Title : EXODUS
Author : Duele
Finishing : Mei 2013
Genre : Fantasy
Rating : PG15
Chapter(s) : 14/on going
Fandom(s) : Dir en Grey
Pairing(s) : DiexShinya
Note Author : Thanks for keep reading this story J
*****
Setelah insiden
penyerangan ogre semalam, kelompok Jenderal Die dan kawan-kawannya segera pergi
dari gua kemarin dan menemukan gue lain yang letaknya cukup jauh dari sana.
Shinya yang sejak semalam tak sadarkan, hingga matahari meninggi pun tak
memperlihatkan gejala akan segera siuman.
Tetapi, meskipun
Kaoru mungkin mengatakan kebenaran atau mungkin kebohongan untuk membuat mereka
semua tenang, hanya Jenderal Die saja yang kelihatannya masih murung. Sejak
semalam matanya tidak lepas memperhatikan tubuh Shinya yang tak bergerak di
sebelah Kyo—ia dengan bulu dan ekornya mencoba menghangatkan tubuh Shinya yang
kuyup tadi semalam.
“Mungkin kita
harus tetap bertahan di sini sampai Shinya siuman.” Ujar Kaoru mendekati Die
yang masih menatap ke arah Shinya. “Apa itu baik, Jenderal Die?” lanjutnya.
Die menoleh
kepadanya dan hanya mengangguk kecil, kemudian ia menatap bara api unggun
semalam yang telah padam menyisakan abu. Die benar-benar merasa kalut saat itu.
Siang hari, saat matahari telah tepat berada di atas kepala, gua mulai sepi. Hakuei dan Kaoru bergerak mencari makanan, sementara Hyde pergi entah kemana. Tinggalah Die dan Kyo, serta tubuh Shinya yang masih tidak bergerak. Suasana ini terasa begitu canggung, hingga kemudian Die memutuskan untuk pergi dari sana. Tetapi sebelum Die bangkit, Kyo yang tadinya tak bergerak kelihatan meregangkan kepalanya.
“Kuperingatkan
kepadamu, jangan dekati Shinya.” Katanya.
Die, pria yang
menjadi tertuduh saat itu seharusnya mampu marah seperti biasanya. Tetapi kali
ini dia mengalah. Ia hanya mampu menatap kosong ke arah Kyo dan kemudian
meninggalkannya.
****
“Aku tidak tahu
kenapa, tapi aku merasa sedih Pangeran…” ujar Hakuei.
Kaoru yang
sedang meminum air sungai tiba-tiba berhenti. Ia hanya menghela kecil sambil
kemudian mengeluarkan beberapa kantong air minum untuk ia isi. Sambil tersenyum
dia berkata,
“Aku juga.”
“Benarkah?”
“Mungkin kita
memiliki perasaan yang sama.”
“Hahaha, ini
terdengar menggelikan.” Hakuei bercanda, namun tawanya lekas kandas. “Tapi kau
benar…”
Ia naik ke
bebatuan dan duduk di sana, ia menatap ke langit, di sana terlihat awan-awan
putih walaupun sedikit.
“Tapi tidak
segelap wajah Jenderal Die…” lanjutnya dengan suara pelan.
Kaoru tertawa
kecil hingga Hakuei menoleh.
“Mungkin dia
merasa bersalah.”
“Tapi aku juga
merasa bersalah, Pangeran.”
“Begitu?”
“Hum…” Hakuei
kembali memandang langit, “rasanya agak aneh, karena aku merasa bersalah dan
merasa gagal untuk melindungi orang lain.”
Saat itu Kaoru
hanya bisa tersenyum, karena ia pun
merasakan hal yang sama. Sejenak kemudian, ia membayangkan sosok Tashiya
menyelinap kembali diingatannya, tetapi lekas ia hilangkan seiring menyusulnya
rasa sakit hati yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.
“Tapi pasti,
Jenderal-lah yang paling merasa bersalah,”
“Iya, karena dia
seorang pemimpin. Ia pasti merasa gagal.”
“Kalau bukan
hanya itu?”
“Maksudmu?”
Hakuei turun
dari batu kemudian mendekati Kaoru yang melihatnya dengan wajah datar.
“Apa kau
tidak berpikir kalau Jenderal Die sedikit berubah akhir-akhir ini?”
Kaoru diam
sebentar kemudian dia tersenyum, lama-lama senyumnya menjadi sebuah tawa lucu
yang membuat Hakuei bingung.
“Kenapa? Apa aku
salah?”
“Tidak. Tidak.
Justru aku tertawa karena aku merasa tidak sendirian.”
“Apa maksudmu,
Pangeran?”
“Hihihi…” Kaoru
berusaha menyudahi tawanya walaupun seringai anehnya masih saja terlihat,
“kupikir hanya aku saja yang berpikir begitu. Aku merasa aneh. Aku pikir aku
mulai gila. Ternyata kaupun berpikiran sama… hahaha… lega rasanya.”
Hakuei mengernyit
aneh, tapi sambil menyeringai juga. Ia jarang melihat Kaoru tertawa mengerikan
begitu lol
“Apa yang kalian
tertawakan?”
Tiba-tiba saja
tawa Kaoru lenyap, dan perhatian mereka tertuju pada seorang pendatang baru
yang muncul saat itu.
“Uh, oh, eh…
Jenderal?” sapa Hakuei. Kemudian ia melihat ke sana dan kemari, kemudian
merampas kantong air di bawah kaki Kaoru untuk ia isi. “Aku lupa untuk mengisi
yang ini.”
Saat Hakuei
pergi Die mendekati Kaoru yang mencoba tersenyum kepadanya. Sungguh saat itu
Die kelihatan seram lebih dari biasanya. Dan Kaoru kuatir dia sudah mendengar
apa yang telah mereka bicarakan tadi.
“Kaoru…”
“Ya, Jenderal?”
“Bisakah kau
susun strategi?”
Kaoru diam, kali
ini ada yang terasa aneh. Ia merasakan auranya berbeda. Sekejap, Kaoru merasa
kembali ke masa genting masa peperangan.
“Strategi?”
“Iya…”
****
Agak miris
rasanya. Sebenarnya, Kyo tidak pernah berniat jahat untuk membuat siapapun
terluka, bahkan Jenderal keparat yang satu itu. Namun, Kyo telah diberikan
peringatan keras oleh Ayahnya untuk menjaga dan mengawal Shinya sampai saat itu
tiba. Saat dimana mungkin semuanya sudah bisa kembali seperti sedia kala, jauh
sebelum kegelapan datang dan menakuti semua kaum.
Ketakutan Kyo
yang terbesar adalah sebuah kegagalan. Setelah beberapa kali mengalami
kegagalan di hidupnya bahkan hingga membuatnya berubah menjadi seperti, Kyo
tidak mau lalai dan terus waspada meskipun nantinya ia akan dibenci. Bahkan
mungkin oleh Shinya sekalipun.
****
Ketika semua
orang berkumpul dan makan makanan yang mereka dapatkan dari hutan, saat itu tak
ada seorangpun yang bisa menelan makanan mereka dengan menyenangkan. Rasa dari
makanan yang mereka makan seolah hampa dan
tidak ada rasa. Bahkan Hakuei memutuskan untuk berhenti.
Sengaja atau
tidak, mereka semua masih cemas dan bingung memikirkan Shinya yang hingga saat
itu masih belum bangun. Ada kegundahan besar yang membuat mereka seolah
berhenti bernafas dan menghirup debu, semuanya terasa aneh saat itu.
Sampai kemudian,
akhirnya Shinya bangun pada malamnya. Tepat pada tengah malam. Semua orang
benar-benar lega dan senang saat mengetahui Shinya bisa bangkit kembali. Tak
terkecuali Jenderal Die, yang untung saja mampu menahan perasaan euphorianya
saat itu. Sehingga ia hanya bisa tersenyum tipis dan pergi tidur. Walaupun ia
tak pernah tidur dan berusaha diam seribu bahasa.
Maka,
perjalananpun akan segera dimulai kembali.
****
“Eng…?”
Ia terbangun.
Saat itu semuanya terlihat serba gelap gulita. Tetapi setelah menyesuaikan
pandangannya ia bisa melihat sesuatu dan bangkit dari pembaringannya. Ini aneh,
begitu pikirnya. Karena kini dia terbangun di atas sebuah ranjang yang hangat
lagi empuk. Apakah dia bermimpi?
Seingatnya, ada
sesuatu yang menabrak tubuhnya hingga ia membentur tanah dan setelah itu kesadarannya
hilang. Ia tidak ingat apa-apa lagi. Tetapi sekarang begitu dia bangun, dia
berada di tempat yang nyaman. Apakah Jenderal Die dan yang lain sudah
membawanya pergi dari hutan?
“Di mana aku?”
lirih Shinya bertanya pada dirinya sendiri. “Ini tempat apa?”
Shinya turun
dari ranjang dan menemukan sebuah jendela tepat di samping ranjang tidurnya, ia
membuka tirainya dan melihat keluar sana. Ia sangat terkejut, karena yang ia
lihat di bawah sana tak ada apapun. Semuanya gelap.
Saat Shinya
menoleh, di belakangnya muncul seorang penyihir hitam. Shinya mengingatnya,
karena dia pernah menyerangnya dengan monster kalajengkingnya yang beracun.
“Senang kau
sudah sadar.” Kata Uruha.
“Kau…?” Shinya
mundur selangkah.
“Kau tenang
saja, aku tidak berniat untuk menyerangmu.”
“Apa yang kau
mau?”
Uruha
memandangnya dengan wajah yang serius. Kemudian dan bergerak ke arah ranjang
dan duduk di sana.
“Aku mau
mengajakmu bekerjasama.”
“Bekerjasama?”
ulangnya, sambil mengerutkan kening.
“Iya..”
Shinya membisu.
“Kau tak perlu
takut, aku jamin kau tidak akan menyesalinya.” Katanya.
“Kau pesuruh
Ursula, bagaimana aku bisa percaya padamu?”
“Kau bisa pegang
kata-kataku,”
“Aku tidak
percaya.”
Uruha tersenyum
tipis.
“Kalau begitu apa boleh buat.”
Tidak lama
kemudian, dari belakang Uruha muncul seorang anak kecil berpakaian serba putih.
Ia memegang sebuah cermin berbentuk elips yang ia hadapkan kepada Shinya.
Shinya melihat cermin tersebut dengan baik-baik.
“Kau amati ini…”
Mulanya hanya
wajah Shinya yang memantul, namun tidak lama kemudian wajahnya berubah. Ia
melihat seseorang yang mirip sekali dengannya tersenyum di cermin bayangan
Shinya.
“Apa yang kau
perbuat?!”
Uruha membuka
sebuah tirai di belakangnya dan sebuah cermin besar terpampang di sana. Dari
sana mereka bisa melihat rombongan Jenderal Die yang sedang melakukan
perjalanan. Shinya terlonjak begitu melihat seseorang seperti dirinya berjalan
beriringan di sebelah Kyo.
“Kyo-nii!!!”
Shinya berlari ke depan cermin dan berteriak memanggil-manggil mereka. Tetapi
sepertinya sia-sia.
Cermin itu
kembali seperti biasa—memantulkan bayangan Shinya. Shinya seperti lemas. Ia
menoleh ke arah Uruha, tetapi kemudian ia terlonjak kembali saat sebuah tangan
memegangi tangannya. Shinya spontan menoleh ke arah cermin dan melihat bayangannya
sendiri berusaha keluar dari sana.
“Aaaakhh!!!”
Shinya berusaha
melepaskan diri dan mundur secepatnya saat bayangannya berhasil keluar dari
cermin. Bayangan Shinya yang kini menjadi nyata berdiri di belakang Uruha dan
gadis kecil tadi.
“Kau sudah tahu
siapa yang berada di kelompokmu? Mereka bahkan srigala itu pun tak akan
mengetahui siapa dia sebenarnya. Kalian satu bayangan, maka segala yang ada
dirimu pun bayangan itu punya. Bahkan baunya.”
“Kau…!”
“Aku menawarkan
pertukaran kepadamu, jika kau mau membantuku maka kupastikan mereka semua
selamat.”
Shinya terjebak.
****
Hakuei melirik
lagi ke arah Shinya. Kaoru yang tak sengaja memergokinya, ikut menoleh ke arah
Shinya. Kyo yang berjalan di sebelahnya bahkan tidak menyadari gelagat aneh dari
mereka. Die yang berjalan tak jauh di depan mereka memandang tanah, pikirannya
teralihkan oleh sesuatu yang sebenarnya ingin ia pastikan. Akhirnya, Die
melirik ke belakang ke arah Shinya. Tetapi itu hanya sebentar, hal yang sama
dilakukan oleh yang lain; Kaoru, Hakuei bahkan Hyde. Ini terjadi sejak mereka
memulai perjalanan mereka.
Setelah Shinya
siuman, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan keluar dari hutan dan
mencari desa terdekat untuk menemukan peradaban. Kini sudah hampir satu
setengah hari mereka lewati dengan berjalan kaki. Hingga kemudian mereka
menemukan sebuah desa kecil yang tak berpenghuni. Desa itu terbengkalai dan
kelihatan sudah lama ditinggalkan. Sepertinya desa inipun adalah korban dari
kebuasan para siluman dan vampire karena mereka banyak menemukan onggokan
kerangka manusia yang tak lagi utuh.
Sejak peperangan
antara penyihir dan bangsa manusia pecah, dunia semakin tidak terkontrol. Dulu
bangsa penyihir dan bangsa manusia saling berdampingan, tetapi perasaan iri
dari beberapa pemuka penyihir membuat perpecahan dan menggolongkan diri mereka
menjadi penyihir hitam yang tidak pernah mau bekerjasama dan ingin menguasai
dunia untuk mereka sendiri.
Kisah perpecahan
penyihir menjadi dua golongan sudah diketahui sejak beberapa decade. Isi
sejarah peperangan menjadi berubah menjadi banyak versi, banyak orang di masa
lalu yang membuat bersi masing-masing melalui hasil penemuannya dan kejadian
yang semakin tidak masuk di akal. Semuanya dikarenakan penyihir hitam yang
telah bersekutu dengan iblis.
Konon, penyihir
pembangkang itu menemukan mantra dan cara bagaimana mengeluarkan dan
bekerjasama dengan kaum bawah tanah yang telah lama binasa. Mereka sengaja
membangkitkan dan mengadakan pertukaran yang kemudian harus dibayar dengan
nyawa. Namun, dengan dukungan dari dunia bawah tanah penyihir hitam yang
tadinya hanya seorang berangsur menjadi banyak bahkan ribuan. Mereka yang
tadinya berpihak pada kemanusiaan dan kebajikan berubah haluan menjadi penyihir
yang egois dan ingin menang sendiri. Pertentangan terjadi di sana-sini, hingga
mereka yang bersekutu dengan iblis memiliki tanda lahir dalam darah iblis hitam
yang kemudian menjadikan penyihir menjadi bagian dari iblis.
“… itu sebabnya
mereka sangat kuat.” Hyde menyudahi.
Mereka semua
menghela nafas hampir bersamaan. Walaupun berasa dari keluarga kerajaan dan
terdidik, Jenderal Die, Kaoru bahkan Hakuei yang hobi belajar itu tak pernah
tahu sebenarnya mengenai sejarah mengenai perpecahan dunia mereka. Seperti yang
diceritakan sebelumnya, bahwa isi dari sejarah telah mengalami perubahan sejak
beberapa decade. Terlebih lagi dengan munculnya penyihir-penyihir yang sangat
jahat seperti Ursula ataupun Dorothy yang masih sulit mereka temukan.
“Apa kita bisa
menang melawan mereka?” tiba-tiba Hakuei menjadi ragu.
“Bodoh! Kenapa
jadi bicara begitu? Kalau kau ragu, kau akan jadi lemah.” Sambar Die gemas.
“Ah, maaf, maaf,
Jenderal…”
“Benar, lagipula
kita sekarang sudah menemukan penyihir putih. Benar, kan?” Kaoru menoleh pada
Shinya yang hanya tersenyum. Kyo menatap mereka semua.
“Kalian jangan
terlalu bergantung pada Shinya, saat kami sudah selesai mengawal kalian pada
tujuan kalian, yang berperang bukanlah kami, tapi kalian sendiri.”
“Egois sekali kau!”
ujar Die. “Terus kau akan membiarkan peperangan pecah di depan matamu begitu
saja tanpa mencoba membantu untuk mengembalikan dunia kita?”
Kyo tak
menjawab.
Tiba-tiba
suasana menjadi tegang. Die kembali duduk di tempatnya setelah hampir bangkit
karena merasa emosi dengan kesinisan Kyo. Tidak tahu kenapa, Kyo seperti
menjadi penghalang baginya. Srigala ini tak pantas menjadi pengikutnya.
“Ck!”
****
Shinya selesai
mengikat tali dari jubah merahnya ketika Uruha muncul entah darimana. Penyihir
berpakaian hitam dengan celana kulit ketat tersebut mendekati Shinya yang
berdiri tepat di depannya. Mereka berhadap-hadapan satu sama lain. Shinya sudah
menyanggupi permintaan Uruha untuk mencoba membantunya menyelesaikan sesuatu,
walaupun Shinya tidak yakin dengan keputusannya yang ia ambil karena terjepit.
“Kau sudah
siap?”
Shinya
mengangguk kecil. Uruha membentangkan tangannya dan munculah lubang hitam di
dinding. Uruha memintanya untuk berjalan lebih dulu darinya. Ia menggiringnya
masuk ke dalam lubang tersebut. Shinya melangkah ragu, tetapi ada suatu
kekuatan yang menyedotnya hingga masuk ke dalam. Saat Shinya terhisap, Uruha
ikut masuk dan sekejap lubang hitam itu menghilang perlahan.
Shinya tak tahu
apa yang terjadi saat ia tersedot ke dalam lubang tersebut. Namun tiba-tiba
saja tubuhnya serasa dipentalkan secara halus dan sebuah sinar yang menyakitkan
matanya muncul terbuka dengan sendirinya. Shinya keluar dari sana dan sampailah
ia pada sebuah tempat.
Shinya terkejut
ketika dia melihat sekelilingnya. Tempat itu seperti gua bebatuan. Gua itu
sangat besar. Langit-langit guanya begitu tinggi hingga suara sekecil apapun
terdengar menggema menjadi besar. Uruha menggiringnya untuk mengikutinya masuk
ke dalam gua lebih dalam lagi. Gua itu seperti tempat persembunyian yang sudah
dirancang seperti bawah tanah yang bisa dilewati oleh orang lain. Sepertinya,
Uruha memang sengaja membuat tempat ini untuk menyembunyikan sesuatu dari orang
lain.
Shinya terus
mengikutinya hingga masuk ke dalam perut gua. Semakin lama hawa di sana semakin
dingin hingga Shinya hampir menggigil. Di bawah kakinya bahkan terlihat asap
memutih yang samar dengan hawa menusuk. Shinya memeluk dirinya sendiri yang
mulai kedinginan.
“Tempat apa
ini?”
“Nanti kau akan
tahu.”
Tidak berapa
lama mereka muncul ke sebuah ruangan dalam gua. Ruangan itu dipenuhi oleh
kain-kain terang yang berdiri dengan sendirinya menggunakan sihir. Shinya
mengikuti Uruha yang menyibat helai demi helai kain berwarna pucat di depannya.
Dan kemudian saat mereka sampai, Shinya tercenung.
Di depan
matanya, berkumpul tiga orang bocah kecil berpakaian serba putih dengan wajah
pucat dan kelihatan beku dengan buliran es seperti pasir yang menempel di wajah
mereka. Dari mulut mereka meniupkan hawa dingin yang membuat sebuah bongkah
es besar di depan mereka tetap beku. Namun
yang paling mengejutkan dari itu semua adalah bongkahan es
besar di depannya. Di dalam bongkahan es tersebut
terdapat seonggok tubuh manusia yang beku. Ia seperti menggunakan pakaian zirah
sama seperti Die. Sepertinya, pria yang itu memang sengaja dibekukan.
Shinya tidak mengerti mengapa ia
dibawa ke tempat ini. Ia hanya mematung dan berusaha menebak-nebak, tetapi
pikirannya sama sekali buram. Saat itu Uruha mendekati bongkahan es besar
tersebut, dan menoleh balik ke arah Shinya yang melihatnya.
“Bantu aku…” pintanya.
****
Setelah berpikir ribuan kali
akhirnya Die mendatangi Shinya yang sedang merapihkan tempat untuk tidurnya.
Ini kesempatan bagus ketika srigala bawel itu tidak di sekitarnya, sehingga Die
bisa mendekatinya. Tenang saja, Die tidak akan bertindak macam-macam seperti
kemarin. Justru kali ini dia ingin meminta maaf dan merasa menyesal telah
memperlakukan Shinya seperti kemarin malam. Tapi caranya ternyata agak sedikit
konyol.
Die tidak langsung berbicara
padanya, sehingga Shinya tidak tahu bahwa ada orang lain sedang berdiri di
belakangnya. Beberapa menit dia di sana dan kelihatan gugup atau bingung mau
memulai pembicaraan dengan pemuda itu. Die seperti sedang menginjak-injak harga
dirinya. Oleh karena itulah sejenak dia merasa ragu untuk meminta maaf kepada
Shinya yang kelihatannya sudah tidak marah lagi. Tapi sesungguhnya pikiran Die
berkecamuk dengan perasaan menyesal yang hebat jika ia tidak meminta maaf
kepadanya walaupun mungkin Shinya sudah lupa.
“Kau bisa mendengarkanku sebentar?”
ucap Die.
Mungkin Shinya tidak mendengar atau
sengaja mendiamkannya, sehingga pemuda itu tetap melakukan pekerjaannya. Hingga
Die menangkap sebelah lengannya dan membuat perhatian pemuda berparas cantik
itu teralih.
Die menatapnya sebentar, Shinya
membalasnya dengan wajah yang datar. Entah kenapa perut Die tiba-tiba merasa
tidak enak dan wajahnya menjadi aneh. Shinya tetap memandanginya, Die kini
membuang muka. Ia melepaskan tangannya dari lengan Shinya yang kurus dan mundur
selangkah. Shinya yang sudah terusik dengan kehadiran Die berdiri di sana untuk
menunggu jawaban atas maksud kemunculan Die di situ.
“Mungkin kemarin aku salah, karena
itu aku minta maaf.” Ujarnya pelan.
Shinya tak menjawab, Die mencoba
melihat matanya, tapi nyalinya mendadak ciut. Perutnya semakin tak enak. Tapi
Die masih bingung saat Shinya tidak menjawab permintaan maafnya. Ternyata
Shinya menjawabnya hanya dengan seulas senyum.
“Kau tidak marah?” Die ragu. Shinya
menggelengkan kepalanya. “Sungguh?” Shinya mengangguk. Die berwajah lega.
****
“Maaf, aku tidak bisa melakukan ini…”
Shinya mundur.
Uruha menahannya. “Kau bisa
melakukannya.”
Shinya bergeleng, “Kau tak bisa
melakukan ini,”
“Aku bisa. Aku akan memaksamu.”
“Orang yang berada di dalam bongkah
es itu sudah mati. Aku tidak bisa menghidupkan orang mati.”
“Kau bisa.”
Shinya berwajah memelas, “Tolong
percayalah padaku. Aku tidak bisa menghidupkan kembali orang yang sudah mati!
Aku bukan dewa.”
“Kau bukan dewa, tapi kau adalah
penyihir putih.”
Shinya tidak mengerti.
“Aku tahu penyihir putih memiliki
sesuatu yang mampu membangkitkan orang mati dengan sihirnya.”
“Tidak ada yang seperti itu!”
“Itu nyata dan kau harus melakukannya
untukku!” Uruha menggertak.
Shinya tertegun. Uruha memandangnya
dengan sengit.
“Jika kau tidak mau membantuku, aku
terpaksa harus melenyapkan kalian semua.”
Shinya tidak punya pilihan. Tetapi
ia sama sekali tidak tahu harus melakukan apa. Sehebat apapun sihir yang ia
miliki, ia tidak pernah bisa menghidupkan orang yang sudah mati. Namun, jika
Shinya tidak mengikuti apa keinginan dari pria ini, dia bisa menyerang
teman-temannya kapan saja.
“Baik, akan aku coba…”
Continue…
Aaaaarrrggggghhh penasaran sama peran Shinya.. Apa hubungan ramalannya, sama daisuke, sama hilangnya kekuatan Shinya (part24)
BalasHapusSelalu tidak bosan tuk minta lanjutannya part 25..
Makasih