Author : Duele
Finishing : Desember 2012
Genre : Fantasy
Rating : PG15
Chapter(s) : 8/on going
Fandom(s) : Dir en Grey
Pairing(s) : DiexShinya
Note Author : Thanks for keep
reading this story J
*****
“Pangeran,
tunggu!” Hakuei berhasil mengejar pria itu.
Mereka kini
sampai di tempat dimana Tashiya terakhir tenggelam dalam genangan air. Tempat
yang tadinya berkabut tersebut perlahan mulai terlihat. Kabut pekat yang
tadinya menghalangi pandangan mereka menghilang. Dan saat mereka sampai,
ternyata tubuh Tashiya sudah keluar dari genangan tersebut, namun dengan
kondisi yang menyedihkan. Tubuhnya penuh dengan lumpur dan berbau amis.
“Tash!!” Kaoru
mendekatinya. Gadis itu masih pingsan. “Haku, cepat cari air atau kain!!”
“Baik,
Pangeran!”
“Tash…” Kaoru membersihkan
wajah gadis itu dengan kain di baju zirahnya. Gadis itu kelihatan sangat lemah.
“Tash…bertahanlah.”
Kyo masih
menunggui genangan air yang menghisap Jenderal Die. Airnya kelihatan mulai
menghitam. Kyo bangkit dari tempatnya dan mulai mendekatinya, tetapi pria yang
sedang mengalami siklus perubahan atas bulan purnama itu tidak bisa terlalu
dekat dengan genangan air itu. Karena jika dia mendekat, bisa saja diapun ikut
tertelan. Tapi, Kyo sedang merasa khawatir sekarang. Karena dengan cepat airnya
semakin lama semakin keruh. Keruhnya air menandakan bahwa orang yang terhisap
ke dalamnya, sedang dihisap tenaganya. Jika air itu telah menghitam dan
mengental seperti lumpur, maka bisa dipastikan orang yang terhisap ke dalamnya
telah mati.
Grep!
Kyo mengepalkan
tangannya.
Die tidak sadar
bahwa dirinya kini sedang berada di dunia ilusi. Tetapi ilusi ini adalah hal
yang paling Die inginkan. Genangan air yang telah menghisapnya telah membuat
Die merasa seperti dalam keadaan terbahagianya hingga dia tidak ingat apapun
dan betah di dalamnya. Pelan-pelan, ilusi ini akan menghisap habis tenaga Die
hingga mengering. Dan tubuhnya akan lunglai karena tak bertenaga.
Tap!
Die bertumpu
pada meja di sebelahnya. Setelah merayakan pesta panen dan makan bersama dengan
seluruh rakyatnya, ia merasa mulai tak sehat. Kepalanya menjadi berat dan
rasanya mulai berkunang-kunang.
“Kau sakit,
Daisuke?”
Die
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku rasa, aku
butuh tidur lebih banyak…”
“Hobimu tidur.
Kenapa tidak mencoba untuk membaur dengan gadis-gadis dari negeri seberang.
Ayahmu telah mengundang mereka semua…”
“Mungkin lain
kali,” kepala Die semakin sakit. “aku pamit, Bu.”
“Benarkah?
Kalau begitu beristirahatlah. Biarkan tabib istana memeriksamu.”
Die tak
mendengarkan jelas apa yang sedang Ibunya bicarakan karena kesadarannya hampir
menghilang. Die berjalan terhuyung masuk ke dalam istana dan duduk di kursi. Ia
terus memegangi kepalanya yang semakin lama semakin terasa sakit. Saat Die
hendak beranjak, tubuhnya ambruk ke lantai. Ia sama sekali tidak bisa merasakan
oksigen masuk di hidungnya kala itu. Tubuhnya terasa kaku dan tak bisa bergerak
sama sekali. Matanya berbayang, melihat sekelilingnya yang seolah bergoyang tak
beraturan.
Tetapi saat ia
merasa sekarat, dia melihat seseorang datang. Tak jelas siapa. Karena yang Die
lihat hanyalah langkah kaki yang tertutupi dengan kain menjuntai. Samar-samar
warna yang dapat dia lihat adalah sebuah warna merah darah. Datang mendekat dan
kemudian hampir mendapatkannya. Saat orang itu telah ada di depan matanya, ia
berjongkok namun sayang Die telah hilang kesadarannya sebelum ia tahu siapa
orang yang datang menolongnya.
Tabibkah?
Die sadar
keesokan harinya. Tepat di kamarnya seperti semula. Tak ada yang berubah.
Semuanya tetap sama seperti sediakala. Namun, kali ini sosok seorang wanita
dengan bermuka cemas kini nampak menemaninya sepanjang dia tertidur.
“Ibu…”
“Kau membuatku
cemas. Apa yang terjadi padamu, Pangeran?”
“Ah, aku tidak
apa-apa. Hanya sedikit kelelahan.”
“Kalau kau
merasa masih tak sehat, jangan berkeliaran dulu.”
“Ibu..”
“Beristirahatlah,”
Ibu beranjak dari sisi Die. “nanti malam akan ada tamu spesial datang kemari.
Kami harap kau siap menemuinya.”
“Siapa?”
“Nanti kaupun
akan tahu,”
Die tak mau
bertanya panjang lebar saat kepalanya mulai terasa berat lagi. Ia lebih memilih
untuk mengistirahatkan kembali badannya yang sedang tak sehat. Hingga kemudian
ia kembali tertidur.
Die…
Die…
Senja hari, Die
terbangun. Akhir-akhir ini tidurnya terasa begitu nyenyak hingga ia tak tahu
sudah berapa lama dia tertidur. Die terpaksa harus turun dari ranjangnya untuk
menyambangi kamar mandi. Tubuhnya terasa masih lemas. Mungkin karena dia
terlalu banyak tertidur akhir-akhir ini. Setelah dia keluar kamar mandi, Die
berjalan sempoyongan dan hampir menabrak meja kalau saja dia tidak memiliki
reflek cepat berpegangan pada tembok.
“Hhh…”
Suara desah napasnya
yang berat bisa terdengar begitu nyata. Jantungnya berdebar keras saat itu.
Ketika Die tak sengaja melewati cermin, ia melihat bayangan lain berdiri di
belakangnya.
“Hah!” ia
berbalik dengan cepat ke belakangnya. Tetapi tak ada siapapun di sana. Die
berusaha menenangkan diri. Tapi dia merasa sangat sakit kali ini.
Die menyadari
bahwa dia terbangun pada malam hari. Tepat pada tengah malam. Tirai-tirai dari
jendela-jendela besar itu nampak bergoyang tertiup angin. Die bangun dari
tempat tidurnya. Entah sudah berapa kali dia melakukan ini. Tapi setiap kali
dia bangun maka kepalanya terasa berat. Begitu terus berulang-ulang. Hingga Die
benar-benar merasa kesal bukan main.
“Arrrgghh!!!”
dia membanting kedua tangannya memukul ranjang. Kemudian, tanpa mempedulikan
kepalanya yang terasa pusing Die bergerak tak beraturan menjauhi ranjangnya.
Jalannya terhuyung kesana-kemari seperti orang mabuk. Ia hanya berputar-putar
di ruangan itu dengan kondisi yang lunglai. Die tidak tahu harus berjalan
kemana karena kakinya lemas seperti tak bertulang.
Jduk!!
Berulang kali
dia menabrak meja dan perabotan lainnya. Tetapi dia sepertinya belum mau ambruk
sampai saat ini. Walau penglihatannya sudah mulai kabur, Die berusaha untuk
tetap berdiri di tempatnya. Samar-samar bayangan pedang yang menggantung di
dinding menjadi incaran Die kali ini. Saat Die mengambilnya, kakinya sudah tak
bisa diajak bekerjasama lagi. Dia jatuh setengah berlutut. Bibir Die gemetar
menahan sakit. Beberapa saat Die merasakan sakit menyegat di kedua tempurung
kakinya. Sampai kemudian dia mencoba bangun dan kembali berdiri. Susah payah
dia mencoba hingga akhirnya dia berhasil bangkit. Die berbalik, matanya yang
kabur menangkap bayangan seseorang yang sedang berdiri di dekat beranda
kamarnya. Dengan gaun menjuntai dan kerudung warna merah darah. Saat itu juga
Die naik pitam. Ia menarik pedangnya mengarahkan kepada bayangan itu. Ah,
sialnya kini Die merasakan kepalanya pusing berkali-kali lipat. Ia memejamkan
matanya kuat-kuat berusaha menahan. Beberapa saat kemudian, sewaktu Die
mengintip dari matanya yang pedih, bayangan itu kini bergerak mendatanginya.
“Jangan
mendekat…!” ancam Die dengan suara parau. Tapi terlambat, Die sudah ambruk
lebih dulu. Dalam kesadarannya yang hampir menghilang, Dia melihat bayangan itu
kini berjalan semakin dekat kepadanya. “…pergi.”
Sore itu, Die
kembali tersadar. Namun kali ini kondisinya benar-benar tak mengenakan.
Setengah badannya terasa kaku dan tak bisa digerakan. Die yang saat itu hanya
bisa membuka setengah matanya mampu melihat deretan keluarga istana sedang
berdiri sambil memandanginya dengan raut cemas. Die ingin sekali berbicara,
tapi mulutnya seperti terkunci dan kelu.
“Daisuke…”
samar dia mendengar suara Ibu menangis. Rintihannya membuat Die gemetaran. Saat
Ibunya mengambil sebelah tangan Die saat itulah Die menjerit.
“AAAAAAAAAAAAAARRRGGGHH!!” Die menjerit kesakitan! Sakit yang luar biasa!
Dan suara
tangisan mereka berubah menjadi suara tawa yang bergemuruh. Tawa lepas yang
begitu memekakkan telinga hingga berdarah. Die merasakan rasa sakit yang begitu
menyakiti seluruh tubuhnya. Namun suara-suara menyebalkan itu tidak hilang.
Tertawaan yang memuakan. Die benci! Tapi sayangnya kini dia tidak bisa
melakukan apapun. Oh, Tuhan, kini dia pasti mati.
Bats!!
“Kyaaaa!!”
Die tak bisa
melihat apa yang terjadi kemudian sesaat setelah dia merasa tubuhnya tertarik
oleh orang lain. Berbeda dengan cengkraman Ibu yang ternyata makhluk jahat,
cengkraman ini terasa begitu dingin dan basah. Ia menarik tubuh Die dengan
cepat. Membantu memapahnya sampai mereka sampai di depan beranda kamarnya.
Mereka dikejar oleh sekelompok makhluk menyeramkan. Die dan orang itu terjebak
dan tidak bisa lari ke manapun. Tetapi orang itu justru melempar Die dari
beranda. Die jatuh dengan mulus sambil menatap nanar pada orang yang ia kira
telah membantunya. Saat itu, pandangan mata Die yang semula berbayang kini
jelas dan mampu mengenali siapa orang yang telah melemparnya ke bawah.
Shinya!
Dan semuanya
berakhir saat Die tercebur ke dalam danau.
BYUUR!!
Tubuh Die jatuh
perlahan ke dasar air, tubuhnya tak bergerak sedikitpun. “Sialan! Sialan!” hanya kata itu yang saat ini sangat ingin Die
katakan. Dia merasa banyak dibohongi dan dikhianati. Ternyata Shinya memang
menjebaknya dalam pengaruh sihirnya. Bisa-bisanya Die terjebak dan terbuai di
dalamnya. Ternyata Shinya memang penyihir jahat yang hendak membinasakannya.
Seharusnya dulu Die membunuhnya lebih dulu. Tetapi penyesalan itu terlambat.
Die hampir tak bisa melihat apapun selain birunya air yang kini memenuhi tubuh
dan mulutnya. Mungkin sebentar lagi ia akan mati.
Pyash!
Saat Die merasa
bahwa dirinya sudah mati, di ujung dari arah cahaya di permukaan, muncul
sesosok makhluk aneh. Sosok itu seperti berenang menuju ke arahnya. Dia berenang
berputar-putar. Sosoknya nampak cantik meliuk
di tengah air yang padat. Die hampir tak mengenalinya, kecuali benda berwarna
merah darah yang ia kenakan.
“…Shi..nya..”
Bukan! Bukan!
Makhluk ini berbeda, karena dia memiliki warna mata emas dan rambut yang
menjuntai berwarna putih pucat. Jelas bukan Shinya. Tapi kerudung itu…itu
kerudung Shinya!
Die masih
menjaga sebagian kesadarannya saat makhluk itu akhirnya mendapatkannya. Tepat
di depan wajahnya, Die mampu melihat wajah pucat di depannya, sebelum akhirnya
Die tak kuat menahan laju air yang merangsek masuk ke dalam paru-parunya.
*****
Saat pangeran
Die terbangun dari tidurnya, yang dia lihat pertama kali adalah Hakuei.
“Jenderal! Kau
sudah siuman!?” serunya. “Pangeran Kaoru! Pangeran Kaoru!” ia berlari keluar
tenda.
Die masih
kelihatan belum sadar sepenuhnya saat Kaoru dan Hakuei muncul mendekati mereka
dengan wajah yang sumringah dan lega.
“Jenderal Die,
kau sudah sadar!” kali ini suara Kaoru. “Hakuei, cepat ambilkan air.” Kata
Kaoru kemudian membantu Die bangun dari pembaringannya.
“Kaoru… apa
yang terjadi?”
“Kau terhisap
ke dalam genangan air sihir. Kau sudah tertidur selama dua hari sejak kau
diselamatkan oleh Shinya.”
Die tercenung
sesaat. “Shinya?”
“Ya, Shinya.
Dia yang sudah menarikmu dari dalam genangan air itu.”
Tiba-tiba Die
merasa ia memiliki kekuatan lain untuk bangun dari situ. Walaupun tubuhnya
masih terasa lemas dan jalanpun masih terhuyung, pemuda itu berjalan keluar
tenda dan hampir menabrak Hakuei yang baru saja membawakannya air.
“Je—jenderal,
kau mau ke mana?” Hakuei berbalik mengikuti Die yang sempoyongan.
“Mana Shinya?”
tanyanya sambil terus memegangi kepalanya yang masih terasa berat.
“Dia…dia…”
belum sempat Hakuei menjawab, Kaoru sudah menjawabnya lebih dulu. “Dia sudah
pergi setelah menyelamatkanmu, Jenderal.”
Die berhenti di
sana, matanya membulat. Ia berbalik menoleh ke arah Kaoru yang melihatnya
dengan datar. Kemudian pria itu menunduk. Ia memejamkan matanya sebentar lalu
kemudian berjalan ke arah kuda. Kaoru dan Hakueipun panik dan mencoba
melarangnya.
“Kau mau ke
mana?”
“Mencarinya.”
“Percuma. Dia
sudah pergi sejak dua hari lalu, kau tidak akan bisa menemukannya dengan
cepat.” Kaoru menariknya kembali.
“Tapi—”
“Sebaiknya kau
pulihkan dulu kondisimu lalu kita mencarinya bersama.”
“Apa yang
dikatakan Pangeran Kaoru benar, Jenderal. Kau pulihkan dulu tenagamu baru kita
mencarinya.”
“Shinya harus
segera kita cari!” Die berkeras.
“Iya, tapi kau
harus beristirahat dulu!” Kaoru memaksanya.
“Kita harus
menyelamatkannya!”
“Jenderal,
kenapa kau keras kepala begini?” Hakuei membantu Kaoru. “Tenangkan dirimu dulu.”
“Kita harus
segera mencari Shinya, aku tahu siapa Shinya yang sebenarnya!”
“Ap—apa, sih,
maksudmu, Jenderal? Kau mengigau, ya?” Kaoru bingung.
“Tidak, Kaoru.
Tidak…! Aku tahu siapa Shinya sekarang. Dia… dia…” tiba-tiba kepala Die seperti
tertindih batu besar. Rasanya sakit sekali.
“Jenderal!
Jenderal!”
“Daisuke!”
Diepun ambruk
sebelum memberitahu yang lain siapa Shinya sebenarnya. Hakuei dan Kaoru segera
membopong tubuhnya kembali ke dalam tenda. Dari sisi tenda, Tashiya yang sedari
tadi memperhatikan mereka kelihatan tersenyum penuh arti. Dia berbalik, lalu
berjalan sendiri menuju hutan. Di dalam hutan yang tak jauh dari tenda, di
sanalah Tashiya bertemu dengan seseorang.
“Tugasmu.”
Katanya kepada pria berambut cokelat madu di depannya. “Jika tebakanku benar,
penyihir itu adalah orang yang kita cari selama ini.”
“Maksudmu?”
“Tidak ada
satupun penyihir yang bisa lolos dari genangan air mata darah itu selain
mereka. Jika tebakanku benar, dia adalah penyihir yang sudah lama Ursula
incar.” Tashiya tersenyum sinis.
“Tidak
mungkin…”
*****
“Kau hanyalah
penyihir. Jangan memaksakan dirimu untuk melakukan hal yang diluar
kemampuanmu.” Tandas Kyo.
“Maaf…”
“Jangan minta
maaf padaku. Kau itu…” Kyo menghela. “lebih berhati-hatilah sedikit. Kau bisa
mencelakakan dirimu sendiri nantinya.”
Shinya diam
saja. Perjalanan mereka kembali ke dalam hutan terlarang masihlah jauh. Setelah
menyelamatkan Die dan kawan-kawannya, Shinya memutuskan untuk kembali
menyendiri ke dalam hutan.
“Hanya saja,
orang itu harus hidup.”
“Kau
meramalnya?”
“Um..” Shinya
mengangguk kecil. “Ia yang akan memegang peranan penting nantinya. Dia bisa
membinasakan Ursula.”
“Dengan apa?
Dia hanya manusia biasa.”
“Entahlah. Tapi
ramalanku mengatakan dia bintang yang berbeda.”
Kyo mendengus.
Entah mengapa dia kurang menyukai Die. Mungkin karena sikapnya yang sangat
angkuh. Tapi dia juga tidak bisa memungkiri ramalan Shinya.
“Apa kau hanya
meramalnya?”
“Saat ini iya.
Karena bintang-bintang akhir-akhir ini hanya membentuk garis yang hanya bisa
kulihat tentang dia.”
“Sebetulnya,
aku curiga pada orang-orang di sekelilingnya.”
“Eeh?”
“Kau ingat
gadis yang mereka tolong di desa kemarin? Entah kenapa samar-samar kucium bau
penyihir yang menusuk dari tubuhnya.”
Shinya terdiam.
“Kenapa kau baru bilang?”
“Kupikir tak
‘kan ada yang percaya.”
“Aku percaya
Kyo!” Tandas Shinya.
Srigala berbulu
perak itu bungkam.
“Karena aku tak
yakin…terkadang aku menciumnya dan terkadang tidak.”
Shinya
memandanginya dengan wajah serius.
“Kita harus
kembali!”
“Kaoru…”
Tashiya masuk ke dalam tenda. “aku sudah membuatkan sup untuk kalian semua.
Kalian makan dulu saja. Biarkan aku yang menjaga Jenderal Die di sini.”
“Terima kasih,
Tash.”
“Ya, sayang.
Kau juga harus beristirahat. Sudah seharian kau belum makan, kan?” Tashiya
mengusap punggung Kaoru.
Kaoru melihat
Die yang masih terbaring, kemudian memutuskan untuk beristirahat dan makan.
Tashiya menatap kepergian Kaoru keluar tenda dengan senyum. Sekarang, dia
melirik pada Die yang tertidur. Saat itu juga, Tashiya menggumamkan sesuatu
sambil mendekati Die. Tiba-tiba dari dalam tenda muncul benang aneh membentuk
seperti jaring laba-laba yang menempeli sekitar tenda mereka. Dan Tashiyapun
kini telah berada di sisi Die.
“…sekarang,
mari kita lihat apa yang kau tahu, wahai Jenderal Die…hihihi…”
Tashiya
membelai anak-anak rambut Die yang menghalangi wajahnya. Gadis itu kelihatan
semakin dekat dengannya. Ia mengusap wajah Die yang dingin dengan lembut sambil
membisikan sesuatu.
“Katakan padaku,
apa yang kau tahu…”
Mata Die
memerjap!
Tangannya
cekatan menarik tangan Tashiya darinya dan menyingkir darinya dengan sigap.
Tashiya yang semula terkejut kemudian tenang kembali. Bahkan dia tertawa sinis.
“Apa maumu
sebenarnya?!” Die menyambar pedangnya.
“Wah! Kenapa
begitu tegang, Jenderal? Masa kau tidak bisa santai sedikit denganku?”
Die bersiap
dengan pedangnya. Ada yang aneh dengan gadis ini. Di belakang Die tepat pintu
keluar. Saat pemuda itu hendak menerobosnya, tubuhnya terpental kembali.
Gabruk!!
“Ugh!” Die
merintih. Karena sebetulnya tubuhnya belum pulih sepenuhnya. Rasanya ia masih
terlalu sakit dan lemah. Namun, dia harus tetap waspada.
“Hmmppfftt…!”
Tashiya menahan tawanya dengan manis. “Jangan terburu-buru Jenderal. Aku hanya
ingin mengobrol sedikit denganmu, karena biasanya Kaoru selalu mendekapku. Jadi
aku tidak ada waktu yang tepat untuk bersantai denganmu, hihihi…”
“Jalang, kau!”
hardik Die.
Tashiya tertawa
kali ini. Die mengguratkan rasa bencinya. Ia mencari-cari celah untuk bisa
keluar dari tempat itu.
“Percuma. Kau
tidak akan bisa keluar dari sini, Jenderal, hihihi…”
“Sebenarnya
siapa kau!?”
“Aku?” Tashiya
memasang wajah sok polos. “Mungkin aku sama seperti Shinya…”
Die tercengang.
“Penyihir…!”
Tashiya kembali
tertawa. Ini aneh. Padahal, suara mereka begitu keras. Tidak mungkin
suara-suara mereka tak terdengar oleh Kaoru dan Hakuei. Apa jangan-jangan
mereka…?
“Tidak!
Supnya!” Die berbalik.
“Mungkin mereka
sudah mati.” Sahut Tashiya. “Aku sudah menaruh racun di sup itu. Sekali mereka
menelannya, racunnya akan mematikan semua organ dalamnya.”
Die terkejut.
Crang!
Kaoru dan
Hakuei terkejut bukan main saat mangkuk yang mereka pegang dirampas dari
mereka. Saat mereka melihat orang yang melakukannya, mereka dua kali jauh lebih
terkejut.
“Shinya!”
Pemuda itu
muncul! Kali ini dengan Kyo yang telah berwujud seperti srigala kembali.
“Jangan makan
supnya!”
“Kenapa?”
“Itu beracun!”
“Tak mungkin!”
kilah Kaoru.
Tetapi ketika
mereka melihat cairan sup yang tumpah ke tanah berubah menjadi hitam. Kaoru
tercengang hebat.
“Tidak mungkin
Tashiya…”
“Di mana gadis
itu?!” tanya Kyo cepat.
Mereka semua
kemudian menoleh cepat pada tenda. Dan sekejap semua orang berlarian menuju ke
sana.
“Jenderal, Die!!!”
Kaoru dan
Hakuei maju lebih dulu dan menerobos tenda. Tetapi mereka terpental kembali.
Shinya terkejut. Mereka terpental seperti ada medan magnet yang mementalkan
tubuh mereka setiap kali mereka mendekati tenda itu.
“Ugh! Bagaimana
ini?” kata Kaoru.
Shinya
mendekati tenda itu, begitu juga Kyo. Namun yang bisa melihat hal yang
tersembunyi di balik tenda ini hanyalah Kyo.
“Dia memasang
benang sihir, sehingga tidak bisa didekati. Kita juga tidak bisa mendengar dan
melihat apa yang terjadi di dalam, begitupun sebaliknya.”
“Apa?” Shinya
kaget. “Ap—apa yang sebaiknya aku lakukan?”
“Cari asal
benangnya, lalu bakar!”
“Keparat, kau!”
Die marah. “Tunjukkan siapa dirimu sebetulnya!”
Kali ini
Tashiya berdiri berhadapan dengannya. Gadis itu berkacak pinggang sambil
tertawa keras.
“Masa kau tidak
mengenali aku, Jenderal?”
“Kau…” Kening
Die berkerut, “Toshiya?”
Tashiya
tersenyum sinis.
“Kau menyamar.”
“Ya. Aku
menyamar. Tadinya, sih, sulit, karena ada si srigala perak itu. Jika aku
menyamar hanya dengan sihir, aromaku pasti tercium. Oleh karena itu, aku
menggunakan kulit manusia asli untuk menyamar. Dan kutemukan mayat dari gadis
milik Pangeran Kaoru yang sudah lama mati.”
“Kau
benar-benar iblis!”
“Hahahaha!”
Tashiya tak peduli. “Sekarang katakan padaku yang kau tentang Shinya atau kau
akan kubinasakan sekarang juga!” Tashiya mengambil ancang-ancang. Dari
tangannya muncul api yang memancar dari kedua tangannya.
Die agak
gentar, dia mundur teratur.
“Bekerjasamalah
denganku, Jenderal. Katakan… sebetulnya siapa Shinya sebenarnya!!”
“Aku tidak akan
mengatakannya meskipun kau membunuhku!”
“Apa!?” Tashiya
naik pitam. “Baik, kalau itu maumu!”
Api di tangan
Tashiya berubah warnanya. Mulanya biru kehijauan, namun kini berubah merah
membara dengan percikan yang sangat dahsyat. Die bisa merasakan itu karena saat
percikan-percikan itu jatuh ke tanah, tanahnya pun ikut terbakar. “Sial! Bagaimana ini!” kali ini Jenderal
Die terjebak!
“Masih mau
bungkam, huh?”
Tashiya terus
mendekat. Die masih menghindarinya. Tapi tiba-tiba Tashiya merasa telah ada
yang menjebol pertahanannya. Jaring yang dia gunakan di sekitar tenda tiba-tiba
menghilang.
“Jenderal!!”
Dan suara-suara
di luar tendapun sudah mulai terdengar.
“Sial! Mereka
sudah melenyapkan perisaiku!” Tashiya gusar.
Die mencoba
kabur, tetapi Tashiya segera menahannya dengan melempar api di tangannya dan
hampir mengenai Die. Pemuda itu jatuh terguling. Kemudian tanpa mereka sadari
Shinya masuk.
“Shinya!”
Tashiya menoleh
cepat.
“Bagus!
Akhirnya kau muncul!”
Shinya mematung
di tempatnya, matanya melirik Die yang tersungkur di sudut tenda. Ia sendiri
kini harus berhati-hati karena Tashiya sekarang membidiknya.
“Dulu aku
sempat kalah beradu sihir denganmu, tetapi kali ini akan kubuktikan siapa yang
paling kuat! Heeaahh!!” kedua tangan Tashiya menyemburkan api yang begitu besar
hingga ujungnya membakar langit-langit tenda. “Sekarang kuenyahkan kau!” ia
melemparkan apinya ke arah Shinya.
“Awas!!”
Die berlari dan
meloncat menggapai tubuh Shinya hingga kedua terjatuh dan bola api panas itu
menghantam sisi tenda hingga melubanginya.
Duar!!
Suara itu
terdengar dari arah lemparan bola api ganas tersebut.
“Pangeran!”
Hakuei muncul.
“Diee!!”
disusul dengan Kaoru yang kemudian mematung melihat Tashiya. “Tash…!”
Tashiya
terdiam, ia melihat mereka semua yang telah mengetahui jati dirinya. Ia
membuang muka dan segera membuka pusara hitam.
“Tashiya!!”
Kaoru mengejar saat gadis itu masuk ke dalam pusara hitam tersebut dan
menghilang.
“Uhuk! Uhuk!!”
“Jenderal!”
Hakuei mendekati Die dan Shinya yang tersungkur bersamaan. “Jenderal!! Kau
baik-baik saja?”
“Hey!” Shinya
memeganginya. “Bangunlah!”
Sepertinya Die
kembali tak sadarkan diri. Kaoru segera menghampiri mereka.
“Bagaimana
dengannya?”
“Kondisinya
belum pulih betul. Tapi dia sudah luka-luka lagi.” Kata Hakuei memeriksa tubuh
pemuda itu.
“Shinya, tolong
kami.” Pinta Kaoru.
Mereka membaringkan
Die kembali. Saat Hakuei dan Kaoru pergi, Shinya hendak mengikuti mereka. Namun
ia tak sadar bahwa sejak tadi Die memegangi lengan gaunnya. Shinya menatap
tangannya yang mencengkramnya begitu kuat.
“Kau…”
“Shi…nya…”
Shinya
terkejut.
“…jangan…pergi…”
Continue…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar