expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

20 Mei 2013

Umbrella (Part 2)

Title : Umbrella
Author : Duele
Finishing : Desember 2011
Genre : AU, School, Romance, Drama
Rating : PG15
Chapter(s) : 2/2
Fandom(s) : Dir en grey
Pairing(s) : DiexShinya
Disclaimer : sebuah gambar kartun manis, hehehe...


~*~

 

Pagi itu seperti biasa suasana kelas selalu riuh. Obrolan-obrolan ringan khas remaja dengan jeritan yang menggemaskan selalu terdengar. Die pun tak luput dari riuhnya masa, ia masih bisa berbaur dengan yang lain. Bercerita hal-hal yang masih bisa diperbincangkan. Hingga Shinya muncul, pembicaraan mereka sempat terhenti hingga pemuda itu lewat. Tak sekali pun Shinya bicara, bahkan menoleh pada Die pun tidak. Ia benar-benar berusaha keras untuk tidak menghiraukan Die.

Die melirik padanya yang masih membenahi diri; membuka jaket dan menaruh tas sekolahnya pada gantungan di samping meja. Setelahnya ia duduk, menyendiri. Menunggu bel masuk sambil menatap ke arah lain, selama itu bukan arah dimana Die berdiri Shinya akan serius menatap pemandangan kosong itu walau pun itu hanya sebuah dinding polos sekalipun.

 

 

*****

 

 

Die menikmati makan siangnya seorang diri di atap. Sesekali ia menoleh pada pintu tangga. Lengang. Shinya tak di sana. Sudah lama sekali. Tapi Die selalu menatapnya jikalau saja tiba-tiba ia berdiri di sana dengan sekotak bento buatannya. Maka Die akan melihat banyak sekali plester luka yang melingkar di jari-jarinya. Ah, tapi mungkin sekarang sudah tidak lagi. Shinya tak akan lagi belajar memasak. Mungkin pula dengan adanya hal itu, luka harian Shinya akan sedikit berkurang.

 

“Hhmm...” Die tersenyum membayangkan.

 

Walau pun helaan itu tak pernah hilang.

 

******

 

Ketika guru sudah keluar dari kelas, suasana riuh tidak dapat ditahan lagi. Seolah kata-kata yang selama ini tertahan semasa pengajaran tumpah ruah dari mulut mereka. Die menarik tas-nya yang tidak terlalu berat ketika seorang pemuda salah satu kawan kelasnya muncul.

 

“Hei, Die! Hari ini mau ikut karaoke, tidak?”

“Huh? Karaoke?”

“Ya, semua anak malam ini akan pesta karaoke di karaoke box di belakang distrik.”

“Katanya sedang diskon!” sambung yang lain.

 

Die tertawa kecil. “Aku,”

 

Mata Die melirik ke arah Shinya yang mengambil tasnya dan beranjak dari kursi, pergi begitu saja melewati mereka. Die kembali melirik kedua temannya dengan senyum.

 

 

******

 

Shinya berdiri di dekat gerbang keluar sekolah, menunggu jemputan. Tak biasanya Shinya menunggu karena sebelumnya Gie selalu datang lebih dulu. Tak berapa lama sebuah mobil sedan hitam muncul dan berhenti tepat di depannya.

 

“Shinya-kun, maaf aku terlambat.” Kata Gie sambil menurunkan kaca mobilnya.

“Umm,!” Shinya hanya mengangguk. Tangannya segera meraih knop mobil ketika suara riuh keluar dari gerbang hingga Shinya melirik. Itu teman-teman satu kelasnya, Shinya mematung sejenak. Mereka nampak riang dan tertawa senang bersama. Shinya melihat muda-mudi itu secara santai, tetapi sebenarnya dia tengah mencari-cari.

 

Gie memperhatikannya, “Shinya-kun?”

 

“Ah. Ya. Maaf.” Katanya lalu membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya tanpa banyak bicara lagi. Duduk sambil memasang safe belt-nya, sementara Gie menatap sesuatu di dekat gerbang. Gie kembali mengalihkan pandangannya pada Shinya.

“Oh, iya. Hari ini Pamanmu mau bertemu. Aku akan langsung mengantarmu ke sana, yah.” Tukasnya lalu membawa Shinya pergi.

 

Die mematung di belakang dinding pagar gerbang, melihat kebisuan dari mata Gie saat melihatnya di sini.

 

*****

 

Beberapa hari berlalu, kesepian itu terasa semakin menyiksa. Die sudah tidak bisa lagi tenang melihat bangku Shinya yang kosong setelah ditinggal hampir seminggu lamanya. Tak ada satu pun kawannya yang mengetahui di mana Shinya. Bahkan pihak pengajar pun sepertinya tidak begitu tahu. Mereka pun tak keberatan dengan masalah ini selama mereka tahu siapa orang yang berada di belakang Shinya, lagi-lagi dalih untuk hidup selamat mereka membiarkan salah satu murid mereka menghilang begitu saja. Tetapi ironisnya, Die pun hampir sama seperti mereka. Walau ingin tahu, Die tidak bisa mencari tahu atau pun mendekat. Ia terlalu ragu untuk mendatangi Shinya.

 

Hingga malam berikutnya, Die dikejutkan oleh kedatangan seseorang di tempat kerjanya.

 

“Gie??”

 

Die segera turun dari dalam box mobilnya dan mendatangi pria berumur setengah baya tersebut. Kaoru yang melihatnya membiarkan Die menunda pekerjaannya menurunkan dus, lalu meminta Toshiya dan Kyo membantunya.

 

“Kenapa kau datang kemari?”

“Karena aku tidak bisa datang ke rumahmu dan bertemu dengan Ibumu.” Jawabnya sambil tersenyum.

 

Wajah Die berubah, tetapi ia kembali bicara dengannya. “Ada apa?”

 

“Aku mau bicara.”

“Yah, kau bisa bicara di sini.”

 

Gie tersenyum, “Ceritanya akan sangat panjang sekali.”

 

Die tertegun kemudian melihat ketiga pria yang mengawasinya berpura-pura kembali bekerja. Die sadar, ia dan Gie tidak bisa mengobrol di tempat seperti ini.

 

“Bagaimana kalau ke tempatku?”

 

******

 

Die membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci dengan hati-hati agar suaranya tidak terlalu keras. Tetapi tetap saja ada suara geseran yang cukup keras. Die segera menoleh ke ruangan kecil yang berada di dekat ruang tamu, tubuh Ibu kelihatannya masih tertidur beralaskan selembar futon usang. Die lega.

 

Ia bergerak ke dapur, mengambil gelas bening dan menyalakan kran untuk minum. Dapur yang sempit itu membuat Die tak bisa banyak bergerak, namun ia tak pernah kesulitan karena telah terbiasa. Ia sudah sangat cekatan membersihkan dapur kecil itu walau pun terlihat sangat penuh dan sesak. Sisa-sisa lelehan telur telah menggumpal di sekitar kompor, mungkin Ibu ingin membuat sesuatu untuk dimakan ketika Die tidak ada. Piring-piring kotor pun masih terlihat menumpuk di bak cucian.

 

“Hhh!”

 

Die menghela lagi. Ia mengambil nafas dan kembali menghembuskannya, lalu menggulung jaketnya dan bergeser ke depan bak pencucian piring. Memakai sarung cuci dan menyalakan krannya dengan air yang kecil. Mengerjakan pekerjaan seperti ini bukanlah hal yang sulit, tapi terkadang ia jengah, atau terlalu bosan.

 

Srrr!!!

 

Die melirik kaca segiempat kecil yang berada tepat di depannya. Jendela berukuran 20x35cm itulah yang menjadi ventilasi dapur sekaligus pusat arah pandangnya. Walau pun kecil, hanya kaca jendela inilah yang terlihat indah di mata Die. Karena dari sini dia bisa melihat rembulan, bahkan matahari yang senja karena mengarah ke barat. Dari sini pulalah Die bisa melihat titik-titik air yang menyergap kaca jendelanya ketika hujan saat ini. Yah, hujan deras yang mengguyur tempat tinggalnya saat ini.

 

Die kembali ke ruang tengah sambil membawa satu cup Mie instant di tangannya. Setelah menaruhnya di meja, ia menengok ke kamar sang Ibu dan perlahan menutup pintunya. Lalu kembali ke sana dan mulai menyalakan televisinya dengan volume suara yang kecil. Sinar dari televisi tengah malamnya cukup untuk memberikan Die cahaya ketika ia mulai menyantap makan malamnya yang menguarkan bau yang sangat nikmat. Dengan sebuah acara televisi yang tengah menayangkan berita singkat tentang seputar kota.

 

Hanya selang semenit, mie dalam cup itu habis Die santap. Mata Die masih menghadap ke arah televisi yang kini channelnya berubah-ubah karena remote yang ia pegang. Semua channel isinya hampir sama, membosankan. Sampai akhirnya ia mematikannya dan membisu. Menatap bungkus cup mie yang sudah kosong, bercak merah dari bumbu cabainya melekat di wadah berbahan sterofoam tersebut. Die menghela kecil, tatkala pikirannya melambung mengingat perbincangannya dengan Gie tadi.

 

“Kenapa kau memintaku melakukan itu?” Die mengernyitkan alisnya.

“Karena hanya kau-lah yang pantas.”

 

Die tertawa kecil, aneh. “Itu bukan alasan yang tepat.”

 

“Shinya-kun akan sangat membutuhkanmu.”

 

Die membisu, lalu menatap Gie dengan mata serius. “Untuk apa kau melakukan hal ini? Apa yang akan kalian lakukan pada Shinya?”

 

Gie mengubah posisi duduknya menjadi serong ketika Die menanyakan hal tersebut. Terlihat sekali dia agak kesulitan untuk menjelaskan hal yang sebenarnya pada Die. Sementara Die tetap di sana, menunggu jawaban dari pria tua tersebut.

 

“Shinya-kun tidak akan melanjutkan sekolahnya setelah lulus dari SMA.”

 

Kening Die berkerut. “Kenapa begitu!?”

 

“Hayashi-san memintanya untuk menggantikannya.”

“Jadi kalian mau menyuruh Shinya untuk menjadi seperti kalian?!!!” tanpa sadar suara Die naik. Dadanya memburu kesal. Gie hanya bisa menatapnya dengan mata yang masih tenang. Menyadari sekelilingnya menatap mereka, Die mencoba kembali tenang. “Hss, apa yang kalian pikirkan, sih? Shinya itu berbeda dengan kalian. Jangan memaksanya...”

“Itu sudah diputuskan--”

“Apanya yang sudah diputuskan!!?

 

Untuk kedua kalinya, para pengunjung di toko milik Gie tersebut menoleh ke arah mereka.

 

“Masa depannya bukan kalian yang memutuskan,” bibir Die bergetar. “Itu semua adalah milik Shinya! Kalian tidak berhak memutuskannya begitu!”

 

 

Die tak begitu ingat bagaimana reaksi Gie ketika ia meninggalkannya setelah mengatakan hal itu. Die benar-benar tidak bisa berpikir apa pun saat itu. Ia merasa sedih sekaligus kecewa. Karena hal itulah, keinginannya untuk tidur menghilang. Beralih kepada pemikiran sulit yang tidak bisa ia tolak. Ia memikirkan Shinya. Apa dia tahu rencana dari keluarganya tersebut?

 

 

“Itu tidak ada hubungannya dengan Die-kun.”

 

Sebuah jawaban dingin yang Die terima. Yah, Die tahu ini bukanlah urusannya. Salah jika ia harus menanyakan hal ini kepada Shinya, karena yang ada hanyalah sebuah penolakan palsu yang dia dapat. Seharusnya Die bisa menerimanya, terserah Shinya mau berbuat apa. Seharusnya Die masa bodoh dengan keputusannya. Tetapi sekarang yang Die lihat adalah Shinya. Bukan orang lain. Die selalu ingin memastikan semuanya baik-baik saja untuknya. Terkadang karena inilah Die merasa menjadi seorang yang munafik. Shinya pun begitu, ia pun mulai belajar menjadi seorang pembohong di mata Die.

 

 

*****

 

“Bagaimana dengan sekolahmu?”

 

Die menaruh menyuapkan nasi terakhir ke dalam mulutnya dan menutupnya rapat-rapat di dalam. Matanya menatap Ibu yang melihat sambil tersenyum ke arahnya.

 

“Baik. Sebentar lagi malah akan ujian.” Jawabnya kembali mengunyah makanan dalam mulutnya.

“Kau akan meneruskan ke bangku kuliah?”

 

Die menelan makanannya lalu menarik mangkuk dan pasang sumpitnya tepat di atasnya secara vertikal. “Tidak.”

 

Ibu hanya diam. Tidak ingin bertanya kenapa, karena sepertinya dia sendiri tahu betul apa alasan anaknya tidak akan meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Walaupun sebetulnya dia sendiri sangat menyayangkannya.

 

“Ooh..”

“Aku akan bekerja di tempat Kaoru. Setelah lulus, aku bisa bekerja full time, kan?

 

Ibu membisu, Die menarik mangkuk dan piring-piring bekas makannya lalu menaruhnya ke dapur. Ibu enggan menatap putranya yang semakin lama semakin mirip dengan suaminya.

 

“Aku kerja dulu.” Pamit Die melewati Ibu yang masih duduk diam.

 

 

Die memang tidak bisa banyak bicara dengan Ibu akhir-akhir ini. Dia lebih banyak diam dan berpikir, walaupun ia sendiri tidak tahu jelas apa yang ia pikirkan karena semuanya menumpuk di kepalanya menjadi satu bahan masalah yang tidak pernah selesai ia pecahkan.

 

*****

 

Hari itu Die baru saja ikut membantu seorang teman wanita dari kelasnya membawakan buku-buku catatan yang harus diserahkan kepada wali kelas mereka. Ketika mereka sampai, Die melihat Shinya dan wali kelasnya tengah bicara. Sesuatu yang bisa Die tebak, mereka sedang membicarakan tentang langkah selanjutnya untuk para murid selepas keluar dari sekolah menengah atas. Hal ini sudah bukan menjadi rahasia bagi mereka. Ini seperti tindakan formalitas dari wali kelas terhadap murid-muridnya.

 

“Oh, begitu? Sayang sekali…” wali kelas Die terlihat membenarkan kacamatanya yang melorot. Shinya hanya menunduk saja, seperti biasa.

 

Kedatangan Die dan seorang temannya yang hendak memberikan buku-buku tugas hari ini terpaksa menghentikan obrolan mereka sebentar.

 

“Saya sudah boleh pergi?” kata Shinya. Sepertinya ia sendiri tidak nyaman ditanya-tanyai.

“Iya, silahkan Terachi.”

 

Shinya berlalu, melewati Die dan wali kelasnya yang kini sibuk bicara dengan teman sekelas Die yang melaporkan tentang tugas harian kelas. Langkah Shinya terlalu terburu-buru hingga ia hampir menabrak seorang guru yang baru saja masuk dari luar. Pemuda ceroboh yang pemalu.

 

*****

 

Tidak bisa Die bayangkan bagaimana jadinya jika Shinya benar-benar menggantikan posisi pamannya yang masih mengetuai perkelompokan sejenis Yakuza. Ia tak pernah bisa mengkhayalkan bagaimana Shinya mengambil alih pekerjaan berat semaca itu. Berkecimpung ke dalam kubangan lumpur besar yang tidak ada tepinya. Seperti membenamkan diri ke dalam lumpur yang tidak memiliki dasar. Shinya memulai jalannya mendatangi kubangan tersebut tanpa ia sadari.

 

BRUK!

 

“Aduh!”

 

Die terkejut ketika dus-dus yang ia susun berjatuhan hingga sebagian isinya memburai ke lantai. Suara erangan Kaoru dan mata ingin tahu Toshiya langsung menusuknya.

 

“Die! Apa yang kau lakukan dengan daganganku? Kau melamun!?” Kaoru mengomel, walau Die sudah sangat terbiasa.

“Sorry, Kaoru.” Dibantu oleh Toshiya, Die segera memunguti kaleng-kelang bir yang masih bersih tersebut dan kembali memasukannya ke dalam kardus.

“Cepat ganti dengan kardus yang baru.”

 

Sudah tak heran lagi jika Die banyak melamun akhir-akhir ini. Pemuda tinggi itu juga terkadang sering kena getahnya kalau Kaoru sedang kesal. Tetapi tak sekali pun ia berniat untuk mengeluarkan pemuda tersebut. Baginya, Die itu adalah seorang anak titipan. Yah, Die titipan dari seseorang. Ayah Daisuke.

 

“Nih!”

 

Die terdiam ketika pria berjanggut itu menawarkan sekaleng bir padanya. “Aku masih belum cukup umur.” Singgung Die.

 

“Bocah nakal! Kau pikir aku tidak pernah menghitung jumlah kerat bir-ku yang hilang di kulkas belakang!?”

“Itu Kyo yang ambil.”

“Lalu kau memintanya.”

“Sedikit lol” jawabnya sambil tertawa kecil lalu mengambil kaleng bir dingin tersebut.

 

Kaoru duduk tak jauh darinya, menikmati bir dingin dengan hisapan hangat dari batang bakaunya.

 

“Kapan ujianmu selesai?”

“Kau tahu aku akan ujian?”

“Si bodoh juga akan ujian.”

“Kyo maksudmu?”

“Yep.”

 

Die tersenyum jahil. Ia menenggak birnya sambil menatap dus-dus bir yang masih tertata di gudang belakang.

 

“Bulan depan ujian.”

Good luck.”

“Terima kasih.”

“Setelah itu, apa yang akan kau lakukan? Melanjutkan kuliah?”

 

Senyum cerah di wajah Die mendadak kandas, berganti dengan senyum sekadarnya yang terlihat dipaksakan. “Aku akan tetap bekerja. Ada banyak hal yang harus aku kerjakan selain duduk di bangku kuliah.”

 

“Seperti?”

“Mendapatkan uang.”

 

Kaoru tertawa lucu. “Tidak aneh. Semua orang juga selalu berpikir begitu.” Ujarnya. “Ayahmu juga…”

 

Die merunduk.

 

“Lalu dia bekerja pada Hayashi setelah meninggalkan bisnisnya denganku.” Kaoru menenggak birnya sampai kosong. “Bodoh, kan?!” lalu melempar kaleng kosongnya hingga menimbulkan suara bising.

 

Die tetap membisu, cibiran dari Kaoru memang terdengar menjengkelkan. Tetapi ia selalu bisa menerimanya, karena Die tahu, cibiran dan ejekan darinya hanyalah rentetan dari kekesalannya saja sebagai seorang saudara yang ditinggalkan. Tapi Kaoru tetap menganggapnya sebagai saudara, saudara tua yang dia hormati. Begitu pun dengan Die. Sebodoh apa pun tindakan Ayah yang membuat mereka sampai seperti ini, dia tetap Ayahnya.

 

Die kembali ke rumah setelah menghabiskan 3 kaleng bir, kepalanya mulai agak berat walau bir tersebut hanya mengandung alkohol sepersekian persen. Ia meninggalkan toko ketika Kaoru sudah mabuk, kaleng-kaleng bir di toko besok akan menyulut amarahnya jikalau ia tahu berapa banyak kaleng yang mereka habiskan malam itu. Dan sebelum Kaoru tahu akan hal itu, Die sudah lebih dulu melenyapkan sampah-sampah tersebut. Inilah yang membuatnya pulang sedikit telat malam ini.

 

Dengan langkah yang tergopoh-gopoh Die berhasil kembali ke rumah. Ketika membuka pintu ia hampir saja terjatuh, untung saja ia cepat berpegangan. Dalam keadaan yang limbung, ia berusaha meminimaliskan suara-suara pergerakannya agar tidak membangunkan Ibu. Agar Ibu tak tahu ia baru saja minum minuman keras, Die segera meneguk air putih dan segera pergi ke kamar mandi untuk mencuci mulut. Tetapi ia belum paham, bagaimana alcohol itu akan tetap tertinggal baunya dalam rongga mulutnya.

 

Setelahnya, ia merebahkan tubuhnya di dekat meja. Mengambil sebuah bantal lusuh dan mencari kenyamanan darinya. Matanya mulai terasa berat dan berair. Agaknya dia merasa sedikit demam saat ini.

 

*****

 

Die meninggalkan kertas jawabannya ketika bel sudah berbunyi dan pengawas sudah meneriaki mereka. Dengan tertib siswa-siswi dari kelas itu keluar dari sana. Die melirik pada kertas jawaban Shinya yang tertutup oleh lembar soal yang masih sangat rapih.

 

Berlari ke atap, matahari hari ini nampaknya tertidur di balik awan mendung. Die masih tetap berminat menghabiskan istirahat siangnya walau dengan angin yang cukup dingin. Baginya tidak ada tempat yang lebih tenang dan menyenangkan selain di sana.

 

Ketika ia sampai di sana, Die mendapati Shinya berdiri di pinggir pagar. Tubuhnya yang kurus membelakanginya, seragamnya terlihat rapih dengan rambut terangnya yang khas. Walau sudah diminta untuk mengecat hitam rambutnya, Shinya tetap saja mewarnai rambutnya dengan warna pirang kecoklatan.

 

Ia menoleh, Die menghela nafas. Shinya menunduk, kembali berbalik. Beberapa detik ia di sana sampai akhirnya ia memutuskan untuk pergi. Tetapi Die tahan.

 

“Mau makan siang?”

 

Shinya termangu, matanya melirik sebuah bungkusan kecil yang Die bawa.

 

“Bagaimana bisa kau mengajakku makan siang dengan hanya satu porsi onigiri?”

“Hmm…”

 

Shinya tertawa melihat wajah lucu Die. Mungkin Die bingung bagaimana Shinya bisa menebak apa yang ia bawa di dalam kantungnya.

 

Dengan perut yang setengah kenyang akhirnya Die dan Shinya kembali bicara setelah beberapa bulan lamanya mereka saling membisu. Percakapan yang dimulai dengan kata canggung dan wajah yang tersipu dari Shinya selalu menghiasi permbicaraan mereka. Meskipun itu hanyalah obrolan ringan yang sama sekali tidak menarik untuk dibahas.

 

“Ujian kemarin susah ya.” Die berbasa-basi.

“Iya.”

“Menurutmu, aku bisa lulus tidak?”

“Bisa.”

“Kenapa yakin sekali?”

“Karena aku tahu Die-kun orang yang pintar.”

“Oh, iya yah. Aku bahkan ingat Shinya selalu menyontek padaku :P”

“Huh~”

 

Tawa kecil mereka mereda. “Kau sendiri bagaimana? Yakin bisa lulus?”

 

Hening sesaat, ketika Die melihat Shinya, senyum manis itu sama sekali tidak tampak.

 

“Shinya…”

 

Ia tetap diam, hingga bel pertanda masuklah yang harus menyudahi obrolan ini. Shinya bergegas meninggalkan Die dengan jawabannya yang bisu.

 

*****

 

Menunggu saat pengumuman merupakan hal yang mendebarkan bagi mereka. Berharap bisa lulus dan segera keluar dari kehidupan dunia SMA yang mulai menjenuhkan. Begitu juga dengan Die yang berharap tidak akan ada masalah berat yang menghalanginya untuk segera keluar dari tempat ini. Die ingin cepat mengerjakan apa yang sudah dia rencanakan semula. Bekerja.

 

“Kau yakin? Apa soal itu terlalu sulit bagimu?”

 

Die berhenti sejenak ketika melihat sosok Shinya yang terlihat di balik pintu. Pemuda bertubuh kurus itu terlihat sedang bercakap dengan wali kelas mereka. Die heran, sudah beberapa kali Shinya terlihat sibuk dengan wali kelas mereka. Shinya sering sekali diminta untuk menemui wali kelas mereka sepulang sekolah atau ketika jam pelajaran kosong. Die tidak mengerti kenapa, tetapi ia mampu mencium bau masalah.

 

Maka ketika suatu kali ia mendapati Shinya keluar dari ruang guru, Die mengikutinya. Karena hal ini Shinya jadi sering pulang telat –jika Die perhatikan. Ketika Shinya kembali ke ruang kelas untuk mengambil tasnya yang tertinggal, Die menemuinya di sana. Nampak jelas raut wajah Shinya yang terkejut. Tetapi Shinya seolah ingin menyembunyikannya dengan satu jurus mautnya, menunduk. Ia bergegas meninggalkan tempat itu, tetapi Die menahannya di sana.

 

“Dai-kun aku mau pulang. Gie sudah menungguku.”

“Aku sudah meminta Gie pulang.”

“Kau bohong!” Shinya berusaha menggapai pintu. Die menghalanginya.

“Shinya!”

 

Shinya mematung di tempatnya, pemuda berparas manis itu takluk hanya dengan sekali gertakan. Nyalinya seolah ciut dan hilang. Raut wajahnya berubah nelangsa, seperti akan menangis. Die menyesal, tetapi ia tidak bisa minta maaf sekarang. Ia hanya butuh kejelasan sendiri dari Shinya. Apa yang tengah dia sembunyikan? Die ingin tahu. Meskipun Die sadar, sangat sadar, ini bukan urusannya, tetapi ia peduli. Ia tidak bisa membohongi hati kecilnya, ia peduli tentang Shinya.

 

“Kau ini sebenarnya kenapa?” suara Die melembut.

 

Shinya beku. Tak sepatah kata pun mampu keluar dari mulutnya.

 

“Kalau kau tidak mau bicara, aku tidak akan membukakan pintu ini.”

 

Hingga malam...

Die memang salut pada kekuatan Shinya yang satu ini. Ia sangat kuat untuk membisu seharian penuh. Bayangkan saja, telah Die ancam seperti itu pun, ia bisa menjawab tantangan Die dengan kebisuannya. Dan Die merasa kalah, karena perutnya mulai lapar. Namun Die bertahan, demi rasa angkuhnya.

 

Shinya masih duduk diam di sudut ruangan. Sudut yang bersebrangan dengan tempat dimana Die berdiri –depan pintu. Ia masih duduk sembari memeluk kedua kakinya yang melipat, sementara Die melipat kedua tangannya angkuh dan menempelkan di dadanya, matanya tak jemu melihat Shinya yang hanya mampu menatap lantai di bawah kakinya. Entah sampai kapan keduanya akan terus bertahan dengan keadaan yang seperti ini. Rasanya seperti ego anak-anak yang memuncak tentang sebuah kekalahan dan kemenangan. Ego yang sia-sia.

 

Biip. Biip.

 

Keduanya terkejut ketika suara ponsel Shinya berdering. Shinya hanya menatap layarnya dan mulai beranjak, Die berancang-ancang di depan pintu ketika Shinya menghampirinya.

 

“Gie di bawah. Aku harus segera pulang.”

 

Die tak menjawab, hanya wajah angkuhnya mengaba-aba bahwa ia tetap tidak akan membukakan pintu. Shinya kebingungan. Terlebih lagi dengan deringan teleponnya yang terus berdering. Shinya mulai merangsek pintu.

 

“Aku mau pulang!”

 

Die tetap tak memberikan jalan, ia masih menghalanginya tanpa bicara. Sementara suara deringan itu semakin gencar menekan batin Shinya.

 

“Die...”

 

Die merampas ponsel Shinya dan segera mengeluarkan battery-nya, Shinya terhenyak.

 

“Sudah tidak ada yang memaksamu sekarang,”

 

Die meletakan ponsel yang terburai itu ke pinggir meja. Shinya tetap mempertahankan kebisuannya yang sepertinya lebih berharga dari simpati Die saat ini. Sampai akhirnya harus ada yang mengalah di antara mereka. Shinya mengaku kalah dengan kekerasan hati dan sikap Die saat ini, atau mungkin juga, sebenarnya Shinya sendirilah yang sudah tidak tahan.

 

“Aku ingin tinggal kelas,”

 

Die mengerutkan keningnya. Masih belum menangkap apa yang Shinya katakan. Shinya menatapnya dengan mata yang serius. Namun, air bening itu nyata tertampung di sana.

 

“Aku –tidak...” suaranya bergetar. Mukanya berubah pucat dan kebingungan. Die mampu menangkap maksud tersembunyinya kali ini. Apa ini tentang pembicaraan Gie tempo hari? Jika benar, maka Shinya...

 

“Aku tidak mau seperti mereka,”

 

Malam itu kebisuan Shinya pecah. Dengan suara parau dan perasaan gugup Shinya menceritakan segalanya. Shinya sama sekali tidak mengisi lembar jawaban ujian kemarin. Ia sengaja melakukannya agar ia tidak lulus dalam ujian tahun ini. Shinya berharap dia akan lebih lama mengenyam masa SMA untuk menghindari keputusan yang diberikan oleh keluarganya yang seenaknya memutuskan masa depannya.

 

“...rasanya aku tidak mau lahir ke dunia.”

 

Satu keinginan terakhir dari Shinya yang putus asa, ketika Die membekapnya dengan sebuah dekapan erat. Die mampu merasakan seragamnya basah, mendengar ringhikan yang tidak biasa dia dengar.

 

*****

 

“Jangan ganggu putraku!”

 

Teriakan Ibu terdengar hingga membuat Die yang baru saja masuk gang terkejut. Ia lalu datang sambil berlari kecil, perasaan cemas dan aneh mulai menyergap kepalanya. Kepada siapa Ibu berteriak begitu marah?

 

Ketika Die sampai, kakinya berhenti dengan sendirinya saat melihat sosok seorang pria paruh baya berdiri di depan pintunya, sementara Ibu terlihat begitu marah sambil berpegangan pada pintu rumah yang terbuka begitu lebar. Di depannya beberapa peralatan rumah berserakan seperti dilempar dengan sengaja. Ibu melirik Die yang berdiri dengan matanya yang terkejut, begitu juga dengan pria itu.

 

“...Gie.”

 

Pria itu melihat Die dengan wajahnya yang datar, seakan tidak terkejut dengan kehadiran Die di antara mereka.

 

“Aku minta kau cepat pergi dari sini!” gertak Ibu.

 

Die menatap tajam pada Gie, pria itu segera berpamitan setelah membungkuk sopan pada sang Ibu. Tak ada kata penjelasan yang cukup untuk menjelaskan tentang apa yang terjadi di antara mereka. Tetapi melihat keadaan yang terjadi, Die rasa Gie sedang memaksa ibu.

 

Dan benar saja, ketika Ibu mampu bercerita sambil ditemani dengan kegelisahan dan ketakutannya kehilangan Die karena kondisi mereka yang kacau dan serba sulit, ia mengungkapkan bagaimana beraninya Gie menghadap padanya dan memintanya agar membiarkan Die bekerja pada keluarga Shinya.

 

“Ibu tidak mau kau berhubungan lagi dengan mereka. Apa pun itu. Ibu tidak mau kehilanganmu. Ibu tidak mau kehilanganmu, sama seperti Ibu kehilangan Ayahmu...”

 

Sesak sekali rasanya jika Die memikirkannya. Ia tahu betapa Ibu sangat membenci dunia pekerjaan yang dilakukan Ayah, terlebih lagi setelah kejadian yang merenggut hidup Ayah. Ibu murka dan dendam. Ia segera melenyapkan diri dan membawa Die bersamanya, menjauh dari ruang lingkup manusia-manusia yang telah tega menjerumuskan Ayah. Mulanya Die setuju dengan hal itu, tetapi semakin lama, ia merasakan ada sesuatu yang salah dengan semua tindak kekerasan dan keegoisan ini. Dalih demi menyelamatkan, bukan berarti Ibu harus membatasi apa yang seharusnya Die hadapi. Sebagai sesuatu kenyataan yang Die sendiri pun tidak bisa menghindarinya. Mereka, Yakuza, keluarga Shinya, bahkan tertanam dihatinya yang terdalam, sebenci apa pun dirinya dengan semua ini tak mampu membuatnya cukup untuk menerima kenyataan bahwa ia harus melupakan Shinya.

 

Seperti kata Ibu...

 

“Lupakan Shinya.”

 

Mengapa Die harus melakukan itu?

 

*****

 

Shinya kembali dipanggil ke ruang guru siang itu. Melihat langkahnya yang gontai, Die bisa menebak pertanyaan macam apa yang akan Shinya terima. Pertanyaan yang sangat panjang dan lama sekali. Bahkan hingga senja hari pun Shinya masih harus berada di sana.

 

“...”

 

Shinya tertegun melihat sosok Die yang kini duduk di kursinya. Ruang kelas mereka kini sepi karena jam pelajaran telah usai satu jam yang lalu. Tak ada yang mau berlama-lama tinggal di tempat seperti ini, kecuali mereka.

 

“Aku sudah merapihkan tasmu.” Kata Die sambil mengangkat tas Shinya.

 

Helaan kecil berhembus dari mulut Shinya ketika pemuda itu perlahan berjalan mendekati Die yang berdiri di sana. “Terima kasih.” Tuturnya sambil mengambil tasnya.

 

“Kau selalu membawa payung?”

 

Shinya menoleh pada Die. “Kau melihat isi tasku?”

 

Die jadi tak enak hati. “Maaf,”

 

Shinya hanya bisa menunduk. Mereka terlihat kaku.

 

“Tadi seseorang mengirimimu pesan.”

“Kau membacanya?”

“Nay.” Die bergeleng cepat.

 

Shinya segera merogoh ponsel dalam saku tasnya lalu memeriksa isi pesannya tadi siang. Setelahnya ia hanya menghela, menoleh pada Die yang masih diam. Walau diam, Shinya tahu Die ingin tahu apa isi pesannya.

 

“Gie tidak bisa menjemputku hari ini,”

 

 

 

Mereka berjalan bersama, beriringan walau tidak sejajar. Die berada selangkah di belakang Shinya, berjalan pelan sesuai langkah kaki Shinya yang melangkah begitu santai. Melihat bagaimana Shinya memegangi tasnya yang kelihatan berat.

 

“Isi tasmu mungkin lebih dari kapasitas. Kenapa harus membawa payung? Kau tahu ini musim yang tidak akan turun hujan.” Ujar Die membuka topik. Shinya tak menjawab, ia tetap berjalan sambil meremas tali tasnya. Die tidak pernah habis pikir, sulit sekali bicara pada Shinya akhir-akhir ini.

 

Die tiba-tiba menghentikan langkahnya dan membiarkan Shinya berjalan berlalu. Ia menatap punggung Shinya yang berjalan santai, tetapi tak lama Shinya pun berbalik. Mungkin ia merasakan tentang diamnya Die. Ia melihat Die dengan raut muka yang aneh.

 

“Kenapa?”

 

Die masih tertegun, “Ah, tidak. Tidak ada apa-apa.” Namun akhirnya, ia berusaha menepis bayangan yang muncul di benaknya barusan.

 

Tes!

 

Tiba-tiba saja suasana kota mendadak riuh, orang-orang berlarian menjauhi jalan ketika hujan mulai turun. Aneh! Die melihat pada langit, jelas-jelas tadi cerah! Tetapi pemandangan awan itu berubah menjadi warna putih kusam yang menaunginya. Saat Die menoleh, sosok bisu Shinya tengah memayunginya.

 

*****

 

Die menepuk-nepuk bahu seragamnya yang basah karena hujan ketika mereka berteduh di sebuah toko tua yang telah lama tutup. Sementara Shinya merapihkan payungnya dan berusaha mengeringkannya. Hujan saat itu turun cukup deras dan lama. Benar-benar cuaca yang tidak bisa di prediksi.

 

Lama menunggu sambil berdiri membuat Shinya kelelahan dan mulai pegal sampai akhirnya ia memutuskan untuk berjongkok dan mengarahkan payungnya menutupi kedua kakinya agar air hujan tak menyiprat ke arahnya. Melihatnya Die pun melakukan hal yang sama, berjongkok di sebelahnya sambil memandangi rintiknya hujan yang turun sore itu.

 

“Apa ini yang orang maksud dengan ‘sedia payung sebelum hujan’?” katanya sambil melihat ke atas langit, Shinya menoleh padanya. “Mungkin.”

 

Die melirik ke arahnya sambil mengurai senyum. Mulanya Shinya diam, tetapi ia mencoba memberikan senyum yang sama. Die melirik pada payung usang Shinya yang kelihatan sudah sangat jelek.

 

“Payungmu kelihatan sudah rusak.” Katanya melihat beberapa besi penyangganya yang diikat seadanya. “Um...” Die melihat beberapa coretan kecil di balik payung Shinya. “Ah...” ia tertegun, sampai ia sadar ternyata sejak tadi Shinya menatapnya.

 

Die memandang kembali ke arah jalan. Tiba-tiba ada rasa bersalah kepada Shinya, tetapi secuil perasaan senang terselip di dalamnya. Senang yang memburat dalam hatinya saat ia sadar Shinya tidak pernah secuilpun melupakan kenangan apa yang sudah mereka lalui bersama. Walau itu hanya beberapa tahu karena terpotong dengan tahun-tahun yang kejam. Entah bagaimana Die bisa melakukan ini semuanya.

 

Perlahan wajahnya menunduk. Rasa malu terasa menguat membuatnya tidak nyaman. Shinya tetap memperhatikannya dengan mimik yang aneh pula. Mungkin ia bisa menebak apa yang Die rasakan saat ini. Tetapi Shinya tidak mampu memecahkan keheningan ini. Ia tidak berani memulai dan terbiasa diam.

 

“Maaf,” tutur Die pelan. Shinya menoleh padanya dengan matanya yang bulat. Die melihat kepadanya sambil tersenyum. “Maaf, karena sudah banyak membuat kesalahan.”

 

Shinya mengembangkan senyum.

 

Tiba-tiba dering telepon Shinya mengejutkan keduanya. Shinya dan Die terfokus pada ponsel yang Shinya keluarkan dari saku tasnya. Mata Shinya melirik Die, “Ini Gie.”

 

Shinya mengenggam ponsel itu seolah bingung hendak menjawabnya atau tidak. Menunggu Die bicara. Ketika Shinya hendak menjawabnya, Die menimpakan tangannya pada ponsel tersebut.

 

“Kau akan pulang ke sana?” Die menatap Shinya lekat.

“Tidak mau.” Kali ini Shinya menjawab dengan begitu tegas.

 

Die mengeratkan tangannya di atas tangan Shinya yang mencengkram ponselnya. Dering itu akhirnya mati. Berhenti memanggil Shinya. Mereka seolah mendapat kelegaan. Kemudian, Die mengajak Shinya berdiri.

 

“Mau kemana?” tanyanya.

“Ke tempat dimana kita bisa bebas menentukan masa depan kita sendiri.” Kata Die.

 

Shinya tidak mengerti. Namun dia menurut saja ketika Die membawanya pergi memutari jalan dimana seharusnya mereka kembali untuk pulang. Hingga kemudian perjalanan mereka berakhir di sebuah halte kecil di pinggiran kota. Di sampingnya, Die masih menggenggam tangan Shinya yang sejak tadi melihatnya dengan bingung. Apa yang akan Die lakukan sekarang? Untuk apa mereka berada di tempat seperti ini?

 

“Dai-kun, kita mau kemana?” tanya Shinya lagi.

 

Die berbalik pada Shinya.

 

“Jika tetap berada di tempat seperti ini kita tetap tidak bisa memilih masa depan, kenapa kita tidak pergi saja untuk meraih masa depan kita sendiri?”

“Maksudmu?” Shinya menatapnya curiga.

“Aku banyak memikirkan tentang masa depanku yang sama sekali belum kuputuskan, banyak hal yang ingin aku raih. Banyak masukan dan saran dari orang-orang disekitarku termasuk Ibu. Tetapi apa yang aku inginkan dan Ibu minta semuanya bertolak belakang, kalau aku memikirkannya aku selalu terantuk dengan dua hal, pengorbanan Ibu atau masa depanku.”

 

Shinya masih mendengarkan.

 

“... jika aku tahu ada wanita kuat pelindungku yang menginginkanku untuk melakukan apa yang menurutnya baik, aku ingin melakukannya. Tetapi sama seperti apa yang selalu terjadi ketika aku diberikan dua pilihan, masa depan sesuai mereka atau masa depan seperti apa yang aku mau. Keduanya punya konsekuensi, satu diambil dan satu ditinggalkan. Begitu adanya, aku harus memilih. Jika aku memilih apa yang dia minta, aku harus meninggalkan semua yang menurutku baik dan mengikuti jalannya. Tetapi jika aku memilih masa depan sesuai yang aku bayangkan, maka aku harus menentang dan berjalan dengan jalanku sendiri.”

“Dai...,”

“Kau juga begitu, kan? Pilihanmu apa? Tetap berdiri di sini dan membiarkan mereka mendikte masa depanmu, atau kau memberontak dengan segala kemungkinan terburuk yang belum pernah kau bayangkan sebelumnya.”

 

Shinya membisu, menatap lekat mata Die yang hitam.

 

“Tetapi aku tidak bisa memutuskan, saat aku tahu segala konsekuensi yang akan aku terima berdampak buruk bagi orang lain.” Mata Shinya memerah.

 

Die memegang kedua tangannya.

 

“Hanya dua kesempatan, aku tetap di sini dan menurut. Atau aku kehilangan kau,”

 

Die tercenung.

 

“... aku melawan, kau yang dibunuh.” Airmata Shinya jatuh. Lalu ia melepaskan pegangan tangan Die, “Dan aku lebih memilih, untuk tetap melihatmu hidup...”

“Tetapi kau akan sakit,”

“Tidak apa,”

“Aku juga sudah punya keputusan,” tandas Die. “Aku sudah memutuskan, akan disisimu. Sama seperti ketika Ayah mengabdi pada Ibumu,”

“Dai-kun...”

“Walau aku harus mengulang bagaimana cara kematian Ayah nantinya, tapi sekarang aku mengerti, bagaimana senangnya Ayah mati karena membela orang yang dia cintai.”

 

Shinya menangis. Die tersenyum simpul, mengusap kepala kecil yang bergetar di dadanya. Kini ia mengerti, keputusannya akan memberikannya banyak sekali konsekuensi buruk. Tetapi seperti Ayah yang bertanggung jawab, Die pun mencoba untuk melakukan apa yang dia kehendaki, yang menurutnya bisa ia kerjakan sebaik mungkin. Walau itu harus meninggalkan segalanya. Sama seperti Ayah harus menjaga Ibu, walau hatinya tertaut pada wanita lain. Pilihanlah yang membuatnya harus meninggalkan salah satu di antara keduanya. Apa yang dia pilih, adalah keinginannya. Segala yang dia dapat dari kebahagiaan bahkan sampai kematian sekalipun rasanya akan menjadi dua kali jauh lebih menyenangkan ketika dia sadar telah memilih masa depan yang benar-benar dia ingini. Bukan paksaan, bukan intimidasi. Itu keinginan hati.

 

Dan Die pun sudah menemukan gambaran masa depan apa yang akan dia terima setelah ini. Setelah dia memilih untuk tetap bersama orang yang dia sayangi, Die akan tabah menerima siksa dan bahagianya kehidupan masa depan nantinya. Setidaknya, dia telah memilih dengan hatinya sendiri, bukan atas pilihan orang lain.

 

Karena masa depan itu adalah masa dimana kita sendiri yang menjalaninya. Sebuah nasib yang telah diusahakan oleh orang itu sendiri dan mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih baik menurut pemikirannya. Bagi Die, bersama Shinya adalah suatu caranya untuk mengubah nasibnya yang dulu selalu berjalan di tempat yang sama. Walau pun nantinya benar kematianlah konsekuensi terberatnya yang akan dia terima. Die tidak akan menyesal.

 

Sama halnya seperti Shinya, pilihan hidupnya yang menginginkan kesederhanaan dan kedamaian hidup tanpa campur tangan kekerasan keluarga. Menginginkan dirinya tetap menjadi seorang Shinya yang bisa berjalan beriringan dengan teman masa kecil yang begitu menyenangkan seperti Daisuke. Ia menolak menjadi robot pembunuh ciptaan yang akan selalu didikte masa depannya. Walau ia sendiri harus bisa menerima kemungkinan terburuk atas ancaman yang selama ini diberikan padanya, Shinya telah memilih. Dan ia akan mencoba untuk tangguh, menjadikan pilihan hidupnya sebagai sebuah pilihan yang tidak akan disesalinya seumur hidup.

 

*****

 

 

Gie berlari, matanya bingung mencari-cari. Ditelinganya masih menempel sebuah ponsel tipis yang sejak tadi menandakan bunyi masuk namun tak terjawab. Lagi-lagi panggilannya gagal, ia mencoba lagi.

 

Triing! Triing!

 

Kali ini ia terkejut ketika mendengar bunyi yang tak asing terdengar dari sekitar jalan. Tak mungkin ia tidak mengenali suara ini.

 

Triing! Triing!

 

Gie berjalan pelan menyurusi trotoar dan berhenti pada sebuah halte yang sudah usang. Matanya menatap sebuah ponsel yang tergeletak, layarnya menyala, berkedip-kedip karena menerima sebuah panggilan masuk yang tak akan pernah bisa terjawab.

 

“Shinya-kun...”

 

Ia hanya mampu melihat ujung jalan lengang yang sepi. Yang telah membawanya pergi jauh meninggalkannya. Gie menutup ponselnya dengan pasrah.

 

“Die-kun...., jaga Putraku.”

 

Jaga Putraku, yang tak pernah tahu siapa sebenarnya Ayah yang selalu dia sebut Gie.

 

 
 

FINISH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar