expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

12 Mei 2013

EXODUS (Part 14)


Title : EXODUS
Author : Duele
Finishing : Mei 2013
Genre : Fantasy
Rating : PG15
Chapter(s) : 14/on going
Fandom(s) : Dir en Grey
Pairing(s) : DiexShinya
Note Author : Thanks for keep reading this story J

  

*****
 

Setelah insiden penyerangan ogre semalam, kelompok Jenderal Die dan kawan-kawannya segera pergi dari gua kemarin dan menemukan gue lain yang letaknya cukup jauh dari sana. Shinya yang sejak semalam tak sadarkan, hingga matahari meninggi pun tak memperlihatkan gejala akan segera siuman.

 Mereka yang sama sekali tidak mengerti ilmu pengobatan tak bisa berbuat banyak. Namun, Kaoru yang mengetahui ilmu pengobatan dasar mengatakan bahwa kondisi Shinya masihlah baik. Hanya ada luka memar pada beberapa titik pada tubuhnya.

Tetapi, meskipun Kaoru mungkin mengatakan kebenaran atau mungkin kebohongan untuk membuat mereka semua tenang, hanya Jenderal Die saja yang kelihatannya masih murung. Sejak semalam matanya tidak lepas memperhatikan tubuh Shinya yang tak bergerak di sebelah Kyo—ia dengan bulu dan ekornya mencoba menghangatkan tubuh Shinya yang kuyup tadi semalam.

“Mungkin kita harus tetap bertahan di sini sampai Shinya siuman.” Ujar Kaoru mendekati Die yang masih menatap ke arah Shinya. “Apa itu baik, Jenderal Die?” lanjutnya.

Die menoleh kepadanya dan hanya mengangguk kecil, kemudian ia menatap bara api unggun semalam yang telah padam menyisakan abu. Die benar-benar merasa kalut saat itu.

Siang hari, saat matahari telah tepat berada di atas kepala, gua mulai sepi. Hakuei dan Kaoru bergerak mencari makanan, sementara Hyde pergi entah kemana. Tinggalah Die dan Kyo, serta tubuh Shinya yang masih tidak bergerak. Suasana ini terasa begitu canggung, hingga kemudian Die memutuskan untuk pergi dari sana. Tetapi sebelum Die bangkit, Kyo yang tadinya tak bergerak kelihatan meregangkan kepalanya.

“Kuperingatkan kepadamu, jangan dekati Shinya.” Katanya.

Die, pria yang menjadi tertuduh saat itu seharusnya mampu marah seperti biasanya. Tetapi kali ini dia mengalah. Ia hanya mampu menatap kosong ke arah Kyo dan kemudian meninggalkannya.

 

 

****

 

 

“Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa sedih Pangeran…” ujar Hakuei.

 

Kaoru yang sedang meminum air sungai tiba-tiba berhenti. Ia hanya menghela kecil sambil kemudian mengeluarkan beberapa kantong air minum untuk ia isi. Sambil tersenyum dia berkata,

 

“Aku juga.”

“Benarkah?”

“Mungkin kita memiliki perasaan yang sama.”

“Hahaha, ini terdengar menggelikan.” Hakuei bercanda, namun tawanya lekas kandas. “Tapi kau benar…”

 

Ia naik ke bebatuan dan duduk di sana, ia menatap ke langit, di sana terlihat awan-awan putih walaupun sedikit.

 

“Tapi tidak segelap wajah Jenderal Die…” lanjutnya dengan suara pelan.

 

Kaoru tertawa kecil hingga Hakuei menoleh.

 

“Mungkin dia merasa bersalah.”

“Tapi aku juga merasa bersalah, Pangeran.”

“Begitu?”

“Hum…” Hakuei kembali memandang langit, “rasanya agak aneh, karena aku merasa bersalah dan merasa gagal untuk melindungi orang lain.”

 

Saat itu Kaoru hanya bisa tersenyum, karena ia pun merasakan hal yang sama. Sejenak kemudian, ia membayangkan sosok Tashiya menyelinap kembali diingatannya, tetapi lekas ia hilangkan seiring menyusulnya rasa sakit hati yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.

 

“Tapi pasti, Jenderal-lah yang paling merasa bersalah,”

“Iya, karena dia seorang pemimpin. Ia pasti merasa gagal.”

“Kalau bukan hanya itu?”

“Maksudmu?”

 

Hakuei turun dari batu kemudian mendekati Kaoru yang melihatnya dengan wajah datar.

 

“Apa kau tidak berpikir kalau Jenderal Die sedikit berubah akhir-akhir ini?”

 

Kaoru diam sebentar kemudian dia tersenyum, lama-lama senyumnya menjadi sebuah tawa lucu yang membuat Hakuei bingung.

 

“Kenapa? Apa aku salah?”

“Tidak. Tidak. Justru aku tertawa karena aku merasa tidak sendirian.”

“Apa maksudmu, Pangeran?”

“Hihihi…” Kaoru berusaha menyudahi tawanya walaupun seringai anehnya masih saja terlihat, “kupikir hanya aku saja yang berpikir begitu. Aku merasa aneh. Aku pikir aku mulai gila. Ternyata kaupun berpikiran sama… hahaha… lega rasanya.”

 

Hakuei mengernyit aneh, tapi sambil menyeringai juga. Ia jarang melihat Kaoru tertawa mengerikan begitu lol

 

“Apa yang kalian tertawakan?”

 

Tiba-tiba saja tawa Kaoru lenyap, dan perhatian mereka tertuju pada seorang pendatang baru yang muncul saat itu.

 

“Uh, oh, eh… Jenderal?” sapa Hakuei. Kemudian ia melihat ke sana dan kemari, kemudian merampas kantong air di bawah kaki Kaoru untuk ia isi. “Aku lupa untuk mengisi yang ini.”

 

Saat Hakuei pergi Die mendekati Kaoru yang mencoba tersenyum kepadanya. Sungguh saat itu Die kelihatan seram lebih dari biasanya. Dan Kaoru kuatir dia sudah mendengar apa yang telah mereka bicarakan tadi.

 

“Kaoru…”

“Ya, Jenderal?”

“Bisakah kau susun strategi?”

 

Kaoru diam, kali ini ada yang terasa aneh. Ia merasakan auranya berbeda. Sekejap, Kaoru merasa kembali ke masa genting masa peperangan.

 

“Strategi?”

“Iya…”

 

 

****

 

 

Agak miris rasanya. Sebenarnya, Kyo tidak pernah berniat jahat untuk membuat siapapun terluka, bahkan Jenderal keparat yang satu itu. Namun, Kyo telah diberikan peringatan keras oleh Ayahnya untuk menjaga dan mengawal Shinya sampai saat itu tiba. Saat dimana mungkin semuanya sudah bisa kembali seperti sedia kala, jauh sebelum kegelapan datang dan menakuti semua kaum.

 

Ketakutan Kyo yang terbesar adalah sebuah kegagalan. Setelah beberapa kali mengalami kegagalan di hidupnya bahkan hingga membuatnya berubah menjadi seperti, Kyo tidak mau lalai dan terus waspada meskipun nantinya ia akan dibenci. Bahkan mungkin oleh Shinya sekalipun.

 

 

****

 

Ketika semua orang berkumpul dan makan makanan yang mereka dapatkan dari hutan, saat itu tak ada seorangpun yang bisa menelan makanan mereka dengan menyenangkan. Rasa dari makanan yang mereka makan seolah hampa dan tidak ada rasa. Bahkan Hakuei memutuskan untuk berhenti.

 

Sengaja atau tidak, mereka semua masih cemas dan bingung memikirkan Shinya yang hingga saat itu masih belum bangun. Ada kegundahan besar yang membuat mereka seolah berhenti bernafas dan menghirup debu, semuanya terasa aneh saat itu.

 

Sampai kemudian, akhirnya Shinya bangun pada malamnya. Tepat pada tengah malam. Semua orang benar-benar lega dan senang saat mengetahui Shinya bisa bangkit kembali. Tak terkecuali Jenderal Die, yang untung saja mampu menahan perasaan euphorianya saat itu. Sehingga ia hanya bisa tersenyum tipis dan pergi tidur. Walaupun ia tak pernah tidur dan berusaha diam seribu bahasa.

 

Maka, perjalananpun akan segera dimulai kembali.

 

 

****

 

“Eng…?”

 

Ia terbangun. Saat itu semuanya terlihat serba gelap gulita. Tetapi setelah menyesuaikan pandangannya ia bisa melihat sesuatu dan bangkit dari pembaringannya. Ini aneh, begitu pikirnya. Karena kini dia terbangun di atas sebuah ranjang yang hangat lagi empuk. Apakah dia bermimpi?

 

Seingatnya, ada sesuatu yang menabrak tubuhnya hingga ia membentur tanah dan setelah itu kesadarannya hilang. Ia tidak ingat apa-apa lagi. Tetapi sekarang begitu dia bangun, dia berada di tempat yang nyaman. Apakah Jenderal Die dan yang lain sudah membawanya pergi dari hutan?

 

“Di mana aku?” lirih Shinya bertanya pada dirinya sendiri. “Ini tempat apa?”

 

Shinya turun dari ranjang dan menemukan sebuah jendela tepat di samping ranjang tidurnya, ia membuka tirainya dan melihat keluar sana. Ia sangat terkejut, karena yang ia lihat di bawah sana tak ada apapun. Semuanya gelap.

 

Saat Shinya menoleh, di belakangnya muncul seorang penyihir hitam. Shinya mengingatnya, karena dia pernah menyerangnya dengan monster kalajengkingnya yang beracun.

 

“Senang kau sudah sadar.” Kata Uruha.

“Kau…?” Shinya mundur selangkah.

“Kau tenang saja, aku tidak berniat untuk menyerangmu.”

“Apa yang kau mau?”

 

Uruha memandangnya dengan wajah yang serius. Kemudian dan bergerak ke arah ranjang dan duduk di sana.

 

“Aku mau mengajakmu bekerjasama.”

“Bekerjasama?” ulangnya, sambil mengerutkan kening.

“Iya..”

 

Shinya membisu.

 

“Kau tak perlu takut, aku jamin kau tidak akan menyesalinya.” Katanya.

“Kau pesuruh Ursula, bagaimana aku bisa percaya padamu?”

“Kau bisa pegang kata-kataku,”

“Aku tidak percaya.”

 

Uruha tersenyum tipis.

 

Kalau begitu apa boleh buat.”

 

Tidak lama kemudian, dari belakang Uruha muncul seorang anak kecil berpakaian serba putih. Ia memegang sebuah cermin berbentuk elips yang ia hadapkan kepada Shinya. Shinya melihat cermin tersebut dengan baik-baik.

 

“Kau amati ini…”

 

Mulanya hanya wajah Shinya yang memantul, namun tidak lama kemudian wajahnya berubah. Ia melihat seseorang yang mirip sekali dengannya tersenyum di cermin bayangan Shinya.

 

“Apa yang kau perbuat?!”

 

Uruha membuka sebuah tirai di belakangnya dan sebuah cermin besar terpampang di sana. Dari sana mereka bisa melihat rombongan Jenderal Die yang sedang melakukan perjalanan. Shinya terlonjak begitu melihat seseorang seperti dirinya berjalan beriringan di sebelah Kyo.

 

“Kyo-nii!!!” Shinya berlari ke depan cermin dan berteriak memanggil-manggil mereka. Tetapi sepertinya sia-sia.

 

Cermin itu kembali seperti biasa—memantulkan bayangan Shinya. Shinya seperti lemas. Ia menoleh ke arah Uruha, tetapi kemudian ia terlonjak kembali saat sebuah tangan memegangi tangannya. Shinya spontan menoleh ke arah cermin dan melihat bayangannya sendiri berusaha keluar dari sana.

 

“Aaaakhh!!!”

 

Shinya berusaha melepaskan diri dan mundur secepatnya saat bayangannya berhasil keluar dari cermin. Bayangan Shinya yang kini menjadi nyata berdiri di belakang Uruha dan gadis kecil tadi.

 

“Kau sudah tahu siapa yang berada di kelompokmu? Mereka bahkan srigala itu pun tak akan mengetahui siapa dia sebenarnya. Kalian satu bayangan, maka segala yang ada dirimu pun bayangan itu punya. Bahkan baunya.”

“Kau…!”

“Aku menawarkan pertukaran kepadamu, jika kau mau membantuku maka kupastikan mereka semua selamat.”

 

Shinya terjebak.

 

 

****

 

 

Hakuei melirik lagi ke arah Shinya. Kaoru yang tak sengaja memergokinya, ikut menoleh ke arah Shinya. Kyo yang berjalan di sebelahnya bahkan tidak menyadari gelagat aneh dari mereka. Die yang berjalan tak jauh di depan mereka memandang tanah, pikirannya teralihkan oleh sesuatu yang sebenarnya ingin ia pastikan. Akhirnya, Die melirik ke belakang ke arah Shinya. Tetapi itu hanya sebentar, hal yang sama dilakukan oleh yang lain; Kaoru, Hakuei bahkan Hyde. Ini terjadi sejak mereka memulai perjalanan mereka.

 

Setelah Shinya siuman, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan keluar dari hutan dan mencari desa terdekat untuk menemukan peradaban. Kini sudah hampir satu setengah hari mereka lewati dengan berjalan kaki. Hingga kemudian mereka menemukan sebuah desa kecil yang tak berpenghuni. Desa itu terbengkalai dan kelihatan sudah lama ditinggalkan. Sepertinya desa inipun adalah korban dari kebuasan para siluman dan vampire karena mereka banyak menemukan onggokan kerangka manusia yang tak lagi utuh.

 

Sejak peperangan antara penyihir dan bangsa manusia pecah, dunia semakin tidak terkontrol. Dulu bangsa penyihir dan bangsa manusia saling berdampingan, tetapi perasaan iri dari beberapa pemuka penyihir membuat perpecahan dan menggolongkan diri mereka menjadi penyihir hitam yang tidak pernah mau bekerjasama dan ingin menguasai dunia untuk mereka sendiri.

 

Kisah perpecahan penyihir menjadi dua golongan sudah diketahui sejak beberapa decade. Isi sejarah peperangan menjadi berubah menjadi banyak versi, banyak orang di masa lalu yang membuat bersi masing-masing melalui hasil penemuannya dan kejadian yang semakin tidak masuk di akal. Semuanya dikarenakan penyihir hitam yang telah bersekutu dengan iblis.

 

Konon, penyihir pembangkang itu menemukan mantra dan cara bagaimana mengeluarkan dan bekerjasama dengan kaum bawah tanah yang telah lama binasa. Mereka sengaja membangkitkan dan mengadakan pertukaran yang kemudian harus dibayar dengan nyawa. Namun, dengan dukungan dari dunia bawah tanah penyihir hitam yang tadinya hanya seorang berangsur menjadi banyak bahkan ribuan. Mereka yang tadinya berpihak pada kemanusiaan dan kebajikan berubah haluan menjadi penyihir yang egois dan ingin menang sendiri. Pertentangan terjadi di sana-sini, hingga mereka yang bersekutu dengan iblis memiliki tanda lahir dalam darah iblis hitam yang kemudian menjadikan penyihir menjadi bagian dari iblis.

 

“… itu sebabnya mereka sangat kuat.”  Hyde menyudahi.

 

Mereka semua menghela nafas hampir bersamaan. Walaupun berasa dari keluarga kerajaan dan terdidik, Jenderal Die, Kaoru bahkan Hakuei yang hobi belajar itu tak pernah tahu sebenarnya mengenai sejarah mengenai perpecahan dunia mereka. Seperti yang diceritakan sebelumnya, bahwa isi dari sejarah telah mengalami perubahan sejak beberapa decade. Terlebih lagi dengan munculnya penyihir-penyihir yang sangat jahat seperti Ursula ataupun Dorothy yang masih sulit mereka temukan.

 

“Apa kita bisa menang melawan mereka?” tiba-tiba Hakuei menjadi ragu.

“Bodoh! Kenapa jadi bicara begitu? Kalau kau ragu, kau akan jadi lemah.” Sambar Die gemas.

“Ah, maaf, maaf, Jenderal…”

“Benar, lagipula kita sekarang sudah menemukan penyihir putih. Benar, kan?” Kaoru menoleh pada Shinya yang hanya tersenyum. Kyo menatap mereka semua.

“Kalian jangan terlalu bergantung pada Shinya, saat kami sudah selesai mengawal kalian pada tujuan kalian, yang berperang bukanlah kami, tapi kalian sendiri.”

“Egois sekali kau!” ujar Die. “Terus kau akan membiarkan peperangan pecah di depan matamu begitu saja tanpa mencoba membantu untuk mengembalikan dunia kita?”

 

Kyo tak menjawab.

 

Tiba-tiba suasana menjadi tegang. Die kembali duduk di tempatnya setelah hampir bangkit karena merasa emosi dengan kesinisan Kyo. Tidak tahu kenapa, Kyo seperti menjadi penghalang baginya. Srigala ini tak pantas menjadi pengikutnya.

 

“Ck!”

 

 

****

 

 

Shinya selesai mengikat tali dari jubah merahnya ketika Uruha muncul entah darimana. Penyihir berpakaian hitam dengan celana kulit ketat tersebut mendekati Shinya yang berdiri tepat di depannya. Mereka berhadap-hadapan satu sama lain. Shinya sudah menyanggupi permintaan Uruha untuk mencoba membantunya menyelesaikan sesuatu, walaupun Shinya tidak yakin dengan keputusannya yang ia ambil karena terjepit.

 

“Kau sudah siap?”

 

Shinya mengangguk kecil. Uruha membentangkan tangannya dan munculah lubang hitam di dinding. Uruha memintanya untuk berjalan lebih dulu darinya. Ia menggiringnya masuk ke dalam lubang tersebut. Shinya melangkah ragu, tetapi ada suatu kekuatan yang menyedotnya hingga masuk ke dalam. Saat Shinya terhisap, Uruha ikut masuk dan sekejap lubang hitam itu menghilang perlahan.

 

Shinya tak tahu apa yang terjadi saat ia tersedot ke dalam lubang tersebut. Namun tiba-tiba saja tubuhnya serasa dipentalkan secara halus dan sebuah sinar yang menyakitkan matanya muncul terbuka dengan sendirinya. Shinya keluar dari sana dan sampailah ia pada sebuah tempat.

 

Shinya terkejut ketika dia melihat sekelilingnya. Tempat itu seperti gua bebatuan. Gua itu sangat besar. Langit-langit guanya begitu tinggi hingga suara sekecil apapun terdengar menggema menjadi besar. Uruha menggiringnya untuk mengikutinya masuk ke dalam gua lebih dalam lagi. Gua itu seperti tempat persembunyian yang sudah dirancang seperti bawah tanah yang bisa dilewati oleh orang lain. Sepertinya, Uruha memang sengaja membuat tempat ini untuk menyembunyikan sesuatu dari orang lain.

 

Shinya terus mengikutinya hingga masuk ke dalam perut gua. Semakin lama hawa di sana semakin dingin hingga Shinya hampir menggigil. Di bawah kakinya bahkan terlihat asap memutih yang samar dengan hawa menusuk. Shinya memeluk dirinya sendiri yang mulai kedinginan.

 

“Tempat apa ini?”

“Nanti kau akan tahu.”

 

Tidak berapa lama mereka muncul ke sebuah ruangan dalam gua. Ruangan itu dipenuhi oleh kain-kain terang yang berdiri dengan sendirinya menggunakan sihir. Shinya mengikuti Uruha yang menyibat helai demi helai kain berwarna pucat di depannya. Dan kemudian saat mereka sampai, Shinya tercenung.

 

Di depan matanya, berkumpul tiga orang bocah kecil berpakaian serba putih dengan wajah pucat dan kelihatan beku dengan buliran es seperti pasir yang menempel di wajah mereka. Dari mulut mereka meniupkan hawa dingin yang membuat sebuah bongkah es besar di depan mereka tetap beku. Namun yang paling mengejutkan dari itu semua adalah bongkahan es besar di depannya. Di dalam bongkahan es tersebut terdapat seonggok tubuh manusia yang beku. Ia seperti menggunakan pakaian zirah sama seperti Die. Sepertinya, pria yang itu memang sengaja dibekukan.

 

Shinya tidak mengerti mengapa ia dibawa ke tempat ini. Ia hanya mematung dan berusaha menebak-nebak, tetapi pikirannya sama sekali buram. Saat itu Uruha mendekati bongkahan es besar tersebut, dan menoleh balik ke arah Shinya yang melihatnya.

 

“Bantu aku…” pintanya.

 

 

****

 

 

Setelah berpikir ribuan kali akhirnya Die mendatangi Shinya yang sedang merapihkan tempat untuk tidurnya. Ini kesempatan bagus ketika srigala bawel itu tidak di sekitarnya, sehingga Die bisa mendekatinya. Tenang saja, Die tidak akan bertindak macam-macam seperti kemarin. Justru kali ini dia ingin meminta maaf dan merasa menyesal telah memperlakukan Shinya seperti kemarin malam. Tapi caranya ternyata agak sedikit konyol.

 

Die tidak langsung berbicara padanya, sehingga Shinya tidak tahu bahwa ada orang lain sedang berdiri di belakangnya. Beberapa menit dia di sana dan kelihatan gugup atau bingung mau memulai pembicaraan dengan pemuda itu. Die seperti sedang menginjak-injak harga dirinya. Oleh karena itulah sejenak dia merasa ragu untuk meminta maaf kepada Shinya yang kelihatannya sudah tidak marah lagi. Tapi sesungguhnya pikiran Die berkecamuk dengan perasaan menyesal yang hebat jika ia tidak meminta maaf kepadanya walaupun mungkin Shinya sudah lupa.

 

“Kau bisa mendengarkanku sebentar?” ucap Die.

 

Mungkin Shinya tidak mendengar atau sengaja mendiamkannya, sehingga pemuda itu tetap melakukan pekerjaannya. Hingga Die menangkap sebelah lengannya dan membuat perhatian pemuda berparas cantik itu teralih.

 

Die menatapnya sebentar, Shinya membalasnya dengan wajah yang datar. Entah kenapa perut Die tiba-tiba merasa tidak enak dan wajahnya menjadi aneh. Shinya tetap memandanginya, Die kini membuang muka. Ia melepaskan tangannya dari lengan Shinya yang kurus dan mundur selangkah. Shinya yang sudah terusik dengan kehadiran Die berdiri di sana untuk menunggu jawaban atas maksud kemunculan Die di situ.

 

“Mungkin kemarin aku salah, karena itu aku minta maaf.” Ujarnya pelan.

 

Shinya tak menjawab, Die mencoba melihat matanya, tapi nyalinya mendadak ciut. Perutnya semakin tak enak. Tapi Die masih bingung saat Shinya tidak menjawab permintaan maafnya. Ternyata Shinya menjawabnya hanya dengan seulas senyum.

 

“Kau tidak marah?” Die ragu. Shinya menggelengkan kepalanya. “Sungguh?” Shinya mengangguk. Die berwajah lega.

 

****

 

 

“Maaf, aku tidak bisa melakukan ini…” Shinya mundur.

 

Uruha menahannya. “Kau bisa melakukannya.”

 

Shinya bergeleng, “Kau tak bisa melakukan ini,”

 

“Aku bisa. Aku akan memaksamu.”

“Orang yang berada di dalam bongkah es itu sudah mati. Aku tidak bisa menghidupkan orang mati.”

“Kau bisa.”

 

Shinya berwajah memelas, “Tolong percayalah padaku. Aku tidak bisa menghidupkan kembali orang yang sudah mati! Aku bukan dewa.”

 

“Kau bukan dewa, tapi kau adalah penyihir putih.”

 

Shinya tidak mengerti.

 

“Aku tahu penyihir putih memiliki sesuatu yang mampu membangkitkan orang mati dengan sihirnya.”

“Tidak ada yang seperti itu!”

“Itu nyata dan kau harus melakukannya untukku!” Uruha menggertak.

 

Shinya tertegun. Uruha memandangnya dengan sengit.

 

“Jika kau tidak mau membantuku, aku terpaksa harus melenyapkan kalian semua.”

 

Shinya tidak punya pilihan. Tetapi ia sama sekali tidak tahu harus melakukan apa. Sehebat apapun sihir yang ia miliki, ia tidak pernah bisa menghidupkan orang yang sudah mati. Namun, jika Shinya tidak mengikuti apa keinginan dari pria ini, dia bisa menyerang teman-temannya kapan saja.

 

“Baik, akan aku coba…”

 

 

 

 

Continue…

 

1 komentar:

  1. Aaaaarrrggggghhh penasaran sama peran Shinya.. Apa hubungan ramalannya, sama daisuke, sama hilangnya kekuatan Shinya (part24)
    Selalu tidak bosan tuk minta lanjutannya part 25..
    Makasih

    BalasHapus