expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

20 Mei 2013

The Blossoming Beelzebub


Title : The Blossoming Beelzebub

Author : Duele

Last Edited : Oktober 2011

Genre : AU, Darkness

Rating : PG15

Chapter(s) : oneshot

Fandom(s) : Dir en Grey

Pairing(s) : General

Disclaimer :  The Blossoming Beelzebub – Dum Spiro Spero (Dir en Grey)

Note Author : Salah satu judul dari fanfic nazaar saya dari Album Dum Spiro Spero (14 title)

 

~*~

 

Breakfast…

 

Entah mengapa kegiatan itu menjadi ritual tersendiri yang tak pernah bisa aku lupakan. Duduk di kursi kayu dengan ukiran indah di kedua sisinya. Punggung kursi yang melengkung, menyamankanku saat bersandar.

 

Krim sup.

 

Entah kenapa makanan encer ini selalu menjadi menu makanan pertama yang tak pernah berubah sejak dulu. Sejak pertama kali aku dibolehkan duduk di meja makan bersama Ayah dan Ibu serta saudara yang selalu antusias mengisi setiap kursi kosong di meja makan besar ini. Mereka selalu lahap, bahkan terlihat seperti orang-orang yang kelaparan saat menyantap makanan.

 

Gurih.

 

Entah kenapa aku mengatakannya demikian. Padahal ini hanya sebuah bau. Bau yang menguar dari sup berwarna pucat yang kini tertata di depan mejaku. Di sisi kanannya, sebuah sendok berkepala bulat tertelungkup. Seperti orang mati yang tak berani menampakan wajahnya yang cekung. Saat aku mengambilnya dan menatap permukaan cekungnya, ia seperti sedang mengejekku. Membalikan bayangan wajahku dan membuatku tampak menakutkan dengan celong di wajahku.

 

Dingin.

 

Lidahku mengecap rasa. Dingin. Walau tercium bau gurih yang menyiksa, ini hambar. Ini tengik! Sudah berapa lama makanan ini tak kusentuh? Bahkan aku tidak tahu pasti, kapan Ibu memasaknya.

 

Kugerakan kursiku, menggeser dan memberikan jalan bagiku ‘tuk beranjak. Penat menyegat kepalaku. Senyap ini menghiburku yang kelelahan. Mereka mengajak dan membisikan ajakan-ajakan manusiawi yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Bisikan manis yang lebih kuat suaranya daripada suara hingar dari tetangga sebelah, yang selalu meributkan masalah hidup. Bodoh. Hidup bukan untuk dipermasalahkan dan hanya berseru tentang kesalahan. Kenapa tak sekali pun mereka menikmati hidup seperti aku?

 

Semilir angin menyibak raga. Mata ini tak kunjung segan melihat lantai kayu yang mengilat. Saat aku injak, telapak kakiku yang berdebu mengotorinya. Seperti membuat sebuah cap. Ini milikku.

 

Aku berbaring di lantai kayu, segera hawa dingin menyapa pipi dan tubuhku yang terkulai. Memposisikan diriku miring, menatap lurus pada jendela kamar bergorden polkadot merah muda. Kepala genting dari rumah tetangga menyangga matahari yang muncul dari timur. Cahayanya, menyilaukan…

 

Airmata jatuh dari tulang hidungku. Bukan menangis. Mataku perih melihat sinar violet yang menyiksa, tetapi mata ini enggan untuk berkedip. Seperti haus, tak pernah menyapa matahari sebelumnya.

 

Burung-burung gereja singgah, bersiluet bersama dengan kicau dan nyanyian. Matahariku terhalangi, tetapi menjadi lebih indah karena mereka. Apakah itu Anthony? Atau Charles? Lawan bicaraku setiap pagi ketika tak ada satu pun dari mereka mau bicara padaku. Menganggapku si bisu tuli penganggu.

 

Kemarin mereka kabur dari pinggiran kamarku ketika aku bicara pada Ibu. Mereka pergi, ketakutan dan tidak mau kembali singgah ke tempatku. Sedih.

 

Dan selalu, kesedihan ini membuatku mengantuk. Perlahan membawaku tertidur. Aku ingat perkataan Ibu. Aku ingat percakapan Ayah. Aku ingat bisik-bisik kecil di antara saudara-saudari sedarahku. Tetapi aku hanya bisa mengingat, karena hanya bisa mendengarkan. Mereka tak pernah mau bercakap dan menatap mata hitamku.

 

Aku dibedakan? Mungkin. Tidak. Iya. Tentu.

 

Siapa aku? Anak. Saudara. Bagian dari keluarga ini.

 

Bukan.

 

Lalu siapa aku?

 

Kenapa masih tersisa satu kursi di ujung meja untukku? Lalu kenapa tersaji semangkuk krim sup untukku? Lalu kenapa berbagi kamar denganku?

 

Aku siapa? Namaku pun samar. Bahkan tak ingat. Mereka tak pernah memanggilku. Yang membantuku mengingatnya, hanyalah ingatan masa kecilku. Apa itu termasuk kenangan? Sekarang, aku boleh tertawa?

 

Aku bangkit dari lantai, menatap matahari yang juga bangkit menyertaiku. Aku berjalan, menapaki lantai kayu dengan gurat hitam pada sekat kayunya. Itu seperti nadi, saluran darah yang sama dengan urat nadi darahku. Setiap langkahku, itu berarti. Hitungan yang selalu ku simpan. Sudah berapa kali aku berjalan? Bebas setelah sebelumnya terkunci di lantai emas.

 

Rintihan anak-anak tangga meringkih saat kupijak. Aku tidak percaya kalian menangis menyanggaku yang kecil ini. Tetapi derit tangis kalian menyenangkan bagiku. Layaknya bercengkrama, aku menyukai kalian semua.

 

Pintu mahogany besar itu menyapa kehadiranku. Berseru padaku, lepaskan kenop dan lihat isi perutnya. Kuturuti, riang kurobek isi perutnya yang memperlihatkan kamar kecil dengan kelambu putih bercarang. Sosok Ibu terbaring damai di sana. Kudekati…

 

“Bu…”

 

Suara kecilku memanggil. Disusul dengan derit lantai kayu yang selalu merintih saat kutapaki.

 

“Bu…”

 

Aku memanggil lagi. Tetapi ia tak kunjung mendengarku juga. Terbiasa. Aku terbiasa dengan segala sikap acuh siapa pun di sekitarku. Aku mengitari kelambu putih itu, sosok Ayah tertidur di samping Ibu. Dengan posisi yang serupa, dengan kedua tangan tertumpuk di atas perut. Bagai vampire…

 

“Ayah…”

 

Mata Ayah masih tak kunjung terbuka. Aku tak berani mengusiknya untuk kedua kalinya. Maka kini, langkahku berhenti tepat di sisi ranjang Ibu. Kelambu ini mengganggu, menutupi wajah cantik Ibu yang terlelap. Maka kusingkap.

 

“Bu…”

 

Dengan seruan kecilku yang masih berharap didengarkan.

 

“Bu…”

 

Ayolah jangan begini.

 

“Bu..!”

 

“Bu!”

 

“Bu!!”

 

“Bu!!!”

 

Setan!!

Acuh kalian padaku!!!

 

Kusambar pisau di meja tidur mereka. Kutancapkan tepat ke dada Ibu. Kulepaskan gagang pisau berkarat merah itu di sana. Aku menghela.

 

Sial. Tak bekerja. Aku tetap diacuhkannya.

 

“Hihihi…”

 

Bodohnya aku, mereka kan sudah mati sejak lama.

 


 

 

FINISH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar