expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

02 Maret 2013

ALICE in The WONDERLAND (Part 1)

Title : ALICE in The WONDERLAND

Author : Duele

Finishing : Februari 2013

Genre : Fantasy, AU, School-fic, Drama, Adventure

Rating : PG15

Chapter(s) : 1/10

Fandom(s) : Alice Nine

Pairing(s) : NO Pair. General.

Notes Author : Uh, yeah. I love Alice in The Wonderland’s movie. That’s awesome. And hell yeah, I decided to writing this fic based on story from it. With Alice9 as an ‘Alice’. You’ll don’t know, guys… you don’t know what I’ve planning. *grin*

Btw, this is my 2nd story about fantasy’s FF after EXODUS. So, please take a seat and enjoy it J

 
*****



“…. And this is health for our government.”

 

“Bagus, Kazamasa. Seperti biasa bahasa Inggrismu semakin fasih.” Wanita itu memujinya dengan senyum manis yang dibuat-buat. “Selanjutnya…!”

 

Anak itu duduk. Anak bernama Kazamasa Shou itu…

 

“Hebat! Selalu dipuji Mrs. White, klan Kazamasa yang tak terkalahkan dan terhormat.”

“Aku tidak heran hidupnya dihabiskan hanya dengan membaca buku.”

“Kau sudah dengar? Bukan hanya pintar, dia juga akan ikut dalam symphony recital piano di gedung Universitas T yang tenar itu.”

“Ah, benar… beritanya sudah menyebar.”

“Sudah tampan, berbakat, kaya. Dia cocok kau jadikan suami.”

“Ih, najis. Meskipun kaya, aku tidak mau membusuk di keluarganya yang keras dan kolot. Bisa-bisa aku dijadikan pembantu sama keluarganya.”

“Hihihi… Emi, kau jahat, ah!”

“Tapi kau setuju, kan?”

 

Shou berharap sekali dia tuli saat itu sehingga tak harus mendengar bisikan-bisikan kecil yang mampu menusuk jantungnya. Bukan hanya kala itu, namun setiap saat. Ia berharap, kelas hari ini segera berakhir. Sayangnya, harapannya tinggal sebuah harapan dengan jadwa latihan les yang menggunung di hari ini.

 

Kapan berakhirnya?

 

 

“Sakit! Jangan pukul lagi!”

“Kalau tidak mau kupukul, serahkan uangmu!”

“Ba-baik!”

“Alah, dasar kutu buku! Tinggal memberi uang saja repot!” ia mengancam berpura-pura mengayunkan tangan.

“A-ampun, Saga! Jangan pukul!”

“Enyah, kau!”

 

Uang telah di tangan. Ambisi menghajar orang terlampiaskan sudah. Semua sumpah serapah juga sudah terbalas. Tetapi kenapa masih belum puas? Ingin rasanya memukul orang lebih banyak. Tetapi telah mengeluarkan beberapa tinju hampir meretakan tulang buku-buku jarinya.

 

Kesal!

 

Saga menghempaskan diri ke kursi taman. Menghitung hasil uang hasil ambil paksanya dari anak-anak sekolah lain. Mengejutkan bahwa ia bisa mendapatkan uang sebanyak ini. Uang yang sama sekali tak pernah di kantongi untuk sebatas uang saku semata. Anak-anak jaman sekarang benar-benar dimanjakan.

 

Dan itu semakin membuatnya semakin kesal. Ia berdiri dan melihat sekaleng sampah minuman terserak di tanah. Dengan kasar Saga menendangnya penuh benci.

 

Tlang!

 

Kaleng soda itu membentur sudut trotoar. Menghalangi jalan bagi Tora. Sampah masyarakat nakal yang tidak tahu aturan. Membuatnya semakin benci dan mendoakan mereka yang membuangnya segera mati tertabrak. Beban di pundaknya semakin berat saja. Dipindahkannya tas kerjanya ke bahu sebelah kanan. Penat malam ini membawanya pergi untuk minum-minum. Ia menolak untuk karaoke dengan teman sekantornya. Ia menampik bahwa ia butuh perempuan untuk bahan pelampiasan.

 

Rasanya, jenuh.

 

Telalu kaku untuk memulai mengenali dunia kehidupan yang hangat seperti dulu. Tora memendam rindu terlalu dalam pada Lily, buah cintanya. Bayi mungil berumur 5 bulan yang sekarang entah di mana. Mantan istrinya benar-benar membencinya hingga membawanya pergi menjauh. Bahkan menghilang.

 

“… Lily…”

 

Kenapa hidup ini seolah tidak adil?

 

 

“Adil, kan?” pria tinggi berambut tersemir itu menyombongkan beberapa lembar ribuan Yen kepada seorang anak pendek di depannya. “Aku bayar daganganmu tetapi dengan servis ekstra!”

“Kembalikan.” Cowok bertubuh mungil itu mencoba sabar dengan meminta box dagangannya secara baik-baik.

“Loh, memangnya kamu nggak mau daganganmu ini laku, Hiroto?” tukasnya dengan nada dibuat-buat. “Sudah, jangan sok jual mahal, gigi bunny~”

“Jangan memperoloku!”

“Jangan sok membentakku!” dia balik menggertak. Kemudian muncul beberapa anak dengan wajah sama jahatnya dari belakangnya. Mereka seperti berencana untuk mengganggu Hiroto hari ini juga. “Kau pikir, kau siapa? Kau bisa masuk sekolah ini juga karena rasa kasihan dari Ayahku yang pernah dibantu Ayahmu. Jangan berlagak sok di depanku, deh. Sudah bagus, aku mau membeli makanan hambar buatan Ibumu.” Cibirnya. “Oh, ya… kudengar, Ibumu bisa disewa…”

“Bangs*at!”

 

Jedug!!

 

“Gak ada di dunia ini yang boleh mengatai Ibuku!” Hiro marah, ia mengamuk.

 

Tidak ada. Namun, dunia terlalu keras untuk menciptakan para bedebah yang bisanya pamer harta dan kekuasaan. Berdiri angkuh dan sombong dengan kepala terangkat. Sungguh mengesalkan!

 

 

“Huh!”

“Bagaimana?”

“Kau gila, Nao!”

“Itu tawaranku. Kau mau ambil atau aku akan sebar videomu di internet.”

 

Gadis berambut coklat keemasan itu menggigit bibirnya kesal. Matanya berkilat-kilat menyalakan api dendam. Sementara pria berambut rapih di depannya nampak memegang sebuah flashdisk mini yang tergantung di telunjuknya. Wajahnya ramah, namun berhati busuk.

 

“12,000 Yen itu sudah harga paling murah untuk menebus videomu.”

“Kau memerasku?”

“Ya, terserah, sih. Kalau kau nggak mau juga nggak apa-apa. Yang menunggu untuk copy videomu untuk dijual juga masih banyak. Kalau kuhitung-hitung, sih, laba dari hasil penjualan videomu mungkin bakalan lebih banyak. Tapi, karena aku tahu kau berasal dari keluarga terpandang, aku kasihan. Makanya…”

“Kau memerasku!”

 

Nao tersenyum meledek. Dia mengangkat bahu.

 

Semuanya tidak akan menjadi seperti ini. Jika kehidupan berlaku adil.

 

Tetapi, benarkah kehidupan itu selalu tak adi?

 

 

*****

 

 

“Sudah hampir jam 8 malam. Selesaikan makan malammu, Shou-kun. Sebentar lagi kita latihan piano di ruang music.”

 

Ibu beranjak, beberapa maid muncul untuk membereskan piring kotor sisa makan malam Ibu di meja. Ayah hari ini masih belum pulang. Pekerjaannya yang menjadi Kepala Perusahaan di Negara lain membuatnya harus betah berlama-lama di luar negeri.

 

“Ayo, Shou-kun.”

“Baik, Bu.” Katanya sambil beranjak dari kursi.

 

Shou tinggal dengan Ibu. Tidak ada saudara lain karena hanya dia sendiri anak semata wayang. Sejak kecil Shou sudah dikenalkan dengan latihan-latihan khusus, les, dan banyak sekali hal-hal yang menyita waktu bermainnya. Bermain, seperti kegiatan asing untuknya. Sudah sangat lama dia tidak merasakan senangnya bermain. Apa itu bermain? Main piano? Mungkinkah ini permainan.

 

Ting!

 

“Bagus.” Puji Ibu, “Kalau Shou-kun terus berlatih pasti bisa menjadi seperti Bethoven.”

 

Kata Ibu, Bethoven itu dewa. Shou harus menjadi sepertinya. Tetapi masih banyak rentetan dewa yang harus Shou sejajarkan derajatnya melalui music. Ibu seorang violin ternama, sudah beberapa kali dia mengadakan konser pribadi di luar. Entah sejak kapan Ibunya menularkan virus ini sehingga Shou telah terjangkit dan akut dengan ini. Tetapi seperti namanya, virus, terkadang Shou sakit-sakitan karena ini.

 

“Sekali lagi…” Ibunya mengetuk-ngetukan telunjukanya di atas piano. Membuat nada berhitung dimana Shou harus memulai lagi latihan pianonya sesuai dengan bait-bait nada yang tertera di depan matanya.

 

Jengah rasanya. Setiap malam sebelum tidur, seharusnya bisa dimanfaatkan untuk hal yang bisa meregangkan otot yang tegang, justru Shou harus menegangkan sebagian saraf dan emosinya untuk mengeluarkan tenaganya mengatur tempo dan nada pianonya. Jelas ini paksaan. Tetapi jika salah, paksaan itu tak akan berakhir. Maka dari itu, untuk meminimaliskan kesalahan, Shou harus bisa sebaik mungkin. Karena jika terus terjebak dengan ini, maka dia tak akan pernah mendapatkan jadwal tidur 8 jam-nya.

 

 

Pukul 9.15 malam.

 

Shou melihat ke bawah celah pintu kamarnya yang gelap. Sinar temaram dari lampu koridor tengah menembusnya dan memberi cahaya. Tetapi ada benda menjulang yang membuat bayangan hitam di tengah-tengahnya. Suara desah yang bisa Shou dengar walau tak jelas. Itu Ibu.

 

Dia akan memastikan bahwa Shou telah siap tidur. Memastikan bahwa Putranya ini telah benar ke alam mimpi dan mengistirahatkannya. Tetapi mata Shou masih belum terpejam. Satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk tetap terjaga dan selamat adalah tetap tenang. Semenit kemudian bayangan Ibu hilang dari depan pintu kamarnya. Shou mengeluh tertahan.

 

Ia membalikan badannya, jendelanya dibiarkan terekspos tanpa tirai dan membiarkan cahaya bulan malam itu masuk. Saat Shou bersiap tidur kali ini sesuatu mengalihkan perhatiannya hingga kedua alisnya hampir menyatu. Di atas pagar balkon kamarnya seekor kelinci dengan warna yang aneh duduk di sana. Shou terbangun dari pembaringannya demi menatap hewan mungil tersebut. Tetapi karena itu ranjangnya berderit. Shpu sedikit panik, menengok ke arah pintu jikalau Ibu kembali. Tetapi ketika ia berbalik lagi melihat ke arah balkon, kelinci itu hilang.

 

“…aneh.”

 

 

*****

 

 

Di lampu merah, Shou menghentikan ketekunannya untuk membaca ulang pekerjaan rumahnya tatkala suara berisik dari bus di sebelah mobil pribadinya seolah menebus kaca tebalnya. Suara tertawa renyah dan jeritan histeris dari gadis-gadis SMU mengusik ketenangannya. Padahal bus itu adalah bus sekolahnya, sama-sama mengangkut mereka semua ke sekolah. Ada beberapa wajah yang Shou kenali di dalamnya, mereka teman-teman satu kelasnya.

 

Eh, teman?

 

Shou kembali menatap buku pekerjaan rumahnya. Dingin.

 

 

“Selamat pagi!”

“Selamat pagi!!”

 

Dua orang gadis di depannya bertemu, membuat barikade perjalanan santai yang membuat Shou memperlambat jalannya. Kedua gadis itu kemudian bercerita banyak sehingga perjalanan mereka semakin melambat. Shou menyingkir, mencari jalan lain yang lebih ‘lapang’. Mungkin Shou tak sadar beberapa gadis memperhatikannya. Pemuda-pemuda seumurnya berbisik dan nyinyir.

 

Di kelas pun begitu. Sebelum bel masuk berbunyi, mereka mengobrol, tertawa, bercerita. Salah satu yang hal yang sering sekali Shou dengar adalah saat mereka bercerita tentang acara siaran-siaran tivi yang aneh di telinganya. Shou hampir tak pernah menonton tivi selama ini. Remaja gadis lainnya nampak asyik masyuk dengan segala majalah kecantikan yang benar-benar berkilauan, mereka memodif seragam mereka, aksesoris, make-up segala hal yang membuat mereka nampak cerah dan berseri. Para pemuda, bercerita olahraga, goukon, acara sepulang sekolah yang meriah.

 

Shou?

 

Sepulang sekolah dia akan segera memulai les bahasa Perancis. Entahlah. Namun alasan mengapa dia harus belajar bahasa menyusahkan itu adalah karena kakeknya yang masih keturunan darah Perancis. Tak logis, karena sudah empat tahun lalu kakeknya wafat. Apakah mungkin Shou nanti harus mengobrol dengan Kakek di depan makam?

 

 

“Kazamasa Shou!”

“Hadir.”

 

Semuanya menengok.

Mungkin jika tidak ada pengabsenan ataupun giliran membaca buku pelajaran di kelas, bisa dipastikan Shou adalah makhluk bisu di situ. Karena sebisa mungkin dia tak banyak mengeluarkan suara. Bukan sombong atau pelit. Itu karena tak seorangpun mengajaknya bicara. Tak seorangpun.

 

Pinggir kantin.

Meja kotak dengan dua kursi kosong di depan Shou melompong. Sementara di kursi-kursi lainnya berhimpitan siswa-siswa. Mereka seolah membiarkan Shou tenggelam senang dalam kesendirian. Di atas mejanya, sekotak susu low fat, dua buah sandwich buatan Maria; sang kepala maid, sekotak kecil melon manis tergelar rapih di atas meja. Tak lupa sebotol kecil pembersih tangan. Ibu tak pernah lupa untuk menggantinya setiap satu minggu sekali.

 

Pelajaran setelah makan siang. Matahari mulai merosot turun, menandakan bahwa ini sudah memasuki hampir pukul 2 siang. Di jam ini sebuah mukjizat bagi murid lain yang tahu bahwa guru mereka kali berhalangan hadir, tak ada guru pengganti, dua jam kosong yang dimanfaatkan untuk bersenang-senang. Bagi Shou, ada atau tidaknya guru, buku pelajaran di atas mejanya seolah mengajaknya bicara sehingga ia betah berlama-lama menatapnya.

 

Hampir setengah 4 sore. Gemuruh siswa yang lain telah lewat bak badai sekitar sepuluh menit yang lalu saat mereka meninggalkan kelas untuk kembali pulang. Hanya ada beberapa siswa dan siswi yang kini beralih fungsi menjadi pembersih kelas; piket harian. Shou mengangkat tas sekolahnya setelah membenahi jaket dan syalnya. Karena musim ini telah memasuki bulan yang dingin, Shou harus ekstra menjaga kesehatannya. Saat dia keluar kelas, ia tak sengaja memandang beberapa gadis yang sedang mengobrol seru tetapi langsung terhenti ketika Shou muncul. Dan satu di antara mereka kelihatan tersipu saat Shou tak sengaja melihatnya.

 

“Ayo, Rin!”

 

Shou mungkin tak akan menghentikan langkahnya jika saja seorang wanita mungil di depannya berhenti mendadak. Wajahnya pink, manis. Seperti wagashi mungil. Dibalik syalnya Shou menggigit bibir. Gadis itu adalah teman sekelasnya, tetapi Shou lupa siapa namanya.

 

“Kaza-kun…”

 

Kaza-kun??

 

“…ano… apa kau sibuk?”

 

Sibuk?

 

“…hmm?”

“Tidak.” Kata Shou.

 

Wajah gadis itu berubah cerah, semakin pink di kedua pipinya.

 

“Anoo… aku mau bicara denganmu,”

“Apa?”

“Nggak di sini.”

“……”

 

Gadis itu menggiringnya ke luar dari keributan. Atau mungkin dia hanya mencari tempat yang aman untuk memukuli Shou? Hey, tapi Shou tak ingat kapan dia dan gadis ini saling memiliki masalah. Ah, tidak mungkin.

Dan sampailah mereka di belakang gedung sekolah, tepatnya di samping gedung olahraga. Tempat yang tak pernah Shou datangi seumur hidupnya selama bersekolah di tempat ini.

 

“Aku suka padamu…”

 

Mata Shou berkedip.

 

“Aku tahu, kita tidak pernah bicara sebelumnya… tapi…”

 

Mata Shou menatap bibir mungil yang berbicara dengan gaya gemetar. Sedikit merengut dan gigitan-gigitan kecil yang dibuat-buat. Tapi tiba-tiba matanya melihat sesuatu yang bergerak di semak-semak. Sepasang telinga mungil yang panjang dan berbulu bersih yang sepertinya ia kenali. Mata Shou mendelik.

 

Itu kelinci.

 

“…usagi (kelinci),” gumam Shou.

“Huh?” gadis itu tercenung, “Kaza-kun…kau mendengarkanku?”

 

Tentu saja tidak.

Saat kelinci itu mulai melompat dari semak, Shou berlari mengejarnya. Kelinci berwarna aneh itu kelihatan aneh. Dia seolah mengajak Shou untuk mengikutinya.

 

“Tunggu!”

 

Shou berlari untuk mengejarnya. Ia tidak tahu mengapa ia sangat tertarik kepada hewan yang satu itu. Padahal Shou sudah lama sekali mengubur keinginannya untuk memiliki hewan peliharaan setelah Sissy mati.

 

“Hey! Tunggu!”

 

Shou tak yakin, tetapi kelinci itu sesekali menengok terus ke arahnya. Dan kepalanya seolah meminta Shou terus mengikutinya. Hingga akhirnya, kelinci itu melompat ke arah jalan raya. Shou hampir mendapatkannya tetapi ternyata meleset.

 

“Tuan Muda?”

 

Shou terhuyung, ia segera bangkit sewaktu mendengar suara Sebastian; ajudan kepercayaan keluarga yang setia mengantar-jemputnya ke sekolah. Kali ini Shou tertangkap basah berkeliaran dengan sikap aneh.

 

“Kau melihatnya?” tanya Shou.

“Melihat apa?”

“Kelinci.”

“Kelinci?”

“Ya, dia tadi melompat ke arah sini. Masa kau tidak melihatnya?”

“Tapi sejak tadi saya menunggu Tuan Muda, saya tidak melihat apapun di sini. Semutpun tidak.”

 

Shou bermuka kecewa. Apakah Sebastian berbohong? Jelas-jelas dia melihat kelinci itu melompat ke jalan. Mana mungkin Sebastian tidak melihatnya.

 

“Nyonya sudah menelpon tadi, sebaiknya kita segera pulang.”

 

Shou menurut kali ini. Tetapi rasa penasarannya masih terus menghinggapi kepalanya. Saat dirinya telah masuk ke dalam mobilpun, matanya masih mencari-cari. Tetapi kelinci itu sudah hilang.

 

****

 

 

Makan malam bersama keluarga. Meskipun temanya begitu, tetapi pada kenyataannya hanya ada Shou dan Ibu saja. Walaupun dibilang keluarga, mereka seperti orang asing. Selama makan tak ada satupun pembicaraan yang mengalir. Ibu tak pernah bertanya bagaimana kehidupan Shou di sekolah, teman-temannya, ataupun hal lainnya. Semua yang ia lakukan sepertinya hanya berpatokan pada jadwal. Begitu teratur dan terkendali. Seperti anak kecil. Atau mungkin lebih pantas disebut seperti boneka.

 

Tetapi malam ini sepertinya agak lain, ketika Ibu melonggarkan waktu untuk mengajak Shou bicara malam itu dengan mengesampingkan latihan pianonya. Shou diajak ke ruang kerja Ayahnya yang kini biasa Ibu gunakan untuk bekerja juga. Keduanya adalah orang sibuk.

 

Shou duduk di kursi kulit tanpa bersandar. Sejak kecil Ibunya melarangnya untuk duduk leyeh-leyeh seperti itu. Sementara Ibu kelihatan seperti seorang kepala akademik kesiswaan daripada Ibu baginya. Wanita itu biasanya memberi banyak sekali wejangan dan nasehat kehidupan pada Shou di sekolah.

 

“Ibu tahu, mungkin ini mengejutkanmu, tapi Ibu sudah bicara pada Ayahmu,” Katanya, “Kami sudah sepakat setelah Konser Recital Piano di gedung Universitas T usai, kita akan pindah ke Helsinki.”

 

Shou sepertinya tidak terkejut. Karena ini bukan pertama kalinya mereka pindah. Jadi dia sudah tak perlu lagi bertanya ‘kenapa’ untuk bisa mendapatkan jawaban atau setidaknya menahan kepindahan mereka. Karena mau tak mau Shou harus mengikuti mereka. Dan Shou tak pernah mengeluh di depan mereka, hanya saja hatinya masih mengelu-elukan sedikit kebebasan bicara dan berpikir mengenai opininya sendiri sebagai seorang anak. Dalam hati kecilnya ia ingin dihargai dan didengarkan. Tetapi semua itu seperti terpental mulus dan menjadi boomerang bagi Shou.

 

Malam itu, Ibu mengijinkan Shou untuk tidak latihan piano. Mungkin Ibu melihat sedikit kelelahan di wajahnya. Shou berdiri sambil menyandar pada tiang gazebo mini di belakang rumahnya. Pot-pot tanaman yang menggantung di pinggir atas gazebo seperti kepala orang yang terpenggal. Shou mencoba menepis pikiran buruk mengenai apa yang dia alami selama ini. Tetapi hal yang paling mengusik pikirannya adalah kelinci tadi siang.

 

Shou benar-benar penasaran dengan kelinci aneh yang beberapa hari ini sering dia lihat. Penampakannya seperti membawa pesan khusus untuk Shou. Kelinci itu seperti ingin diikuti. Tetapi jika Shou kejar, dia menghilang. Yang paling mengganggu pikirannya adalah, kelinci itu memakai rompi. Rompi berwarna biru. Shou berpikir apa mungkin salah satu awak sirkus lepas? Tetapi mengapa dia selalu muncul di tempat-tempat yang Shou kunjungi.

 

Saat dia tenggelam dengan berbagai bayangan dan kemungkinan mengenai keberadaan kelinci aneh itu, tiba-tiba saja dia muncul.

 

“Ah!” perhatian Shou kembali teralihkan.

 

Kali ini Shou bisa menatap jelas kelinci berompi itu. Saat Shou hendak mendekatinya, dia melompat kabur. Shou yang merasa penasaran kali ini bertekad untuk mendapatkannya dan berencana memeliharanya tanpa sepengetahuan Ibu. Tapi ternyata menangkap kelinci itu tak semudah yang dia kira, karena kelinci putih aneh tu bergerak sangat cepat. Dia bergerak di balik semak, Shou terus memperhatikan gerak-geriknya. Sampai tak sadar, ia hampir mengelilingi halamannya berulang kali karena kucing itu terus kabur darinya.

 

Berkali-kali Shou merasa telah menangkapnya, tetapi nyatanya gagal. Kelinci itu selalu bisa lepas dan tahu-tahu berdiri di sudut lain. Shou beberapa kali terjatuh ketika mencoba menangkapnya, tetapi hasilnya tetap nihil. Kelinci itu benar-benar sulit untuk ditangkap.

 

“Dapat!!”

 

Gabruk!

 

Kali ini dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menggapai kelinci tersebut. Shou yakin kali ini dia pasti menangkapnya karena sesaat dia merasakan sesuatu yang bergerak di kedua tangannya. Shou menggelengkan kepalanya untuk tetap tersadar setelah beberapa kali jatuh. Harapan besar ia bisa menangkap kelinci tersebut, namun ternyata dia gagal!

 

Namun kali ini tak sepenuhnya gagal. Guratan-guratan kebingungan itu jelas terlihat di raut wajah Shou yang tampan saat dia melihat di tangannya tertinggal selembar kertas kaku. Bentuknya persegi dengan gambar yang tak asing.

 

“…kartu As?”

 

Kartu As?

Shou tidak tahu dari mana asalnya. Mengapa ia sampai bisa menangkap selembar kartu dan bukan kelinci? Apakah benar kelinci itu benar-benar salah satu dari awak sirkus yang menghilang. Dia bisa sulap. Namun, kartu As ini seperti mencuri perhatiannya. Karena gambarnya begitu unik. Shou belum pernah melihat kartu As dengan ukuran lumayan besar seperti ini.

 

Sebetulnya, ini apa?

 



Continued…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar