Author : Duele
Finishing : Februari 2013
Genre : Fantasy, AU, School-fic, Drama,
Adventure
Rating : PG15
Chapter(s) : 1/10
Fandom(s) : Alice Nine
Pairing(s) : NO Pair. General.
Notes Author : Uh, yeah. I love Alice in The
Wonderland’s movie. That’s awesome. And hell yeah, I decided to writing this
fic based on story from it. With Alice9 as an ‘Alice’. You’ll don’t know, guys…
you don’t know what I’ve planning. *grin*
Btw, this is my 2nd story about
fantasy’s FF after EXODUS. So, please take a seat and
enjoy it J
“…. And this is health for our
government.”
“Bagus, Kazamasa. Seperti biasa bahasa Inggrismu semakin fasih.” Wanita
itu memujinya dengan senyum manis yang dibuat-buat. “Selanjutnya…!”
Anak itu duduk. Anak bernama Kazamasa Shou itu…
“Hebat! Selalu dipuji Mrs. White, klan Kazamasa yang tak terkalahkan dan
terhormat.”
“Aku tidak heran hidupnya dihabiskan hanya dengan membaca buku.”
“Kau sudah dengar? Bukan hanya pintar, dia juga akan ikut dalam symphony
recital piano di gedung Universitas T yang tenar itu.”
“Ah, benar… beritanya sudah menyebar.”
“Sudah tampan, berbakat, kaya. Dia cocok kau jadikan suami.”
“Ih, najis. Meskipun kaya, aku tidak mau membusuk di keluarganya yang
keras dan kolot. Bisa-bisa aku dijadikan pembantu sama keluarganya.”
“Hihihi… Emi, kau jahat, ah!”
“Tapi kau setuju, kan?”
Shou berharap sekali dia tuli saat itu sehingga tak harus mendengar
bisikan-bisikan kecil yang mampu menusuk jantungnya. Bukan hanya kala itu,
namun setiap saat. Ia berharap, kelas hari ini segera berakhir. Sayangnya,
harapannya tinggal sebuah harapan dengan jadwa latihan les yang menggunung di
hari ini.
Kapan berakhirnya?
“Sakit! Jangan pukul lagi!”
“Kalau tidak mau kupukul, serahkan uangmu!”
“Ba-baik!”
“Alah, dasar kutu buku! Tinggal memberi uang saja repot!” ia mengancam
berpura-pura mengayunkan tangan.
“A-ampun, Saga! Jangan pukul!”
“Enyah, kau!”
Uang telah di tangan. Ambisi menghajar orang terlampiaskan sudah. Semua
sumpah serapah juga sudah terbalas. Tetapi kenapa masih belum puas? Ingin
rasanya memukul orang lebih banyak. Tetapi telah mengeluarkan beberapa tinju
hampir meretakan tulang buku-buku jarinya.
Kesal!
Saga menghempaskan diri ke kursi taman. Menghitung hasil uang hasil
ambil paksanya dari anak-anak sekolah lain. Mengejutkan bahwa ia bisa
mendapatkan uang sebanyak ini. Uang yang sama sekali tak pernah di kantongi
untuk sebatas uang saku semata. Anak-anak jaman sekarang benar-benar
dimanjakan.
Dan itu semakin membuatnya semakin kesal. Ia berdiri dan melihat
sekaleng sampah minuman terserak di tanah. Dengan kasar Saga menendangnya penuh
benci.
Tlang!
Kaleng soda itu membentur sudut trotoar. Menghalangi jalan bagi Tora.
Sampah masyarakat nakal yang tidak tahu aturan. Membuatnya semakin benci dan
mendoakan mereka yang membuangnya segera mati tertabrak. Beban di pundaknya
semakin berat saja. Dipindahkannya tas kerjanya ke bahu sebelah kanan. Penat
malam ini membawanya pergi untuk minum-minum. Ia menolak untuk karaoke dengan
teman sekantornya. Ia menampik bahwa ia butuh perempuan untuk bahan
pelampiasan.
Rasanya, jenuh.
Telalu kaku untuk memulai mengenali dunia kehidupan yang hangat seperti
dulu. Tora memendam rindu terlalu dalam pada Lily, buah cintanya. Bayi mungil
berumur 5 bulan yang sekarang entah di mana. Mantan istrinya benar-benar
membencinya hingga membawanya pergi menjauh. Bahkan menghilang.
“… Lily…”
Kenapa hidup ini seolah tidak adil?
“Adil, kan?” pria tinggi berambut tersemir itu menyombongkan beberapa
lembar ribuan Yen kepada seorang anak pendek di depannya. “Aku bayar daganganmu
tetapi dengan servis ekstra!”
“Kembalikan.” Cowok bertubuh mungil itu mencoba sabar dengan meminta box
dagangannya secara baik-baik.
“Loh, memangnya kamu nggak mau daganganmu ini laku, Hiroto?” tukasnya
dengan nada dibuat-buat. “Sudah, jangan sok jual mahal, gigi bunny~”
“Jangan memperoloku!”
“Jangan sok membentakku!” dia balik menggertak. Kemudian muncul beberapa
anak dengan wajah sama jahatnya dari belakangnya. Mereka seperti berencana
untuk mengganggu Hiroto hari ini juga. “Kau pikir, kau siapa? Kau bisa masuk
sekolah ini juga karena rasa kasihan dari Ayahku yang pernah dibantu Ayahmu.
Jangan berlagak sok di depanku, deh. Sudah bagus, aku mau membeli makanan
hambar buatan Ibumu.” Cibirnya. “Oh, ya… kudengar, Ibumu bisa disewa…”
“Bangs*at!”
Jedug!!
“Gak ada di dunia ini yang boleh mengatai Ibuku!” Hiro marah, ia
mengamuk.
Tidak ada. Namun, dunia terlalu keras untuk menciptakan para bedebah
yang bisanya pamer harta dan kekuasaan. Berdiri angkuh dan sombong dengan
kepala terangkat. Sungguh mengesalkan!
“Huh!”
“Bagaimana?”
“Kau gila, Nao!”
“Itu tawaranku. Kau mau ambil atau aku akan sebar videomu di internet.”
Gadis berambut coklat keemasan itu menggigit bibirnya kesal. Matanya
berkilat-kilat menyalakan api dendam. Sementara pria berambut rapih di depannya
nampak memegang sebuah flashdisk mini yang tergantung di telunjuknya. Wajahnya
ramah, namun berhati busuk.
“12,000 Yen itu sudah harga paling murah untuk menebus videomu.”
“Kau memerasku?”
“Ya, terserah, sih. Kalau kau nggak mau juga nggak apa-apa. Yang
menunggu untuk copy videomu untuk dijual juga masih banyak. Kalau
kuhitung-hitung, sih, laba dari hasil penjualan videomu mungkin bakalan lebih
banyak. Tapi, karena aku tahu kau berasal dari keluarga terpandang, aku
kasihan. Makanya…”
“Kau memerasku!”
Nao tersenyum meledek. Dia mengangkat bahu.
Semuanya tidak akan menjadi seperti ini. Jika kehidupan berlaku adil.
Tetapi, benarkah kehidupan itu selalu tak adi?
*****
“Sudah hampir jam 8 malam. Selesaikan makan malammu, Shou-kun. Sebentar
lagi kita latihan piano di ruang music.”
Ibu beranjak, beberapa maid muncul untuk membereskan piring kotor sisa
makan malam Ibu di meja. Ayah hari ini masih belum pulang. Pekerjaannya yang
menjadi Kepala Perusahaan di Negara lain membuatnya harus betah berlama-lama di
luar negeri.
“Ayo, Shou-kun.”
“Baik, Bu.” Katanya sambil beranjak dari kursi.
Shou tinggal dengan Ibu. Tidak ada saudara lain karena hanya dia sendiri
anak semata wayang. Sejak kecil Shou sudah dikenalkan dengan latihan-latihan
khusus, les, dan banyak sekali hal-hal yang menyita waktu bermainnya. Bermain,
seperti kegiatan asing untuknya. Sudah sangat lama dia tidak merasakan
senangnya bermain. Apa itu bermain? Main piano? Mungkinkah ini permainan.
Ting!
“Bagus.” Puji Ibu, “Kalau Shou-kun terus berlatih pasti bisa menjadi
seperti Bethoven.”
Kata Ibu, Bethoven itu dewa. Shou harus menjadi sepertinya. Tetapi masih
banyak rentetan dewa yang harus Shou sejajarkan derajatnya melalui music. Ibu
seorang violin ternama, sudah beberapa kali dia mengadakan konser pribadi di
luar. Entah sejak kapan Ibunya menularkan virus ini sehingga Shou telah
terjangkit dan akut dengan ini. Tetapi seperti namanya, virus, terkadang Shou
sakit-sakitan karena ini.
“Sekali lagi…” Ibunya mengetuk-ngetukan telunjukanya di atas piano.
Membuat nada berhitung dimana Shou harus memulai lagi latihan pianonya sesuai
dengan bait-bait nada yang tertera di depan matanya.
Jengah rasanya. Setiap malam sebelum tidur, seharusnya bisa dimanfaatkan
untuk hal yang bisa meregangkan otot yang tegang, justru Shou harus menegangkan
sebagian saraf dan emosinya untuk mengeluarkan tenaganya mengatur tempo dan
nada pianonya. Jelas ini paksaan. Tetapi jika salah, paksaan itu tak akan
berakhir. Maka dari itu, untuk meminimaliskan kesalahan, Shou harus bisa sebaik
mungkin. Karena jika terus terjebak dengan ini, maka dia tak akan pernah
mendapatkan jadwal tidur 8 jam-nya.
Pukul 9.15 malam.
Shou melihat ke bawah celah pintu kamarnya yang gelap. Sinar temaram
dari lampu koridor tengah menembusnya dan memberi cahaya. Tetapi ada benda
menjulang yang membuat bayangan hitam di tengah-tengahnya. Suara desah yang
bisa Shou dengar walau tak jelas. Itu Ibu.
Dia akan memastikan bahwa Shou telah siap tidur. Memastikan bahwa
Putranya ini telah benar ke alam mimpi dan mengistirahatkannya. Tetapi mata Shou
masih belum terpejam. Satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk tetap terjaga dan
selamat adalah tetap tenang. Semenit kemudian bayangan Ibu hilang dari depan
pintu kamarnya. Shou mengeluh tertahan.
Ia membalikan badannya, jendelanya dibiarkan terekspos tanpa tirai dan
membiarkan cahaya bulan malam itu masuk. Saat Shou bersiap tidur kali ini
sesuatu mengalihkan perhatiannya hingga kedua alisnya hampir menyatu. Di atas
pagar balkon kamarnya seekor kelinci dengan warna yang aneh duduk di sana. Shou
terbangun dari pembaringannya demi menatap hewan mungil tersebut. Tetapi karena
itu ranjangnya berderit. Shpu sedikit panik, menengok ke arah pintu jikalau Ibu
kembali. Tetapi ketika ia berbalik lagi melihat ke arah balkon, kelinci itu
hilang.
“…aneh.”
*****
Di lampu merah, Shou menghentikan ketekunannya untuk membaca ulang
pekerjaan rumahnya tatkala suara berisik dari bus di sebelah mobil pribadinya
seolah menebus kaca tebalnya. Suara tertawa renyah dan jeritan histeris dari
gadis-gadis SMU mengusik ketenangannya. Padahal bus itu adalah bus sekolahnya,
sama-sama mengangkut mereka semua ke sekolah. Ada beberapa wajah yang Shou
kenali di dalamnya, mereka teman-teman satu kelasnya.
Eh, teman?
Shou kembali menatap buku pekerjaan rumahnya. Dingin.
“Selamat pagi!”
“Selamat pagi!!”
Dua orang gadis di depannya bertemu, membuat barikade perjalanan santai
yang membuat Shou memperlambat jalannya. Kedua gadis itu kemudian bercerita
banyak sehingga perjalanan mereka semakin melambat. Shou menyingkir, mencari
jalan lain yang lebih ‘lapang’. Mungkin Shou tak sadar beberapa gadis
memperhatikannya. Pemuda-pemuda seumurnya berbisik dan nyinyir.
Di kelas pun begitu. Sebelum bel masuk berbunyi, mereka mengobrol,
tertawa, bercerita. Salah satu yang hal yang sering sekali Shou dengar adalah
saat mereka bercerita tentang acara siaran-siaran tivi yang aneh di telinganya.
Shou hampir tak pernah menonton tivi selama ini. Remaja gadis lainnya nampak
asyik masyuk dengan segala majalah kecantikan yang benar-benar berkilauan, mereka
memodif seragam mereka, aksesoris, make-up segala hal yang membuat mereka
nampak cerah dan berseri. Para pemuda, bercerita olahraga, goukon, acara
sepulang sekolah yang meriah.
Shou?
Sepulang sekolah dia akan segera memulai les bahasa Perancis. Entahlah.
Namun alasan mengapa dia harus belajar bahasa menyusahkan itu adalah karena
kakeknya yang masih keturunan darah Perancis. Tak logis, karena sudah empat
tahun lalu kakeknya wafat. Apakah mungkin Shou nanti harus mengobrol dengan
Kakek di depan makam?
“Kazamasa Shou!”
“Hadir.”
Semuanya menengok.
Mungkin jika tidak ada pengabsenan ataupun giliran membaca buku
pelajaran di kelas, bisa dipastikan Shou adalah makhluk bisu di situ. Karena
sebisa mungkin dia tak banyak mengeluarkan suara. Bukan sombong atau pelit. Itu
karena tak seorangpun mengajaknya bicara. Tak seorangpun.
Pinggir kantin.
Meja kotak dengan dua kursi kosong di depan Shou melompong. Sementara di
kursi-kursi lainnya berhimpitan siswa-siswa. Mereka seolah membiarkan Shou
tenggelam senang dalam kesendirian. Di atas mejanya, sekotak susu low fat, dua buah sandwich buatan Maria;
sang kepala maid, sekotak kecil melon manis tergelar rapih di atas meja. Tak
lupa sebotol kecil pembersih tangan. Ibu tak pernah lupa untuk menggantinya
setiap satu minggu sekali.
Pelajaran setelah makan siang. Matahari mulai merosot turun, menandakan
bahwa ini sudah memasuki hampir pukul 2 siang. Di jam ini sebuah mukjizat bagi
murid lain yang tahu bahwa guru mereka kali berhalangan hadir, tak ada guru
pengganti, dua jam kosong yang dimanfaatkan untuk bersenang-senang. Bagi Shou,
ada atau tidaknya guru, buku pelajaran di atas mejanya seolah mengajaknya
bicara sehingga ia betah berlama-lama menatapnya.
Hampir setengah 4 sore. Gemuruh siswa yang lain telah lewat bak badai sekitar
sepuluh menit yang lalu saat mereka meninggalkan kelas untuk kembali pulang.
Hanya ada beberapa siswa dan siswi yang kini beralih fungsi menjadi pembersih
kelas; piket harian. Shou mengangkat tas sekolahnya setelah membenahi jaket dan
syalnya. Karena musim ini telah memasuki bulan yang dingin, Shou harus ekstra
menjaga kesehatannya. Saat dia keluar kelas, ia tak sengaja memandang beberapa
gadis yang sedang mengobrol seru tetapi langsung terhenti ketika Shou muncul.
Dan satu di antara mereka kelihatan tersipu saat Shou tak sengaja melihatnya.
“Ayo, Rin!”
Shou mungkin tak akan menghentikan langkahnya jika saja seorang wanita
mungil di depannya berhenti mendadak. Wajahnya pink, manis. Seperti wagashi mungil. Dibalik syalnya Shou
menggigit bibir. Gadis itu adalah teman sekelasnya, tetapi Shou lupa siapa
namanya.
“Kaza-kun…”
Kaza-kun??
“…ano… apa kau sibuk?”
Sibuk?
“…hmm?”
“Tidak.” Kata Shou.
Wajah gadis itu berubah cerah, semakin pink di kedua pipinya.
“Anoo… aku mau bicara denganmu,”
“Apa?”
“Nggak di sini.”
“……”
Gadis itu menggiringnya ke luar dari keributan. Atau mungkin dia hanya
mencari tempat yang aman untuk memukuli Shou? Hey, tapi Shou tak ingat kapan
dia dan gadis ini saling memiliki masalah. Ah, tidak mungkin.
Dan sampailah mereka di belakang gedung sekolah, tepatnya di samping
gedung olahraga. Tempat yang tak pernah Shou datangi seumur hidupnya selama
bersekolah di tempat ini.
“Aku suka padamu…”
Mata Shou berkedip.
“Aku tahu, kita tidak pernah bicara sebelumnya… tapi…”
Mata Shou menatap bibir mungil yang berbicara dengan gaya gemetar.
Sedikit merengut dan gigitan-gigitan kecil yang dibuat-buat. Tapi tiba-tiba
matanya melihat sesuatu yang bergerak di semak-semak. Sepasang telinga mungil
yang panjang dan berbulu bersih yang sepertinya ia kenali. Mata Shou mendelik.
Itu kelinci.
“…usagi (kelinci),” gumam Shou.
“Huh?” gadis itu tercenung, “Kaza-kun…kau mendengarkanku?”
Tentu saja tidak.
Saat kelinci itu mulai melompat dari semak, Shou berlari mengejarnya.
Kelinci berwarna aneh itu kelihatan aneh. Dia seolah mengajak Shou untuk
mengikutinya.
“Tunggu!”
Shou berlari untuk mengejarnya. Ia tidak tahu mengapa ia sangat tertarik
kepada hewan yang satu itu. Padahal Shou sudah lama sekali mengubur
keinginannya untuk memiliki hewan peliharaan setelah Sissy mati.
“Hey! Tunggu!”
Shou tak yakin, tetapi kelinci itu sesekali menengok terus ke arahnya.
Dan kepalanya seolah meminta Shou terus mengikutinya. Hingga akhirnya, kelinci
itu melompat ke arah jalan raya. Shou hampir mendapatkannya tetapi ternyata
meleset.
“Tuan Muda?”
Shou terhuyung, ia segera bangkit sewaktu mendengar suara Sebastian;
ajudan kepercayaan keluarga yang setia mengantar-jemputnya ke sekolah. Kali ini
Shou tertangkap basah berkeliaran dengan sikap aneh.
“Kau melihatnya?” tanya Shou.
“Melihat apa?”
“Kelinci.”
“Kelinci?”
“Ya, dia tadi melompat ke arah sini. Masa kau tidak melihatnya?”
“Tapi sejak tadi saya menunggu Tuan Muda, saya tidak melihat apapun di
sini. Semutpun tidak.”
Shou bermuka kecewa. Apakah Sebastian berbohong? Jelas-jelas dia melihat
kelinci itu melompat ke jalan. Mana mungkin Sebastian tidak melihatnya.
“Nyonya sudah menelpon tadi, sebaiknya kita segera pulang.”
Shou menurut kali ini. Tetapi rasa penasarannya masih terus menghinggapi
kepalanya. Saat dirinya telah masuk ke dalam mobilpun, matanya masih
mencari-cari. Tetapi kelinci itu sudah hilang.
****
Makan malam bersama keluarga. Meskipun temanya begitu, tetapi pada
kenyataannya hanya ada Shou dan Ibu saja. Walaupun dibilang keluarga, mereka
seperti orang asing. Selama makan tak ada satupun pembicaraan yang mengalir.
Ibu tak pernah bertanya bagaimana kehidupan Shou di sekolah, teman-temannya,
ataupun hal lainnya. Semua yang ia lakukan sepertinya hanya berpatokan pada
jadwal. Begitu teratur dan terkendali. Seperti anak kecil. Atau mungkin lebih
pantas disebut seperti boneka.
Tetapi malam ini sepertinya agak lain, ketika Ibu melonggarkan waktu
untuk mengajak Shou bicara malam itu dengan mengesampingkan latihan pianonya.
Shou diajak ke ruang kerja Ayahnya yang kini biasa Ibu gunakan untuk bekerja
juga. Keduanya adalah orang sibuk.
Shou duduk di kursi kulit tanpa bersandar. Sejak kecil Ibunya
melarangnya untuk duduk leyeh-leyeh seperti itu. Sementara Ibu kelihatan
seperti seorang kepala akademik kesiswaan daripada Ibu baginya. Wanita itu
biasanya memberi banyak sekali wejangan dan nasehat kehidupan pada Shou di
sekolah.
“Ibu tahu, mungkin ini mengejutkanmu, tapi Ibu sudah bicara pada
Ayahmu,” Katanya, “Kami sudah sepakat setelah Konser Recital Piano di gedung
Universitas T usai, kita akan pindah ke Helsinki.”
Shou sepertinya tidak terkejut. Karena ini bukan pertama kalinya mereka
pindah. Jadi dia sudah tak perlu lagi bertanya ‘kenapa’ untuk bisa mendapatkan
jawaban atau setidaknya menahan kepindahan mereka. Karena mau tak mau Shou
harus mengikuti mereka. Dan Shou tak pernah mengeluh di depan mereka, hanya
saja hatinya masih mengelu-elukan sedikit kebebasan bicara dan berpikir
mengenai opininya sendiri sebagai seorang anak. Dalam hati kecilnya ia ingin
dihargai dan didengarkan. Tetapi semua itu seperti terpental mulus dan menjadi boomerang bagi Shou.
Malam itu, Ibu mengijinkan Shou untuk tidak latihan piano. Mungkin Ibu
melihat sedikit kelelahan di wajahnya. Shou berdiri sambil menyandar pada tiang
gazebo mini di belakang rumahnya. Pot-pot tanaman yang menggantung di pinggir
atas gazebo seperti kepala orang yang terpenggal. Shou mencoba menepis pikiran
buruk mengenai apa yang dia alami selama ini. Tetapi hal yang paling mengusik
pikirannya adalah kelinci tadi siang.
Shou benar-benar penasaran dengan kelinci aneh yang beberapa hari ini
sering dia lihat. Penampakannya seperti membawa pesan khusus untuk Shou.
Kelinci itu seperti ingin diikuti. Tetapi jika Shou kejar, dia menghilang. Yang
paling mengganggu pikirannya adalah, kelinci itu memakai rompi. Rompi berwarna
biru. Shou berpikir apa mungkin salah satu awak sirkus lepas? Tetapi mengapa
dia selalu muncul di tempat-tempat yang Shou kunjungi.
Saat dia tenggelam dengan berbagai bayangan dan kemungkinan mengenai
keberadaan kelinci aneh itu, tiba-tiba saja dia muncul.
“Ah!” perhatian Shou kembali teralihkan.
Kali ini Shou bisa menatap jelas kelinci berompi itu. Saat Shou hendak
mendekatinya, dia melompat kabur. Shou yang merasa penasaran kali ini bertekad
untuk mendapatkannya dan berencana memeliharanya tanpa sepengetahuan Ibu. Tapi
ternyata menangkap kelinci itu tak semudah yang dia kira, karena kelinci putih
aneh tu bergerak sangat cepat. Dia bergerak di balik semak, Shou terus
memperhatikan gerak-geriknya. Sampai tak sadar, ia hampir mengelilingi
halamannya berulang kali karena kucing itu terus kabur darinya.
Berkali-kali Shou merasa telah menangkapnya, tetapi nyatanya gagal.
Kelinci itu selalu bisa lepas dan tahu-tahu berdiri di sudut lain. Shou
beberapa kali terjatuh ketika mencoba menangkapnya, tetapi hasilnya tetap
nihil. Kelinci itu benar-benar sulit untuk ditangkap.
“Dapat!!”
Gabruk!
Kali ini dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menggapai kelinci
tersebut. Shou yakin kali ini dia pasti menangkapnya karena sesaat dia
merasakan sesuatu yang bergerak di kedua tangannya. Shou menggelengkan
kepalanya untuk tetap tersadar setelah beberapa kali jatuh. Harapan besar ia
bisa menangkap kelinci tersebut, namun ternyata dia gagal!
Namun kali ini tak sepenuhnya gagal. Guratan-guratan kebingungan itu
jelas terlihat di raut wajah Shou yang tampan saat dia melihat di tangannya
tertinggal selembar kertas kaku. Bentuknya persegi dengan gambar yang tak
asing.
“…kartu As?”
Kartu As?
Shou tidak tahu dari mana asalnya. Mengapa ia sampai bisa menangkap
selembar kartu dan bukan kelinci? Apakah benar kelinci itu benar-benar salah
satu dari awak sirkus yang menghilang. Dia bisa sulap. Namun, kartu As ini
seperti mencuri perhatiannya. Karena gambarnya begitu unik. Shou belum pernah
melihat kartu As dengan ukuran lumayan besar seperti ini.
Sebetulnya, ini apa?
Continued…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar