expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

21 Juni 2013

In a Lucid Dream



Title : In a Lucid Dream
Author : Duele
Last Edited : 14 Sept 2009
Genre : Romance
Chapter (s) : Oneshot
Rating : 15+
Band(s) : Dir en grey
Pairing(s) : DiexShinya
Summary : Shinya, ciuman yuk!!! xDD
Disclaimer : cerita milik otak saya xD
Song Author : In a Lucid Dream - Satsuki


~*~

GRAAK.

Pintu studio terbuka. Dan sekejap keheningan langsung berhembus, menguatkan kesunyian di sana. Di sana, ada dua pasang bola mata saling bertatapan. Memantul, membiaskan wajah dari masing-masing si penglihat.

" Um, yang lain mana ?" suara berat itu terdengar. Pria tinggi dengan rambut terurai itu mengurai senyum kecil. Namun bisa terlihat kepenatan tersirat jelas disuara dan senyumnya.
" Yang lain belum datang." jawab seorang lainnya. Seorang yang telah terlebih dahulu duduk ditempatnya, belakang drumset.
" Ooh..." tanggapnya datar.

BLAM.


Dan sikap yang terlalu datar tentunya, saat ia tanpa pamit memutuskan untuk keluar dari sana tanpa menoleh, tanpa berbalik. Seperti biasanya...

" Hhh..." suara lain kecewa.

Tiba-tiba...

" SHIN-CHAN !"

Shinya terkesiap ketika suara itu terdengar begitu semangat memanggil namanya.

" Kenzi-kun ?" Shinya tampak gugup.
" Hei, nanti malam kita ketempat Shuu yuk. Shuu bikin pesta kecil." ajaknya semangat sembari menghampiri Shinya yang masih tersenyum menatapnya. " Umm..." nampaknya ingin sekali menolak.

" Ayo Shiiin~ daripada kamu disini sendirian, bete."

Iya, benar juga apa kata Kenzi. Daripada Shinya terus menerus bengong, melamun, tidak melakukan apapun. Lebih baik dia bersama Kenzi, keluar. Mencari kesenangan, lagipula selama ini Kenzi selalu bisa membuat dia melupakan hal-hal yang membuatnya sebal.

" Nanti malam pakek ini yah."

Tanpa aba-aba, Kenzi memakaikan topi aneh ke kepala Shinya yang masih tak sadar dengan apa yang ia lakukan barusan.

" Tapi.. aku ngga PD pakek topi, aneh ah." Shinya melepaskan topinya cepat.
" Dame~~~" tapi Kenzi tetap melekatkan topi itu pada kepalanya. " Kawaii naa~" tuturnya.

Shinya terdiam. Entah kenapa...
Kenzi selalu bisa membuat dia lupa akan dirinya yang sebenarnya.

GRAAK.

Kedua pemuda itu langsung beralih pada pintu, sosok pria jangkung muncul disana.

" Die-san... apa kabar ?" Kenzi menyapa, Shinya membuang muka, melepaskan topi itu dari kepalanya cepat.
" Hoh, baik." jawab Die, sangaaaaat datar.

Setelahnya Die hanya diam melakukan aktifitasnya. Mulai men-check gitarnya. Tak lama gerombolan Diru pun bermunculan satu persatu.

" Nah kan! kubilang juga apa, si Oei itu ngga becus ngurus anak!" ini Totchi, ntah lagi apa. Yang jelas keknya beliau masih ngobrol ditelepon.

" Terus diangkat keluar gituh ?" Kyo muncul dibelakangnya, dengan sengir yang tak jelas. Di belakangnya ada Kaoru menjawab, " Diangkat, terus dibuang."

Dengan begituh, lengkaplah sudah formasi band tenar itu. Menyisakan satu orang luar di sana!

" Aku keluar dulu, nanti ku telepon yah." pamit Ken pada Shinya.

Shinya hanya mengangguk, dan sekelebat melirik si gitaris yang masih dalam posisi memunggunginya. Melihatnya, kontan saja perlahan membuat angan Shinya kembali bersuara dalam keheningannya.

Die,.. entah apa yang kau pikirkan tentang Shinya. Apa mungkin sekarang sudah tidak ada lagi Shinya dihatimu ? Hingga kau tak pernah memikirkan tentang Shinya lagi. Apa mungkin diluar sana kau telah menemukan pengganti Shinya, seseorang yang lebih mudah untuk kau godai.

Dan saat kedua mata itu bertemu dengan milik Shinya, entah kenapa Shinya menghindar. Tak bisa melihatnya walau ingin sekali menatap kedua bola mata itu lagi.

~*~

" Duluaaan~"

Semua berhamburan. Keluar meninggalkan studio yang telah tiga jam lebih mereka tempati.

" Eh, masih sore nih. Gimana kalo kita ke club..?" ajak Totchi.
" Usul bagus." celetuk Kaoru.
" Kyo ikut ga ?" tanya Totchi, walau sudah yakin tau jawabannya pasti TIDAK!

" Ikut~"

Tapi kali ini jawaban sang vokalis cukup mengejutkannya, dan berakhir dengan senyum dan guyonan ala Totchi.

" Cieee~ udah kepincut mbak2 di club yah~" ledeknya ganas. Celotehan Totchi yang selalu sukses membuat Kaoru tertawa geli.
Kalau Die, tidak usah ditanya. Sekarang hobinya memang kumpul bocah dengan Totchi dan Kaoru. Jadi jika keduanya sepakat akan ke club, Die akan turut kesana.

" Aku ngga ikut." jawab Shinya.

Mereka terdiam, terkecuali Die yang masih asyik menghisap rokoknya sambil membaca majalah. Tak peduli.

" Gomen ne~" pinta Shinya.
" Kau punya urusan yah ?" tanya Kyo.
" Iya." jawab Shin polos.

Yeah, Shinya memang ada urusan. Dengan Kenzi tentu saja. Setelah meminta maaf, Shinya hengkang dari sana. Meninggalkan empat pemuda lain yang masih membicarakan rencana mereka malam ini di klub. Saat beranjak keluar, Shinya ingin sekali melihat Die. Tapi ternyata Die sama sekali tak menggubrisnya...
Tak pedulikah Die jika Shinya pergi tanpanya ?

~*~

" SHIN-CHAN..."

Shinya tersadar dari lamunannya. " Ya ?"

" Kok bengong ?" Kenzi mendekati, lalu duduk disamping sang drummer.
" Gapapa." jawab Shinya seadanya.

Kenzi terdiam sejenak.

" Hey, Shin. Nanti pulang, kau tidak perlu naik taksi." tutur Ken.
" Hum ? Kenapa ?" Shinya aneh.
" Aku akan mengantarmu pulang!" ujarnya.

Shinya tertawa kecil. Ah, Kenzi selalu bisa membuat mood-nya berubah cerah. Tapi bagaimana ?


" Dengan ini!"

Mata Shinya membulat. " Naik motor ?"

Bercanda kan ? Shinya melirik Kenzi yang masih tersenyum.
Ternyata serius...
Mereka akhirnya pulang dengan mengendarai motor matic tersebut.

" Bagaimana Shin rasanya ?" teriak Kenzi yang sedang melaju.
" Seru~!" jawab Shinya dibelakang.

Terterpa angin, suara alam malam, dengung motor yang melaju. Membuat Shinya benar-benar bisa melupakan semuanya. Penatnya, bosannya, bahkan Die...

Die ? ...

Sekejap, Shinya tertegun.
Kenapa hanya mengingat nama itu mood Shinya kembali hancur? Kenapa setiap mengingat orang itu Shinya merasa tertusuk ? Dan kobaran api penyesalan, kekesalan bahkan kerinduannya spontan melonjak dan meletup bagaikan magma yang siap dimuntahkan kapan saja.

Shinya sadar, ini adalah kesepiannya. Kesepiannya dari Die. Kesepiannya terhadap orang yang perlahan telah memahat hatinya. Mengukirkan sebuah nama, mengukirkan sebuah wajah. Namun begitu banyak kata, beribu ekspresi, berjuta kenangan, hanya tertuju padanya. Pada dia seorang, Die...

Shinya rindukah engkau pada Die ??
Shinya menutup mata, dan seketika hanyalah wajah Die yang bisa ia lihat dalam kegelapannya. Senyum itu, tawa itu, bahkan ekspresi dingin sedingin es yang membatu yang selalu Shinya lihat belakangan ini terpatri jelas dalam benaknya.

Sejak kapan ? Shinya tak tahu.
Mengapa ? Shinya tak mengerti.

Seandainya Shinya bisa merubahnya dan tetap membuat Die yang jahil seperti sediakala, Shinya rela dijadikan bahan bulan-bulanan. Shinya rela terus ditertawakan, asal tidak begini...
Bukan begini...
Jangan begini...

Bukan ini yang Shinya ingin. Bukan dia, bukan Kenzi yang ingin Shinya sandarkan.
Tapi tanpa sadar, kini Shinya menatap punggung Kenzi. Punggung yang begitu dekat dengannya, tegak dan sama seperti milik Die. Tapi ini bukan miliknya, jelas ini milik orang lain. Orang yang...ah, Shinya bingung. Bahkan dia sendiri tak mampu mengungkap apa inginnya. Apa hasratnya...
Dan selalu, Shinya yang akan menahan rasa sakit itu sendiri.

Seandainya, ini adalah punggung Die ... tanpa peduli apapun Shinya akan menyandarkan kepala rapuhnya, bersandar manja, mencari kenyamanan dan perlindungan darinya.

" Shinchan...?"

Seandainya, ini adalah pinggang Die ... walau canggung, Shinya ingin merangkulnya. Kembali. Sebagaimana dulu Die melakukannya padanya.

" Shin..chan.."

Seandainya, ini adalah dada Die ... dada yang dulu pernah jadi lampiasan pukulan manja Shinya ketika Die menggodanya. Merengek, dan marah manja. Dada yang pernah bersentuhan dengan dadanya tatkala Die memeluknya saat itu. Dada bidang yang pernah Shinya rasakan, begitu kuat, begitu kokoh...

" Shin..."

Yah, Shinya merasakannya. Merasakan itu semua ketika bersama kenzi...
Hari ini, saat ini ...
Dan Shinya makin terbuai, ketika terasa segumpal benda hangat menggapai jemarinya yang tetap kokoh bertahan pada dadanya. Mendekapnya begitu erat, mencengkramnya begitu kuat.

" Shinyaa..." dan lengkungan senyum itu tergurat tulus dari bibir Kenzi.

~*~

" Shinya akrab yah, sama si Kenzi ituh." celetuk Totchi suatu siang.
" Siapa ?" tanya Kaoru yang masih menikmati bir dinginnya.
" Si tukang service drumset." enteng Totchi menjawab.
" Bukan akrab, cuman basa-basi kok." jawab Kao.
" Loh, beda loh Kao-samaa~~~ orang yang akrab dengan orang yang sedang berbasa-basi karena pekerjaan itu beda sekalih!" sanggah Totchi.
" Jadi nurutmu ?"
" Jangan-jangan Shinya suka sama Kenzi." akhirnya spekulasi dini itu keluar dari mulut Totchi xD

Tentu saja, sang Leader hanya bisa membalas dengan tawa. Tak masuk akal!

" Iya kan Die ?" kini Totchi beralih pada Die yang sibuk dengan rokok dan majalahnya.
" Hum.. Humm~" Die manggut-manggut tapi matanya tak lepas dari majalah Rolling Stones.

~*~

" Shinchan..." Kenzi muncul dengan wajah yang kelihatan fresh sekali. " Hari ini ada gak ada latihan kan? Bagaimana kalau kita pergi nonton, Yamapi keluar film baru nih."

" Umm..." Shinya terdiam.
" Shin? Daijoubu ?!"
" Oh yah..."
" Nanti malam ku jemput yah." ucapnya mengakhiri topik ketika salah satu member Diru ternyata muncul disana tanpa diduga.

" Kau mau pergi Shin malam ini ?" tanya Kyo.

" Iya, kenapa Kyo-san ?"
" Tidak, aku pikir malam ini kau setuju ikut kami pergi ke tempatnya Inoue-san. Staff kan membuat acara malam ini. Kupikir Kaoru sudah memberi tahumu." tuturnya.
" Malam ini? Ah, yah! Aku lupa!! Gomen Kyo-saaann~" Shinya bersalah. " Apa mungkin, aku harus bilang pada Kenzi dan membatalkan acara kami. Mungkin dia juga tidak tahu."
" Kurasa ngga mungkin dia sampai ngga tahu, dia kan staff." jawab Kyo.

Shinya melirik Kyo.

" Kalo memang mau pergi dengan Kenzi, pergilah. Nanti aku buat alasan ke Kaoru." jawab Kyo.
" Kyo..." Shinya tertahan. Ingin sekali dia bicarakan masalahnya, tapi melihat Kyo yang sudah terlalu baik terhadapnya, Shinya urung melakukannya dan lebih memilih diam.
" Kenapa ?" tanya Kyo.

Shinya menggeleng. " Nanti aku usahakan datang." jawabnya.

" Baguslah. Tapi kalo tidak bisa jangan dipaksakan."

Kyo..
Dia terlalu baik. Sangat baik. Tak pernah memaksa, tak pernah berubah. Tetap menjadi teman yang selalu menyokongnya saat Shinya sendirian. Tetap menjadi teman saat Shinya merasa tak ada siapapun lagi yang memperhatikan. Kyo mungkin sahabatnya satu-satunya...
Tidak, Toshiya, Kaoru dan Die juga sahabatnya. Mereka semua sahabatnya, dan...

" Kyo-san.."

Kepala Die tiba-tiba menyembul dari balik pintu. " Ah, ternyata disini." tuturnya, sekejap melirik Shinya sesaat tapi kembali fokus pada Kyo. " Kaoru bilang..."

Die...
Dimata Shinya, Die begitu berbeda. Tak inginkah dia sekali saja menyapa Shinya yang kini mematung menatapnya, memandangnya. Menatap setiap lekuk tubuhnya, memperhatikan segala ekspresi hangat yang dia sampaikan pada Kyo. Suaranya, tawanya, candanya...
Die...
Lihat disini..

" Shinya..."

Shinya sadar, Die menatapnya, memanggil namanya...

" Kamu ikut gak ?" tanyanya, biasa tapi terkesan aneh untuknya.
" Ngga. Aku udah ada janji duluan sama Kenzi." jawabnya tanpa sadar.
" Ooh..." dan ekspresi datar dan acuh kembali Die pancarkan.

Shinya, kenapa kamu harus menyebut nama Kenzi ?
Kenapa Shinya perlu menyebutkan nama itu ?!
Bodoh...

~*~

" Shinchan kamu ada masalah yah ?" tiba-tiba Kenzi bicara.
" Haa ?" Shinya menoleh, masih tidak sadar dengan apa yang Kenzi bicarakan barusan.
" Daritadi kamu diam terus." ujarnya.

Shinya diam? Wajar kan? Dia memang pendiam.

" Bukan diam yang biasa, rasanya tadi Shinchan seperti memikirkan hal lain daripada nonton film." tutur Kenzi.

Shinya tertawa kecil. Sampai ingin menangis rasanya...

" Tidak apa-apa, terima kasih."
" Bisakah kau membagi ini padaku?" tiba-tiba Kenzi serius, " Aku ingin tahu lebih banyak tentang kamu."

Shinya terdiam. Apa ini ? Apa maksudnya?
Shinya tak bodoh. Secara tak langsung Kenzi...

" Sungguh, tidak apa-apa. Aku hanya memikirkan Miyu di rumah." jawabnya berbohong.

Tak mungkin ia katakan pada Kenzi kalau selama dia menonton film, yang ada dikepalanya hanyalah Die. Berpikir bagaimana keadaannya, bagaimana perasaannya, bagaimana...?
Telah jenuhkah Die padanya?
Telah bosankah Die padanya?
Terlalu penatkah, Die ...?

Tanpa sadar Shinya melangkah meninggalkan Kenzi, yang terlalu tak rela orang yang dia kagumi sekejap berubah dingin.

" Shinya!" Kenzi menangkap tangannya. Membuat Shinya terkejut dan kemudian berbalik menatapnya, bergeser, melihat tangan kecilnya digenggam sedemikian eratnya oleh Kenzi. " Aku... aku benar-benar khawatir sekali padamu."

Shinya terpaku.
Seharusnya, Shinya bisa luluh karena ini. Tapi entah kenapa rasanya semua perasaan Kenzi padanya tak bisa membuatnya melupakan sosok Die. Justru membuat Shinya semakin rindu padanya. Semakin ingin Shinya menemuinya dan protes mengapa Die menghadiahkan semua ini padanya ?
Apa salahnya ?
Apa dosanya ?

" Kenzi... aku mau makan." jawab Shinya.

Kenzi terdiam, tak lama tertawa. Puas sekali.
Dipikirnya Shinya diam sejak tadi karena lapar! xD

Keesokannya...

" Bagaimana semalam ?" tanya Shinya.
" Lumayan." jawab Kyo.
" Eh, Shinya Miyuu udah sehat?" tiba-tiba Toshiya nyeletuk. Membuat Shinya bertanya-tanya, namun terjawab ketika melirik Kyo yang nyengir disampingnya. Inikah alasan yang dibuat Kyo pada teman-temannya tentang alpa-nya Shinya semalam? Oh, Kyo...

Tiba-tiba, Kaoru masuk, diikuti dengan Die dibelakangnya. Menguap dengan wajah yang benar-benar kurang sehat.

" Latihannya dimulai sejam lagi yah." setelah itu, Kaoru keluar tak banyak bicara. Sibuk sekali.

Sedangkan Die, pria tinggi itu langsung menjatuhkan diri di sofa. Membenamkan kepalanya pada bantal. Tak pelak, ini membuat Shinya begitu heran, bertanya-tanya. Apakah acara staff semalam benar-benar menggila? Tapi kenapa yang lain tampak begitu biasa ?
Apa mungkin imsomnianya kambuh ?
Die, baik-baik sajakah kamu?

" ... nurutmu gimana Shin?" Totchi bertanya, tapi tak ada jawaban. " Shinchan !?"

" Ah, iya!" Shinya terperanjat.

Totchi dan Kyo saling beradu pandang.

" Shinya, daijoubu ?" tanya Totchi dengan logat khawatir.
" Ya.." jawab Shinya datar, tak lama merunduk.

Totchi menghela, " Iih, dari kemarin banyak sekali hal2 yang ngbosenin, pada ngga semangat. Kemarin Die, sekarang Shinyaaa~ boriiiiiiiing ne~" celetuk Totchi agak kesal.

Tapi celotehan Totchi yang tak bermaksud jahat ini justru membuat Shinya terperangah. Ada apa dengan Die ?

" Tidak bersemangat kenapa?" tanya Shinya.

Totchi yang langsung tanggap pun akhirnya memangku bahu. " Iya, tiba-tiba dia pamit pulang. Tidak enak badan katanya. Bete~!" dengus Totchi.

Dan mata Shinya kembali melirik ke arah Die yang sedang konsen dengan gitar 'flame'-nya.
Die-kun, daijoubu ?

~*~

" Shinchan, daijoubu ?"

Tiba-tiba suara itu terdengar ditelinga Shinya, menghantarkan bunyi yang mesra yang bisa Shinya tangkap melalui gendang telinganya. Suara lembut yang kedengaran begitu mengkhawatirkan dirinya, mesra sekali. Dan semoga saja, suara ini datang dari orang yang Shinya harapkan beberapa hari ini.

" Kenzi-kun..."

Tapi kali ini pun khayalan Shinya harus berganti rupa dengan sosok Kenzi dihadapannya.

" Um... daijoubu!" jawab Shinya mengurai senyum.
" Yokatta...!!" Kenzi bersyukur.

Senyum kelegaan itu, andai saja milik Die saat ini. Tentu Shinya akan lebih senang melihatnya.

" Eh, Shin. Malam ini aku manggung di live house, kamu mau nonton tidak?" tawar Kenzi penuh semangat.

Ingin sekali Shinya menolak, ingin sekali Shinya menghindar, tapi...

" Okeh."

~*~

Shinya terpaku diantara barisan penonton kala itu. Tak ada yang menyadari seorang Shinya Terachi disana. Berdiri mematung melihat pertunjukkan musik yang tengah dibawakan oleh beberapa band lokal. Salah satu-nya adalah band milik Kenzi, orang yang mengajaknya kemari malam ini.

Mereka bermain, masih dengan dandanan visual. Dandanan yang dulu juga sering Shinya dan teman-temannya pakai ketika dulu. Ketika semuanya masih begitu muda, begitu emosional. Dan Die dulu masih senang mengerjainya, mengusilinya, meledeknya.
Bukan hanya dipanggung, tapi dikehidupan Shinya kemudian. Candaannya, gurauannya. Tiada hari yang terlewati tanpa bahan banyolan garing dari Die. Joke-joke garing tapi selalu berhasil mengundang tawa dari semua, juga dari Shinya.

Shinya ingat ketika suatu hari saat manggung, dia yang tak berkonsentrasi penuh pada permainannya dua kali membuat kesalahan. Melupakan ritme drumnya dan membuat malu teman-temannya didepan fans. Mungkin semuanya tidak langsung menyalahkannya tapi Shinya sangat merasa kecewa pada dirinya sendiri. Saat putus asa itulah, Die dengan tak sengaja justru membuatnya melupakannya. Membuatnya jadi giat berlatih, membuatnya makin berambisi untuk memperlihatkan kemampuannya pada Die. Tanpa sadar, karena Die-lah Shinya bisa seperti sekarang ini. Gumpalan rasa iri, segenggam rasa ingin membuktikan, tak pelak membuat Shinya makin giat menunjukkan siapa dirinya sebenarnya. Agar Die bisa melihat dirinya dan mengakuinya.

Tapi apa mungkin, karena gilanya Shinya akan hasrat dinomor satukan justru membuat Die menjauh padanya? Justru membuat Die merasa penah padanya? Merasa jenuh?
Tapi Shinya hanya ingin membuktikan, Shinya pun bisa seperti kawan-kawannya, Shinya pun bisa seperti Die. Hebat sepertinya. Dan orang pertama yang ingin Shinya perlihatkan tentang kesuksesannya, tentu saja dia Die. Bukan ingin menjatuhkannya, bukan ingin berbalik meledeknya. Shinya hanya ingin memperlihatkan pada Die sejengkal kemampuannya. Kemampuan yang terprovokasi karena Die. Berjalan karena Die!

Karena Die!!!!
Karena Die!!!!

Tapi kenapa Die tinggalkannya?
Kenapa wajah ceria itu membatu tak berpahat senyum?
Kenapa sikap itu berubah bisu tak bergerak kisruh?

Shinya kesepian. Shinya tak berteman. Shinya tak ceria dan tidak bisa merasakan meriah hidupnya, karena Shinya seorang pasif. Si pasif yang selalu membutuhkan si aktif.
Tapi si aktif kini justru diam, membayangi pasifnya.

Dan karenanya, hati Shinya terluka. Lebih sakit dari pada remuknya tulang setelah seharian menggebuk drum. Sakit yang baru Shinya rasakan, hingga membuat kedua mata ini tak mampu lagi menahan gelombang air mata yang kini merangsek kelopak matanya.

Shinya menangis, dalam diamnya.

Membiarkan bulir-bulir asin itu mengalir jatuh. Tapi Shinya tidak membiarkannya karena dengan cepat ia sapu bersih semuanya. Tak ingin seorang pun menyadari kerapuhannya, tidak ingin.

Ah, tapi dada ini sakit..!

" Shinya!!"

Shinya yang terperanjat kini berbalik, hingga kedua mata merahnya di balik kacamata coklatnya membulat ketika melihat teman-temannya, Dir en Grey.

" Curang yah! Ke live musik gag ngajak-ngajak!" cibir Totchi yang langsung menepuk kepala si bungsu di antara mereka.
" Ternyata Shinya punya selera bagus nih." Kaoru ngelus jenggotnya sambil menatap panggung.
" Bukannya emang sekarang lagi ada band-band Indie yah ?" Kyo nyeletuk.
" Eh, rasanya aku kenal sama yang nyanyi?" Kaoru miris.
" Hum ?" Totchi langsung beralih ke panggung. " Itu kan si tukang service drumset!!!!" Serunya. " Shinya selingkuh!" ledek Totchi langsung melirik Die yang sedari tadi diam.

Dan pandangan orang-orangpun beralih pada Shinya dan Die.

" Nani ?" tanya Die santai.
" Lihat mah meeeeeennn, Shinya-mu selingkuh darimu!" wah, Totchi berapi-api.
" Totchi..." Kaoru mulai menenangkan.

Tapi tak ada yang bisa Shinya bicarakan. Harusnya kan Shinya mengelak. Tapi kenapa kini Shinya hanya diam tak bersuara? Seolah yang disangkakan oleh teman-temannya ini adalah sebuah kenyataan. Shinya selingkuh.

" Heh, heh! Haus nih!" Kyo mengalihkan pembicaraan. Pria itu tahu saat yang tepat untuk menyelamatkan Shinya dalam keadaan yang tak mengenakkan seperti ini.

Dan semuanya pun turut, menepi ketepi bar yang disediakan. Memesan beberapa minuman disana.

" Jadi selama ini Shinchan ngga pernah ikut main bareng kita karena emang jalan sama si Kenzi, yah? Wah. Wah. Wah...." Totchi mulai meneruskan candanya.
" Bukan begitu Totchi." Shinya berujar akhirnya.
" Die kurang apa sih Shin??? Apa perlu Die balik lagi ke jaman V-Kei nih biar gag kesaing sama Kenzi?" Ledek Totchi lebih.
" Sudahlah, ngga usah dibahas. Ngga masalah kan Shinya punya temen selain kita?" ujar Kyo.

Dan semuanya terdiam, termasuk Totchi...
Semua sadar ada yang seharusnya tak mereka singgung kali ini. Yakni, kebebasan.
Dan semua sadar, semuanya bebas memilih berteman dengan siapapun. Bahkan Shinya. Tak melulu harus selalu bersama dengan mereka mentang-mentang mereka satu grup.

" Aku tau kok, Kyo... aku kan cuman bercanda." Totchi manyun.

Kaoru terkekeh kecil. Die hanya diam saat Shinya mencuri pandang padanya.

" ...um. Aku duluan."

Tiba-tiba saja Die beranjak.

" Mau kemana Die?" tanya Kaoru.
" Mau ketempat teman dulu." jawabnya.

Dan mereka pun sadar, Die pun punya sahabat lain selain mereka.

" Aku juga mau pulang."

Sekarang giliran Shinya yang pamit. Totchi merengut, kenapa suasananya jadi aneh begini?
Keduanya berlalu dengan keadaan yang tak mengenakkan, menyisakan suatu penyesalan dihati Totchi, dan perasaan bosan pada Kyo. Berniat ingin kumpul, tapi...

" Kenapa bengong?" Kaoru mengalihkan mereka. " Biar Die dan Shinya pergi, kalian kan masih ada tantangan minum nih!" Kaoru semangat mengacungkan gelas minumnya.

" KAMPAI !!"

~*~

Di basement...

" Ngapain kamu?"

Shinya terkesiap. " Mau ambil mobil."

" Ooh.. ya sudah." Die berbalik dengan cuek.

Shinya tertegun. Ingin sekali menahannya, ingin sekali membuatnya tinggal, tapi kata-kata 'tunggu!' atau 'jangan pergi' serasa lebih sulit dikeluarkan daripada mengeluarkan muntahannya yang juga menyakitkan. Dan kenapa Die begitu asing kali ini dimata Shinya?
Tak pernah menengoknya kembali, tak pernah menggubrisnya lagi, tak pernah mengamatinya lagi.

Die.. lihat...
Shinya disana. Berdiri mematung menatap kepergianmu yang sangat tidak manusiawi baginya. Kenapa kau tak peka untuk segera menyadari bahwa Shinya sangat membutuhkanmu?
Dan Shinya yang bodoh pun tak bisa melakukan banyak, tidak bisa. Tindakan bodoh yang selalu Shinya sesali pada akhirnya nanti.

Die menghilang ditikungan basement, Shinya masih mematung disana. Dan akhirnya tanpa melakukan apa-apa, Shinya beranjak meninggalkannya. Bergerak kearah mobilnya yang masih terparkir.

Shinya tercenung saat melihat pantulan wajahnya di kaca mobilnya yang hitam. Betapa sedihnya ia, tak ada seorang disana yang menemaninya. Tak pernah terpikirkan untuk Shinya memberikan ruang sedikit pada Kenzi karena kini kepalanya penuh dengan Die, Die, dan Die...
Ingin sekali Shinya ungkapkan, ingin sekali Shinya nyatakan, betapa sakit dan cemburunya dia. Sakit karena Die mengacuhkannya, cemburu karena ternyata Die memiliki sahabat lain sepertinya. Tapi apa boleh Shinya begini? Bukankah Die tak pernah mengekangnya untuk bersahabat dengan siapapun?
Kyo, Toshiya, bahkan Kaoru. Semuanya membebaskannya dari pengekangang dalan berteman dengan siapapun, hingga akhirnya Shinya bertemu Kenzi, mengenalnya dan mulai menghabiskan waktu bersamanya.

Tapi kenapa Shinya merasa tak rela kini saat tahu Die pun mungkin melakukan hal yang sama dengannya. Memiliki teman, yang mungkin Shinya tak tahu siapa dan dimana ?

Shinya putus asa...
Apa mungkin masa lalu dimana dimata Dia hanya ada Shinya tak mungkin terulang ? Masa dimana semua mata hanya tertuju pada Die dan Shinya, semua fans menjudge mereka pacaran. Walau ingin mengelak agar tidak terjadi kesalah pahaman, Shinya jujur mengakuinya dalam hatinya yang terdalam, ia sangat menyayangi Die. Joker yang selalu mentahbiskannya sebagai si bungsu yang kerap kali ia kerjai, kerap kali ia ledek. Shinya rindu masa-masa itu.

Die...
Kembalilah...


" Hei!"

Shinya tersentak ketika bayangan wajah Die kini berdiri disisinya.

" Die-kun..."
" Aku perhatikan daritadi kau terus berdiri disini. Kenapa? Mobilmu rusak?" tanya Die melihat kedalam mobil Shinya.

Shinya bergeleng.

" Terus? Kenapa daritadi disini terus? Ngga masuk kedalam mobil."

Shinya terdiam, "... aku rasa kuncinya tertinggal."

Die tertegun, " BAKA!!" omelnya, hingga Shinya terkejut. " Penyakit lemotmu dari dulu ngga ilang-ilang! Bodoh sekali sih kamu ninggalin kunci mobil disana!"

Dengan wajah kesal Die merogoh ponsel disaku celananya, menghubungi Kaoru dan setelahnya Die beralih menatap Shinya yang masih menatapnya penuh penyesalan.

" Gomen..." pinta Shinya.
" Sudahlah." Die mengeluarkan batang rokoknya.

Shinya terdiam. Die bersandar pada mobilnya sambil menikmati rokoknya.

" Kamu ngga jadi pulang?" tanya Shinya.
" Kutunggu sampai kuncinya datang." jawabnya.

Ada yang meledak dihati Shinya. Entah apa. Yang jelas ini bukan perasaan sakit seperti yang ia rasakan. Tapi walau bersama keadaan tetap tak berubah, karena Die kini hanya diam tak bersua. Dan Shinya pun tak bisa melakukan apapun, bahkan hanya untuk membuka topik.

Die lakukanlah sesuatu.

" Garing ih!" celetuk Die tiba-tiba.

Shinya hanya bisa menatapnya. Die bosan.

" ... Die-kun.." panggil Shinya.
" Hum ?" tanya Die melihatnya.
" Um, menurutmu aku bagaimana ?"

Seketika suasana mendingin, namun langsung terpecah dengan gelak tawa Die yang tak keruan.

" Huahahahahaaa, kamu ngomong apa sih, Shin?" ujarnya ditengah tawanya.

Mungkin Shinya merindukan tawa lebar ini, tapi entah mengapa dia tak bisa ikut tertawa seperti Die. Hanya diam. Dan Die sadar, Shinya serius untuk pertanyaannya.

" Shinya ya Shinya. Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal aneh kek gini sih?" tanya Die tak mengerti, tentu saja masih dengan gelak tawanya.

Shinya terdiam, Die masih terkekeh geli. Entahlah dia tak bisa diam dari tawanya ketika Shinya mengajukan pertanyaan yang tak masuk akal untuk Die jawab.

" Kau bilang, Shinya ya Shinya, tapi kenapa aku merasa Die ya ..." Shinya menghela.

Die kini sukses diam dari tawanya, walau tidak Shinya lanjutkan perkataannya Die tahu ini waktu yang tidak tepat untuk mengalihkan semuanya menjadi sebuah guyonan garing seperti biasanya.

" Aku kenapa?" tanya Die.

"... orang lain."

Die tertegun sejenak. Sekejap Shinya langsung terkikik kecil.

" ahahaha...gomen Die-kun! Gomen!! Bukan seperti yang mau aku bilang, aku cuman bercanda.."

Benarkah Shin? Murni candaan?
Bukankah ini murni jeritan hatimu pada Die ?

" Lu-lupakan saja!" Shinya membuang muka.

Die pun tak menggubris. Shinya cukup lega Die tak menghiraukan perkataannya barusan. Semoga saja Die mengerti arti kegugupan ini.

" Shin, kau tahu. Kau memang ngga bakat jadi tukang bercanda =___=;;" ledek Die.
" ahahahaha..." Shinya tertawa kecil.

Walau tetap ada yang mengganjal dihatinya. Tapi sedikit ruang dihatinya yang kehausan akan sosok Die disampingnya kini sedikit terisi dengan hadirnya Die sekarang. Entah Shinya tak tahu lagi kedepannya seperti apa, yang jelas Shinya cukup menikmati kebersamaan yang mungkin tak lama ini.

" Hey, Shin..."
" Hum ?" tanya Shinya tak berkata.

" Ciuman yuk..."

EEEEEEEEE~~~???!!!
Mata Shinya membulat!

" Die-kun ngomong apa sih!!!?" kontan saja Shinya marah.

Mungkin marah, mungkin kaget, atau mungkin juga senang.
Die gila!!
Mana mungkin Shinya mengiyakan kan?! Mana mungkin Shinya menyanggupi ajakan konyol itu!
Shinya langsung menjaga jarak, entahlah rasanya aneh. Antara takut dan tak percaya. Benarkah Die serius mengajaknya ciuman ?!

" Kenapa kamu ?!" tanya Die.
" Die-kun aku ngga suka ah bercandanya kek tadi! KONYOL!" Shinya protes.

Die menatap Shinya dengan wajah serius. Tak ada sinar mata jahil dimatanya, seolah menekankan bahwa ajakannya adalah sebuah keseriusan. Dan Shinya harus melakukannya!
Tapi,..

" Ahahahahahah!!!!!" spontan tawa itu meledak. " Kau kira aku serius!!!!!????? Mukamu jadi aneh gituh!!" Die terpingkal.

Shinya mengernyitkan keningnya. Bodohnya ia kena tipu muslihat si BAKA ini!!!

BUK!

Shinya memukul lengan Die hingga pria itu mengaduh.

" Ihihihihi...kenapa? Aku kan cuman bercanda." Die masih tenggelam dalam tawanya, sementara Shinya mulai merasakan perasaan kesal memuncak di ubun-ubun.

" Ngga lucu!" Shinya menggeram dan merapatkan diri di samping mobil van besar itu.

Die masih terkekeh, Shinya bermuka kesal. Tidak seharusnya Shinya menyukai orang macam Die!!! Dalam tawanya Die bisa melihat wajah kesal Shinya yang entah mengapa lebih manis dari biasanya.

Dan saat tawa itu mereda, Shinya tak pernah sadar. Entah sejak kapan kini Die berdiri dihadapannya, merapat padanya. Mata Shinya yang sudah bulat makin membulat tak pelak ketika wajah itu bersentuhan dengan miliknya, ketika bibir itu singgah menghadiahkan sebuah kecupan manis dikeningnya yang ditutupi rambut.

Shinya tak bisa melawan, bukan tak bisa tapi memang tak ingin. Ada getar rindu yang kini mengocok perasaannya, perasaan rapuh dan tak berdaya. Saat Shinya bisa rasakan betapa hangat desah nafas yang terpantul jelas dipermukaan kulitnya, bibir milik Die yang tak pernah ia lihat sedekat ini. Saat wajah mereka bergesek, saat ujung bibir Die mulai menepi mengecup ujung bibir Shinya. Shinya bergetar.

Tak bisa mengeluarkan kata, hanya bisa menggigit bibir manisnya saat Shinya rasa kini ia gugup tak berkesudahan. Dan ketika bibir itu singgah, Shinya terhanyut. Melepaskan level tinggi yang ia sering kenakan, melepas topeng manusia dingin tanpa perasaannya. Berganti menjadi seorang Shinya yang haus cinta, dan kasih seorang Daisuke.

Bertaut keras, ganas.
Menekankan pada Die bahwa ia menginginkan ini sejak lama. Pada Die..
Mencengkram erat kedua sisi jaket Die, seolah berkata jangan hentikan ini!

Dan bukankah, Die pun tak sanggup untuk menghentikan rasa ini ?
Tak bisa dipungkiri, Die rindu Shinya...
Rindu mengerjainya, rindu membuatnya mengerang sebal, atau lebih Die inginkan saat ini adalah terus begini, terus seperti ini. Walau nafas mereka habis, Die tak peduli...


" ... Shin...chan..."





The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar