Title
: The Blossoming Beelzebub
Author
: Duele
Last
Edited : Oktober 2011
Genre
: AU, Darkness
Rating
: PG15
Chapter(s)
: oneshot
Fandom(s)
: Dir en Grey
Pairing(s)
: General
Disclaimer
: The Blossoming Beelzebub – Dum Spiro Spero
(Dir en Grey)
Note
Author : Salah satu judul dari fanfic nazaar saya dari Album Dum Spiro Spero
(14 title)
~*~
Breakfast…
Entah
mengapa kegiatan itu menjadi ritual tersendiri yang tak pernah bisa aku
lupakan. Duduk di kursi kayu dengan ukiran indah di kedua sisinya. Punggung
kursi yang melengkung, menyamankanku saat bersandar.
Krim
sup.
Entah
kenapa makanan encer ini selalu menjadi menu makanan pertama yang tak pernah
berubah sejak dulu. Sejak pertama kali aku dibolehkan duduk di meja makan bersama
Ayah dan Ibu serta saudara yang selalu antusias mengisi setiap kursi kosong di
meja makan besar ini. Mereka selalu lahap, bahkan terlihat seperti orang-orang
yang kelaparan saat menyantap makanan.
Gurih.
Entah
kenapa aku mengatakannya demikian. Padahal ini hanya sebuah bau. Bau yang
menguar dari sup berwarna pucat yang kini tertata di depan mejaku. Di sisi
kanannya, sebuah sendok berkepala bulat tertelungkup. Seperti orang mati yang
tak berani menampakan wajahnya yang cekung. Saat aku mengambilnya dan menatap
permukaan cekungnya, ia seperti sedang mengejekku. Membalikan bayangan wajahku
dan membuatku tampak menakutkan dengan celong di wajahku.
Dingin.
Lidahku
mengecap rasa. Dingin. Walau tercium bau gurih yang menyiksa, ini hambar. Ini
tengik! Sudah berapa lama makanan ini tak kusentuh? Bahkan aku tidak tahu
pasti, kapan Ibu memasaknya.
Kugerakan
kursiku, menggeser dan memberikan jalan bagiku ‘tuk beranjak. Penat menyegat
kepalaku. Senyap ini menghiburku yang kelelahan. Mereka mengajak dan membisikan
ajakan-ajakan manusiawi yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Bisikan manis
yang lebih kuat suaranya daripada suara hingar dari tetangga sebelah, yang
selalu meributkan masalah hidup. Bodoh. Hidup bukan untuk dipermasalahkan dan
hanya berseru tentang kesalahan. Kenapa tak sekali pun mereka menikmati hidup
seperti aku?
Semilir
angin menyibak raga. Mata ini tak kunjung segan melihat lantai kayu yang
mengilat. Saat aku injak, telapak kakiku yang berdebu mengotorinya. Seperti
membuat sebuah cap. Ini milikku.
Aku
berbaring di lantai kayu, segera hawa dingin menyapa pipi dan tubuhku yang
terkulai. Memposisikan diriku miring, menatap lurus pada jendela kamar
bergorden polkadot merah muda. Kepala genting dari rumah tetangga menyangga
matahari yang muncul dari timur. Cahayanya, menyilaukan…
Airmata
jatuh dari tulang hidungku. Bukan menangis. Mataku perih melihat sinar violet
yang menyiksa, tetapi mata ini enggan untuk berkedip. Seperti haus, tak pernah
menyapa matahari sebelumnya.
Burung-burung
gereja singgah, bersiluet bersama dengan kicau dan nyanyian. Matahariku
terhalangi, tetapi menjadi lebih indah karena mereka. Apakah itu Anthony? Atau
Charles? Lawan bicaraku setiap pagi ketika tak ada satu pun dari mereka mau
bicara padaku. Menganggapku si bisu tuli penganggu.
Kemarin
mereka kabur dari pinggiran kamarku ketika aku bicara pada Ibu. Mereka pergi,
ketakutan dan tidak mau kembali singgah ke tempatku. Sedih.
Dan
selalu, kesedihan ini membuatku mengantuk. Perlahan membawaku tertidur. Aku
ingat perkataan Ibu. Aku ingat percakapan Ayah. Aku ingat bisik-bisik kecil di
antara saudara-saudari sedarahku. Tetapi aku hanya bisa mengingat, karena hanya
bisa mendengarkan. Mereka tak pernah mau bercakap dan menatap mata hitamku.
Aku
dibedakan? Mungkin. Tidak. Iya. Tentu.
Siapa
aku? Anak. Saudara. Bagian dari keluarga ini.
Bukan.
Lalu
siapa aku?
Kenapa
masih tersisa satu kursi di ujung meja untukku? Lalu kenapa tersaji semangkuk
krim sup untukku? Lalu kenapa berbagi kamar denganku?
Aku
siapa? Namaku pun samar. Bahkan tak ingat. Mereka tak pernah memanggilku. Yang
membantuku mengingatnya, hanyalah ingatan masa kecilku. Apa itu termasuk
kenangan? Sekarang, aku boleh tertawa?
Aku
bangkit dari lantai, menatap matahari yang juga bangkit menyertaiku. Aku
berjalan, menapaki lantai kayu dengan gurat hitam pada sekat kayunya. Itu
seperti nadi, saluran darah yang sama dengan urat nadi darahku. Setiap
langkahku, itu berarti. Hitungan yang selalu ku simpan. Sudah berapa kali aku
berjalan? Bebas setelah sebelumnya terkunci di lantai emas.
Rintihan
anak-anak tangga meringkih saat kupijak. Aku tidak percaya kalian menangis
menyanggaku yang kecil ini. Tetapi derit tangis kalian menyenangkan bagiku.
Layaknya bercengkrama, aku menyukai kalian semua.
Pintu
mahogany besar itu menyapa kehadiranku. Berseru padaku, lepaskan kenop dan
lihat isi perutnya. Kuturuti, riang kurobek isi perutnya yang memperlihatkan
kamar kecil dengan kelambu putih bercarang. Sosok Ibu terbaring damai di sana.
Kudekati…
“Bu…”
Suara
kecilku memanggil. Disusul dengan derit lantai kayu yang selalu merintih saat
kutapaki.
“Bu…”
Aku
memanggil lagi. Tetapi ia tak kunjung mendengarku juga. Terbiasa. Aku terbiasa
dengan segala sikap acuh siapa pun di sekitarku. Aku mengitari kelambu putih
itu, sosok Ayah tertidur di samping Ibu. Dengan posisi yang serupa, dengan
kedua tangan tertumpuk di atas perut. Bagai vampire…
“Ayah…”
Mata
Ayah masih tak kunjung terbuka. Aku tak berani mengusiknya untuk kedua kalinya.
Maka kini, langkahku berhenti tepat di sisi ranjang Ibu. Kelambu ini
mengganggu, menutupi wajah cantik Ibu yang terlelap. Maka kusingkap.
“Bu…”
Dengan
seruan kecilku yang masih berharap didengarkan.
“Bu…”
Ayolah
jangan begini.
“Bu..!”
“Bu!”
“Bu!!”
“Bu!!!”
Setan!!
Acuh
kalian padaku!!!
Kusambar
pisau di meja tidur mereka. Kutancapkan tepat ke dada Ibu. Kulepaskan gagang
pisau berkarat merah itu di sana. Aku menghela.
Sial.
Tak bekerja. Aku tetap diacuhkannya.
“Hihihi…”
Bodohnya
aku, mereka kan sudah mati sejak lama.
FINISH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar