expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

20 Mei 2013

Umbrella (Part 1)

Title : Umbrella
Author : Duele
Finishing : Oktober 2011
Genre : Romance Comedy, AU, School
Rating : PG15
Chapter(s) : 1/2
Fandom(s) : Dir en grey
Pairing(s) : DiexShinya
Disclaimer : sebuah gambar kartun manis, hehehe...
Note Author : Membuat cerita ini sambil denger lagu Higeki Ha Mabuta Wo Oroshita Yasashiki Utsu dari Dir en Grey, feel kesepiannya dapet banget J

 

~*~

 

Hanya dengan satu kebaikanmu saja, sudah membuatku jatuh cinta….



***

 

“Ahahahaha! Lalu dia bilang, ‘Oh, begituh! Ya sudah, kita putus saja!’.”

“Hahahahaha!”

“Gila! Aku tidak tahu kalau Prof. Toshi akan bicara seperti itu!”

 

Suara gelak tawa itu memburai ketika beberapa anak lelaki berbincang tentang sesuatu yang seru. Terkadang saking serunya mereka sering tak sadar dengan bunyi bel masuk, pertanda kelas akan segera dimulai.

 

“Kembali ke tempat kalian masing-masing!” suara seorang pria berkacamata tebal terdengar nyaring membuat kumpulan anak-anak itu membubarkan diri dengan cepat.

 

Kembali ke dalam perhelatan pelajaran yang membosankan dengan mata pelajaran yang monoton dan guru yang menjengkelkan. Tetapi selang beberapa menit kemudian suasana hening itu terpecahkan oleh sebuah ketukan pintu dari luar.

 

“Ya, masuk!”

 

Ternyata bukan orang asing bagi mereka ketika seorang pemuda kurus masuk ke dalam. Matanya yang berbinar bak berlian terlihat menatap sekitarnya yang telah sibuk dengan kegiatan belajar mengajar mereka.

 

“Sensei, maaf, saya terlambat.” Ucapnya. Mengakui kesalahannya.

“Ah, oh, Terachi. Baiklah, tidak apa-apa. Cepat duduk ke tempatmu sana.” Kata sang pengajar sambil menggaruk belakang kepalanya. Sesekali dia menghela kecil, sementara Shinya menapaki barisan ujung pada dinding di sebelah terkanannya untuk menuju tempat duduknya.

 

Kolom ke empat dari baris kedua, itu meja Shinya. Kursi bersih yang rapih, berbeda dengan kursi yang lainnya. Shinya melirik seseorang di sebelahnya ketika ia menggeser kursinya. Sampai ia duduk pun, Shinya masih tetap melihat ke arah pemuda yang kelihatan sengaja sekali tak mau balas menatapnya.

 

***

 

“Kau meninggalkan aku lagi?” Shinya bersuara ketika kelas beranjak sepi. Pemuda kurus itu berdiri di depan meja pemuda tadi.

“Kau kan sudah besar, kenapa tidak berangkat sendiri saja? Kenapa harus selalu bareng denganku, sih?” pemuda berambut menyala itu menyangga tasnya di bahu dan mulai beranjak dari kursi.

“Tapi aku mau berangkat bersamamu.”

 

Pemuda itu menoleh ke arah Shinya dengan mata aneh. Sejenak ia menatap Shinya lekat-lekat, entah apa yang dia pikirkan tentang anak ini, hingga berakhir sebuah gelengan kepala yang tak mengerti. Yah, dia tak pernah mengerti kenapa Shinya sangat senang mengikutinya. Seperti saat ini, Shinya mengikutinya berjalan pulang kembali ke rumah.

 

Hampir setiap hari begini. Membosankan, kan?

 

Tap!

Akhirnya dia berhenti.

 

“Berhenti di sini. Rumahmu di sana, kan?!” pemuda itu berbalik. Shinya mendongak padanya.

“Hum…” Shinya mengangguk, dan saat itulah pemuda tinggi itu meninggalkannya.

 

Tanpa pamit. Terlalu masa bodoh.

 

***

 

“Kau masih diikuti anak itu?” suara Kaoru terdengar di dalam gudang.

“Sudahlah, jangan membahas dia. Kau tidak tahu betapa capeknya aku hari ini.” Tuturnya lalu mengambil dus minuman yang Kaoru keluarkan.

“Kalau kau capek, istirahat dululah, Die~”

“Apa kau akan membayarku jika aku beristirahat, huh?!” godanya lalu keluar dari gudang sambil membawa dus-dus minuman ringan tersebut.

 

Beginilah Die sehari-hari. Sekolah, lalu bekerja paruh waktu. Hampir separuh hidupnya dia habiskan di tempat ini. Sejak ayah tiada dan Ibu mulai sakit-sakitan. Hidup Die sudah tidak banyak menyenangkan sejak saat itu. Semuanya berubah drastis.

 

Setiap pukul tiga sore, pria berambut menyala itu mulai bekerja di toko milik Kaoru. Bekerja paruh waktu hingga malam sebagai pengantar barang ke pedagang eceran di kota-kota lain. Walau pun bayarannya tak terlalu besar, setidaknya ia masih bisa menghidupi Ibu dan biaya sekolahnya yang masih bisa dia tangani sendiri. Meski pun berat, hebatnya, Die tidak pernah mau mengeluh soal ini. Seperti sudah menjadi kebiasaan.

 

Suatu malam ketika Die sedang mengemudikan mobil vannya, ia dikejutkan oleh kejadian dimana beberapa orang terlihat sedang mengeroyok seseorang. Mereka berjumlah lima orang dengan seorang pria yang telah babak belum dan tersungkur di tanah. Masing-masing dari mereka membawa balok kayu dan pemuluk baseball, senjata yang wajar di bawa oleh preman kelas teri.

 

Ia sudah banyak melihat kekerasan dan ketidakadilan di sekitarnya. Tempatnya dilahirkan memang bukan tempat yang damai seperti apa yang orang bayangkan. Polisi bukanlah seorang penolong bagi mereka ketika mereka berhadapan dengan gerombolan bangsat yang mengaku-ngaku dirinya adalah Yakuza. Ketika julukan itu melekat di diri mereka, mereka akan semena-mena menginjak dan mengoyak siapa pun yang tidak mereka sukai. Hoo, betapa absurdnya dunia ini.

 

Terkadang Die muak, sangat muak! Terlalu jengah dengan mereka yang mengaku-ngaku sok berkuasa. Serasa mereka Tuhan dan memiliki apa pun di dunia ini. Padahal, jika mereka tidak pernah menjadi anggota dari Yakuza tentu saja mereka akan mengalami nasib yang sama dengan yang dikeroyok. Sungguh kemunafikan abadi.

 

Dan seharusnya, Die tidak terpancing dengan ini. Ia harus mengacuhkan ini semua. Pekerjaannya masih banyak. Jika ia ikut campur dan telat kembali ke toko, sudah pasti Kaoru akan memotong gajinya bahkan memberikannya sangsi sebagai bawahannya.

 

Tapi kenyataannya sangat berbeda ketika Die menepikan mobilnya. Dia terlalu bad mood untuk tidak mencampuri urusan orang lain.

 

***

 

Jam di tangan Kaoru sudah menunjukan hampir tengah malam. Sementara satu-satunya pegawai yang tersisa di tokonya belum juga kembali.

 

“Kemana bocah itu?!” gumamnya, terdengar seperti cemas dan bingung. Layaknya orang tua yang sedang menunggui sang anak kembali. Karena tak biasanya Die mangkir dari pekerjaannya tanpa kabar. Walau ponselnya aktif, tetapi Die tak menjawabnya. Kira-kira sedang apa dia?

 

Brrrmmm!

 

Untungnya suara derung mobil itu terdengar. Kaoru sudah sangat hafal dengan bunyi mobil yang satu ini. Dan benar saja, itu mobil yang Die bawa. Pria itu segera menghampiri pintu mobil Die yang tertutup rapat.

 

“Lama seka-” Kaoru tertegun ketika melihat pemuda itu turun dari mobilnya. “Oey, Die! Mukamu kenapa?!”

 

Die tak menjawab, ia hanya menyeka darah yang masih mengucur dari ujung bibirnya yang robek.

 

***

 

“Kau berkelahi?” Shinya terkejut melihat wajah Die yang carut marut.

 

Die tidak ingin menjawabnya, bahkan mungkin tidak mau bertemu dengan Shinya dulu. Jadi, ia lebih memilih untuk meninggalkan pemuda itu dan kabur ke suatu tempat. Tetapi tetap saja, pemuda kurus itu mengikutinya. Ia seperti angin yang tak akan pernah lepas mengikuti Die kemana pun. Sungguh sial!

 

“Biarkan aku mengobatimu.”

 

Die masih diam, tetapi matanya menatap penuh arti ke arah Shinya. Lalu membuangnya ke angkasa. Shinya mengambil sebuah kostak kecil dari dalam tas sekolahnya yang besar, ternyata isinya alat kesehatan, mirip sekali dengan kotak P3K dalam bentuk mini.

Shinya memang selalu membawanya, entah karena sebuah keharusan karena ia tahu Die sering berkelahi dan terluka seperti sekarang ini. Shinya sudah seperti seseorang yang hafal sekali dengan kebiasaan buruk pemuda yang satu itu.

 

“Awhh!” Die mengerang ketika obat itu menyerap pada lukanya yang belum kering. Antiseptiknya membuat lukanya terasa perih dan ngilu. Shinya masih dengan telaten merawatnya, menempelkan beberapa hansoplast pada luka dan memarnya.

“Selesai.” Ujarnya lalu membereskan peralatannya.

 

Dan segera bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan Shinya di sana. Shinya menoleh menatap kepergian Die yang sudah tak ia herankan lagi. Shinya pun tak merasa terhina atau tersinggung. Karena Shinya tahu, Die membencinya…

 

***

 

“Lukamu sudah membaik?” sapa Kaoru yang baru saja masuk toko.

“Lumayan.” Die menata dus-dus minuman kaleng tersebut pada box mobilnya.

 

Tak berapa lama beberapa pria datang ke toko mereka.

 

“Hey, Pak. Kami butuh minuman, nih!”

 

Die melongokan kepalanya dari samping pintu box ketika mendengar suara mereka. Beberapa orang berpakaian aneh dan sok necis meminta minuman pada Kaoru. Kebiasaan!

 

“Kalian butuh berapa?” tanya Kaoru mengumbar senyum, walau dalah hati ia ingin sekali melenyapkan para bajingan tengik yang selalu merampok tokonya dengan gelar busuk mereka sebagai Yakuza untuk mendapatkan makanan dan minuman gratis!

“Tidak banyak, beberapa dus kaleng Bir dan cemilan pedas…”

“Satu dus, cukup?”

“Dua!”

 

Die jengah rasanya! Dasar orang-orang kikir!

Tetapi Kaoru menahannya dengan sekali isyarat yang memintanya untuk tetap tenang di luar.

 

“Dua dus. Baiklah.” Kaoru masuk ke dalam toko dan mengambil pesanan mereka.

 

Satu lagi pemandangan busuk yang kembali Die lihat dengan jelas. Orang-orang itu mengambil apa yang bukan milik mereka. Meminta seenaknya dan pergi semaunya.

 

Duk!

Die menaruh dus minumannya hingga berbunyi keras. Setelah itu dia meninggalkan tempat itu. Kaoru yang melihatnya seolah mengerti dengan apa yang ia rasakan. Ini sebuah ketidakadilan yang benar-benar memuakkan.

 

“Harusnya kau tidak perlu memberikan mereka itu semua.” Kata Die membelakangi Kaoru. Walau tidak melihat, ia tahu Kaoru mendatanginya.

“Ini sebagian dari taktik bisnis, Die.” Kaoru mencoba berlapang dada.

“Selama ini kita diperas. Itu tidak ada hubungannya dengan bisnis. Memangnya mereka memberi apa buat kita?”

 

Die menatap pria berjenggot itu dengan mata yang tak mengerti. Kaoru mengambil nafas panjang dan menghembuskannya pelan.

 

“Setidaknya mereka tidak mengacau di tokoku.”

 

Die membisu. Kaoru pergi.

Die mengerti, semua ini seperti sesuatu yang tidak bisa ia bantah. Orang yang berkuasa itu terkadang lebih hebat dari Tuhan. Bahkan mereka yang sederajat dengan para bajingan tersebut tidak mampu melakukan apa pun. Hanya demi mempertahankan sebuah keselamatan hidup.

 

****

 

Die baru saja membuka bungkus roti coklatnya ketika kedua baris kaki kurus itu muncul di depan matanya. Die mendongak dengan malas ketika tahu siapa orang yang lagi-lagi menganggu harinya.

 

Shinya.

 

…..

 

Die makan dengan lahap, isi bento yang hampir saja dia tolak ternyata enaknya setengah mati! Ia tidak peduli dengan sorot mata Shinya yang terus menatapnya dengan mulut yang mengenyam makanannya dengan sangat pelan. Seolah terpukau dengan cara makan Die yang sangat menikmati bento buatannya.

 

“Uhuk!”

 

Shinya segera mengambil botol air mineralnya ketika Die terbatuk dan mulai menepuki dadanya sendiri. Die segera menyambar botol minuman tersebut dan meneguknya untuk melancarkan kembali saluran tenggorokannya yang sempat mampat.

 

“Hihi..” Shinya tersenyum kecil.

 

Die tak ingin menanggapinya. Tetapi Shinya tetap senang, senyum itu tak hilang dari wajahnya saat ini.

 

“Kau mau tambah?” tawar Shinya ketika Die selesai dengan satu kotak bentonya.

 

Die tak menjawab, ia membuang wajahnya dan meneguk botol air mineral yang diberikan Shinya tadi. Shinya membereskan kotak bento Die yang sudah kosong. Memasukannya kembali ke dalam tas makan siangnya yang berbentuk lucu. Tak berapa lama Shinya kembali mengeluarkan sebuah kotak makan dari dalam tasnya.

 

“Kau mau kue dango?”

 

Die melirik padanya.

 

****

 

Die membuka matanya pelan. Langit sudah berwarna oranye saat itu. Duh, sial! Rasanya dia ketiduran sehabis makan siang. Die segera bangun ketika ia merasa panik. Sehelas almamater jatuh dari tubuhnya. Almamater hitam dengan name tag Terachi. Saat Die menyisir sekitarnya. Si kurus itu tengah berdiri di depan pagar bronjong di ujung atap. Menatap pada arah matahari yang sudah menguning.

 

Die menyeka keringatnya yang mengucur dari keningnya. Melihatnya ada perasaan rindu yang terelakan, tetapi Die tidak bisa kembali bersamanya.

 

“Oh, sudah bangun?” Shinya datang kepadanya.

 

“Kenapa masih di sini? Kenapa belum pulang?”

 

“Aku mau pulang bersamamu.”

 

Helaan kecil berhembus dari mulut Die. Pemuda itu segera bangkit sambil mencengkram almamater milik Shinya. Ia tak bicara ketika menangkupkan almamater hitam itu di bahu pemuda kurus itu.

 

“Berhentilah.” Ujarnya, menatap mata Shinya yang kecoklatan. Mata yang jernih yang hanya dimiliki Shinya. “Kau punya kehidupanmu sendiri. Berhentilah mengikutiku, Shinya.”

 

Shinya merunduk. “Apa kita sudah tidak bisa berteman lagi? Seperti dulu…”

 

Die membisu. Ia tak menjawab, ia hanya bisa memeluknya cepat dan melepaskannya dengan gampang. “Pulanglah.” Tuturnya lalu meninggalkan Shinya.

 

Shinya terdiam, ia menoleh pada matahari yang perlahan tenggelam, menyajikan kelam. Sedih rasanya.

 

*****

 

Die pulang ketika malam hampir larut. Hari ini dia didaulat lembur oleh Kaoru karena terlambat seharian. Tetapi ia justru bersyukur, setidaknya tidak membolos dari pekerjaannya dan tidak potong gaji. Karena bagi Die, potong gaji dari gajinya yang sekarang benar-benar akan menjadi sebuah petaka. Die lebih rela bekerja seharian full daripada harus dipotong gaji.

 

“Bu..?”

 

Die terkesiap melihat sang Ibu masih duduk sambil mengerjakan pekerjaan sampingannya.

 

“Kenapa belum tidur?” tanyanya sambil mendekatinya. Butir-butir kelopak bunga berserakan di mana-mana. Die berusaha tak menginjaknya, karena menurutnya ini adalah uang. “Ini bisa dikerjakan besok. Kenapa belum beristirahat?”

 

“Ibu tidak bisa tidur. Lagipula, kau belum pulang.”

 

“Aku lembur.” Jawab Die sambil membereskan remahan kelopak bunga plastic itu dari lantai kayu. “Ibu jangan bekerja terlalu keras. Santai saja.”

 

“Justru karena Ibu santai makanya Ibu bekerja. Tidur seharian juga tidak membantu menyembuhkan penyakit Ibu, kan?”

 

Die terdiam. Rasanya seperti ada getir menusuk dadanya. “Sudahlah, cepat tidur, Bu. Ini biar aku yang membereskan.”

 

“Baik. Tapi kau juga cepat tidur, ya.”

 

Die tak menjawab, ia sudah sibuk memunguti kelopak-kelopak bunga tersebut dan memasukannya ke dalam sebuah plastic bening besar. Sementara sang Ibu berjalan tergopoh ke ruangan sebelah.

 

Ibu Die sudah lama mengidap kanker serviks. Sejak Ayah tidak ada, Ibunya keluar dari rumah sakit. Die tidak bisa melakukan banyak hal untuk membawa Ibu ke rumah sakit. Itu pun karena sang Ibu juga sudah tidak ingin berada di rumah sakit. Die sadar, ini seperti menunggu mati saja. Die sudah tidak bisa berbuat apa-apa untuknya.

 

Tetapi Ibu bukanlah seorang yang gampang menyerah. Ketika kehidupan ekonomi mereka jatuh, Ibu yang sakit-sakitan pun masih mau bekerja sambilan. Ibu bersikeras untuk bekerja di tengah kondisinya yang tak memungkinkan. Walau pun Die memintanya untuk berhenti, tetapi rasanya itu tidak berpengaruh. Ibu bekerja sambilan di rumah mengerjakan pekerjaan kecil seperti membuat bunga kertas, memasukan tangkai-tangkai pada bunga plastic, dan menulis kaligrafi pada kertas undangan. Memang sepertinya pekerjaan itu mudah dan gampang, tetapi tetap saja untuk Ibu Die yang sakit itu merupakan kerja yang cukup keras. Namun, beliau tidak mengeluh. Dalih agar tidak membuat Die pusing memikirkannya dan fokus pada sekolahnya, membuat wanita itu tetap mengerjakan semua itu meski pun dengan bayaran yang kecil.

 

Mencontoh pada sikap Ibu yang tak kenal menyerah, maka Die pun mengikutinya. Keinginan Ibu ingin ia laksanakan, tetap bersekolah. Tapi Die juga tidak mau tinggal diam. Sebagai seorang anak laki-laki, terlebih lagi setelah ayah tidak ada, Die merasa inilah saatnya dia harus bertanggung jawab menafkahi keluarganya. Walau mungkin tak sebanding dengan apa yang Ayahnya berikan dulu.

 

Cyur!

Die menutup kran airnya. Kini ia telah selesai membersihkan dapur, ketika ia melirik jam, angkanya sudah menunjukan pukul dua pagi. Die sudah merasa letih, pundak dan lehernya terasa keram. Mungkin ini saatnya Die beristirahat.

 

*****

 

Shinya tidak masuk sekolah hari ini. Itu yang Die pikirkan ketika melihat bangkunya kosong. Tak biasanya. Tiba-tiba, Die teringat kejadian kemarin sore. Apa mungkin Shinya marah padanya karena perkataannya. Hhh, terserah padanya lah! Die memang ingin dia berhenti mengikutinya, itu saja. Kalau bisa, menjauh darinya.

 

Tetapi…

 

“Kamu bolos?”

 

Die akhirnya menemukan pria kurus itu di sebuah taman bermain kosong yang telah usang. Tidak akan sulit menemukannya jika Shinya mendadak menghilang. Ia akan selalu kembali ke tempat ini. Die berjongkok. Shinya bersembunyi di bawah perosotan kecil. Perosotan berwarna merah yang sudah sangat usang dan jelek.

 

Dulu, perosotan ini warnanya begitu menarik. Warnanya begitu terang dan menyenangkan. Sama seperti arena permainan yang lain juga. Dulu, di sini tempat favoritenya bermain, bersama Shinya…

 

“Keluar dari situ. Badanku sudah tidak lagi muat kalau harus masuk ke dalam situ juga, kan?” ujar Die.

 

Akhirnya, Shinya mau juga beranjak dari tempat sempit itu. Die membantunya berdiri, menepuki bagian-bagian seragamnya yang kotor.

 

“Apa sih yang kau pikirkan?”

 

Shinya hanya diam.

 

“Shin-”

 

“Aku hanya berpikir, aku dimusuhi olehmu. Aku sudah tidak punya teman lagi. Jadi untuk apa aku pergi ke sekolah?”

 

Die tercenung. Walau Shinya membuang muka, Die tetap bisa melihat kelopak matanya yang berair.

 

“Kalau kau sudah tidak mau berteman denganku lagi, siapa yang mau berteman denganku?”

 

Die canggung jika harus melihat airmata mengalir. Ia jadi merasa bersalah. Kenapa harus begini?

 

“Hei, anak laki-laki kan ngga boleh nangis.…”

 

Iya. Tidak boleh. Sama seperti Die yang berjanji tidak akan menangis lagi setelah kematian Ayah.

 

*****

 

“Jadi sudah berbaikan nih ceritanya?”

 

“Apanya?” suara Die terdengar di belakang Kaoru.

 

“Iya. Kau sudah tidak marah lagi pada anak itu?” Kaoru mencentang nama barang-barang pesanan di kertas ordernya dengan santai.

 

“Kami tidak pernah bertengkar.”

 

“Uh-huh?! Lalu…?”

 

Die berhenti menata kardus-kardus barang makanan ringan tersebut. Matanya melihat tumpukan kardus yang sudah tinggi.

 

“Hanya mewaspadai diriku sendiri, bahwa aku tidak bisa terlalu dekat dengan anak itu lagi.”

 

“Ibumu masih menyalahkannya?”

 

Die membisu.

 

“Hhh…” Die menghela kecil. “Barang-barangnya sudah siap, nih!” ia segera melupakan apa pun yang tak ingin ia ingat untuk saat ini.

 

Kaoru hanya bisa tersenyum maklum. Pemuda seperti Die adalah tipe anak yang hebat menurutnya. Bukannya Kaoru tak tahu bagaimana kesulitan Die menghadapi hubungan dua sisi ini. Jika saja masalah itu tak pernah terjadi, mungkin hidup pemuda ini tidak akan serumit ini.

 

“Aku pergi, ya!” pamit Die berlalu dengan mobil boxnya.

 

*****

 

Die berdiri di pinggir sebuah jalan yang sepi. Aspal di bawah kakinya basah karena air hujan sejak semalam, bahkan gerimis kecil ini pun seolah masih menyisakan kemarahan alam semalam. Hujan deras semalam benar-benar menakutkan sampai-sampai Die tidak bisa tidur. Angin dingin menusuk ke dalam jaket gembungnya, setiap kali bernafas bahkan uap-uap panasnya memuai ke udara. Benar-benar cuaca yang sangat esktrim di pagi hari.

 

Beberapa kali Die melirik jam tangannya. Ia nampak gelisah. Sudah beberapa mobil yang melintas di sana, tetapi orang yang ia tunggu tak kunjung datang.

 

“Die-kun!”

 

Shinya berlari, sosoknya nampak begitu lucu dengan mantel bulu yang membungkus badan kurusnya. Tetapi, ia terlihat jadi semakin…. anggun?

 

“Maaf, terlambat.” Katanya terengah-engah. Asap dari mulutnya terlihat begitu jelas. Die menoleh ke belakang Shinya, sebuah sedan hitam terlihat berhenti. Shinya berbalik dan melambai, seorang pria paruh baya tersenyum lalu berlalu dengan mobil mewahnya. “Ayo, kita berangkat ke sekolah!”

 

Sebenarnya setiap pagi begitu.

 

Mereka selalu berjanji di jalan kecil itu untuk bertemu dan berangkat ke sekolah bersama. Dulu, rumah Die berdekatan dengan rumah Shinya. Tetapi setelah Ayah meninggal, mereka pindah rumah. Dulu Die dan Shinya juga selalu begitu. Setiap pagi saling menunggu untuk berangkat ke sekolah bersama.

 

Die setiap kali berjalan kaki, terkadang mengendarai sepeda. Sementara Shinya, dia selalu diantar dengan mobil pribadi jemputan keluarganya. Tetapi, Shinya akan turun dari mobil dan lebih memilih berjalan ke sekolah bersama Die. Ia lebih memilih berjalan kaki asalkan bisa berangkat bersama dengan Die. Dan kelakuan mereka sudah berjalan sejak mereka masih duduk di bangku sekolah dasar.

 

Pria yang mengantar Shinya setiap pagi adalah ajudan keluarga Shinya, namanya Gie. Tampangnya memang agak seram dengan tato dan piercing di mana-mana. Tapi dia adalah pria yang paling ramah di lingkungan keluarga Shinya-- menurut Die. Gie akan membiarkan Shinya berangkat bersama dengan Die, padahal hal itu tidak boleh. Tetapi, Gie seolah menyembunyikan kebenaran ini dari keluarga Shinya.

 

“Gie menanyakanmu terus, katanya kapan kau mau berkunjung dan mencicipi takoyakinya lagi. Dia baru saja membuka lapak kecil di daerah Shibuya.”

 

Dari semua keluarganya, mungkin yang sering Shinya sebut hanya Gie. Karena dia memang adalah orang yang paling dekat dengan Shinya. Dia seolah sudah menjadi pengasuh Shinya sejak kecil.

 

“Oh, ya?”

 

Die sendiri sudah mengenal pria tua itu sejak kecil. Ayah Die dan Gie adalah teman lama di kelompoknya. Bahkan sebenarnya Ayah Die juga adalah bawahan keluarga Shinya, sama seperti Gie. Ia mengenal Die sebagai si anak Andou, dan selalu memanggil Die dengan marga Ayahnya.

 

“Pulang sekolah nanti, kita mampir ke tokonya, yuk!” ajak Shinya.

“Tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Aku harus bekerja.”

 

Tetapi kedekatan mereka mulai sekarang sudah tidak boleh dibiarkan. Die telah bertekad menjauhi mereka lebih dari ini. Die tidak mau terlibat seperti Ayah.

 

*****

 

Pukul sebelas malam. Die tepat waktu sampai ke toko setelah mengantar banyak sekali pesanan. Setelah menepikan mobil boxnya dan keluar dari sana, Die terkejut ketika melihat sosok Shinya di bar kecil Kaoru.

 

“Sedang apa kau di sini?” tanyanya aneh sambil mendekatinya.

 

“Oh, Die sudah pulang. Mau minum juga?” kata Kaoru yang tiba-tiba muncul dari pintu belakang. Tetapi suara Kaoru seolah tidak penting bagi Die yang sekarang menatap Shinya dengan mata yang mengintrogasi.

 

“Aku mau memberikanmu titipan dari Gie.” Katanya sambil memberikan sebuah kotak makan.

 

Takoyaki. Die sudah bisa menebaknya. Die memegang kotak plastic itu dengan kedua tangannya. Ini sudah tidak hangat lagi. Shinya pasti sudah lama berada di sini.

 

“Ayo, kuantar pulang.” Kata Die.

“Baik.”

 

*****

 

Mereka berjalan beriringan, tetapi sejak tadi tidak ada suara yang meramaikan. Shinya dan Die bungkam sejak tadi. Entah mengapa. Sementara hawa dingin mulai menyiksa. Bus malam sepertinya sudah mulai jarang beroperasi, maka mereka hanya bisa mengandalkan kedua kaki mereka untuk menuju tempat tujuan.

 

“Kupanggilkan taksi.” Tukas Die.

“Tidak usah.”

“Kalau begitu, kau telepon saja Gie. Minta dia menjemputmu.”

“Tapi-”

“Shinya! Keluargamu pasti mencarimu… Pamanmu pasti-”

 

Belum sempat Die menyelesaikan kalimatnya, sebuah mobil muncul di depan mereka. Seorang pria muncul di antara mereka, Gie.

 

“Shinya-kun! Ayo cepat pulang!” katanya.

 

Die terdiam, Shinya juga. Matanya melihat Gie dengan mata tidak ingin. Dan Gie sepertinya mengerti sinyal mata Shinya.

 

“Die-kun, juga. Naiklah, aku akan mengantarmu sampai ke rumah.”

“Aa- tidak perlu Gie. Aku bisa pulang sendiri.”

“Tidak apa-apa. Aku akan mengantarkanmu sampai ke depan gang saja supaya Ibumu tidak tahu.”

 

Die melihat Shinya yang menatap padanya dengan aneh.

 

“Ayo, cepat! Kita sudah tidak punya banyak waktu!” kata Gie tergesa-gesa.

“Ada apa memangnya?”

“Shinya-kun tidak perlu tahu. Yang penting cepat naik saja ke mobil.”

 

Pria tua itu menggiring kedua pamuda itu ke dalam mobilnya. Dengan cepat ia membawa mobilnya memutari jalan. Aneh. Padahal jika ia mengambil jalan lurus, arah rumah mereka akan lebih dekat. Kenapa Gie harus berputar?

 

Tetapi daripada memikirkan itu, Die melihat sikap Shinya yang mendadak murung. Jangan-jangan Shinya memikirkan perkataan Gie soal Ibunya.

 

*****

 

Keesokannya juga, Shinya tetap diam. Tak seperti biasa. Die tahu Shinya memang tipe pasif, tapi sepasifnya Shinya dia akan berusaha bicara sesuatu demi Die. Tapi hari itu Shinya banyak diam.

 

Ketika sampai di sekolah, satu sekolah nampak ribut. Terutama ketika sampai ke kelas mereka. Teman-temannya yang lain sepertinya seru membicarakan sesuatu.

 

“Ada apa?”

“Oh, Die. Kau tahu semalam kelompok Yakuza klan Yamaguchi dan Inagawa pecah di jalan? Mereka perang di jalan XXXX! Tadi pagi beritanya heboh sekali. Banyak yang mati dan terluka.”

 

Ooh, jadi itu sebabnya Gie berputar semalam? Die menoleh pada Shinya yang hanya membisu.

 

*****

 

Yakuza…

Sebutan itu terdengar keren bagi orang-orang yang belum pernah mengenal mereka. Mereka yang awam hanya tahu kelompok bangsat yang satu itu adalah tipe penguasa yang keren karena film-film selalu menggambarkannya demikian. Tetapi tahukah kalian bahwa kenyataannya tidak seperti apa yang dibayangkan?

 

Die mungkin tidak akan menepis bahwa Yakuza memang orang-orang yang memiliki kekuasaan pada beberapa titik wilayah bahkan markas polisi saja bisa dilumpuhkan. Anggota Yakuza itu seperti jamur yang selalu muncul dan tumbuh di mana saja. Anggotanya mungkin 10 kali lebih banyak daripada anggota polisi.

 

Dan jika ingin mengingat masa kelam, Ayah Die pun bekerja sebagai bawahan Yakuza. Sama seperti Gie… bekerja untuk Yakuza. Bekerja untuk keluarga Shinya…

Yah, Shinya adalah keluarga dari klan Yakuza Yamaguchi. Klan Yakuza yang paling besar dan disegani di wilayah ini. Ada beberapa orang yang paham seberapa besar pengaruh Yakuza dan ada yang tidak. Berbahagialah kalian yang tidak paham karena tidak harus merasa tertekan bila berada di sekitar mereka.

 

Sementara Die…

 

Berhubungan dengan Yakuza, dulu Die tidak mengerti apa itu Yakuza. Bermain dengan Shinya yang menurutnya berasal dari keluarga bangsawan seperti dalam cerita-cerita. Shinya itu seorang pangeran dari sebuah kerajaan besar. Dan Die hanyalah temannya dari rakyat jelata. Dulu Die tidak pernah tahu kenapa orang sebaik Shinya hanya memiliki sedikit teman. Ia jadi ikut memusuhi mereka yang memusuhi Shinya tanpa alasan. Karena Die merasa mereka salah paham terhadap Shinya. Shinya baik, sangat baik. Ia tidak pernah bertindak kurang ajar atau nakal kepada siapa pun. Bahkan sebaliknya, Shinyalah yang selalu mendapat perlakuan kasar dari teman-teman seusianya saat itu.

 

Die tahu Ayahnya bekerja pada keluarga Shinya. Oleh karena itu, Die bisa mendekatinya dan bermain dengannya. Tidak ada masalah. Die bahkan menyukainya. Ia memperlakukan Shinya seperti seorang adik kecil. Ia yang melindungi dan menjaga Shinya dari siapa pun yang ingin mengganggu Shinya. Shinya sudah seperti keluarga baginya.

 

Beberapa kali ketika Ayah pulang bekerja, ia mendapat banyak luka. Mulanya Die tidak pernah tahu darimana dia mendapatkan luka lebam dan memar itu. Tetapi beranjak ia besar, ia mengetahui betapa berbahayanya ia dan lingkungan sekitarnya. Die menyadari bahwa orang yang selama ini memberikan pekerjaan pada Ayahnya adalah orang yang terlalu ‘besar’ dengan resiko yang teramat besar pula. Dan suatu malam, Ayah tak pernah pulang. Bahkan, memberi kabar pun tidak.

 

Suatu ketika saat Die pulang dari sekolah rumahnya penuh dengan orang-orang berbaju gelap. Bau dupa dan wewangian menyengat menusuk hidung. Orang-orang yang ia kenal seperti Gie dan beberapa rekan Ayahnya duduk bersimpuh dengan wajah menyesal. Photo Ayah yang hitam putih tertata di depan sebuah peti mati berwarna keemasan. Saat itulah Die sadar, kematian adalah resiko pekerjaan Ayahnya yang bekerja sebagai anggota Yakuza.

 

Yang membuat Die kecewa adalah selepas Ayah meninggal. Beberapa orang mulai berdatangan dan menagih hutang kepada mereka. Lagi-lagi mereka mengaku Yakuza. Jika memang mereka Yakuza dan Ayah Die juga seorang Yakuza, kenapa mereka tetap menagih hutang kepada teman seprofesinya sendiri? Terlebih lagi mereka tahu tentang kematian Ayahnya. Kenapa tetap mempersulit?

 

Saat itu meminta bantuan pun sulit. Orang-orang yang tahu Ayah Die bekerja sebagai Yakuza seperti tidak mau berhubungan lagi dengan mereka. Mereka terlalu takut, mereka terlalu pengecut. Padahal ketika Ayah masih hidup, mereka juga selalu kecipratan keuntungan-keuntungan yang Ayah ke rumah.

 

Die tidak bisa melihat mereka. Orang-orang yang selama ini mengaku sebagai teman dan anak buah Ayahnya. Setelah Ayah meninggal dan dikebumikan, mereka pun seolah hilang ditelan bumi. Tak ada satu pun yang bisa dihubungi untuk dimintai tolong, bahkan kleuarga Shinya yang notabene adalah atasan Ayahnya. Mereka menghindar. Hingga akhirnya Ibu mulai merasakan penyakitnya semakin parah. Die tidak bisa membiarkan sisa hidup mereka berakhir di tangan penagih hutang. Maka, dengan berbekal sisa-sisa uang yang mereka miliki Die meninggalkan rumah yang sejak kecil mereka tinggali. Pergi menjauh, walau Die tahu ia tidak akan pernah bisa keluar dari wilayah ini.

 

Dimulailah kehidupan keras Die, bekerja seorang diri. Die benar-benar ingin menjauhi mereka semua. Membuang mereka dari benaknya dan mendepak mereka semua dari pikirannya. Mereka terlalu aib untuk Die kenang.

 

Tetapi… Die tidak bisa melupakan Shinya, bahkan ketika ia tiba-tiba muncul setahun lalu. Die selalu menghindarinya, mengacuhkannya seperti seseorang yang telah cukup berhubungan dengannya. Namun Shinya selalu mengikutinya, sama seperti mereka masih kecil. Shinya yang selalu berjalan di belakang Die, mengikuti kemana pun dia pergi.

 

Yah, Shinya… Shinya dari masa lalunya.

 

*****

 

“Maafkan, aku… Die-kun.”

 

Die segera merampas tas sekolahnya dan pergi meninggalkan Shinya yang masih mematung di depan mejanya. Die seperti diingatkan kembali betapa marah dan bencinya ia pada masa lalu dan ketidakpedulian mereka semua. Die sudah benar-benar muak dan jengah!

 

*****

 

“Kaoru!”

 

Die berlarian seperti yang kerasukan ketika melihat tempat kerjanya hancur berantakan. Semua barang-barang dan dus-dus berserakan. Kaoru sendiri mengalami cedera, luka lebam pada rahang pipinya.

 

“Orang-orang itu yang menghancurkan tempat ini! Mereka benar-benar gila!” jelas Toshiya sambil membereskan sisa-sisa barang mereka.

 

Tanpa dijelaskan siapa mereka, Die sudah bisa menebak para Yakuza tolol itulah yang mengacau toko mereka.

 

“Bangsat!” Die geram.

 

“Hey! Hey! Sudah! Aku tidak apa-apa, jangan membuat masalah ini semakin panjang.” Suara Kaoru terdengar disela ringisan sakitnya.

 

“Bagaimana mungkin kita bisa diam saja, Kao!”

 

“Lalu kau mau apa? Kau mau menyerang mereka dan berakhir seperti ayahmu?!” Kaoru kelepasan bicara. Tak seharusnya dia mengatakan hal itu. “Maaf, Die, aku sungguh tidak bermaksud. Jangan membuat masalah semakin besar lebih dari ini.”

 

Die menghela kecil. Ia tak marah, justru ia harus berterima kasih. Dengan Kaoru bicara seperti itu, Die menjadi sadar seberapa besar kekuatannya dibanding mereka.

 

“Tidak apa-apa. Kembalilah bekerja. Masih banyak pekerjaan lain yang menunggu kita ketimbang mempermasalahkan hal sekecil ini.” Lanjut Kaoru lagi.

 

Kenapa rasanya dunia ini tidak adil?

 

*****

 

Die berlari-lari menuju sekolah. Bel sudah berbunyi sejak tadi. Die tahu ia sudah telat, mau tak mau ia harus menerima hukuman dari guru penjaga yang menciduknya. Lari tiga kali mengelilingi lapangan bola. Benar-benar melelahkan. Die bisa kembali ke kelasnya setelah terlewat satu jam mata pelajaran.

 

“Maaf, saya terlambat!”

 

Die membuka pintu kelas, semua mata tertuju padanya. Namun mata Die hanya menuju pada bangku Shinya, Shinya yang menunduk.

 

“Kamu lagi, Daisuke. Jangan dibiasakan datang terlambat, dong!”

“Maaf, Pak.”

“Sana duduk!”

 

Letih sekali rasanya ketika Die menyeret kakinya berjalan ke mejanya. Melewati Shinya yang hanya bisa menunduk tak berani melihatnya. Ternyata anak ini mengerjainya.

 

 

“Besok-besok kita tidak usah berangkat bareng lagi.” Ujar Die selepas sekolah usai.

 

Seperti biasanya, Shinya hanya bungkam. Bahkan ketika Die pergi juga. Lagi-lagi Die harus merasakan perasaan kecewa. Shinya mulai menjengkelkan.

 

*****

 

Malam itu Die dikejutkan oleh kehadiran Gie kerumahnya. Pria itu datang mencari Die. Gie sudah tidak pernah mengunjungi Die setelah Ayahnya meninggal meski pun Gie tahu tempat tinggal Die saat ini. Baru kali ini dia mengunjunginya lagi.

 

“Ada apa?”

“Aku mencari Shinya-kun. Kau melihatnya?”

 

Alis Die menyatu. “Shinya belum pulang?”

 

*****

 

Die pergi mencari Shinya malam itu. Kakinya membawanya pada taman bermain usang yang dulu pernah menjadi tempat bermain mereka, namun sayang ternyata pikiran Die salah. Shinya tak ada di sana. Itu membuatnya semakin panik.

 

Die kembali berlari, kali ini menuju sekolah. Ia memang tidak bisa menjamin Shinya berada di sana, tapi mencarinya ke sana tentu tak ada salahnya. Dan ternyata pemuda memang ada di sana. Saat Die menemukannya, Shinya hanya duduk diam di kursinya. Tanpa menyalakan lampu dan membuat ruang kelas itu terlihat gelap dan menakutkan.

 

“Kenapa tidak pulang?!” Die berjalan pelan mendekatinya. “Kenapa masih di sini? Gie mencarimu. Dia khawatir padamu.” Kali ini Die sudah berdiri tepat di depan meja Shinya. Tapi Shinya masih diam.

 

Die bingung menghadapi Shinya. Entah kenapa Shinya membuatnya menjadi serba salah. Dengan malas, Die menggeser kursi di dekatnya dan duduk di samping Shinya. Tak ada suara di antara mereka, terlalu senyap. Bahkan Die pun tak peduli dengan kegelapan ini, selama matanya masih bisa menangkap sosok Shinya di bola matanya. Tetapi lambat laun, Shinya mulai bicara.

 

“Sekali pun, aku tidak pernah berharap akan lahir di keluarga Yakuza. Tidak pernah terbayangkan olehku status seperti itu akan membuat hidupku sesulit ini. Bersosialisasi menjadi sulit, bahkan berteman pun sulit.” Ujarnya. “Apa yang mereka lakukan, akan menjadi kutukan untukku. Semua sumpah serapah yang harusnya diucapkan kepada mereka yang menghancurkan, akhirnya berimbas padaku. Aku tidak pernah menghajar orang, tapi kenapa aku yang dibenci? Hanya karena aku salah satu keluarga dari mereka, bukan berarti aku juga pembunuh kan?”

 

Bisa Die lihat setetes air bening itu jatuh di atas meja besi tersebut.

 

“Tapi, aku tidak keberatan. Karena aku juga tidak mengenal mereka. Aku tidak peduli dengan apa yang mereka katakan. Tapi,… kalau Die-kun yang berkata begitu padaku, aku jadi sangat sedih.” Sesekali Shinya menyeka airmatanya. “Aku tidak punya banyak teman, bahkan hampir tidak punya. Memiliki Die sebagai temanku tentu saja membuatku sangat senang. Setidaknya, aku benar-benar masih memiliki teman walau pun itu cuman kau,” Shinya terisak sejenak, dia berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya kembali bicara. “Aku senang mengikuti Die, karena dengan mengikutimu aku merasa tidak berbeda. Aku banyak berharap darimu, tetap menjadi temanku walau kau tahu aku berbahaya. Aku menutup diriku sendiri untuk tetap bisa berjalan dibelakangmu, tapi…”

 

Lagi-lagi Shinya terisak. Die tidak bisa apa-apa dan tak mau bicara. Ia ingin memberikan Shinya kesempatan untuk mengatakan isi hatinya. Karena Die tahu, dalam senyum manis yang selama ini terlihat di wajah Shinya banyak tekanan besar selalu menghantuinya sepanjang hidupnya.

 

“Aku sadar, aku sudah tidak bisa mengikuti Die-kun lagi. Hiks…” tangis Shinya menghebat. Ia menangis sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya.

 

Die mengerti apa yang Shinya katakan. Die terlalu mengerti dan merasakan perasaan sakit mendalam. Tetapi mungkin rasa sakitnya tidak separah yang Shinya rasakan.

 

Die masih tergolong anak yang beruntung. Ia masih bisa merasakan hangat keluarga, bermain dengan teman seusianya, dan melakukan banyak hal yang menyenangkan. Sampai suatu hari ia bertemu Shinya dan mulai mengenalnya. Selama itu tak pernah ada masalah. Masalah hanya muncul ketika Ayahnya meninggal, itu seperti sebuah rentetan masalah yang tidak pernah habis diselesaikan. Setiap harinya ada saja masalah-masalah yang mengejar mereka hingga Die ingin mati rasanya. Kasarnya, Die menyalahkan mereka semua yang berhubungan dengan dunia Yakuza. Bahkan Shinya.

 

Tapi bagaimana dengan Shinya?

 

Apa yang Shinya katakan adalah suatu kebenaran yang pahit. Shinya memang tidak pernah melakukan hal apa pun. Semua kebencian yang dilayangkan mereka padanya hanya karena gelar dan status yang Shinya pikul sebagai keluarga dari para pembuat onar itu. Aslinya, Shinya tak bersalah. Tetapi, mau seperti apa pun itu tidak membuat banyak perubahan dari citra seorang Yakuza di mata semua orang. Dan mungkin Shinya menyadari tentang hal ini. Ia ingin sekali membela diri, ia ingin menghindar dan memiliki kehidupan sendiri. Tidak melulu harus dikaitkan dengan keluarganya yang durjana. Shinya berbeda dengan mereka. Tapi Shinya tidak bisa lepas.

 

“Mungkin seandainya jika kau tidak bertemu denganku dan keluargaku, Ayahmu tidak harus meninggal karena kami…”

 

Hati Die mencelos mendengarnya. Inilah bagian dimana Die harus berhati-hati berpikir. Satu sisi dalam hatinya, ia memang menyalahkan semuanya. Tetapi, jika Die harus menyalahkan pada pertemuannya dengan Shinya dan semua yang ia alami bersamanya itu tak pernah adil. Walau pun dengan itu Die seolah harus membayar dengan kematian sang Ayah tercinta.

 

Maaf, aku sangat menyusahkan…” kata Shinya dengan suara parau.

 

Die hampir menangis saat itu. Ia merasa sangat jahat saat ini. Die bodoh! Ia sadar dengan apa yang ia lakukan terhadap Shinya. Selama ini dialah yang menjadi tekanan berat untuk Shinya. Karena semua penyalahannya Die membuat Shinya terombang-ambing. Die-lah yang bodoh…

 

 

Mungkin sejak saat itulah, Shinya mulai menarik diri dari kehidupan Die. Dia sudah tidak pernah lagi mengikuti Die di belakangnya. Setiap pagi ketika Die menunggu di tempat biasa, ia melihat mobil yang Shinya tumpangi melaju tak berhenti. Shinya sudah tidak lagi bicara pada Die selama di sekolah, ia semakin terlihat bisu. Tetapi ia mampu bersikap riang kepada siapa pun yang berhadapan dengannya, tersenyum dan tertawa ala kadarnya layaknya siswa lain. Namun Die sadar, itu hanya formalitas. Apa yang Shinya sembunyikan tentu saja mampu Die lihat dengan sangat jelas.

 

Sebenarnya inilah yang Die inginkan sejak ia memutuskan untuk menjauhi Shinya, berharap anak itu tidak akan pernah lagi mengikutinya. Seharusnya, Die senang kan?

 

“Hhh...”

 

Untuk yang ke sekian kalinya Die menghela. Kaoru yang melihat pemuda tinggi itu mulai sedikit mengajaknya bergurau.

 

“Uangmu sudah habis? Helaannya sampai terdengar ke kantor dalam.”

 

Die menoleh. “Ah, tahu?” Die menjawabnya dengan nada setengah bercanda.

 

Kaoru tersenyum kecil, lalu mendekati pemuda tersebut.

 

“Kenapa lagi?” kali ini dia bertanya serius. Die yang sudah mengerti sikap Kaoru agak sulit menjawab pertanyaannya, ia hanya menjawab dengan helaan sekali lagi. “Ibumu baik-baik saja, kan?”

 

Die merunduk dengan senyum simpul dibibirnya. “Bukan soal ibu...”

 

Kaoru meliriknya. Die menghela.

 

“Aku pikir, aku telah membuat kesalahan.”

“Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?”

“Karena hatiku tidak tenang,” Die menatap dus-dus minuman di belakang Kaoru sambil setengah melamun. Kaoru nampak belum mengerti, sampai Die kembali bicara. “Aku ingat apa yang pernah dikatakan Ayahku, jika kau melakukan sebuah kesalahan maka rasa bersalah itu akan menghantuimu.”

“Memangnya kau pikir kesalahan apa yang sudah kau buat sampai kau jadi seperti itu?”

“Entahlah,” Die memangku dagunya, “aku juga sedang berpikir, kenapa aku merasa bersalah.”

 

Sungguh aneh.

 

Tetapi jika dipikir lagi, ini bukan pertama kalinya Die merasakan perasaan beralah yang seperti ini. Dulu sekali ia banyak merasakannya, terlebih lagi ketika membuat banyak masalah. Walau kecil, ketika Ibu menangis atau ayah memarahinya, ia akan merasa bersalah. Mereka marah karena pasti Die-lah yang melakukan kesalahan. Atau pada saat Die membuat orang lain kesusahan karena dirinya, Die pun merasakan perasaan bersalah. Membuat Ibu hidup susah seperti ini, sejak dulu perasaan bersalah sudah ada di dirinya. Namun, perasaan bersalah ini semakin besar ketika ia sadar, bukan hanya Ibu yang kesusahan, Shinya juga.

 

Tap!

 

Die berhenti di sebuah jalan. Di lokasi yang sunyi dan sepi. Sebuah tiang jalan dengan lampu-nya yang ke-oranye-an menerangi jalannya.  Di samping kiri tempat Die berada, berdiri kokoh sebuah dinding tanah yang tak dibeton. Bentuknya masih tanah segar yang ditumbuhi dengan rumput-rumput liar dan lumut hijau. Jika setelah hujan, biasanya harum dari tanah dan rumput-rumput liar itu tercium nyata.

 

Di tempat inilah Die biasa menunggui Shinya jika hendak ke sekolah. Sebuah jalan lurus yang membentang horisontal yang memotong jalan vertikal dimana Die berdiri kelihatan begitu lengang. Jalan itulah yang akan menunjukan dimana Shinya sebenarnya. Tetapi tentu saja masih sangat jauh dari sini dan harus menggunakan kendaraan jika ingin mencapainya. Karena rumah Shinya benar-benar sangat sulit dijangkau. Bukan karena jaraknya melainkan karena area-nya yang memang tersembunyi dan terjaga.

 

Jika ingin melihat rumah Shinya, maka Die harus sedikit berjinjit. Maka kepala rumah Shinya akan terlihat dari tempatnya berdiri. Dinding tanah yang merupakan jalan tanjakan ini cukup hebat untuk menyembunyikan rumah Shinya. Di atas jalan tanjakan itu tumbuh batang-batang bambu kuning yang ditanam sengaja menyerupai pagar alam. Mereka tumbuh di sepanjang jalan tanjakan menuju kediaman keluarga Shinya.

 

“Hh...”

 

Die berjongkok, menepikan dirinya dan berteduh di bawah dinding tanah yang masih basah karena hujan tadi sore. Angka di jam tangannya sudah menunjukan pukul 12.32 malam. Waktu yang sangat larut sekali. Padahal Die sudah pamit pulang dari toko Kaoru sejak pukul 9 malam tadi, tapi entah mengapa kakinya membawanya ke tempat ini. Hal yang percuma jika ia berpikir kembali. Untuk apa berdiam diri di sana sendirian?

 

Untuk helaan nafas yang ke sekian kalinya, Die menyandarkan dirinya pada dinding tanah tersebut. Terasa sekali dingin dari air yang tersisa di rumput dan lumut hijau tersebut memoles belakang punguk Die. Rambut-rambutnya yang turun mendadak basah perlahan. Die merogoh sesuatu dalam sakunya dan mengeluarkan satu pak rokok menthol-nya. Menyalakannya dan mulai menikmatinya. Ia tak pernah ingat sejak kapan kecanduan rokok.

 

Asap putih yang membumbung ke udara menjadi bukti yang jelas akan kesepian ini. Lengang dan tak berpenghuni. Apa yang Die lakukan di sana kecuali diam dan memandangi bagaimana asap-asap itu memuai dan menghilang. Tertelan hawa dingin malam yang masih terus menyajikan hawa menusuk. Menusuk kenangan-kenangan yang selalu terkenang dalam benaknya, walau ia terus berusaha untuk melupakannya, tetapi tidak bisa. Bagaimana dia terkenang masa dimana semuanya begitu manis sekali untuk diingat, tetapi berlanjut perih dan menyakitkan di akhir. Tunggu, akhir? Apa benar Die sudah merasakan akhir segalanya? Maksudnya, apakah Die berpikir bahwa ini akhir dari segalanya? Ia berakhir menjadi seseorang yang tak pernah beruntung. Itu terlalu mengenaskan.

 

Namun, Die benar-benar tidak bisa menentukan masa depannya ke depan. Akan jadi apa? Die belum memikirkan ke arah sana. Dikala semua orang tertidur dengan bunga mimpi mereka, Die masih harus mengemas masa depannya yang masih ia pikirkan sampai saat ini. Kenapa begitu sulit diputuskan?

 

Tetapi masa depan seperti apa yang Die harapkan sebenarnya?

 

 

 

 

 

 

 

To be continue...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar