expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

21 Juni 2013

Ain't Afraid To DIE



Title : Ain't Afraid To DIE
Author : Duele
Last Edited : 10 Nov 2009
Genre : Romance
Chapter (s) : Oneshot
Rating : 15+
Band(s) : Dir en grey
Pairing(s) : DiexShinya
Summary : Die, ya Die...
Disclaimer : In a Lucid Dream - Duele
Song Author : The Hardest Day - The Corrs
Note Author : Ini bukan lanjutan, cuman mengulang cerita ‘In a Lucid Dream’ dari sudut pandang Die.

~*~


GRAAK.

Terkejut, begitu responnya. Tapi secepat kilat ia kendalikan dengan lihainya. Saat mata mereka bertemu, saat Die sadar hanya ada dia seorang dimatanya saat ini.

" Um, yang lain mana ?" tanya Die datar. Sungguh berat baginya untuk bersikap kelewat kaku begini, karena ini bukan cirinya.
" Yang lain belum datang." jawab seorang lainnya. Seorang yang telah terlebih dahulu duduk ditempatnya, belakang drumset.
" Ooh..." tanggapnya datar.

BLAM.


Die keluar, secepat mungkin. Maaf Shinya, tapi ini demi menyelamatkan diri Die sendiri. Dirinya yang sedang larut dalam kekalutan dan kegalauan tentangmu, cintanya..
Berusaha seirit mungkin bertemu denganmu demi mengikis perasaannya.

Mencoba menenangkan diri dari kalapnya perasaan yang selalu mendongkrak berpuluh ribu ambisi untuk memilikimu. Walau Die tahu, itu tak mungkin. Jangan tanya kenapa ? Namun tak apa kau menyebutku manusia jahat yang tak berperasaan karena mengacuhkanmu tanpa mengungkapkan alasan.

Kumohon, benci aku Shinya...

" Ternyata kalian disini." Die menemukan juga sosok Kaoru cs.
" Oh, gomen. Lagi tanggung." Kaoru sibuk kembali bicara pada Kyo, sementara Toshiya sedang seru-serunya bergosip di telepon.

Die berjingit. Tak apa, mereka akan menyusulnya sehingga kali ini tak ada kata hanya berdua dengan Shinya tanpa Diru. Setidaknya Die akan lebih kuat menghadapinya karena terpaut pada pekerjaannya, walau kini terlalu sering bayang Shinya mengisi lembar memorinya.

GRAAK.
Dan kali ini apa ?
Mata itu menangkap sosok lain yang kini bersama Shinya, mengumbar kemesraannya diam-diam ?!

" Die-san... apa kabar?" 'orang lain' itu menyapa Die.
" Hoh baik." Die berusaha untuk tetap tenang, walau segores luka kini menyayat dihatinya.

Jangan kira Die tak lihat!
Die tahu apa yang kalian lakukan. Shinya yang dikenal tak akrab dengan siapapun sekarang dengan santainya bercengkrama dengan orang lain yang bahkan Die tak kenal siapa ?! Dan lihat, tadi Shinya memakai sebuah topi?! Haha... Die tertawa kecut dalam hati. Seumur hidup dia kenal Shinya tak pernah Shinya menyanggupi untuk memakai topi, bahkan dari permintaannya. Hal kecil yang membuat Die kini merasakan betapa aura marah dan kecewanya ia pada Shinya saat ini.

" Aku keluar dulu, nanti ku telepon yah." pamit Ken pada Shinya.

SHIT !
Die menarik nafasnya tinggi-tinggi. Untungnya tak ada yang sadar ini adalah sebuah obat yang cukup mujarab bagi Die untuk meredakan letupan-letupan rasa iri dan kesalnya.

Tidak!
Die tidak ingin melihat Shinya saat ini. Setidaknya biarkan dia menenangkan dirinya dalam diamnya. Mencoba berkonsentrasi pada permainannya hari ini. Demi melupakan segumpal rasa benci ini!

~*~

" Duluaaan~"

Semua berhamburan. Keluar meninggalkan studio yang telah tiga jam lebih mereka tempati.

" Eh, masii sore nih. Gimana kalo kita ke club..?" ajak Totchi.
" Usul bagus." celetuk Kaoru.
" Kyo ikut ga ?" tanya Totchi, walau sudah yakin tau jawabannya pasti TIDAK!

" Ikut~"

Tapi kali ini jawaban sang vokalis cukup mengejutkannya, dan berakhir dengan senyum dan guyonan ala Totchi.

" Cieee~ udah kepincut mbak2 diclub yah~" ledeknya ganas. Celotehan Totchi yang selalu sukses membuat Kaoru tertawa geli.
Kalau Die, tidak usah ditanya. Sekarang hobinya memang kumpul bocah dengan Totchi dan Kaoru. Jadi jika keduanya sepakat akan ke club, Die akan turut kesana.

" Aku ngga ikut." jawab Shinya.

Sudah bisa Die tebak kok.

" Gomen ne~" pinta Shinya.
" Kau punya urusan yah ?" tanya Kyo.
" Iya." jawab Shin polos.

Shinya berpamitan. Die tak mau melihat. Terlalu menyakitkan, lagipula tak mungkin Shinya menatapnya sebelum pergi. Silahkan! Silahkan pergi dengan kawanmu yang baru!
Sesuatu yang Die syukuri, tetapi tak pelak ini juga membentur perasaannya. Tapi semoga Shinya bisa merasakan kesenangan lebih daripadanya.

~*~

" Hey!" Kaoru menyikut Die yang sedari tadi bengong dengan minumannya.

Diujung sana, Kyo dan Toshiya sedang asyiknya bermain billboard.

" Tak bersemangat seperti biasanya ne~?" goda Kaoru.
" Ceweknya dikit." jawab Die meyakinkan.
" Ahahahahahkk!" Kaoru tergelak.

Lalu menepuk punggung Die hingga akhirnya dia berlalu ketika Toshiya memanggilnya. Wanita ?! Tentu saja Die butuh, tapi tidak untuk saat ini ketika pikirannya melayang memikirkan seseorang.

Ditatapnya ponsel miliknya yang sedari diam tak bergerak. Shinya kemana ?!
Tak pernahkah ia sadar bahwa Die sengaja melakukan ini padanya. Mengacuhkannya, mendiamkan, semata hanya ingin melihat respon Shinya padanya. Tapi ternyata...

Die memasukkan kembali ponselnya pada kantung celananya. Meneguk tanpa ragu minuman didepannya. Segelas pun tak cukup, bahkan sebotol pun mungkin tak akan pernah cukup untuk melegakan dahaganya yang lebih panas dari pada api. Ini api cemburunya.

~*~

" Shinya akrab yah, sama si Kenzi ituh." celetuk Totchi suatu siang.
" Siapa ?" tanya Kaoru yang masih menikmati bir dinginnya.
" Si tukang service drumset." enteng Totchi menjawab.
" Bukan akrab, cuman basa-basi kok." jawab Kao.
" Loh, beda loh Kao-samaa~~~ orang yang akrab dengan orang yang sedang berbasa-basi karena pekerjaan itu beda sekalih!" sanggah Totchi.
" Jadi nurutmu ?"
" Jangan-jangan Shinya suka sama Kenzi." akhirnya spekulasi dini itu keluar dari mulut Totchi xD

Tentu saja, sang Leader hanya bisa membalas dengan tawa. Tak masuk akal!

" Iya kan Die ?" kini Totchi beralih pada Die yang sibuk dengan rokok dan majalahnya.
" Hum.. Humm~" Die manggut-manggut tapi matanya tak lepas dari majalah Rolling Stones.

Bad Toshiya.
Kamu sengaja yah membuka topik menyebalkan ini di depan Die?!
Sengaja mengingatkan Die pada sosok Shinya yang mungkin kini tengah bersenang-senang dengan orang lain ketimbang mereka ?!

Tapi tak apa. Ini resiko. Resiko berusaha mengikis cintanya.

Yang jelas Die tidak mau terlalu larut dalam masalah ini. Tapi bisakah ?
Padahal jelas, rasa sakit, cemburu dan amarah kini tengah berkecamuk dibenak Die. Untaian sumpah serapah, kata-kata protes berbaur dalam pikiran Die.

Shinya.
Shinya. Shinya, dan...
SHINYA !!!

Bisakah orang itu tak lagi muncul dalam mimpiku, huh !?

GRAAK.

" Pagi." sapa Die.
" Ngelindur, sapaan taon jebot kok dipake." sindir Totchi.

Yeah, Die memang datang paling akhir hari ini. Untung saja hari ini tidak ada jadwal latihan walaupun tetap saja mereka harus berkumpul distudio.

" Iya jadi! Aku sudah menyiapkan tempat." diujung sana suara Inoue-san terdengar, bicara ditelepon tentang acaranya malam ini.
Ada Kaoru dan Toshiya yang sedang, seperti biasanya lah. Bercanda ngalor ngidul tak jelas, dan disebelah Die ada Kyo yang masih santai merokok. Sama sepertinya.

" Die, kok bengong." Toshiya menghempaskan diri di sofa.
" Fuuuuh..." Die menjawab dengan semburan asap rokoknya.
" Uuuh, look your face, so-not-fresh!" cibir Totchi.

Kaoru tergelak. Toshiya cengengesan. Kyo beranjak, lagi ngga mood katanya sama bercanda.

" Kyo-san. Sekalian cari Shinya yah, kita berangkat bareng aja." ujar Kaoru yang langsung dibalas lambaian tangan Kyo.

Saat mata Die menatap tajam sosok Kyo yang menghilang di balik tembok. Cari Shinya ?
Biasanya tanpa diperintah, Die kan yang selalu mendatanginya? Die yang akan selalu mengambil posisi lebih dulu untuk menemukan si drummer manis itu dengan matanya. Menggodanya hingga Shinya mau tak mau kadang membalas godaannya, walaupun tetap dia yang kalah.
Die masih ingat, suatu hari ketika konser. Shinya yang baru saja turun panggung kelihatan begitu pucat. Padahal dari semuanya yang paling jarang sakit adalah Shinya. Melihat kondisinya Shinya yang nampaknya tidak begitu fit tak pelak membuat Die khawatir.

Die ingat ketika dirinya mendatangi Shinya, berjongkok dihadapannya sambil menanyakan kesehatannya. Saat itu Die benar-benar takut. Sangat takut. Walau pun Shinya selalu menjawab 'tidak apa-apa' tapi Die terlalu khawatir. Hingga terus dan terus melontarkan pertanyaan yang sama, hingga Shinya berdecak kesal sendiri. Tapi ini Die, ini hanya karena segelintir perasaannya sayangnya pada Shinya maka dia melakukan hal yang sebetulnya jarang ia lakukan.
Mencemaskan orang lain, begitu cemas dan takut. Die memang bukan tipe orang yang bisa mengungkapkan semuanya dengan serius agar orang percaya dengan apa yang di maksudkan. Die bukan tipe orang yang seperti itu...

Die, ya Die. Ya seperti ini. Penuh gurauan dan tawa menyelingi, walaupun tak pernah ada yang tahu rasa sakit terkadang menusuk hatinya secara tak langsung. Tidak ada yang tahu termasuk Die. Orang yang juga kadang terlambat menyadari perasaannya, hingga berakhir menyakitkan. Percobaannya, target bercandanya, berubah total ketika rasa ini sudah mulai mengubah alur cerita dari tema seorang kakak menjadi seorang kekasih yang berhasrat.

Dan Die tak bisa menghentikannya. Sama sekali tak bisa. Hingga dia terus bersikap diluar kemampuannya hanya demi Shinya.

" ...Die ??? "

Ah !

" Yah ?" Die sadar.
" Melamun ? Rokokmu habis tuh." Kaoru menunjuk batang rokok ditangan Die.

Die tersenyum kecut, sudah berapa lama dia melamun seperti tadi ?

" Kyo lama ih!" celetuk Toshiya.
" Ya sudah, biar Die saja yang mencarinya. Sekalian cari Shinya." pancing Kaoru, yang langsung ditatap penuh arti oleh Die.

Kaoru tersenyum kecil. " Bilang sama Kyo, dia naik mobil van-nya staff Mixing aja." ujar Kaoru.

Die menghela berat, sengaja. Memperlihatkan pada Kaoru sebetulnya dia agak malas, tapi sepertinya Kaoru tak peduli. Dia punya jalan pikirannya sendiri. Dan dengan langkah malasnya, Die beranjak. Berjalan santai sambil mencari kedua membernya yang menghilang sejak tadi.

" Lihat Kyo tidak ?" tanya Die pada seorang staff.
" Tidak tuh."

Die melengos.
Namun tanpa bertanya, kali ini DIe tahu dimana harus mencarinya. Bukan Kyo, tapi Shinya. Ketika sosok Kenzi muncul dari tikungan arah studio. Kemana lagi ? Studio tempat latihan mereka. Tiba-tiba, mata itu bertemu pandang dengan milik Kenzi. Kenzi tersenyum kecil, Die membalas irit namun tetap ia tak bisa menyembunyikan mata tajamnya dari pemuda itu.

Die bergegas, Kenzi berjalan seolah mendekati. Die tak peduli, melewati Kenzi dengan angkuhnya.


" Kyo-san.."

Kepala Die tiba-tiba menyembul dari balik pintu. " Ah, ternyata disini." tuturnya, sekejap melirik Shinya sesaat tapi kembali fokus pada Kyo. " Kaoru bilang..."

Die berusaha fokus pada Kyo. Hanya pada Kyo!!
Ia tak mau embel-embel wajah manis itu mengalihkan perhatiannya, hingga ia tak kuasa untuk bertekuk lutut hanya karena tatapan mata penuh arti itu. Tatapan mata polos yang jarang ia lihat. Hanya milik Shinya. Die sengaja, mengumbar basa-basi ini lebih lama.
Semoga saja Shinya tak tahan dan memilih keluar. Tapi dasar Shinya, tukang bengong! Berapa lama pun mereka menghabiskan waktu untuk mencoba mengacuhkan Shinya, namun Die tetap tak bisa. Ia juga ingin tahu Shinya akan ikut dengan mereka atau tidak ?

" Shinya..."

Shinya sadar, Die menatapnya, memanggil namanya...

" Kamu ikut gak ?" tanyanya, biasa tapi terkesan aneh untuknya.
" Ngga. Aku udah ada janji duluan sama Kenzi." jawab Shinya cepat.

Sejenak Die terdiam, tapi...

" Ooh..." dan ekspresi datar dan acuh kembali Die pancarkan.

Jadi begitu.
Sekarang Die mengerti, sangat paham!

~*~

Seharusnya Die senang !!!
Seharusnya ini patut dirayakan karena Shinya telah mendapatkan penggantinya, orang yang akan menemaninya setiap hari. Orang yang bisa membuat Shinya tersenyum lagi. Die tahu Shinya menyukainya. Bukan! Malah mencintainya dirasa.

SIAL !

Hati Die berkecamuk. Jawaban Shinya benar-benar menghancurkan hatinya. Terlalu bodoh memang karena yang memulai semua ini adalah Die. Dan sekarang setelah berhasil membuat Shinya berpaling pada orang lain kenapa Die yang merasa perih ?

" Heh, Die ?! Dari tadi bengong terus. Kenapa ?" tanya Toshiya.

Die menghela. " Kaoru, aku duluan yah." ujarnya.

Tapi yang terkejut agaknya Toshiya. " Hah ?! Kok cepet banget ?!" tanyanya kaget.

" Kenapa Die ?" tanya Kaoru santai.
" Aku capek. Rasanya mulai ngantuk, kau tahu kan jarang-jarang aku dapat feel ngantuk seperti ini." jawabnya.
" Kenapa ngga tidur disini aja ?"
" Ngga mau!" jawab Die.

Dan Die pun beranjak, berpamitan sebentar pada Inoue-san. Sementara Toshiya melirik si Leader dengan tampang, ngebetein-amat-tuh-orang!? Kenapa-sih?!
Kaoru menjawabnya hanya dengan mengangkat kedua bahunya. Tak tahu menahu.

~*~

Die menyetop sebuah taxi. Akhir-akhir ini Die senang naik taxi, tapi ia tak kembali kerumah seperti apa yang ia pamitkan pada yang lain. Rumahpun rasanya membosankan. Die hanya butuh tempat nyaman untuknya sendiri, merenung dalam diam.
Dan tanpa tujuan jelas, Die pun memutuskan turun disebuah tempat yang tak dikenal. Tak pernah tahu itu distrik apa, yang Die tahu hanyalah keinginannya untuk sedikit lebih tenang kali ini. Karena jika ia tak segera menjernihkan sedikit pikirannya, usahanya untuk membuat keadaan lebih baik bisa gagal hanya karena keegoisannya.

Setelah membeli beberapa kaleng bir dingin, Die kembali berjalan. Entah kenapa kali ini ia bisa singgah disebuah pabrik tua. Duduk bersandar bak gelandangan sambil menikmati bir dingin dan sebatang rokok yang terapit dijarinya. Menikmati indahnya kesendirian.

Rasanya ingin acuh tapi Die tak bisa. Rasanya ingin diam, tapi Die merasa hampir tak sanggup lagi untuk menjalani semuanya.

Tekanan, intimidasi, ancaman. Die merasakan itu sekarang, perasaan tertekan yang menekan geraknya, intimidasi yang membuat Die enggan untuk melakukan hal yang salah, ancaman yang menggertaknya agar bisa mematuhi mereka yang ada.

Dan sekarang saat semuanya menekannya, memaksanya untuk menjauhi Shinya. Menjaga jarak dengan orang yang ia sukai, Die tersiksa. Serasa seperti diawasi, dikuntit terus menerus. Die lelah. Namun yang terpenting, Die sudah tak sanggup menahan rasa ini. Rasa yang setiap harinya terus mengakar dalam hatinya, membuat sebuah lubang besar dimana setiap serpihan dari kenangannya bersama Shinya terkumpul disana.

Segalanya...

Dan ketika kepalanya penuh hanya dengan Shinya seorang, Die harus apa ? Saat kesanggupan dari mulutnya terlanjur sesumbar. Die tak bisa melangkah melewati garis pembatas yang telah ia bangun sendiri. Bukan tak berhati Die melakukan ini, bukan tanpa alasan Die mencoba meninggalkan Shinya. Bukan begitu.

Die ingat rapat terakhir yang terjadi beberapa bulan lalu. Tak sengaja ia dengar pembicaraan rahasia antara Inou-san dan beberapa orang distudio. Tepatnya mereka orang-orang yang selalu Inoue panggil Boss besar. Mengutarakan keinginan mereka untuk mengeksploitasi hubungan rumitnya dengan Shinya.

Itu gila. Ya, gila!
Die pun sadar, ini memang sudah diluar batas kewajaran. Kenapa orang lain mampu memanfaatkan mereka. Terutama perasaannya. Die ingat tentang pangsa pasar yang diceritakan oleh Inoue. Sungguh munafiknya mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan. Hingga akhirnya Inoue sendirilah yang meminta Die untuk menjernihkan masalahnya sendiri.

Secara tak langsung ia tak memberikan Die pilihan, walau Die sadar Inoue melakukan hal ini untuk kebaikan bersama. Demi kami, Diru. Bukan sebatas perasaan pribadi Die pada Shinya semata. Die sadar ada yang lebih penting daripada perasaannya. Dia sadar akan hal itu.

Tapi...
Kenapa ini jauh lebih menyakitkan ?!
Saat kau harus menahan dirimu untuk tidak melakukan apa yang diinginkan hatimu. Berpuluh-puluh sayatan terasa begitu sakit menggores luka yang masih menganga ini. Terlebih lagi, ketika kau sadar peluang besar menciptakan saingan tersendiri bagimu.

Kenzi.

Entah mengapa Die bisa mengingatnya, mengingat sosok pemuda yang kini hadir didalam kehidupan Shinya. Die mulai gusar, entahlah, rasanya tak tenang. Begitu membayangkan sosok yang kita cintai bersanding dengan orang lain. Die merasakan adanya amarah yang meletup-letup. Keinginan untuk menyingkirkan Kenzi dari Shinya. Keinginan itu masih ada !!!

Tapi, Die...
Die sadar semuanya tak akan bisa ia lakukan. Die harus tetap diam ditempatnya. Menempatkan dirinya diposisinya, hanya dalam hal pekerjaannya. Dan tetap bertindak sebagai gitaris pada dasarnya. Die tak ingin siapapun memanfaatkannya, terutama Shinya. Walau bukan orang bodoh, Die tetap saja mengkhawatirkan posisi Shinya. Dia yang polos, gampang sekali didekati. Walaupun mengorek informasi darinya akan sangat sulit layaknya kau mengeluarkan kelereng dari dalam botol kecap.

Tapi Die tetaplah Die. Orang yang selalu merasa selalu khawatir dengan kondisi Shinya, apapun itu.

Namun saat Die memutuskan untuk mencoba mengacuhkannya, benar-benar bertolak belakang dengannya. Seperti melawan arus ketika banjir bandang besar. Merasakan rasa sakit terpukul ribuan kubik air yang keras. Bahkan batupun bisa hancur dengan titian air yang menahun. Apalagi Die yang hanya seorang manusia biasa. Manusia yang pada dasanya memiliki hati rapuh. Tapi walau rapuh, Die ingin melindungi Shinya. Melindunginya dengan kemampuannya. Melindunginya dengan kedua tangannya. Agar ia bisa menyelamatkannya dan kembali bisa melihat tawa cerianya. Walau bukan dialamatkan padanya, tapi tak mengapa.

Semata, karena Die mencintainya.
Mencintainya, maka Die berkorban.
Berkorban, karena Die mencintainya.

Dan biarkan rasa pedih ini menusuk tepat jantungnya. Tak perlu Shinya tahu. Walau Die mengeluh dalam hatinya, tapi Die tetap tak mau berhenti melakukannya. Walau ini mungkin saja bisa membunuhnya secara perlahan, tapi tak mengapa. Biarkan saja.

Karena seperti salah satu lagu dari Diru, 'Ain't Afraid to Die'. Bukannya Die takut untuk mati. Namun Die hanya enggan karena sebelum mati dia ingin memastikan orang yang ia sayangi hidup dalam kedamaian, dengannya atau tanpanya.

~*~

Keesokannya...

" Bagaimana semalam ?" tanya Shinya.
" Lumayan." jawab Kyo.
" Eh, Shinya Miyuu udah sehat?" tiba-tiba Toshiya nyeletuk. Membuat Shinya bertanya-tanya, namun terjawab ketika melirik Kyo yang nyengir disampingnya. Inikah alasan yang dibuat Kyo pada teman-temannya tentang alpa-nya Shinya semalam? Oh, Kyo...

Tiba-tiba, Kaoru masuk, diikuti dengan Die dibelakangnya. Menguap dengan wajah yang benar-benar kurang sehat.

" Latihannya dimulai sejam lagi yah." setelah itu, Kaoru keluar tak banyak bicara. Sibuk sekali.

Sedangkan Die, pria tinggi itu langsung menjatuhkan diri di sofa. Membenamkan kepalanya pada bantal. Tak peduli pada sekelilingnya yang melihatnya dengan pandangan aneh, bahkan Shinya sekalipun. Die tak ingin menatapnya, memandang kembali kedua bola mata itu. Karena jujur, Die tak sanggup. Rasanya benar-benar lelah setelah semalaman suntuk ia tak tidur dan pulang berjalan kaki. Hebat sekali. Namun kali ini biarkan Die mendapatkan sedikit waktu istirahatnya sejenak.

" ... nurutmu gimana Shin?" Totchi bertanya, tapi tak ada jawaban. " Shinchan !?"

Tapi agaknya ketenangan itu akan sedikit terusik karena kini rentetan obrolan-obrolan kecil antara trio Diru, Toshiya-Kyo-Shinya terdengar lebih keras. Padahal Die sudah merapat, menjauh dari gerombolan itu.

Totchi menghela, " Iih, dari kemarin banyak sekali hal2 yang ngbosenin, pada ngga semangat. Kemarin Die, sekarang Shinyaaa~ boriiiiiiiing ne~" celetuk Totchi agak kesal.

Yeah terserah kau sajalah Toshiya, yang jelas Die ingin tidur !!!

" Tidak bersemangat kenapa?" tanya Shinya.

Totchi yang langsung tanggap pun akhirnya memangku bahu. " Iya, tiba-tiba dia pamit pulang. Tidak enak badan katanya. Bete~!" dengus Totchi.

Bete yah!
Die beranjak, tidur ditempat sarang macan yang doyan gosip memang tidak akan pernah nyaman. Sebaiknya Die cepat mengakhiri hari ini dan benar-benar pulang kerumah. Dan saat Die beranjak mengambil gitarnya. Die tahu Shinya menatapnya. Tapi jangan harap, Die menatapmu Shin...

~*~

" Live music ??" Die menjawab dengan mata masih menutup ketika Kaoru menelponnya kerumah. " Malas ah." tolaknya.
" Aku dengar Shinya kesana bareng Kenzi." ujar Kaoru disebrang line.

Mata Die memerjap.

~*~

" Shinya!!"

Shinya yang terperanjat kini berbalik, dan mendapati keempat pemuda lainnya mendatanginya.

" Curang yah! Ke live musik gag ngajak-ngajak!" cibir Totchi yang langsung menepuk kepala si bungsu diantara mereka.
" Ternyata Shinya punya selera bagus nih." Kaoru ngelus jenggotnya sambil menatap panggung.
" Bukannya emang sekarang lagi ada band-band Indie yah ?" Kyo nyeletuk.
" Eh, rasanya aku kenal sama yang nyanyi?" Kaoru miris.
" Hum ?" Totchi langsung beralih ke panggung. " Itu kan si tukang service drumset!!!!" Serunya. " Shinya selingkuh!" ledek Totchi langsung melirik Die yang sedari tadi diam.

Dan pandangan orang-orangpun beralih pada Shinya dan Die.

" Nani ?" tanya Die santai.
" Lihat mah meeeeeennn, Shinya-mu selingkuh darimu!" wah, Totchi berapi-api.
" Totchi..." Kaoru mulai menenangkan.

Tapi tak ada yang bisa Shinya bicarakan. Harusnya kan Shinya mengelak. Dan Die pun tak mau angkat bicara untuk masalah ini hingga kini kekakuan itu mengalir begitu saja diantara mereka.

" Heh, heh! Haus nih!" Kyo mengalihkan pembicaraan. Pria itu tahu saat yang tepat untuk menyelamatkan Shinya dalam keadaan yang tak mengenakkan seperti ini.

Dan semuanya pun turut, menepi ketepi bar yang disediakan. Memesan beberapa minuman disana.

" Jadi selama ini Shinchan ngga pernah ikut main bareng kita karena emang jalan sama si Kenzi, yah? Wah. Wah. Wah...." Totchi mulai meneruskan candanya.
" Bukan begitu Totchi." Shinya berujar akhirnya.
" Die kurang apa sih Shin??? Apa perlu Die balik lagi ke jaman V-Kei nih biar gag kesaing sama Kenzi?" Ledek Totchi lebih.

Die membuang muka ketika Shinya meliriknya, menikmati rokoknya sambil menyisir tempat itu dengan pandangannya.

" Sudahlah, ngga usah dibahas. Ngga masalah kan Shinya punya temen selain kita?" ujar Kyo.

Dan semuanya terdiam, termasuk Totchi...
Great Kyo. Mungkin dari semuanya, cuman Kyo yang tidak terpengaruh dalam hal ini. Yah, tidak ada yang tahu jalan pikiran si warumono yang satu itu. Kyo benar, Shinya tentu saja memiliki hak untuk memilih temannya sendiri, tanpa harus selalu terlibat dengan Diru kecuali untuk pekerjaannya. Shinya adalah orang yang bebas menentukan pilihan. Dan Die cukup memberikan kebebasan itu sekarang. Ketika Die memberikan semua keputusan di tangan Shinya dan berusaha untuk membuatnya melihat sendiri sebetulnya apa yang sedang terjadi diantara mereka. Sayangnya, Shinya tak pernah sadar mengapa Die begini dan mencapnya sebagai pria yang egois serta mau menang sendiri.

Tapi jika Shinya membencinya, itu bagus. Karena dengan begitu, Shinya bisa lepas dari masalah eksploitasi ini secara tak sadar.

" Aku tau kok, Kyo... aku kan cuman bercanda." Totchi manyun.

Kaoru terkekeh kecil. Die hanya diam saat Shinya mencuri pandang padanya.

" ...um. Aku duluan."

Tiba-tiba saja Die beranjak.

" Mau kemana Die?" tanya Kaoru.
" Mau ketempat teman dulu." jawabnya.

Mereka terdiam, termasuk Shinya menatap penuh heran ke arah Die. Tapi Die berusaha tak peduli, berusaha mengacuhkannya dan pergi dari sini. Melihat kalian memperolok Shinya dan membuat Die lebih lama disana bisa membuat Die lebih rapuh lagi dari ini.

" Aku juga mau pulang."

Sekarang giliran Shinya yang pamit. Totchi merengut, kenapa suasananya jadi aneh begini?
Keduanya berlalu dengan keadaan yang tak mengenakkan, menyisakan suatu penyesalan dihati Totchi, dan perasaan bosan pada Kyo. Berniat ingin kumpul, tapi...

" Kenapa bengong?" Kaoru mengalihkan mereka. " Biar Die dan Shinya pergi, kalian kan masih ada tantangan minum nih!" Kaoru semangat mengacungkan gelas minumnya.

" KAMPAI !!"

~*~

Di basement...

" Ngapain kamu?" tanya Die. Kaget juga dia melihat Shinya tiba-tiba dibelakang seolah membuntuti.

Shinya terkesiap. " Mau ambil mobil."

" Ooh.. ya sudah." Die berbalik dengan cuek.

Maafkan Die, Shinya...
Sungguh maafkan. Bukan ingin Die mengacuhkanmu. Bukan maksud Die marah dan membiarkanmu sendiri. Die tahu kau mengejarnya, dia tahu kamu kembali hanya untuknya. Tapi Shin.... ini terlalu berat daripada harus menghentikan kebiasaannya merokok atau menjahili. Ini terlalu sulit.

Tapi Die harus melakukannya, demi kamu. Tak pernah sekalipun Die berpikir ingin membuatmu sakit hati, mengertilah keadaannya. Walau Die tak pernah menjelaskan apa dan kenapa sikapnya mendingin dan membatu terhadapmu, tolong mengertilah.

Bukan hanya hatimu yang tersayat, tapi Die juga! Malah mungkin lebih sakit karena Die harus berpura-pura seperti ini hanya demi menyelamatkan orang yang ia sayangi. Rasanya lebih perih dari lukamu, percayalah. Mungkin Die tak pernah menangis, mungkin Die tak pernah mengeluh. Tapi hatinya, hatinyalah yang merasakan betapa sesak dan beratnya luka hati yang setiap harinya bertambah hanya karena kamu. Hanya karena memikirkan kamu.

Menahan diri untuk tidak membiarkanmu, hanya mematung melihatmu dari kejauhan tanpa kamu sadari. Maafkan Shin, tapi hanya inilah yang bisa Die lakukan untukmu. Memberikan kau keselamatan dalam hidup agar tak tertekan sepertinya. Karena cukup hanya Die saja yang merasakan ini, jangan sampai kau ikut terlibat.

Kenapa ?
Semata karena cinta.
Mengapa ?
Cinta kamu, Shinya...

Namun sejenak Die tertegun. Melihat sosok Shinya yang mematung sejak tadi didepan mobilnya. Bagai orang yang sedang berpikir dengan masalah berat. Sanggupkah Die berdiri disini terus dan hanya bisa memandangimu, Shin? Sanggupkah dia ?

Ah, bahkan hanya dengan melihatmu di ujung sana dada Die kembali panas. Matanya kembali nanar. Hasratnya menubruk benaknya bertubi-tubi. Hanya menginginkan kamu dan kembali padamu. Kembali mencandai kamu, kembali tertawa bersamamu. Tanpa beban, tanpa tekanan atau ancaman.

Die mau kamu, Shin...

Dan saat puncak dari kerinduan ini tak terbendung. Rasa ini mulai tak bisa tertahankan, bahkan oleh niat Die sendiri saat kini kakinya melangkah mendekati Shinya disana.

" Hei!"

Shinya tersentak ketika bayangan wajah Die kini berdiri disisinya.

" Die-kun..."
" Aku perhatikan daritadi kau terus berdiri disini. Kenapa? Mobilmu rusak?" tanya Die melihat kedalam mobil Shinya.

Shinya bergeleng.

" Terus? Kenapa daritadi disini terus? Ngga masuk kedalam mobil."

Shinya terdiam, "... aku rasa kuncinya tertinggal."

Die tertegun, " BAKA!!" omelnya, hingga Shinya terkejut. " Penyakit lemotmu dari dulu ngga ilang-ilang! Bodoh sekali sih kamu ninggalin kunci mobil disana!"

Dengan wajah kesal Die merogoh ponsel disaku celananya, menghubungi Kaoru dan setelahnya Die beralih menatap Shinya yang masih menatapnya penuh penyesalan.

" Gomen..." pinta Shinya.
" Sudahlah." Die mengeluarkan batang rokoknya.

Shinya terdiam. Die bersandar pada mobilnya sambil menikmati rokoknya.

" Kamu ngga jadi pulang?" tanya Shinya.
" Kutunggu sampai kuncinya datang." jawabnya.

Apa yang Die lakukan ? Sanggupkah ia tidak melakukan apapun ketika hanya berdua dengan Shinya ? Sedekat ini? Bukankah hal yang seharusnya tidak boleh Die lakukan adalah mendekatinya. Seharusnya Die menjauhinya dan mengubur perasaannya dalam-dalam, tapi...

Lihatlah!
Lihat Shinya. Termangu dalam kemurungan berkepanjangan. Justru membuat Die semakin sakit dan membenci dirinya sendiri karena ketidakmampuan Die untuk menjelaskan ini semua. Memberikan pengertian pada Shinya, ingin berkata, jangan bersedih untuknya. Jangan berpikir Die membencimu karena sama sekali rasa seperti itu tak akan mampu muncul dihati Die yang terus mencintaimu.

Cinta yang Die sendiri tak tahu akan bagaimana nantinya jika tanpa kamu.

" Garing ih!" celetuk Die tiba-tiba.

Shinya hanya bisa menatapnya.

" ... Die-kun.." panggil Shinya.
" Hum ?" tanya Die melihatnya.
" Um, menurutmu aku bagaimana ?"

Tidak, jangan memulainya Shin. Die harus melakukan sesuatu agar hatinya tak terkecoh!

" Huahahahahaaa, kamu ngomong apa sih, Shin?" ujarnya ditengah tawanya.

Die sengaja melakukannya, Die sengaja mengalihkan perhatiannya. Walau pun tetap hatinya menjerit, ingin menjelaskan sesuatu pada Shinya.

" Shinya ya Shinya. Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal aneh kek gini sih?" tanya Die pura-pura tak mengerti, tentu saja masih dengan gelak tawanya.

Shinya terdiam, Die masih terkekeh geli.

" Kau bilang, Shinya ya Shinya, tapi kenapa aku merasa Die ya ..." Shinya menghela.

Die kini sukses diam dari tawanya, walaupun dirasa seharusnya ia acuhkan saja pertanyaan seperti itu. Die terpojok. Terpojok dan tidak bisa melarikan diri lagi dalam keadaan ini.

" Aku kenapa?" tanya Die.

"... orang lain."

Die tertegun sejenak. Sekejap Shinya langsung terkikik kecil.

" ahahaha...gomen Die-kun! Gomen!! Bukan seperti yang mau aku bilang, aku cuman bercanda.."

Benarkah Shin? Murni candaan?
Bukankah ini murni jeritan hatimu pada Die ?
Tiba-tiba saja, serasa ada tombak yang menusuk Die. Tepat kejantungnya.

" Lu-lupakan saja!" Shinya membuang muka.

Die pun tak menggubris.

" Shin, kau tahu. Kau memang ngga bakat jadi tukang bercanda =___=;;" ledek Die.
" ahahahaha..." Shinya tertawa kecil.

Shinya terdiam, Die pun demikian. Selama ini kamu tahu perubahan Die, Shinya. Selama ini kamu sadar dengan sikap Die dan kamu pun merasakan hal yang sama bukan ? Siksaan yang diterima hatimu, hati Die juga.

" Hey, Shin..."
" Hum ?" tanya Shinya tak berkata.

" Ciuman yuk..."

EEEEEEEEE~~~???!!!
Mata Shinya membulat!

" Die-kun ngomong apa sih!!!?" kontan saja Shinya marah.

Marahkah kamu Shinya jika benar Die menginginkannya ?

" Kenapa kamu ?!" tanya Die.
" Die-kun aku ngga suka ah bercandanya kek tadi! KONYOL!" Shinya protes.

Die menatap Shinya dengan wajah serius. Tak ada sinar mata jahil dimatanya, seolah menekankan bahwa ajakannya adalah sebuah keseriusan. Dan Shinya harus melakukannya!
Tapi,..

" Ahahahahahah!!!!!" spontan tawa itu meledak. " Kau kira aku serius!!!!!????? Mukamu jadi aneh gituh!!" Die terpingkal.

Shinya mengernyitkan keningnya.

BUK!

Shinya memukul lengan Die hingga pria itu mengaduh.

" Ihihihihi...kenapa? Aku kan cuman bercanda." Die masih tenggelam dalam tawanya, sementara Shinya mulai merasakan perasaan kesal memuncak di ubun-ubun.

" Ngga lucu!" Shinya menggeram dan merapatkan diri di samping mobil van besar itu.

Die masih terkekeh, Shinya bermuka kesal.

Shinya...
Sebenarnya Die rindu sekali ekspresimu yang seperti ini. Rindu pada suasana seperti ini, suasana dimana kau bisa bermanja dan merengek padanya walaupun sebetulnya Die bukanlah tipe penyayang seperti yang kamu ketahui. Tapi dia akan melakukan apapun asalkan kamu tidak terluka dan baik-baik saja.

Dan Die, tetaplah Die. Bukan orang lain, Shinya...
Hanya saja kini Die berusaha untuk sedikit lebih mendewasakan dirinya sejenak. Mencoba mengontrol emosinya dalam  masalah ini. Berusaha sebaik mungkin agar kamu tidak terluka oleh siapapun termasuk dirinya, walau jelas Die sadar kamu pun tak luput dari luka. Bukannya Die tak mengetahui lukamu, bukan...

Hanya saja, Die tidak bisa berbuat apapun untuk saat ini. Kecuali, sedikit menyenangkanmu. Sesaat,...

Biarkan Die menyentuhmu sedikit saja. Saat mereka tak ada, tak ada yang menyaksikan kita. Tak ada yang memantau, biarkan Die memberikan penjelasannya lewat sentuhannya. Sedikit saja Shin,..
Maka kamu akan tahu betapa Die sangat mencintaimu walau tak pernah ia utarakan sebelumnya. Maka kamu akan mengerti perasaan nyeri dan pilu ini, rasa yang sama-sama menyerang Die.

Dan saat mata itu bertemu, entah mengapa Die bisa lupa. Lupa akan segalanya ketika hanya ada Shinya dibias kedua bola matanya. Dan kenapa Shinya diam ? Melawanlah Shin, jangan diam saja. Jika tidak, salah satu dari kita tidak akan pernah bisa bangun dan menyadarkan kita. Melakukan hal yang seharusnya tak kita lakukan, untuk saat ini, sekarang ini!

Tapi mungkin, ada jeritan lain yang menginginkan ini. Bisik ganda yang selalu memprovokasi Die untuk memproklamirkan butir-butir cintanya dalam sikap, sentuh, dan canda. Dan Die tak bisa memungkirinya, tak bisa berubah menjadi Die yang lain selain Die, Daisuke...

Saat bibir itu bertemu, saat Shinya mengheningkan segalanya dalam diamnya. Saat perasaan ini lebih besar dari penolakan lain dihati Die, Die tak mampu menepis semua rasa yang kini mendorongnya untuk memiliki Shinya. Shinya... miliknya.

Mengguratkan rasa pedih, mendorong perasaannya lewat balutan saliva yang bertukar. Menjamah isi mulutnya, menggapai titik dimana Shinya tak berkutik untuk melawannya, membalasnya. Dan saat semuanya semakin tak bisa dikendalikan, Die tak pernah ingin tahu masa depannya. Dibenaknya yang terpenting hanyalah saat ini, saat ia bersama Shinya. Saat ia merasakan getar lain ketika Shinya menarik dirinya, lebih dekat padanya.
Die sadar, Shinya pun menderita karenanya.

Maaf Shinya...

Habis nafas pun tak mampu membuyarkan ledakan kerinduan diantaranya. Ketika Shinya merunduk, saat Die mendekapnya. Ini mereka. Ini perasaan mereka yang sebenarnya. Kesepian yang harus dibayar secepatnya. Die tahu, Shinya membutuhkannya, begitu pun dengan Die.

Ketika Die memeluk, Shinya membalas. Melingkarkan kedua lengannya pada leher Die yang kokoh. Mendekapnya penuh sayang. Die pun demikian, saat tubuh kecil itu ia remas hanya dengan lingkaran otot lengannya. Menyatukan mereka dalam diam, dengan desah nafas menderu. Tak saling bicara, namun perasaan ini saling menyahut. Berkata, ....

... aku mencintai kamu.





The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar