Title : EXODUS
Author : Duele
Finishing : Oktober 2012
Genre : Fantasy
Rating : PG15
Chapter(s) : 4/on going
Fandom(s) : Dir en Grey
Pairing(s) : DiexShinya
Note Author : Akhirnya, part ini
selesai juga :D
*****
Shinya keluar dari penginapan saat
melihat Die sedang merapihkan pelana kudanya. Dia melihatnya dengan mata yang
gusar, berpikir apakah sebaiknya dia mendatanginya di saat-saat seperti ini?
Bertepatan dengan itu, Die ternyata menyadari kehadiran Shinya di sana. Pemuda
bergaun itu berdiri cukup lama kalau saja Die tidak menyapanya lebih dulu.
“Heh!” sapaan kasar yang cukup membuat
Shinya terbangun dari khayalannya. “Sedang apa kau di situ?”
Shinya mengerutkan sebelah mulutnya merutuk.
Ia pun mendekati Die yang sudah berkacak pinggang dengan angkuhnya.
“Aku mau mengembalikan ini,” kata
Shinya sambil menyerahkan jubah merah yang Die berikan beberapa hari lalu.
“Kenapa?”
“Tidak. Aku tidak bisa menerima
pemberianmu.”
“Ada alasan kenapa kau menolaknya?”
“Aku tidak bisa menerima pemberian dari
orang,”
“Lalu gaun yang kau pakai?” Die
menembaknya. “Bukankah itu gaun yang Kaoru berikan kepadamu?”
Shinya membisu. Dan waktu terkadang
menjadi suatu pendukung. Entah itu pendukung peperangan atau pun perdamaian.
Karena di saat itulah Kaoru dan Hakuei muncul. Mereka kelihatan sudah
bersiap-siap untuk berangkat ke tujuan selanjutnya. Namun melihat Die dan
Shinya yang sedang bercengkrama berdua saja membuat Hakuei yang berjiwa usil
menggodai mereka.
“Masih pagi, Jenderal... jangan
menggodanya.”
“Diam kau!”
Hakuei terlonjak. Kaoru mengerutkan
keningnya. Matanya menyelidiki dan berusaha menelaah apa yang sedang terjadi di
antara mereka. Melihat mimik wajah Die yang menekuk, tentu saja ini bukan saat
yang tepat dimana Kaoru harus berkata pria itu sedang dalam mood yang bagus.
Shinya kelihatannya juga tidak terlalu suka dengan kondisi semacam ini.
Sesekali Die menatap Kaoru dengan mata
yang sinis. Lalu kembali menatap Shinya yang tertunduk dengan mata yang kesal.
Dia akhirnya meninggalkannya, naik ke punggung kudanya.
“Alah! Sudahlah! Cepat kalian bersiap!
Pokoknya aku mau sore ini kita sampai ke desa berikutnya.”
Kaoru dan Hakuei bergerak ke arah kuda
mereka yang sudah disiapkan sejak semalam. Keduanya tiba-tiba sadar bahwa
tinggal Shinya seorang yang berdiam diri di sana.
“Shin...” Kaoru memanggil. Dia menatap
Shinya yang melihatnya dengan muka menyesal. Tetapi melihat gelagat Die yang
kelihatannya sedang tidak enak hati, Kaoru memilih untuk bungkam. Kemudian, dia
menengok ke arah Hakuei yang sama-sama bermuka bingung. “Haku, berbagilah kuda
dengan Shinya.”
“Huh? Apa!?”
“Jangan membantah. Kau tidak mau
dicincang, Jenderal Die ‘kan?”
Hakuei melirik ngeri ke arah Die yang
sudah berjalan lebih dulu dengan kudanya. “Kenapa harus aku...” gumamnya. “Naiklah,
Shin!” Hakuei menggerakan kepalanya memberi sinyal.
Shinya mendekati kuda, sebelum dia
menjejakan kaki ke pijakan pelana, matanya melihat sosok Die yang telah
menjauh.
*****
Api unggun sudah dinyalakan. Sedikit
menerangi bagian depan tenda mereka yang kini telah didirikan di dekat hutan.
Di depan api, Die duduk sambil membesatkan mata pisaunya ke kayu yang dia
temukan di sisi kakinya. Menghabiskan waktu malamnya yang tak kunjung
membuatnya mengantuk.
Tiba-tiba ia terhenti ketika melihat
kedua tangannya yang telah pulih. Benar-benar seperti sedia kala. Padahal
beberapa hari lalu, ia ingat sekali kengerian yang sempat dia rasakan ketika
melihat kedua tangannya melepuh dan terbakar. Sampai dia tak bisa merasakan
bahwa dia memiliki tangan. Sampai saat ini pun Die merasakan kengeriannya.
Walau pun masalah itu sudah teratasi. Dia tidak memungkiri bahwa semuanya
mungkin karena Shinya.
Mata Die melirik pada letak unggun
kecil di sebrang tenda. Cukup jauh di sana, sosok Shinya nampak sedang duduk
sama sepertinya. Memunggunginya dan nampak kosong. Tapi Die tidak tahu mengapa
terkadang melihatnya cukup membuat moodnya jadi sebal.
“Bagaimana lukamu?” seseorang tiba-tiba
mengejutkan Die. Ternyata Kaoru yang datang. Pemuda itu mengambil tempat di
depan Die sambil menghangatkan kedua tangannya ke dekat api. “Sejak siang kau
tidak pernah bicara, Pangeran. Ada apa?”
“Bukan urusanmu.”
Die kemudian bangkit dari duduknya.
Menaruh kembali belatinya ke dalam sarungnya yang terikat di pinggangnya. Kaoru
hanya memerhatikannya dalam diam.
“Hakuei, mana?” tanyanya.
“Dia pergi mencari air.”
“Malam-malam begini? Bahaya! Dia bisa
diserang!”
Kaoru langsung memasang muka aneh -___-
“Pangeran, mata air itu ada di belakang
tenda kita, loh.”
Die kelihatan salah tingkah. Tanpa
bicara dia akhirnya masuk ke dalam tenda, bertepatan dengan munculnya Hakuei.
“Ada apa dengannya?”
“Entahlah. Semakin lama semakin tidak
jelas.” Kata Kaoru sambil tersenyum.
“Memang sudah dari sananya...”
Akhirnya Hakuei bergabung dengan Kaoru
untuk mengobrol. Sementara Shinya memerhatikan mereka dari kejauhan. Sesekali
dia melirik pada tenda. Kemudian, dia melihat pada kedua pergelangan tangannya
yang terikat. Sungguh, terkadang ini tak masuk akal. Shinya sudah membantunya,
kenapa dia masih diperlakukan begini?
“Karena dia tawanan.”
Kaoru menghela kecil. “Tapi dia sudah
membantumu. Apakah pantas kita masih mengikatnya? Lagipula, aku pikir dia tidak
akan kabur.”
“Kau bisa menjamin kalau dia memang
tidak akan kabur?”
Kaoru diam. Kemudian dia berkata lagi,
“Kenapa kau sepertinya tidak ingin melepaskannya?”
“Karena aku membutuhkannya,” jawab Die
cepat. “Aku membutuhkannya untuk melawan para penyihir itu.”
“Maksudmu?”
“Baik. Aku menyadari sesuatu kalau dia
memang cukup lihai dengan pengetahuannya mengenai obat-obatan. Dan kita semua
tahu kehebatannya juga dalam hal sihir. Kau jangan berkata bahwa kau tidak
pernah melihatnya menggunakannya,” Die menatap Kaoru yang mengangguk. “Aku
berencana untuk membuatnya menjadi penyihir di pihak kita.”
“Ah! Kau mau bekerja sama dengan
penyihir? Bukankah kau bilang kau sangat benci mereka?”
“Ini hanya siasat. Aku mau mereka semua
saling menyerang satu sama lain. Apa yang lebih jahat daripada menghasut sebuah
kaum untuk saling terpecah?”
“Tapi menurutku, Shinya bukanlah
penyihir seperti Ursula atau Toshiya. Dia seperti penyihir yang berbeda.”
“Itu karena dia tinggal dan tumbuh
sendirian di hutan. Tetapi darah penyihir tetap mengalir di tubuhnya dan dia
tidak bisa menyangkalnya. Siapa pun yang menjadi penyihir memiliki hati yang
pelan-pelan akan mulai menghitam seiring dengan sihir yang mereka miliki.”
Kaoru membisu, dia sedang berpikir. Apa
yang dikatakan Die memang ada benarnya. Darah penyihir yang mengalir di tubuh
Shinya mungkin perlahan akan mengubahnya seperti Ursula.
“Ini kesempatan kita untuk melawan
balik.” Die berkata dengan serius tepat di depan wajah Kaoru.
“Tapi bagaimana kalau Shinya menolak
untuk membantu kita. Mungkin sekarang dia memang membantu kita, tapi dia tidak
punya alasan lain untuk memihak kita, Pangeran.”
“Ada! Dia punya satu alasan...”
Kaoru menyipitkan matanya bingung. Die
menatapnya tajam.
“Alasannya adalah....kau.”
Kaoru terkejut. “Ap—Apa?! Kau
bercanda?!”
“Sudahlah~ jangan ditutupi...” Die
mengibaskan tangannya. “Aku tahu dia menyukaimu.”
“Pangeran tolong jangan berkata yang
tidak-tidak! Mana mungkin—”
“Kau tidak percaya padaku?”
“Tidak!”
Die menghela sambil berkacak pinggang.
“Kemarin kuberikan jubah merahku
padanya,”
“Huh?!”
“Tapi dia mengembalikannya dengan
alasan tidak bisa menerima pemberian dari orang lain. Tapi kenapa gaun
pemberian darimu tetap dia pakai? Menurutmu apa alasannya?”
Kaoru menggeleng-geleng.
“Ya, mungkin kau tidak bisa
menerimanya. Tapi sadarlah, kenyataannya dia memang menyukaimu! Dan aku mau kau
membantuku membuatnya agar mau memihak di pihak kita. Setelah itu terserah
padamu, mau kau lanjutkan atau kau putuskan.” Kata Die enteng.
“Pangeran...”
“Aku tidak memintamu untuk melakukannya
dengan serius. Aku memintamu hanya untuk bersandiwara saja supaya dia semakin
jatuh hati padamu, Kaoru.”
“Aku tidak bisa melakukannya!”
“Harus!” Die kukuh. “Ini demi kerajaan
kita. Ingat bagaimana para penyihir itu mengobrak-abrik kerajaanmu dan membunuh
calon permaisurimu?”
Kaoru kelihatan bingung. Ada semburat
perasaan kecewa terdalam di hatinya. Dia ingat Tashiya. Bagaimana kematiannya
begitu nyata di ingatannya.
“Kita datang untuk ini. Kita datang
untuk membalaskan kematian mereka.”
*****
Shinya menatap Kaoru tak berkedip saat
pria itu mengulurkan tangan padanya untuk menaiki kuda.
“Kuda Hakuei membawa banyak barang,
jadi kau bisa menumpang kudaku.”
“Ah, oh...” Shinya menggapai tangan
Kaoru dan naik ke kudanya.
Die memandangi mereka dengan hati
kusut. Dia bertanya-tanya dalam hati, bagaimana bisa Shinya begitu percaya pada
Kaoru. Namun pemikiran itu segera dikesampingkan ketika Kaoru memberi isyarat
padanya. Kuda Die berjalan lebih dulu diikuti oleh Kaoru dan Hakuei di belakang
mereka. Untuk yang disebutkan terakhir, sepertinya lebih syok. Hakuei mulai
bingung sekarang. Maka, sepanjang perjalanan Hakuei lebih banyak memerhatikan
kuda Die daripada mendengar instruksi Jenderal Die.
*****
Angin malam berhembus kian kencang.
Rasa dingin tak pelak menusuk kulit. Sisa-sisa dari kehidupan di hutan yang
telah ditinggalkan rombongan oleh Jenderal Die dan pengikutnya masih tersebar
di beberapa titik meskipun telah di hancurkan.
Jejak mereka sudah menghilang, namun
bau mereka masih tertinggal. Begitulah sekiranya yang mampu di endus oleh
seekor srigala hitam bermata merah. Dia berputar-putar di sekitar bekas
perkemahan dan berhenti pada leburan api unggun dimana Shinya pernah
menempatinya. Batang pohon yang pernah Shinya duduki ia endus. Ia rasakan
baunya yang belum menghilang.
Air liurnya menetes ke tanah,
menggumpal bercampur dengan partikel-partikel kecil di tanah. Matanya yang
merah mawas menatap daerah sekitar itu. Beberapa pasang mata mereka menatapnya.
Mereka keluar dari semak belukar. Srigala-srigala lokal. Nampaknya mereka
mengetahui bahwa ada pendatang baru yang kelihatannya ingin mengambil
wilayahnya.
Sang srigala bermata merah kini di
kepung.
“Grrrhhh!!”
*****
Kelompok Jenderal Die akhirnya sampai
di sebuah pemukiman. Namun mereka kebingungan dengan kondisi pemukiman
tersebut. Pasalnya, setahu mereka, desa bernama Gomea itu terkenal dengan pasar
industri perdagangannya yang cukup maju. Terutama Pangeran Die. Karena desa ini
merupakan salah satu desa incarannya untuk melebarkan sayap wilayah
kerajaannya. Tetapi semuanya berubah total. Di desa itu sama sekali tak ada
tanda-tanda kehidupan. Bahkan nampak seperti desa orang mati.
“Apa-apaan ini?”
Kuda Kaoru dan Hakuei berdiri sejajar
dengannya. Sama-sama menatap bingung dan aneh di depan gapura desa tersebut.
....
Die turun dari kudanya, diikuti oleh
yang lain. Die masih tidak mengerti dengan keadaan desa yang berubah total.
Terakhir kali Die datang ke desa ini ketika dia akan dinobatkan sebagai Putra
Mahkota dewasa. Itu baru dua tahun yang lalu. Seingatnya, desa ini adalah salah
satu desa dengan peradaban cukup pesat. Dengan dunia dagang yang teramat
lancar. Walau letaknya yang cukup jauh dari pusat kota, namun itu tak
mengurangi kinerja perdagangan di desa kecil ini.
Die menjajakan kakinya ke jalan desa
yang benar-benar sepi tak berpenghuni. Dilihatnya sekeliling desa yang sama
sekali kosong. Sudah berapa lama desa ini ditinggalkan? Bahkan dari kondisi
gerbang gapura yang telah rusak cukup membuat Die menebak-nebak lamanya desa
ini ditinggalkan. Sebetulnya ada apa?
“Jenderal Die...” Kaoru mendekat.
“Ada yang aneh di sini.” Bisiknya.
Die memutuskan untuk masuk lebih dalam
ke isi desa. Betapa mengenaskannya keadaan di sana. Desa itu benar-benar
hancur. Rumah-rumah kayunya sudah sangat lapuk bahkan sudah ada yang ambruk.
Tanah-tanah yang gembur nampak tandus. Aneh. Aneh sekali.
Setelah mengikat kuda-kuda mereka,
rombongan Jenderal Die berteduh di sebuah rumah kayu yang kelihatannya cukup
besar. Jika Die tak salah ingat, di sini adalah sebuah penginapan yang cukup
mewah saat itu. Namun semuanya berubah. Kondisinya sama mengerikannya dengan
bangunan-bangunan yang lain.
“Apa desa ini terkena semacam wabah?”
celetuk Hakuei saat melihat tulang belulang yang besar. Jika boleh ia menebak,
maka tulang-tulang itu sudah dipastikan tulang hewan ternak semacam sapi atau
kerbau.
Shinya dan Kaoru sedari tadi ikut
memerhatikan keadaan. Sama sekali tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Hakuei
melihat-lihat isi bangunan tersebut, sesekali dia mengangkat gelas-gelas kecil
dan teko keramik yang masih kelihatan bagus namun sudah berdebu parah.
Die naik ke lantai atas mencoba
memeriksa. Lagi-lagi tak ada tanda kehidupan yang ada di sana. Die merasa
semakin aneh. Die kembali mencoba melihat-lihat, ada yang membuatnya penasaran
dengan kamar terakhir. Ia memiliki perasaan ganjil dengan kamar yang sedang
ditujunya. Tangan kirinya sudah mencengkram sarung pedang peraknya, telunjuknya
menyentil ujung pedang agar terbuka sedikit saat Die bersiap mengangkatnya.
Dengan langkah waspada Die membuka pintu kamar terakhir dengan tangan kanannya.
Dan,
Syut!
Cntrang!
Kaoru dan Hakuei segera sadar bahwa ada
sesuatu yang tak beres. “Pangeran Die!” Mereka berlarian ke arah tangga saat
melihat Die di serang oleh orang lain. Shinya hanya melihat dengan hati yang
berdebar-debar. Siapa yang muncul di desa yang aneh ini? Dan kenapa Shinya
merasa sedikit gelisah sejak pertama kali menjajakan kakinya di sini.
Perkelahian itu tak lama saat penyerang
Jenderal Die dilumpuhkan. Ternyata dia bukan musuh yang mereka kira, melainkan
seorang penduduk asli dari desa tersebut.
“Aku harus cepat-cepat pergi dari
sini!”
Mereka saling berpandangan satu sama
lain. Mereka bingung mengapa pria ini begitu ketakutan. Rasa penasaran membuat
mereka terus menahan pria ini agar mau menceritakan mengenai desa ini.
“Kami akan membiarkanmu pergi. Tapi
bisa kau ceritakan kenapa desa ini menjadi begitu sepi tak berpenghuni?” tanya
Kaoru.
Pria itu menjadi gusar sambil menatap
rombongan kecil itu.
“Katakan saja, tidak perlu takut.”
Bujuk Kaoru. “Jenderal kami dulu pernah singgah di sini, dan dia bingung karena
desa kalian menjadi sang—”
“Sebaiknya kalian juga lekas pergi dari
sini kalau masih mau hidup!” kata pria itu panik.
“Hei, hei! Pak, jangan membuat kami
bingung.” Die mengerutkan keningnya. “Katakan apa yang sebetulnya terjadi.”
Pria itu menelan ludahnya dalam-dalam.
Wajahnya jelas sekali menyimpan ketakutan besar. Ini membuat pria-pria itu
menjadi semakin bingung. Sebetulnya apa yang sedang menimpa desa ini. Di
belakang sana, Shinya duduk sedikit menjauh di dekatkan pada kuda-kuda mereka.
Menebak-nebak apa yang sedang mereka bicarakan. Tetapi sesaat kemudian
perhatiannya tertuju pada pintu keluar. Shinya merasakan sesuatu yang
membuatnya terus menerus memperhatikan kegelapan di luar sana.
“Sebenarnya, desa kami...”
Mereka kembali menyimak. Bermuka serius
dan cukup terkejut dengan apa yang mereka dengar.
“..desa kami diserang oleh gerombolan
srigala hutan liar.”
“Huh?!” ketiganya terkejut.
“Bagaimana bisa? Desa ini kan cukup
jauh dari hutan?” kata Kaoru.
“Kenapa bisa diserang?” sambung Die.
“Apa tidak ada pendekar di sini?”
lanjut Hakuei.
Die dan Kaoru langsung menatapnya
dengan mata aneh.
“Tidak. Tidak ada.” Pria itu bergeleng.
“Tadinya, hanya dua srigala yang nyasar dan menyerang salah satu warga desa
kami. Kami segera membunuh kedua srigala itu. Tiba-tiba saja seminggu kemudian,
gerombolan srigala yang jauh lebih banyak datang dan menyerang desa kami.
Mereka seperti ingin membalas dendam. Mereka menghancurkan semua isi desa.
Memakan warga dan membunuh mereka semua.”
“Desa ini kan cukup besar, apa mungkin
gerombolan srigala itu mampu menghabiskan kalian semua? Apa kalian tidak
melawan?” Die penasaran.
“Kami sudah melawan, tetapi jumlah
mereka setiap malam terus bertambah.”
“Setiap malam?” Kaoru mengulang.
“Maksudmu mereka datang kemari setiap malam dan menyerang desa kalian?”
Pria itu mengangguk. Mereka terkejut
sekaligus bingung. Tak habis pikir dengan ini semua. Ada gerangan macam apa
yang membuat srigala-srigala liar itu menyerang dan menghabisi mereka semua.
“Apakah mungkin ini ulah penyihir...?”
Kaoru melirik pada Die yang sedang berpikir. “Entahlah...” tetapi tiba-tiba Die
menoleh pada tempat Shinya. Kemudian dia panik. “Kemana penyihir itu!?”
Kaoru dan Hakuei pun tersadar bahwa
Shinya kini telah menghilang!
*****
“Kau akan mencari dia ke mana?” Kaoru
mengejar Die yang sudah menaiki kudanya. “Ini sudah gelap! Kau bisa diserang
gerombolan srigala itu!”
“Tuan lebih baik kau urungkan saja
niatmu dan biarkan gadis itu pergi!” si pria yang tak tahu kalau Shinya itu
laki-laki juga mencegahnya.
“Jika pernyihir itu berhasil selamat
seorang diri, kau pikir kenapa aku akan mati hanya oleh gerombolan srigala?!”
Die membantah.
“Aku tahu kau kuat! Aku tahu kau hebat
dalam bertarung! Tapi yang kau hadapi ini adalah binatang buas yang jumlahnya
mungkin sangat banyak! Sekuat apa pun kau pasti akan kewalahan!” Kaoru menarik
tali kudanya.
“Issh!!” Die kesal.
“Jenderal dengarkan apa yang dikatakan
oleh Pangeran Kaoru! Aku mohon biarkan penyihir itu pergi! Kalau kau masih
penasaran dengannya setidaknya tunggu sampai matahari terbit! Ini berbahaya!”
Hakuei ikut menarik tali kuda Die agar dia tak berlari.
“Tapi bagaimana kalau dia...”
“Percaya padaku! Shinya tidak akan
apa-apa!” Tandas Kaoru.
Krrsskk!
Semak-semak itu bergerak. Sebuah tangan
pucat menyembul dari dalam dan membuat jalan keluar dari lebatnya semak yang
tumbuh memanjang ke atas. Shinya berdiri di tengah-tengah sebuah tanah lapang
yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun dan semak yang tinggi. Dia sama sekali
tidak tahu dimana dia sekarang, namun kaki dan perasaannya membawanya kemari.
Pria bergaun itu berjalan dengan
bertelanjang kaki. Mengabaikan dengan dinginnya angin malam dan intaian bahaya
yang bisa saja menyerangnya kapan saja. Shinya seperti sudah tahu kemana arah
yang harus dia tuju. Dengan penuh percaya diri dia melangkah maju ke depan.
Menyibak ranting-ranting semak yang tumbuh menjalar di sekelilingnya. Tiba-tiba
dia berhenti ketika mendengar suara lolongan panjang.
Auuuuu!!!
Shinya menatap arah sumber suara yang
belum pasti. Menatap tebing-tebing curam yang gelap dengan bulan purnama yang
tengah bersinar penuh.
“Bulan purnama...”
Lalu Shinya berlari sekencang mungkin
menembus hutan. Suara desah nafasnya yang kelelahannya mulai terdengar.
Keringatnya mengucur dari dahi dan mulai membasahi lehernya. Asap dari mulutnya
terpantul jelas dari sinar bulan yang ukurannya tiga kali menjadi lebih besar
saat purnama penuh seperti ini.
“Jangan sekarang..!” batin Shinya.
Kakinya tetap melangkah sampai kemudian
ia tersandung dan jatuh menubruk tanah.
Bruk!!
“Ugh!”
Kepalanya sedikit pusing. Namun dia
cepat pulih dan kembali bangkit. Saat dia membersihkan tanah-tanah yang
menempel di tubuhnya, Shinya merasakan sesuatu mengintainya. Dia berbalik!
Matanya mencari-cari, instingnya tidak mungkin salah untuk mengenali tanda
bahaya yang sedang dia rasakan sekarang. Shinya sedang diawasi!
Dia mundur teratur. Hatinya mulai tak
tenang sekarang. Suara-suara aneh mulai terdengar di telinganya. Derap suara
berlari yang begitu kencang. Bukan suara kaki manusia. Shinya memandangi
sekitarnya yang gelap. Seketika saja belasan pasang mata merah terlihat dari
balik semak. Dan sekejap, bentuk-bentuk hewan seperti srigala muncul dari balik
semak. Shinya bergidik. Melihat sosok srigala liar dengan bulu yang megar dan
tatapan lapar melihatnya dengan buas. Liur-liur mereka menetes deras ke tanah.
Dan posisi mereka sudah dalam posisi menyerang. Shinya terkepung sekarang!
Tak ada satu pun dari mereka yang bisa
tidur malam itu. Dalam kesunyian di antara mereka, Jenderal Die, Kaoru, Hakuei
dan pria penduduk asli desa itu duduk berjauhan. Hakuei dan Kaoru sesekali
melirik ke arah Die yang sedang menghaluskan sisi-sisi kayu yang dia temukan
dengan belatinya. Dari caranya membesat kayu itu nampak sekali Jenderal
berambut tebal itu tengah kesal. Setelah Hakuei dan Kaoru membujuknya untuk
tinggal, Die kelihatan sangat kesal.
“Aku tidur duluan, Pangeran.” Ujar
Hakuei kemudian.
“Ya, kau tidurlah.” Jawab Kaoru. “Kita
memang harus beristirahat agar besok bisa mencari Shinya.” Ia melirik pada Die,
“Kau juga Jenderal, jangan terlalu lelah. Besok kita mencarinya.”
Die tak menjawab.
*****
Shinya terkepung!
Dia membutuhkan sesuatu untuk dimantrai
agar bisa lepas dari gerombolan srigala-srigala itu. Tetapi jika dia bergerak
barang sedikit saja, srigala-srigala itu sudah pasti akan membunuhnya sekarang
juga.
“Bagaimana ini?” batinnya.
Seandainya ada kerudungnya, Shinya bisa
membuat sebuah perisai tak terlihat untuk mengelabui srigala-srigala itu.
Namun, itu semua sudah tak mungkin. Saat Shinya merasa sudah diujung tombak,
tiba-tiba sesuatu mengejutkannya. Tanpa bisa diperkirakan sebuah bayangan aneh
muncul dan membunuh tubuh-tubuh srigala itu.
Shat!! Shat!!
Sekejap, Shinya bisa melihat pantulan
bulu berwarna pirang. Cakar yang kuat dan besi berbentuk paku yang mengkilat
dalam kegelapan.
Shat! Shat!
Lima srigala mati dalam hitungan detik.
Begitu cepatnya dia menebasnya dan membunuh mereka semua. Bahkan terlalu cepat
saat Shinya sadar dia mendekati Shinya dan membawa tubuhnya pergi.
“Ukh!” Perut Shinya membentur bahu
makhluk ini. Kepalanya terbalik dan terombang-ambing bersama cepatnya tubuh itu
berlari melarikan diri dari kejaran para srigala yang kemudian berdatangan.
Darah Shinya seperti berhenti dan membuatnya pusing. “Lepaskan aku...” saat
Shinya mengatakannya, itu terakhir kalinya dia sadar sebelum akhirnya tak
sadarkan diri.
*****
Kaoru bangun paling awal. Sinar
matahari yang kelihatan masih menguning sudah cukup membuatnya terusik dengan
munculnya matahari. Tubuhnya yang masih lemas ia paksa untuk bangun dan
diregangkan. Ia bangkit dari tidurnya dan melihat sekelilingnya sampai kemudian
dia sadar sesuatu.
“Jenderal Die?!”
Mendengar pekikan itu, Hakuei dan pria
desa itu bangun. Saat Hakuei menjernihkan penglihatannya, ia melihat Kaoru
berlari kecil ke arah kuda mereka yang masih terikat.
“Ada apa, Pangeran?” tanyanya dengan
suara parau khas bangun tidur.
“Dia..!” Kaoru melihat ke arah jalan.
Hakuei akhirnya bangun dan mendekati
Kaoru yang kelihatan cemas.
“Pangeran...”
“Jenderal Die!” kata Kaoru. “Sepertinya
dia pergi mencari Shinya selama kita tidur!”
Mata Hakuei membulat.
Langkah kaki kuda Die bergempur dengan
tanah. Debu-debu dari pijakannya beterbangan ke udara. Pria itu memacu kudanya
dengan cepat memasuki hutan yang masih gelap walau kini matahari sudah mulai
terlihat di ufuk timur. Dengan tergesa-gesa dia mencari-cari keberadaan Shinya
yang menurutnya tak mungkin jauh dari hutan. Die tidak pernah mengetahui
perasaan apa yang membuatnya begitu percaya diri bahwa jalan yang sekarang dia
tempuh adalah jalan yang benar untuk menemukan Shinya. Ia yakin, penyihir
berparas manis itu belumlah jauh. Hanya saja sekarang dia merasakan perasaan
aneh lainnya.
Kuatir.
“Sialan!”
*****
Shinya akhirnya bangun. Setelah
memulihkan keadaannya dari tidur Shinya mulai mencermati sekelilingnya.
Ternyata dia dibawa ke sebuah gua batu. Shinya melihat sekitarnya, kosong,
tidak ada siapa-siapa. Lalu, orang yang membawa Shinya pergi ke mana?
Shinya berjalan mendekati mulut gua.
Namun terhenti saat matanya melihat sosok srigala muncul dengan mata kuning
keemasan. Shinya membatu di sana. Srigala berbulu kuning keperakan itu datang
mendekati Shinya yang saat itu sama sekali tidak bergerak sedikit pun. Shinya
menatapnya dengan seksama. Seperti mengenalinya.
Dan saat jarak di antara mereka tak
terlalu jauh, srigala itu terus memandangi Shinya. Begitu juga sebaliknya.
“...Shinya...”
Srigala itu bicara!
*****
Kuda Die berhenti di sebuah tanah
lapang. Dia turun dari kudanya dan mendekati pohon. Ia sepertinya sudah
mendapatkan petunjuk. Sebuah sobekan kain dari gaun Shinya dia temukan
tertinggal pada sebuah ranting pohon. Di depannya tumbuh semak-semak belukar
yang kelihatannya sudah pernah dilewati oleh manusia. Die menyibakannya untuk
mencari jalan. Ia menebas semak-semak itu untuk membuat jalan tembus. Saat
sabetan terakhirnya mulai membuka jalan, Die terkejut saat melihat sajian pemandangan
mengerikan di depan matanya.
Bangkai-bangkai srigala yang
kelihatannya masih cukup segar tergeletak di sekitarnya. Dan yang paling
mengejutkan, Die menemukan lagi sobekan kain dari gaun yang dipakai Shinya.
“Ck!”
Die melihat ke sekelilingnya. Ia tak
mempunyai ide lain akan mengejarnya ke mana. Tapi saat Die melihat jejak kaki
yang kelihatan membekas pada tanah kering, Die tahu akan mengejar Shinya ke
mana.
“Aku mencarimu,” kata srigala berbulu
perak itu.
“Maaf, mereka menangkapku.”
“Kalau begitu segeralah kembali ke
perbatasan hutan. Jika ‘mereka’ menemukanmu, ‘mereka’ akan membunuhmu...”
“Tidak bisa.”
“Kenapa?”
Shinya tidak menjawab. Ia menunduk
saja. Walau dia punya jawaban yang kuat, Shinya tak mungkin menjelaskannya
sekarang.
“Aku tidak bisa pergi sekarang.”
Srigala itu bangkit, kelihatan tidak
bisa menerima jawaban Shinya.
“Abaikan saja apa yang diberitahukan
lewat ramalan itu!”
Shinya bergeleng pelan. “Aku tidak
bisa...”
“Shinya...?”
“SHINYA!!”
Shinya terkejut. Matanya membelalak
menatap keluar saat mendengar teriakan yang familiar tersebut. Dengan cepat dia
bangkit dan mendekati mulut gua.
“Shinya!!!”
Lagi-lagi matanya harus membulat saat
melihat sosok Die yang sudah ada di kaki gua.
“Tak mungkin...”
Srigala itu keluar dan muncul tepat di
samping Shinya. Die yang melihatnya segera panik dan memacu kudanya.
“Awas! Bahaya!!” jeritnya.
Shinya tak tahu bahwa itu adalah sebuah
kesalahpahaman. Saat kuda Die menerobos naik ke gua berbatu, pria bertemperamen
pemarah itu segera melompat dari kudanya dan menebaskan pedangnya.
TRANG!
“Aaaah!!” Shinya menjerit kaget saat
suara itu seperti membentu gendang telinganya dan srigala berbulu keperakan itu
menghindar dari tebasan pedang Die yang mematikan. “JANGAN!!” Shinya menarik
lengan Die untuk menghentikannya. Tetapi Die menepisnya sampai pemuda kurus itu
terhempas.
Srigala itu pun berang dan mengeluarkan
taringnya. Die tersulut dengan kibaran bendera perang ini. Apalagi dia sudah
melukai Shinya! Begitu pikirnya.
“Kuhabisi kau Srigala jahat!” Die
mengangkat pedangnya. Srigala itu mulai bersiap. Shinya menjerit.
“BERHENTI!!!”
Die menoleh, “Apa?!” tiba-tiba srigala
itu menyerang Die. “Akh!!”
“Jangan serang dia!” Shinya bangkit,
berlari mendekati Die.
Srigala itu melepaskan serangannya. Die
geram. “Kau mengacaukan konsentrasiku!” Die bangkit lagi. Tapi Shinya cepat
menghadangnya. Berdiri tepat di depan srigala itu dengan merentangkan kedua
tangannya. “Kau mau mati, ya!? Malah melindungi binatang buas yang hampir
memakanmu hidup-hidup!?” hardik Die.
“Dia tidak begitu!”
“Apanya yang tidak!? Sudah jelas dia
itu srigala yang membawamu untuk makanannya di gua ini!”
“Jangan berkata yang bukan-bukan!”
“Minggir, kau! Biar kubunuh dia sebelum
dia melukai kita!”
“Tidak!”
“Keras kepala!”
Shinya tercenung dengan wajah yang
aneh. Matanya merah dan berair. Die terkejut. Perasaanna jadi aneh. Kenapa
dengan pria ini?!
“Jangan ganggu dia...”
Die kebingungan. Kenapa Shinya sangat
keras kepala untuk melindungi srigala buas itu?
“Dia itu srigala..”
“Bukan...” Shinya menggeleng. Die
membisu. “Dia bukan srigala biasa.”
Die terkejut. “Di—dia srigala
jadi-jadian?! Dia siluman?!!!” Die kembali menghunus pedangnya. Shinya kembali
panik. “Jangan!!”
“Kenapa?!”
“Dia KAKAKKU!!!”
Continue.....
huaaaaaa..aku datang lagi....-melambaikan tangan-
BalasHapusoke..pertama, aku sempet ngakak sebebtar pas lady Uruha muncul. kedua, sebenernya aku gak suka cerita cowo x cowo..tp karena aku tertarik ma alur ceritanya makanya aku baca ini. -sambil ngebayangin Shinya dan Totchi itu cewe-
oke sekian..ku tunggu part 25-nya