Author : Duele
Last Edited : Oktober 2011
Genre : AU, Darkness
Rating : PG15
Chapter(s) : oneshot
Fandom(s) : Dir en Grey
Pairing(s) : General
Disclaimer : Juuyoku – Dum Spiro Spero (Dir en Grey)
Note Author : Salah satu judul dari fanfic nazaar saya dari Album Dum Spiro Spero (14 title)
~*~
Lari!
“Mana
dia?”
“Dia
kabur ke arah atap!”
Cepat!
“Cepat
panggil bantuan!”
Kabur!
“Minta
mereka menyiapkan kasur pegas!”
“Dia
akan melompat!”
Drap!
Drap! Drap!
Lari!
Itu
yang kudengar setiap kali langkahku menapak bumi. Maka, aku pun akan melangkah
sejauh mungkin mengejar suara yang selalu membisikan perintah-perintah
mematikan ini.
Bangsat!
“KYOOOOOOO!!!!”
Jangan berbalik!
“Kyo!!!!
Tunggu!!!”
Acuhkan!!!
Drap!
Drap! Drap!
Naik terus! Lawan angkasa!!!
Shinya
terengah-engah, di belakangnya orang-orang yang mengejar Kyo sama sepertinya
berhamburan melewatinya. Shinya sudah tidak bisa lagi mengejar, pemuda itu
–Kyo- benar-benar membuatnya kewalahan.
Katakan pada semesta bahwa kemuakan
ini telah membuat kita jengah!
“AAAAAAAAAAAAAAAKKKKKKKKHHHH!!!”
Suara
lengkingan suara pemuda yang kini telah berdiri di atas gedung rumah sakit itu
membahana hingga semua orang bisa mendengarnya. Seperti seruan setan dalam
bentuk protes dan jeritan.
“Dia
akan melompat!!!”
Beberapa
orang berseragam menunjuk-nunjuk Kyo dengan panic saat melihat sosok pemuda itu
naik ke pagar pembatas dan berdiri dengan gagah di sana. Tersapu angin dingin
yang berhembus begitu mematikan, Kyo nekat!
“Mundur!!!”
Suara Kaoru meneriaki Kyo yang menatap sengit pada butiran manusia yang
terlihat bagai semut di bawah kakinya. “Kyo! Mundur dari sana!!!”
“Aku
tidak mau mati!!” teriak Kyo akhirnya melompat dari pinggir pagar.
“AAAAAAA~!!!!!”
Histeria
masa menyeruak tatkala tubuh kecil pria itu meluncur ke bawah. Menyongsong arus
gravitasi, menyongsong kematian.
BLUK!
Tubuh
Kyo terpelanting beberapa jarak setelah mendarat pada kasur pegas yang telah
disediakan sebelumnya. Pemuda itu mendarat dan jatuh terguling dari kasur pegas
ke tanah.
“Pegangi
dia!”
“AAAAAAAAAAAA!!!!!!”
Shinya
terhenyak melihat ritual peringkusan pemuda itu dari jendela di sisi gedung.
“Kyo…”
***
“Aku
bingung, bagaimana bisa dia melepaskan semua ikatannya?” Toshiya berujar pada
meeting Dokter siang itu.
Setelah
kasus yang menimpa Kyo di rumah sakit jiwa tersebut, beberapa dokter senior dan
ahli langsung mengadakan meeting dadakan. Sudah beberapa kali Kyo berontak dan
mencoba bunuh diri. Pemuda yang sudah dimasukan ke rumah sakit jiwa sejak dua
tahun lalu itu sama sekali tak mengalami perubahan dalam pemulihan mentalnya.
Mulanya,
dia terlihat seperti gila dan muak dengan pekerjaan dan dunia realita yang ia
tekuni. Tetapi semakin lama, perbuatannya semakin ekstrim. Dimulai dengan
sayatan kecil di tangan, hingga mengunyah biji-biji paku payung yang ia dapat
di tanah. Kyo seperti seseorang yang ingin sekali mengakhiri hidupnya. Namun
anehnya, dia selalu berteriak tidak ingin mati sebelum akhirnya melakukan
tindakan nekat.
“Seseorang
harus mengawasinya terus.” Kaoru berkomentar.
“Seseorang?
Kau yakin hanya seseorang?” Die melanjutkan. “Dia gila. Parah!”
Kaoru
tercenung.
“Ini.”
Toshiya menyodorkan sebuah kepingan DVD ke atas meja pertemuan mereka. “Ini
rekaman CCTV yang di pasang di kamar Kyo. Kau bisa lihat seberapa sakitnya
dia!”
“Kyo,
harus dijaga lebih esktra. Bukan hanya dengan beberapa sekuriti dan kamera
pengintai.” Shinya yang sejak tadi diam, akhirnya bicara.
“Maksudmu?”
“Bisakah
kita panggil seorang Pendo’a untuk menenangkannya?”
Para
Dokter dan peserta meeting itu melirik Shinya dengan mata yang berbeda-beda.
Ada yang terkejut, ada yang terkekeh dan ada yang menatap Shinya dengan serius.
“Maksudmu
apa, Shin? Dia di ganggu hantu?” sindir Die.
“Bukankah
masalah seperti ini juga berhubungan dengan kesehatan rohaninya?”
Kaoru
memandang Dokter muda di sebrang meja mereka.
“Kau
punya seorang kenalan yang bisa membantu?” tanyanya.
Die
dan Toshiya melirik Kaoru dengan mata yang tak percaya. Sementara Shinya
mengumbar senyum.
***
Kyo
membuka matanya perlahan. Kelopak mata bawahnya terlihat begitu merah dan
wajahnya pucat. Pemuda itu kembali melihat sisi terang dari jendela kamarnya
yang menampakan cuaca sore hari. Warnanya terlihat begitu memikat, tetapi tak
terlalu berharga untuk Kyo.
Kyo
menggerakan tubuhnya, namun terkunci. Sabuk-sabuk pangaman ini mengunci
tubuhnya di atas ranjang. Membosankan.
“Hey!!!!
Lepaskan! Aku mau ke kamar mandi!!” ia menjerit.
Masuklah
seorang penjaga dengan wajah yang ketakutan, ia melihat Kyo dengan sorot mata
penuh enggan.
“Buka!!
Aku mau kencing!!” hardiknya.
Sang
perawat jaga bukannya membantunya, justru malah berlari ketakutan. Dia pergi
meninggalkan Kyo untuk meminta bantuan.
“Bangsat!
Bukaaaaa!!!! Kalian mau aku mengencingi muka kalian!!!” Kyo menggelinjang
kesana kemari untuk melonggarkan ikatannya. Tetapi ikatan ini begitu kuat
memeluk tubuhnya.
Bibir
Kyo bergetar menahan kesal. Amarah dan emosi. Bercampur dengan perasaan miris
pada bagian selangkangannya yang sudah menegang. Sialan!
***
Shinya
datang bersama seorang pria dengan busana yang rapih sekali. Terlihat tua
dengan warna rambutnya yang telah memutih.
“Silahkan,
Bapak.”
Tetapi
saat mereka masuk ke ruangan Kyo, Shinya spontan menutup hidungnya. Busuk!
Bau
ini menyengat dan menyiksa hidung mereka. Shinya mempersilahkan sang Bapak
keluar lebih dulu sementara dia memeriksa keadaan Kyo.
“Kyo…”
“Jangan
salahkan aku kalau kasur kalian basah dan pesing. Salahkan anak buahmu yang
terlalu tolol!”
Shinya
segera beranjak ke samping tempat tidur Kyo dan menekan bel untuk memanggil
beberapa perawat.
“Tolong
bawakan baju pasien baru, dan aku butuh bagian kebersihan.” Katanya lalu
melirik Kyo yang melihat dinding di sebelahnya.
Shinya
tak berkata apa-apa sampai beberapa orang perawat dan bagian kebersihan muncul.
***
Sang
Bapak keluar dari kamar Kyo setelah beberapa jam mendo’akan pemuda itu. Shinya
yang menunggu di luar segera saja menghampiri dan menanyakan keadaannya.
“Sepertinya
dia memang terganggu. Seseorang di masa lalu sepertinya setiap malam datang dan
bercengkrama dengannya. Entah siapa. Dia terlalu kuat menyembunyikan, tetapi
dia memang bertindak tidak sendirian.”
Shinya
terdiam.
***
Suara
denting piano itu terdengar perlahan. Menyusup di gendang telinga Kyo yang
telah terlelap malam itu, hingga akhirnya ia membuka mata. Ia melihat semuanya
begitu gelap tanpa cahaya, tak biasanya. Padam lampukah?
Kyo
beranjak. Lagi-lagi tak biasa karena dia dibebaskan begitu saja. Aneh. Siapa
orang yang setiap malam melepaskan ikatannya?
Kakinya
menapaki lantai rumah sakit yang dingin tanpa alas. Membiarkan telapaknya
memucat dan melahap dingin itu sendirian.
Semakin
lama, semakin keras suara dentang piano itu di kepalanya. Membawanya melangkah pergi
menuju kegelapan. Rumah sakit yang biasanya selalu dijaga oleh para bodyguard
besar dan tegak, kini nampak lengang dan senyap.
Lagi-lagi,
bunyi piano itu mengusik. Tetapi kali ini suaranya menjadi agak samar. Membuat
Kyo berputar-putar di sekitar halaman dan koridor rumah sakit yang gelap. Kyo
tak akan pernah bertanya lagi dari mana datangnya suara-suara ini, karena ia
tahu ini berada dikepalanya sendiri. Suara-suara itulah yang selalu membawanya
pergi ke tempat-tempat yang tak pernah ia jangkau sebelumnya.
Seperti
saat ini, ketika Kyo sadar, ia sudah berhenti di depan sebuah area pembangunan
gedung perumahan elit yang berada di sebrang rumah sakit.
Dingin
yang tadinya ia rasakan pada lantai, kini berubah. Tetap dingin, namun terasa
kasar karena kerikil dan tanah kering yang berumput. Ia berdiri menatap
kerangka gedung perncakar langit itu. Bentuknya seperti sebuah tanda akan ajal
dan kematian.
Mengerikan.
Tanpa
ragu dan takut dengan kegelapan total yang menyelimuti tempat itu, Kyo
melangkah masuk. Membingungkan ketika Kyo membuka pagar besi yang seharusnya
terkunci, kini terbuka seolah mengundang dirinya.
Ia
melewati dinding-dinding kumuh yang memperlihatkan isinya. Seperti kulit
manusia yang tersayat, terluka dan membusuk. Tangga-tangga yang terlihat di
depan matanya terlihat bagai usus manusia yang memburai. Tinggi, tergantung
pada rongga atas di atas gedung tertinggi.
Mengerikan
terlihat, entah kenapa sedih terasa.
“Kyo…”
Kyo
tak berbalik saat mendengar suara itu menyapanya. Ia tidak terlalu terkejut
orang ini mengikutinya sampai kemari.
“Kau
mengikutiku?” Tanya Kyo tanpa meliriknya.
“Ya.”
Kyo
menghela. Pria di belakang Kyo perlahan mendekatinya, kemudian ia menangkupkan
sebuah selimut hangat di kedua bahu pemuda kecil itu. Kyo tertunduk.
“Ini
akhir dunia.”
“Kau
membicarakan kiamat?”
“Semuanya
perlahan membawa diri mereka menyongsong pada kematian mereka sendiri dan akhir
dunia.”
“Kyo…”
“Zakuro
pun begitu. Dia yang memutuskan semuanya sendiri. Bagaimana dia hidup dan
bagaimana dia mati.”
“Kau
masih ingat Zakuro?”
“Kematiannya
yang membuatku membuka mata, bagaimana kita membuka peluang untuk menghancurkan
dunia. Cepat atau lambat, kita akan mati. Perlahan tapi pasti. Aku tidak ingin
mati dengan kebodohanku sendiri. Aku tidak mau mati terseret dengan dosa mereka
yang membuat dunia ini murka dan garang.”
“Kyo…”
“Ini
seperti jalur kematian kita sendiri yang satu persatu masuk dalam lingkaran
yang tidak bisa kita ubah. Ketika perubahan ini begitu mengasyikan, kita
terbuai. Berusaha membuat dunia seperti apa yang kita inginkan. Membunuh banyak
nyawa demi keserakahan.
Shinya
membisu.
“Aku
takut, Shin…” mata Kyo berkaca. “Aku takut mati, meski pun aku tahu kematian
itu akan datang.”
Kyo
berbalik, wajahnya berubah pilu. Isak kecil yang tak bisa Kyo tahan, mengalir
begitu saja. Bagaimana dia begitu lelah dengan semua hal yang sama, tak pernah
berbeda. Terkadang, dia rindu harum ilalang di musim panas yang tidak akan lagi
dia hirup, berganti dengan asap dan kimiawi yang tersebar di sekitarnya. Menyesakan.
“Mereka,…
bersemayam dikepalaku. Mereka memiliki pemikiran yang sama denganku. Sebuah
kemuakan dan rasa jengah yang sudah tidak bisa kami tahan. Mereka tidak
mengendalikanku, mereka hanya mengiringiku, memberikan opsi jalan terbaik
untukku.” Kyo mendekati Shinya. “Terkadang kau butuh teman untuk berbagi walau
itu dalam pikiranmu sendiri, kan?”
“Kyo…”
Shinya mundur teratur.
“Karena
bersama dengan merekalah, aku yang sangat pengecut ini memiliki sedikit waktu
luang untuk merasakan perasaan lebih hidup ketimbang terus menerus dikejar oleh
waktu.”
Shinya
mengambil kedua tangan Kyo cepat dan mengenggamnya.
“Ayo,
pulang!”
Sejenak,
Kyo tertegun. Matanya melihat Shinya yang terlihat khawatir dengan mata yang
berair.
“Kyo,
ayo pulang!”
Kyo
masih membisu.
“…
ayo pulang.”
Ah,
suara piano itu terdengar lagi. Kali ini imajinasi Kyo berubah bentuk,
membawanya berdiri di sebuah halaman luas penuh ilalang. Harus khas tanah
leluhur yang sudah lama tak tercium. Di hadapannya seorang gadis berambut hitam
menatapnya dengan senyum.
“Zakuro…”
“Kyo,
ayo pulang.”
Mata
Kyo berbinar, menguntai senyum dan berakhir dengan wajah kegembiraan. Ini
kenangan yang sudah lama sekali Kyo lupakan. Berusaha mengingatnya pun Kyo tak
sanggup.
Bruk!
“Kyo!!!”
Shinya menjerit ketika tubuh Kyo mendadak tumbang. Pria kurus itu berusaha
menahan tubuh lunglai Kyo yang mendadak lemas tak bertenaga.
“Ah…”
Kyo mendesah.
Darah
mengucur dari lubang hidung sebelah kirinya.
“Kyo..!”
Kyo
membuka matanya perlahan, senyumnya terukir walau pahit. Diakhiri dengan tangis
dan jeritan emosi.
Kyo,
Aku tidak mau mati dengan cara yang
seperti ini.
Lalu?
Aku tidak mau mati berdampingan
dengan mereka orang-orang picik dalam kiamat.
Aku mau mati dengan kesendirianku,
mengenangmu.
FINISH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar