sosok Shinya yang mungkin kini tengah bersenang-senang
dengan orang lain ketimbang mereka ?!
Tapi
tak apa. Ini resiko. Resiko berusaha mengikis cintanya.
Yang
jelas Die tidak mau terlalu larut dalam masalah ini. Tapi bisakah ?
Padahal
jelas, rasa sakit, cemburu dan amarah kini tengah berkecamuk dibenak Die.
Untaian sumpah serapah, kata-kata protes berbaur dalam pikiran Die.
Shinya.
Shinya.
Shinya, dan...
SHINYA
!!!
Bisakah
orang itu tak lagi muncul dalam mimpiku, huh !?
GRAAK.
"
Pagi." sapa Die.
"
Ngelindur, sapaan taon jebot kok dipake." sindir Totchi.
Yeah,
Die memang datang paling akhir hari ini. Untung saja hari ini tidak ada jadwal
latihan walaupun tetap saja mereka harus berkumpul distudio.
"
Iya jadi! Aku sudah menyiapkan tempat." diujung sana suara Inoue-san
terdengar, bicara ditelepon tentang acaranya malam ini.
Ada
Kaoru dan Toshiya yang sedang, seperti biasanya lah. Bercanda ngalor ngidul tak
jelas, dan disebelah Die ada Kyo yang masih santai merokok. Sama sepertinya.
"
Die, kok bengong." Toshiya menghempaskan diri di sofa.
"
Fuuuuh..." Die menjawab dengan semburan asap rokoknya.
"
Uuuh, look your face, so-not-fresh!" cibir Totchi.
Kaoru
tergelak. Toshiya cengengesan. Kyo beranjak, lagi ngga mood katanya sama
bercanda.
"
Kyo-san. Sekalian cari Shinya yah, kita berangkat bareng aja." ujar Kaoru
yang langsung dibalas lambaian tangan Kyo.
Saat
mata Die menatap tajam sosok Kyo yang menghilang di balik tembok. Cari Shinya ?
Biasanya
tanpa diperintah, Die kan yang selalu mendatanginya? Die yang akan selalu
mengambil posisi lebih dulu untuk menemukan si drummer manis itu dengan
matanya. Menggodanya hingga Shinya mau tak mau kadang membalas godaannya,
walaupun tetap dia yang kalah.
Die
masih ingat, suatu hari ketika konser. Shinya yang baru saja turun panggung
kelihatan begitu pucat. Padahal dari semuanya yang paling jarang sakit adalah
Shinya. Melihat kondisinya Shinya yang nampaknya tidak begitu fit tak pelak
membuat Die khawatir.
Die
ingat ketika dirinya mendatangi Shinya, berjongkok dihadapannya sambil
menanyakan kesehatannya. Saat itu Die benar-benar takut. Sangat takut. Walau
pun Shinya selalu menjawab 'tidak apa-apa' tapi Die terlalu khawatir. Hingga
terus dan terus melontarkan pertanyaan yang sama, hingga Shinya berdecak kesal
sendiri. Tapi ini Die, ini hanya karena segelintir perasaannya sayangnya pada
Shinya maka dia melakukan hal yang sebetulnya jarang ia lakukan.
Mencemaskan
orang lain, begitu cemas dan takut. Die memang bukan tipe orang yang bisa
mengungkapkan semuanya dengan serius agar orang percaya dengan apa yang di
maksudkan. Die bukan tipe orang yang seperti itu...
Die,
ya Die. Ya seperti ini. Penuh gurauan dan tawa menyelingi, walaupun tak pernah
ada yang tahu rasa sakit terkadang menusuk hatinya secara tak langsung. Tidak
ada yang tahu termasuk Die. Orang yang juga kadang terlambat menyadari
perasaannya, hingga berakhir menyakitkan. Percobaannya, target bercandanya,
berubah total ketika rasa ini sudah mulai mengubah alur cerita dari tema
seorang kakak menjadi seorang kekasih yang berhasrat.
Dan
Die tak bisa menghentikannya. Sama sekali tak bisa. Hingga dia terus bersikap
diluar kemampuannya hanya demi Shinya.
"
...Die ??? "
Ah
!
"
Yah ?" Die sadar.
"
Melamun ? Rokokmu habis tuh." Kaoru menunjuk batang rokok ditangan Die.
Die
tersenyum kecut, sudah berapa lama dia melamun seperti tadi ?
"
Kyo lama ih!" celetuk Toshiya.
"
Ya sudah, biar Die saja yang mencarinya. Sekalian cari Shinya." pancing
Kaoru, yang langsung ditatap penuh arti oleh Die.
Kaoru
tersenyum kecil. " Bilang sama Kyo, dia naik mobil van-nya staff Mixing
aja." ujar Kaoru.
Die
menghela berat, sengaja. Memperlihatkan pada Kaoru sebetulnya dia agak malas,
tapi sepertinya Kaoru tak peduli. Dia punya jalan pikirannya sendiri. Dan
dengan langkah malasnya, Die beranjak. Berjalan santai sambil mencari kedua
membernya yang menghilang sejak tadi.
"
Lihat Kyo tidak ?" tanya Die pada seorang staff.
"
Tidak tuh."
Die
melengos.
Namun
tanpa bertanya, kali ini DIe tahu dimana harus mencarinya. Bukan Kyo, tapi
Shinya. Ketika sosok Kenzi muncul dari tikungan arah studio. Kemana lagi ?
Studio tempat latihan mereka. Tiba-tiba, mata itu bertemu pandang dengan milik
Kenzi. Kenzi tersenyum kecil, Die membalas irit namun tetap ia tak bisa
menyembunyikan mata tajamnya dari pemuda itu.
Die
bergegas, Kenzi berjalan seolah mendekati. Die tak peduli, melewati Kenzi
dengan angkuhnya.
"
Kyo-san.."
Kepala
Die tiba-tiba menyembul dari balik pintu. " Ah, ternyata disini."
tuturnya, sekejap melirik Shinya sesaat tapi kembali fokus pada Kyo. "
Kaoru bilang..."
Die
berusaha fokus pada Kyo. Hanya pada Kyo!!
Ia
tak mau embel-embel wajah manis itu mengalihkan perhatiannya, hingga ia tak
kuasa untuk bertekuk lutut hanya karena tatapan mata penuh arti itu. Tatapan
mata polos yang jarang ia lihat. Hanya milik Shinya. Die sengaja, mengumbar
basa-basi ini lebih lama.
Semoga
saja Shinya tak tahan dan memilih keluar. Tapi dasar Shinya, tukang bengong!
Berapa lama pun mereka menghabiskan waktu untuk mencoba mengacuhkan Shinya,
namun Die tetap tak bisa. Ia juga ingin tahu Shinya akan ikut dengan mereka
atau tidak ?
"
Shinya..."
Shinya
sadar, Die menatapnya, memanggil namanya...
"
Kamu ikut gak ?" tanyanya, biasa tapi terkesan aneh untuknya.
"
Ngga. Aku udah ada janji duluan sama Kenzi." jawab Shinya cepat.
Sejenak
Die terdiam, tapi...
"
Ooh..." dan ekspresi datar dan acuh kembali Die pancarkan.
Jadi
begitu.
Sekarang
Die mengerti, sangat paham!
~*~
Seharusnya
Die senang !!!
Seharusnya
ini patut dirayakan karena Shinya telah mendapatkan penggantinya, orang yang
akan menemaninya setiap hari. Orang yang bisa membuat Shinya tersenyum lagi.
Die tahu Shinya menyukainya. Bukan! Malah mencintainya dirasa.
SIAL
!
Hati
Die berkecamuk. Jawaban Shinya benar-benar menghancurkan hatinya. Terlalu bodoh
memang karena yang memulai semua ini adalah Die. Dan sekarang setelah berhasil
membuat Shinya berpaling pada orang lain kenapa Die yang merasa perih ?
"
Heh, Die ?! Dari tadi bengong terus. Kenapa ?" tanya Toshiya.
Die
menghela. " Kaoru, aku duluan yah." ujarnya.
Tapi
yang terkejut agaknya Toshiya. " Hah ?! Kok cepet banget ?!" tanyanya
kaget.
"
Kenapa Die ?" tanya Kaoru santai.
"
Aku capek. Rasanya mulai ngantuk, kau tahu kan jarang-jarang aku dapat feel
ngantuk seperti ini." jawabnya.
"
Kenapa ngga tidur disini aja ?"
"
Ngga mau!" jawab Die.
Dan
Die pun beranjak, berpamitan sebentar pada Inoue-san. Sementara Toshiya melirik
si Leader dengan tampang, ngebetein-amat-tuh-orang!? Kenapa-sih?!
Kaoru
menjawabnya hanya dengan mengangkat kedua bahunya. Tak tahu menahu.
~*~
Die
menyetop sebuah taxi. Akhir-akhir ini Die senang naik taxi, tapi ia tak kembali
kerumah seperti apa yang ia pamitkan pada yang lain. Rumahpun rasanya
membosankan. Die hanya butuh tempat nyaman untuknya sendiri, merenung dalam
diam.
Dan
tanpa tujuan jelas, Die pun memutuskan turun disebuah tempat yang tak dikenal.
Tak pernah tahu itu distrik apa, yang Die tahu hanyalah keinginannya untuk
sedikit lebih tenang kali ini. Karena jika ia tak segera menjernihkan sedikit
pikirannya, usahanya untuk membuat keadaan lebih baik bisa gagal hanya karena
keegoisannya.
Setelah
membeli beberapa kaleng bir dingin, Die kembali berjalan. Entah kenapa kali ini
ia bisa singgah disebuah pabrik tua. Duduk bersandar bak gelandangan sambil
menikmati bir dingin dan sebatang rokok yang terapit dijarinya. Menikmati
indahnya kesendirian.
Rasanya
ingin acuh tapi Die tak bisa. Rasanya ingin diam, tapi Die merasa hampir tak
sanggup lagi untuk menjalani semuanya.
Tekanan,
intimidasi, ancaman. Die merasakan itu sekarang, perasaan tertekan yang menekan
geraknya, intimidasi yang membuat Die enggan untuk melakukan hal yang salah,
ancaman yang menggertaknya agar bisa mematuhi mereka yang ada.
Dan
sekarang saat semuanya menekannya, memaksanya untuk menjauhi Shinya. Menjaga
jarak dengan orang yang ia sukai, Die tersiksa. Serasa seperti diawasi,
dikuntit terus menerus. Die lelah. Namun yang terpenting, Die sudah tak sanggup
menahan rasa ini. Rasa yang setiap harinya terus mengakar dalam hatinya,
membuat sebuah lubang besar dimana setiap serpihan dari kenangannya bersama
Shinya terkumpul disana.
Segalanya...
Dan
ketika kepalanya penuh hanya dengan Shinya seorang, Die harus apa ? Saat kesanggupan
dari mulutnya terlanjur sesumbar. Die tak bisa melangkah melewati garis
pembatas yang telah ia bangun sendiri. Bukan tak berhati Die melakukan ini,
bukan tanpa alasan Die mencoba meninggalkan Shinya. Bukan begitu.
Die
ingat rapat terakhir yang terjadi beberapa bulan lalu. Tak sengaja ia dengar
pembicaraan rahasia antara Inou-san dan beberapa orang distudio. Tepatnya
mereka orang-orang yang selalu Inoue panggil Boss besar. Mengutarakan keinginan
mereka untuk mengeksploitasi hubungan rumitnya dengan Shinya.
Itu
gila. Ya, gila!
Die
pun sadar, ini memang sudah diluar batas kewajaran. Kenapa orang lain mampu
memanfaatkan mereka. Terutama perasaannya. Die ingat tentang pangsa pasar yang
diceritakan oleh Inoue. Sungguh munafiknya mereka menghalalkan segala cara
untuk mendapatkan keuntungan. Hingga akhirnya Inoue sendirilah yang meminta Die
untuk menjernihkan masalahnya sendiri.
Secara
tak langsung ia tak memberikan Die pilihan, walau Die sadar Inoue melakukan hal
ini untuk kebaikan bersama. Demi kami, Diru. Bukan sebatas perasaan pribadi Die
pada Shinya semata. Die sadar ada yang lebih penting daripada perasaannya. Dia
sadar akan hal itu.
Tapi...
Kenapa
ini jauh lebih menyakitkan ?!
Saat
kau harus menahan dirimu untuk tidak melakukan apa yang diinginkan hatimu.
Berpuluh-puluh sayatan terasa begitu sakit menggores luka yang masih menganga
ini. Terlebih lagi, ketika kau sadar peluang besar menciptakan saingan
tersendiri bagimu.
Kenzi.
Entah
mengapa Die bisa mengingatnya, mengingat sosok pemuda yang kini hadir didalam
kehidupan Shinya. Die mulai gusar, entahlah, rasanya tak tenang. Begitu
membayangkan sosok yang kita cintai bersanding dengan orang lain. Die merasakan
adanya amarah yang meletup-letup. Keinginan untuk menyingkirkan Kenzi dari
Shinya. Keinginan itu masih ada !!!
Tapi,
Die...
Die
sadar semuanya tak akan bisa ia lakukan. Die harus tetap diam ditempatnya.
Menempatkan dirinya diposisinya, hanya dalam hal pekerjaannya. Dan tetap
bertindak sebagai gitaris pada dasarnya. Die tak ingin siapapun memanfaatkannya,
terutama Shinya. Walau bukan orang bodoh, Die tetap saja mengkhawatirkan posisi
Shinya. Dia yang polos, gampang sekali didekati. Walaupun mengorek informasi
darinya akan sangat sulit layaknya kau mengeluarkan kelereng dari dalam botol
kecap.
Tapi
Die tetaplah Die. Orang yang selalu merasa selalu khawatir dengan kondisi
Shinya, apapun itu.
Namun
saat Die memutuskan untuk mencoba mengacuhkannya, benar-benar bertolak belakang
dengannya. Seperti melawan arus ketika banjir bandang besar. Merasakan rasa
sakit terpukul ribuan kubik air yang keras. Bahkan batupun bisa hancur dengan
titian air yang menahun. Apalagi Die yang hanya seorang manusia biasa. Manusia
yang pada dasanya memiliki hati rapuh. Tapi walau rapuh, Die ingin melindungi
Shinya. Melindunginya dengan kemampuannya. Melindunginya dengan kedua
tangannya. Agar ia bisa menyelamatkannya dan kembali bisa melihat tawa
cerianya. Walau bukan dialamatkan padanya, tapi tak mengapa.
Semata,
karena Die mencintainya.
Mencintainya,
maka Die berkorban.
Berkorban,
karena Die mencintainya.
Dan
biarkan rasa pedih ini menusuk tepat jantungnya. Tak perlu Shinya tahu. Walau
Die mengeluh dalam hatinya, tapi Die tetap tak mau berhenti melakukannya. Walau
ini mungkin saja bisa membunuhnya secara perlahan, tapi tak mengapa. Biarkan
saja.
Karena
seperti salah satu lagu dari Diru, 'Ain't Afraid to Die'. Bukannya Die takut
untuk mati. Namun Die hanya enggan karena sebelum mati dia ingin memastikan
orang yang ia sayangi hidup dalam kedamaian, dengannya atau tanpanya.
~*~
Keesokannya...
"
Bagaimana semalam ?" tanya Shinya.
"
Lumayan." jawab Kyo.
"
Eh, Shinya Miyuu udah sehat?" tiba-tiba Toshiya nyeletuk. Membuat Shinya
bertanya-tanya, namun terjawab ketika melirik Kyo yang nyengir disampingnya.
Inikah alasan yang dibuat Kyo pada teman-temannya tentang alpa-nya Shinya
semalam? Oh, Kyo...
Tiba-tiba,
Kaoru masuk, diikuti dengan Die dibelakangnya. Menguap dengan wajah yang
benar-benar kurang sehat.
"
Latihannya dimulai sejam lagi yah." setelah itu, Kaoru keluar tak banyak bicara.
Sibuk sekali.
Sedangkan
Die, pria tinggi itu langsung menjatuhkan diri di sofa. Membenamkan kepalanya
pada bantal. Tak peduli pada sekelilingnya yang melihatnya dengan pandangan
aneh, bahkan Shinya sekalipun. Die tak ingin menatapnya, memandang kembali
kedua bola mata itu. Karena jujur, Die tak sanggup. Rasanya benar-benar lelah
setelah semalaman suntuk ia tak tidur dan pulang berjalan kaki. Hebat sekali.
Namun kali ini biarkan Die mendapatkan sedikit waktu istirahatnya sejenak.
"
... nurutmu gimana Shin?" Totchi bertanya, tapi tak ada jawaban. "
Shinchan !?"
Tapi
agaknya ketenangan itu akan sedikit terusik karena kini rentetan
obrolan-obrolan kecil antara trio Diru, Toshiya-Kyo-Shinya terdengar lebih
keras. Padahal Die sudah merapat, menjauh dari gerombolan itu.
Totchi
menghela, " Iih, dari kemarin banyak sekali hal2 yang ngbosenin, pada ngga
semangat. Kemarin Die, sekarang Shinyaaa~ boriiiiiiiing ne~" celetuk
Totchi agak kesal.
Yeah
terserah kau sajalah Toshiya, yang jelas Die ingin tidur !!!
"
Tidak bersemangat kenapa?" tanya Shinya.
Totchi
yang langsung tanggap pun akhirnya memangku bahu. " Iya, tiba-tiba dia
pamit pulang. Tidak enak badan katanya. Bete~!" dengus Totchi.
Bete
yah!
Die
beranjak, tidur ditempat sarang macan yang doyan gosip memang tidak akan pernah
nyaman. Sebaiknya Die cepat mengakhiri hari ini dan benar-benar pulang kerumah.
Dan saat Die beranjak mengambil gitarnya. Die tahu Shinya menatapnya. Tapi
jangan harap, Die menatapmu Shin...
~*~
"
Live music ??" Die menjawab dengan mata masih menutup ketika Kaoru
menelponnya kerumah. " Malas ah." tolaknya.
"
Aku dengar Shinya kesana bareng Kenzi." ujar Kaoru disebrang line.
Mata
Die memerjap.
~*~
"
Shinya!!"
Shinya
yang terperanjat kini berbalik, dan mendapati keempat pemuda lainnya
mendatanginya.
"
Curang yah! Ke live musik gag ngajak-ngajak!" cibir Totchi yang langsung
menepuk kepala si bungsu diantara mereka.
"
Ternyata Shinya punya selera bagus nih." Kaoru ngelus jenggotnya sambil
menatap panggung.
"
Bukannya emang sekarang lagi ada band-band Indie yah ?" Kyo nyeletuk.
"
Eh, rasanya aku kenal sama yang nyanyi?" Kaoru miris.
"
Hum ?" Totchi langsung beralih ke panggung. " Itu kan si tukang
service drumset!!!!" Serunya. " Shinya selingkuh!" ledek Totchi
langsung melirik Die yang sedari tadi diam.
Dan
pandangan orang-orangpun beralih pada Shinya dan Die.
"
Nani ?" tanya Die santai.
"
Lihat mah meeeeeennn, Shinya-mu selingkuh darimu!" wah, Totchi berapi-api.
"
Totchi..." Kaoru mulai menenangkan.
Tapi
tak ada yang bisa Shinya bicarakan. Harusnya kan Shinya mengelak. Dan Die pun
tak mau angkat bicara untuk masalah ini hingga kini kekakuan itu mengalir
begitu saja diantara mereka.
"
Heh, heh! Haus nih!" Kyo mengalihkan pembicaraan. Pria itu tahu saat yang
tepat untuk menyelamatkan Shinya dalam keadaan yang tak mengenakkan seperti
ini.
Dan
semuanya pun turut, menepi ketepi bar yang disediakan. Memesan beberapa minuman
disana.
"
Jadi selama ini Shinchan ngga pernah ikut main bareng kita karena emang jalan
sama si Kenzi, yah? Wah. Wah. Wah...." Totchi mulai meneruskan candanya.
"
Bukan begitu Totchi." Shinya berujar akhirnya.
"
Die kurang apa sih Shin??? Apa perlu Die balik lagi ke jaman V-Kei nih biar gag
kesaing sama Kenzi?" Ledek Totchi lebih.
Die
membuang muka ketika Shinya meliriknya, menikmati rokoknya sambil menyisir
tempat itu dengan pandangannya.
"
Sudahlah, ngga usah dibahas. Ngga masalah kan Shinya punya temen selain
kita?" ujar Kyo.
Dan
semuanya terdiam, termasuk Totchi...
Great
Kyo. Mungkin dari semuanya, cuman Kyo yang tidak terpengaruh dalam hal ini.
Yah, tidak ada yang tahu jalan pikiran si warumono yang satu itu. Kyo benar,
Shinya tentu saja memiliki hak untuk memilih temannya sendiri, tanpa harus
selalu terlibat dengan Diru kecuali untuk pekerjaannya. Shinya adalah orang
yang bebas menentukan pilihan. Dan Die cukup memberikan kebebasan itu sekarang.
Ketika Die memberikan semua keputusan di tangan Shinya dan berusaha untuk
membuatnya melihat sendiri sebetulnya apa yang sedang terjadi diantara mereka.
Sayangnya, Shinya tak pernah sadar mengapa Die begini dan mencapnya sebagai
pria yang egois serta mau menang sendiri.
Tapi
jika Shinya membencinya, itu bagus. Karena dengan begitu, Shinya bisa lepas
dari masalah eksploitasi ini secara tak sadar.
"
Aku tau kok, Kyo... aku kan cuman bercanda." Totchi manyun.
Kaoru
terkekeh kecil. Die hanya diam saat Shinya mencuri pandang padanya.
"
...um. Aku duluan."
Tiba-tiba
saja Die beranjak.
"
Mau kemana Die?" tanya Kaoru.
"
Mau ketempat teman dulu." jawabnya.
Mereka
terdiam, termasuk Shinya menatap penuh heran ke arah Die. Tapi Die berusaha tak
peduli, berusaha mengacuhkannya dan pergi dari sini. Melihat kalian memperolok
Shinya dan membuat Die lebih lama disana bisa membuat Die lebih rapuh lagi dari
ini.
"
Aku juga mau pulang."
Sekarang
giliran Shinya yang pamit. Totchi merengut, kenapa suasananya jadi aneh begini?
Keduanya
berlalu dengan keadaan yang tak mengenakkan, menyisakan suatu penyesalan dihati
Totchi, dan perasaan bosan pada Kyo. Berniat ingin kumpul, tapi...
"
Kenapa bengong?" Kaoru mengalihkan mereka. " Biar Die dan Shinya
pergi, kalian kan masih ada tantangan minum nih!" Kaoru semangat
mengacungkan gelas minumnya.
"
KAMPAI !!"
~*~
Di
basement...
"
Ngapain kamu?" tanya Die. Kaget juga dia melihat Shinya tiba-tiba
dibelakang seolah membuntuti.
Shinya
terkesiap. " Mau ambil mobil."
"
Ooh.. ya sudah." Die berbalik dengan cuek.
Maafkan
Die, Shinya...
Sungguh
maafkan. Bukan ingin Die mengacuhkanmu. Bukan maksud Die marah dan membiarkanmu
sendiri. Die tahu kau mengejarnya, dia tahu kamu kembali hanya untuknya. Tapi
Shin.... ini terlalu berat daripada harus menghentikan kebiasaannya merokok
atau menjahili. Ini terlalu sulit.
Tapi
Die harus melakukannya, demi kamu. Tak pernah sekalipun Die berpikir ingin
membuatmu sakit hati, mengertilah keadaannya. Walau Die tak pernah menjelaskan
apa dan kenapa sikapnya mendingin dan membatu terhadapmu, tolong mengertilah.
Bukan
hanya hatimu yang tersayat, tapi Die juga! Malah mungkin lebih sakit karena Die
harus berpura-pura seperti ini hanya demi menyelamatkan orang yang ia sayangi.
Rasanya lebih perih dari lukamu, percayalah. Mungkin Die tak pernah menangis,
mungkin Die tak pernah mengeluh. Tapi hatinya, hatinyalah yang merasakan betapa
sesak dan beratnya luka hati yang setiap harinya bertambah hanya karena kamu.
Hanya karena memikirkan kamu.
Menahan
diri untuk tidak membiarkanmu, hanya mematung melihatmu dari kejauhan tanpa
kamu sadari. Maafkan Shin, tapi hanya inilah yang bisa Die lakukan untukmu.
Memberikan kau keselamatan dalam hidup agar tak tertekan sepertinya. Karena
cukup hanya Die saja yang merasakan ini, jangan sampai kau ikut terlibat.
Kenapa
?
Semata
karena cinta.
Mengapa
?
Cinta
kamu, Shinya...
Namun
sejenak Die tertegun. Melihat sosok Shinya yang mematung sejak tadi didepan
mobilnya. Bagai orang yang sedang berpikir dengan masalah berat. Sanggupkah Die
berdiri disini terus dan hanya bisa memandangimu, Shin? Sanggupkah dia ?
Ah,
bahkan hanya dengan melihatmu di ujung sana dada Die kembali panas. Matanya kembali
nanar. Hasratnya menubruk benaknya bertubi-tubi. Hanya menginginkan kamu dan
kembali padamu. Kembali mencandai kamu, kembali tertawa bersamamu. Tanpa beban,
tanpa tekanan atau ancaman.
Die
mau kamu, Shin...
Dan
saat puncak dari kerinduan ini tak terbendung. Rasa ini mulai tak bisa
tertahankan, bahkan oleh niat Die sendiri saat kini kakinya melangkah mendekati
Shinya disana.
"
Hei!"
Shinya
tersentak ketika bayangan wajah Die kini berdiri disisinya.
"
Die-kun..."
"
Aku perhatikan daritadi kau terus berdiri disini. Kenapa? Mobilmu rusak?"
tanya Die melihat kedalam mobil Shinya.
Shinya
bergeleng.
"
Terus? Kenapa daritadi disini terus? Ngga masuk kedalam mobil."
Shinya
terdiam, "... aku rasa kuncinya tertinggal."
Die
tertegun, " BAKA!!" omelnya, hingga Shinya terkejut. " Penyakit
lemotmu dari dulu ngga ilang-ilang! Bodoh sekali sih kamu ninggalin kunci mobil
disana!"
Dengan
wajah kesal Die merogoh ponsel disaku celananya, menghubungi Kaoru dan
setelahnya Die beralih menatap Shinya yang masih menatapnya penuh penyesalan.
"
Gomen..." pinta Shinya.
"
Sudahlah." Die mengeluarkan batang rokoknya.
Shinya
terdiam. Die bersandar pada mobilnya sambil menikmati rokoknya.
"
Kamu ngga jadi pulang?" tanya Shinya.
"
Kutunggu sampai kuncinya datang." jawabnya.
Apa
yang Die lakukan ? Sanggupkah ia tidak melakukan apapun ketika hanya berdua
dengan Shinya ? Sedekat ini? Bukankah hal yang seharusnya tidak boleh Die
lakukan adalah mendekatinya. Seharusnya Die menjauhinya dan mengubur
perasaannya dalam-dalam, tapi...
Lihatlah!
Lihat
Shinya. Termangu dalam kemurungan berkepanjangan. Justru membuat Die semakin
sakit dan membenci dirinya sendiri karena ketidakmampuan Die untuk menjelaskan
ini semua. Memberikan pengertian pada Shinya, ingin berkata, jangan bersedih
untuknya. Jangan berpikir Die membencimu karena sama sekali rasa seperti itu
tak akan mampu muncul dihati Die yang terus mencintaimu.
Cinta
yang Die sendiri tak tahu akan bagaimana nantinya jika tanpa kamu.
"
Garing ih!" celetuk Die tiba-tiba.
Shinya
hanya bisa menatapnya.
"
... Die-kun.." panggil Shinya.
"
Hum ?" tanya Die melihatnya.
"
Um, menurutmu aku bagaimana ?"
Tidak,
jangan memulainya Shin. Die harus melakukan sesuatu agar hatinya tak terkecoh!
"
Huahahahahaaa, kamu ngomong apa sih, Shin?" ujarnya ditengah tawanya.
Die
sengaja melakukannya, Die sengaja mengalihkan perhatiannya. Walau pun tetap
hatinya menjerit, ingin menjelaskan sesuatu pada Shinya.
"
Shinya ya Shinya. Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal aneh kek gini sih?"
tanya Die pura-pura tak mengerti, tentu saja masih dengan gelak tawanya.
Shinya
terdiam, Die masih terkekeh geli.
"
Kau bilang, Shinya ya Shinya, tapi kenapa aku merasa Die ya ..." Shinya
menghela.
Die
kini sukses diam dari tawanya, walaupun dirasa seharusnya ia acuhkan saja
pertanyaan seperti itu. Die terpojok. Terpojok dan tidak bisa melarikan diri
lagi dalam keadaan ini.
"
Aku kenapa?" tanya Die.
"...
orang lain."
Die
tertegun sejenak. Sekejap Shinya langsung terkikik kecil.
"
ahahaha...gomen Die-kun! Gomen!! Bukan seperti yang mau aku bilang, aku cuman
bercanda.."
Benarkah
Shin? Murni candaan?
Bukankah
ini murni jeritan hatimu pada Die ?
Tiba-tiba
saja, serasa ada tombak yang menusuk Die. Tepat kejantungnya.
"
Lu-lupakan saja!" Shinya membuang muka.
Die
pun tak menggubris.
"
Shin, kau tahu. Kau memang ngga bakat jadi tukang bercanda =___=;;" ledek
Die.
"
ahahahaha..." Shinya tertawa kecil.
Shinya
terdiam, Die pun demikian. Selama ini kamu tahu perubahan Die, Shinya. Selama
ini kamu sadar dengan sikap Die dan kamu pun merasakan hal yang sama bukan ?
Siksaan yang diterima hatimu, hati Die juga.
"
Hey, Shin..."
"
Hum ?" tanya Shinya tak berkata.
"
Ciuman yuk..."
EEEEEEEEE~~~???!!!
Mata
Shinya membulat!
"
Die-kun ngomong apa sih!!!?" kontan saja Shinya marah.
Marahkah
kamu Shinya jika benar Die menginginkannya ?
"
Kenapa kamu ?!" tanya Die.
"
Die-kun aku ngga suka ah bercandanya kek tadi! KONYOL!" Shinya protes.
Die
menatap Shinya dengan wajah serius. Tak ada sinar mata jahil dimatanya, seolah
menekankan bahwa ajakannya adalah sebuah keseriusan. Dan Shinya harus
melakukannya!
Tapi,..
"
Ahahahahahah!!!!!" spontan tawa itu meledak. " Kau kira aku
serius!!!!!????? Mukamu jadi aneh gituh!!" Die terpingkal.
Shinya
mengernyitkan keningnya.
BUK!
Shinya
memukul lengan Die hingga pria itu mengaduh.
"
Ihihihihi...kenapa? Aku kan cuman bercanda." Die masih tenggelam dalam
tawanya, sementara Shinya mulai merasakan perasaan kesal memuncak di ubun-ubun.
"
Ngga lucu!" Shinya menggeram dan merapatkan diri di samping mobil van
besar itu.
Die
masih terkekeh, Shinya bermuka kesal.
Shinya...
Sebenarnya
Die rindu sekali ekspresimu yang seperti ini. Rindu pada suasana seperti ini,
suasana dimana kau bisa bermanja dan merengek padanya walaupun sebetulnya Die
bukanlah tipe penyayang seperti yang kamu ketahui. Tapi dia akan melakukan
apapun asalkan kamu tidak terluka dan baik-baik saja.
Dan
Die, tetaplah Die. Bukan orang lain, Shinya...
Hanya
saja kini Die berusaha untuk sedikit lebih mendewasakan dirinya sejenak. Mencoba
mengontrol emosinya dalam masalah ini.
Berusaha sebaik mungkin agar kamu tidak terluka oleh siapapun termasuk dirinya,
walau jelas Die sadar kamu pun tak luput dari luka. Bukannya Die tak mengetahui
lukamu, bukan...
Hanya
saja, Die tidak bisa berbuat apapun untuk saat ini. Kecuali, sedikit
menyenangkanmu. Sesaat,...
Biarkan
Die menyentuhmu sedikit saja. Saat mereka tak ada, tak ada yang menyaksikan
kita. Tak ada yang memantau, biarkan Die memberikan penjelasannya lewat
sentuhannya. Sedikit saja Shin,..
Maka
kamu akan tahu betapa Die sangat mencintaimu walau tak pernah ia utarakan
sebelumnya. Maka kamu akan mengerti perasaan nyeri dan pilu ini, rasa yang
sama-sama menyerang Die.
Dan
saat mata itu bertemu, entah mengapa Die bisa lupa. Lupa akan segalanya ketika
hanya ada Shinya dibias kedua bola matanya. Dan kenapa Shinya diam ? Melawanlah
Shin, jangan diam saja. Jika tidak, salah satu dari kita tidak akan pernah bisa
bangun dan menyadarkan kita. Melakukan hal yang seharusnya tak kita lakukan,
untuk saat ini, sekarang ini!
Tapi
mungkin, ada jeritan lain yang menginginkan ini. Bisik ganda yang selalu
memprovokasi Die untuk memproklamirkan butir-butir cintanya dalam sikap,
sentuh, dan canda. Dan Die tak bisa memungkirinya, tak bisa berubah menjadi Die
yang lain selain Die, Daisuke...
Saat
bibir itu bertemu, saat Shinya mengheningkan segalanya dalam diamnya. Saat
perasaan ini lebih besar dari penolakan lain dihati Die, Die tak mampu menepis
semua rasa yang kini mendorongnya untuk memiliki Shinya. Shinya... miliknya.
Mengguratkan
rasa pedih, mendorong perasaannya lewat balutan saliva yang bertukar. Menjamah
isi mulutnya, menggapai titik dimana Shinya tak berkutik untuk melawannya,
membalasnya. Dan saat semuanya semakin tak bisa dikendalikan, Die tak pernah ingin
tahu masa depannya. Dibenaknya yang terpenting hanyalah saat ini, saat ia
bersama Shinya. Saat ia merasakan getar lain ketika Shinya menarik dirinya,
lebih dekat padanya.
Die
sadar, Shinya pun menderita karenanya.
Maaf
Shinya...
Habis
nafas pun tak mampu membuyarkan ledakan kerinduan diantaranya. Ketika Shinya
merunduk, saat Die mendekapnya. Ini mereka. Ini perasaan mereka yang
sebenarnya. Kesepian yang harus dibayar secepatnya. Die tahu, Shinya
membutuhkannya, begitu pun dengan Die.
Ketika
Die memeluk, Shinya membalas. Melingkarkan kedua lengannya pada leher Die yang
kokoh. Mendekapnya penuh sayang. Die pun demikian, saat tubuh kecil itu ia
remas hanya dengan lingkaran otot lengannya. Menyatukan mereka dalam diam,
dengan desah nafas menderu. Tak saling bicara, namun perasaan ini saling
menyahut. Berkata, ....
...
aku mencintai kamu.
The
End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar