expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

04 Maret 2013

ALICE in The WONDERLAND (Part 3)

Title : ALICE in The WONDERLAND

Author : Duele

Finishing : Februari 2013

Genre : Fantasy, AU, School-fic, Drama, Adventure

Rating : PG15

Chapter(s) : 3/10

Fandom(s) : Alice Nine

Pairing(s) : NO Pair. General.

Notes Author : Thank you for keep reading this story J

 
*****
 

Suatu tempat di sebuah SMU swasta yang letaknya tak jauh dari pusat kota, di belakang gedung sekolah, tepatnya di belakang gedung toilet aula berkumpulah beberapa siswa yang membolos kelas hari ini. Mereka merokok, mencat rambut mereka dengan warna yang menyolok mata, menato diri, membuat gaduh dan senang tertawa keras. Mereka terlihat seperti yankee-yankee muda yang hobinya membuat onar. Mereka selalu berkumpul di belakang toilet aula yang letaknya memang cukup jauh dari gedung sekolah yang mereka tempati. Hampir setiap hari mereka menghabiskan waktunya di sana, bermain game, menonton video melalui laptop yang dibawa dan bermain kartu.

 

“Lama banget,” kata seorang berambut merah yang duduk diurutan paling depan ketika melihat kemunculan seorang siswa yang penampilannya berbeda dengan mereka.

 

Siswa itu berpakaian rapih, berkacamata, dan bersih dipandang. Tidak seperti mereka yang kini mulai mengerubungi mereka.

 

“Bagaimana, Nao, kau bawa tidak?”

 

Pemuda bernama Naoyuki Murai itu mengambil sesuatu dari tasnya. Benda itu adalah sebuah memory card yang ia bungkus ke dalam plastic berperekat. Pemuda berbibir tipis itu menyerahkannya kepada pria jangkung di depannya. Pemuda itu kelihatan senang, tetapi sebelum dia mendapatkannya Nao mengejutkan mereka karena menarik kembali memory cardnya.

 

“Serahkan uangnya dulu, dong.” Katanya dengan nada percaya diri.

“Ck!”

 

Pemuda berambut merah kepirangan itu mendecak kesal. Ia menyuruh salah seorang temannya mengambil dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang bernominal 1000-an Yen.

 

“Tujuh Ribu Yen, CASH!” Ia menyerahkan lembaran uang Jepang itu di telapan tangan Nao yang terbuka.

 

Pemuda berambut halus itu menukarnya dengan sebuah memory card yang ia miliki. Kemudian berpamitan.

 

“Oy, Nao. Kau yakin bahwa di video ini adalah Nagisa?”

“Kau pastikan saja sendiri.”

“Close up?”

“Close up sampai bagian terdalam.” Ujarnya. “Nikmati saja, pelacurmu.”

 

Hari ini sudah dua transaksi yang berhasil ia lakukan. Tadi pagi Nao bertemu dengan seorang seniornya yang menitip sebuah serbuk padanya. Hasilnya, hampir lima belas ribuan ia dapatkan. Sore ini diapun telah melakukan pertukaran dengan seniornya di kelas dua yang tergila-gila dengan gadis bernama Nagisa; kenalan Nao. Mereka meminta Nao merekam videonya dan menjadikannya model video dewasa amatir. Semua itu ia lakukan dengan sangat rapih dan terorganisir sehingga tak banyak orang tahu apa yang dia lakukan sebenarnya.

 

“Murai…!”

 

Seorang wanita mendatangi Nao yang baru saja datang ke sekolah pagi itu. Itu adalah wali kelasnya Nona Emiko. Ia adalah wali kelas baru di kelas Nao. Emiko kelihatan agak sedikit pemalu, tetapi ia berani mendekati Nao yang pendiam di kelas. Mungkin dia merasa Nao lebih sopan dibandingkan dengan anak-anak yang lain. Bukan hanya itu saja, Nao baru mengetahui bahwa tempat tinggalnya tak jauh dari rumah sewa guru barunya ini.

 

“Selamat pagi.” Sapanya.

“Uh, ya. Selamat pagi, Miss.” Nao membungkuk rendah.

 

Wanita tersenyum manis.

 

“Oh, aku baru tahu bahwa kau tinggal di ujung gang.”

“Ya, begitulah.”

“Kau sudah mengerjakan pekerjaan rumahmu?”

“Tentu.”

“Begitu…”

“Sampai jumpa di kelas.” Nao pamit menaiki anak tangga.

 

Terus terang saja, Nao tak terlalu tertarik mengobrol dengan orang lain. Apalagi itu adalah seorang wanita. Berbicara dengan mereka membuatnya lekas bosan. Sama bosannya seperti semua pelajaran yang ia pelajari, pekerjaan rumah, kegiatan ekstrakulikuler, semuanya membosankan.

 

“Tebak siapa yang mendapat rangking di kelas lagi.”

“Siapa lagi?”

“Tuh, orangnya datang.”

 

Nao menutup pintu kelasnya pelan-pelan. Beberapa siswi perempuan mendatanginya.

 

“Nao-kun, selamat, ya… ternyata akhir semester ini kau mendapat rangking pertama lagi.”

“Nao-kun keren.”

“Hmm… thank’s, ya!”

“Eits… harusnya kita semua mendapat traktir, nih!” seorang siswa teman sekelasnya menggelendoti bahu Nao.

“Bagaimana kalau karaoke?”

“YEAH!”

 

Nao membenarkan kacamatanya.

 

“A-aku tidak bisa karaoke.”

“Yah, sayang banget!”

“Padahal, kan, karaoke itu asyik!”

“Betul, betul!”

“Makan Wendy’s saja, ya…?”

“Uuh… aku bosan.”

“Itu makanan sampah,”

“Sushi?”

“Yakiniku!”

“Sukiyaki!”

 

Dasar, anak-anak rakus. Ingin rasanya Nao meracuni mereka satu persatu.

 

 

Malam itu Nao sedang sibuk mengedit video di komputernya ketika ponselnya berbunyi. Nomor asing itu cukup menganggunya, tetapi rasanya Nao bisa menebak siapa yang meneleponnya semalam ini.

 

“Nao…hh..” suara itu terdengar parau.

“Siapa ini?”

“Ini aku, Wataru.” Jawabnya. “Tolong aku…”

“Tolong apa?”

“Berikan aku serbuk itu.” Suaranya hampir terdengar seperti memohon.

“Kau sudah kecanduan, ya?”

“Aku mohon, Nao…aku…aahh…”

“Harganya naik.”

“Berapapun akan kubayar!”

“Wah, senang, ya, yang punya banyak duit.” Sindirnya.

“Nao, kumohon!”

“Oke, oke… datang saja ke tempat biasa. Aku akan menunggumu di sana.”

“Oke, setengah jam lagi temui aku di sana.”

 

Nao menutup teleponnya kemudian melanjutkan kembali editing videonya yang sempat tertunda. Di samping komputernya setumpuk buku tugas dan buku pelajaran sudah selesai ia kerjakan. Ia hanya perlu menyusun jadwalnya agar semuanya terkendali. Baru saja dia mematikan komputernya, Nao terdiam sejenak ketika seseorang membunyikan intercom apartmen-nya. Ia segera mematikan lampu ruangannya saat itu juga dan berdiam diri di dalam kegelapan sampai bunyi intercom itu mati dan memastikan bahwa orang yang datang ke tempatnya telah pergi. Hampir sepuluh menit dia di sana, bunyi intercomnya pun sudah mati. Pelan-pelan Nao mendekati pintu depan dan melihat melalui lubang pintu. Orang itu telah pergi. Nao menunduk, kakinya menginjak sebuah amplop. Ia memungutnya dan membukanya. Ternyata sebuah cek dengan nominal sejumlah uang. Ia menghela pendek.

 

“Hhh…”

 

Jika bukan Ayah, itu tadi pasti Pamannya. Mereka memang selalu datang di tanggal-tanggal awal seperti ini untuk menengok Nao yang kini tinggal seorang diri di apartmen. Tetapi Nao tak pernah sekalipun menemui mereka. Dulu, Nao tidak tinggal sendirian di apartmen besar ini. Dulu ia tinggal berdua bersama Ibunya, setelah perceraian kedua orangtuanya. Namun dua tahun lalu Ibunya meninggal karena kanker payudara yang sudah dideritanya cukup lama. Nao tak berminat untuk tinggal bersama Ayahnya atau menumapang pada keluarga Almarhumah Ibu.

 

Ia bisa tinggal sendiri dengan caranya sendiri.

 

“Ini, Sepuluh Ribu Yen.”

“Senang berbisnis denganmu.”

“Aku harap kau tepati janjimu untuk membawa benda itu lagi besok sore.”

“Kau bisa pakai serbuk itu sampai besok malam sebetulnya.”

“Pokoknya aku butuh!”

“Oke, oke. Easy, man…”

 

Pemuda itu akhirnya meninggalkan gazebo tempat biasanya Nao mengadakan pertemuan dengan pembeli yang nekat datang ke rumah. Biasanya mereka nekat datang jika sedang sekarat dan membutuhkan barang dari Nao. Tapi Nao tak pernah mau menemui mereka di rumah, maka dari itu dia menentukan tempat pertemuan sendiri yang letaknya cukup strategis. Di taman kecil dengan lingkaran pepohonan sakura di dekat apartmennya memudahkannya untuk menemui orang. Walau sering kali ia melihat beberapa petugas patroli yang lewat, mereka tak pernah curiga.

 

Kali ini Nao mengantongi uang cukup banyak. Ia berencana untuk membeli kamera baru untuk dirinya sendiri nanti pada hari ulang tahunnya. Ia akan merayakannya sendiri, membeli kado sendiri dan berpesta sendiri. Kedengarannya sangat menyedihkan, tetapi sebenarnya ia tak melakukannya sendiri.

 

Di depan altar Ibu, Nao menyuguhkan sepiring potongan melon manis yang ia beli di supermarket tadi siang. Setiap harinya, Nao mengganti sajian di altar Ibu dengan buah-buahan yang manis. Itu kesukaannya saat ia masih hidup. Setelahnya, dia menyalakan dupa dan mulai berdoa di depan altar. Hal itu selalu ia lakukan sebelum ia pergi tidur ataupun hendak keluar rumah.

 

 

“Murai…”

“Ya?”

“Kau dipanggil Miss Emiko ke kantor.”

 

Ada apa ini?

Tapi sama sekali tak tersirat rasa takut didirinya walaupun Nao sudah membayangkan hal yang terburuk sekalipun. Ternyata apa yang ditakutkan Nao benar terjadi. Seseorang ataupun mungkin orang yang pernah berurusan dengan Nao mengadu kepada wanita ini. Salah satunya Nagisa, gadis yang videonya ia rekam dan jual secara illegal.

 

Wali kelasnya menanyakannya beberapa pertanyaan yang bisa Nao tebak. Nao bisa mengatasinya karena jawabannya terlalu mudah. Nao memiliki wajah polos, sikap sopan, dan ramah di sekolah. Tak seorangpun yang akan mencurigainya sebagai siswa bermasalah apalagi dengan tak ada bukti yang kompeten. Hampir setengah jam Nao di ruang guru.

 

“Kau boleh kembali ke kelas.”

 

Nao beranjak dari kursinya, namun sebelum dia pergi dia berbalik.

 

“Miss, apakah kau percaya bahwa aku melakukan hal-hal yang tak terpuji kepada orang lain?” tanyanya dengan wajah polos.

“Hmm… tentu saja tidak, Nao. Aku meragukannya. Aku percaya padamu.”

 

Nao menyunggingkan senyum, “Terima kasih.”

 

Dasar perempuan. Mudah dibohongi.

 

Nao menunggu pembelinya di dekat mini market yang tak jauh dari game center. Meskipun banyak sekali anak-anak sekolah yang berlalu lalang masuk ke dalamnya, tetapi Nao sama sekali tak berminat. Dia lebih memilih untuk berdiri santai mengamati sambil menjilati es krim vanilla-nya yang cepat sekali mencair. Kadang beberapa kali dia bertatap mata dengan siswi-siswi bergaya gyaru dan agejo yang tak sengaja lewat di depannya. Hingga es krimnya habis, ternyata Wataru, sang pembeli tidak datang juga. Nao mulai sebal karena harus menunggu cukup lama. Ia tak terlalu suka udara di jalan ramai seperti ini.

 

“Oy, kau di mana?” tanya Nao ketika teleponnya dijawab.

“Hey, Nao. Aku tidak bisa menemuimu di sana.”

“Kenapa?”

“Apa kau lihat geng sekolah Tsuyoshi?”

“Uh-huh.”

“Aku ada hutang dengannya. Kita pindah tempat pertemuan saja.”

 

Nao menutup pembicaraan mereka setelah ia tahu di mana dia harus pergi. Maka tak membuang banyak waktu pemuda berwajah imut itu pergi. Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti ketika ia merasa ada sesuatu yang aneh di belakangnya. Nao menoleh ke belakangnya, tetapi tak ada apa-apa kecuali orang-orang yang lewat. Ia menghela kecil, tetapi helaannya seperti masuk kembali ke dalam tenggorokannya saat matanya melihat seekor kelinci yang bersembunyi di samping mini market. Nao mematung sejenak. Kemudian dia tersadar saat kelinci itu kabur.

 

“Dasar orang-orang Shinjuku, hobi sekali memelihara binatang aneh.” Rutuknya kemudian pergi.

 

Sesuai perjanjiannya dengan Wataru, Nao dan pemuda itu akhirnya bertemu di sebuah taman yang jauh dari Shinjuku. Setelah bertransaksi, Wataru segera meninggalkan pemuda itu. Nao duduk di kursi taman bermain anak-anak sembari melihat ponselnya. Beberapa bocah berlarian di depannya. Matahari senja mengenai wajahnya yang putih pucat, ia kelihatan sedang asyik bermain game kecil di ponselnya.

 

“Bosan, ah!” keluhnya kemudian. Ia memasukan ponselnya ke dalam tas dan melihat sekelilingnya. Ia tidak pernah sadar berapa lama ia duduk di sana dan bermain game sendirian karena tahu-tahu hari sudah gelap. Saat ia melihat jam tangannya yang sudah menunjukan pukul tujuh kurang seperempat, pemuda itu akhirnya mau beranjak juga. Lagipula perutnya sudah mulai lapar. Ia berencana akan mampir mini market di dekat-dekat sini untuk membeli bahan makanan.

 

Tidak berapa jauh dari taman tadi, ia menemukan mini market. Nao masuk dan mulai berbelanja. Ketika sedang memilih-milih makanan instant, ia terhenti pada sebuah rak kecil berisi mainan anak-anak. Benda-benda itu adalah boneka kelinci murah yang dibungkus dalam plastik bening. Nao cukup lama memperhatikan bungkusan itu karena ia teringat pada kelinci tadi sore.

 

“Semuanya 1,766 Yen.” Kata kasir perempuan itu.

 

Nao yang sibuk mengeluarkan uang dalam saku celananya tak pernah menyadari bahwa perhatian gadis itu sejak tadi mengarah padanya. Setelah mengambil kembalian darinya, Nao segera pergi. Dimulutnya tersemat permen lollipop yang dia hisap. Tangannya yang lain sibuk membuka cemilan. Nao hampir saja terjatuh jika ia tidak segera sadar bahwa di depannya ada seekor kelinci.

 

“……”

 

Nao memperhatikan kelinci dengan rompi sirkus itu. Kelinci itupun sepertinya menatap Nao dengan mata bulatnya. Kupingya bergerak-gerak. Nao mematung di sana. Kemudian kelinci itu melompat ke arah kegelapan. Nao sempat berpikir untuk menghiraukannya saja, tetapi tubuhnya tak bekerja sama karena kini kakinya melangkah mengikuti hewan tersebut. Sambil terus berpikir mengenai kemunculan kelinci tersebut, Nao terus mengikuti kelinci yang bergerak gesit di depannya. Semakin lama semakin cepat dia melompat, Nao mulai berlari.

 

“Hey! Tunggu!”

 

Ada sesuatu yang membuat Nao begitu tertarik dengan kelinci itu. Kelinci itu berhenti sejenak sambil menoleh ke arah Nao yang masih berlarian mengejarnya. Nao hampir saja mendekatinya jika kelinci itu tidak melompat kabur.  Nao muncul di taman setelah dia kehilangan jejak kelinci itu. Dan Nao pun tersadar tatkala ia mengingat lagi, kenapa dia harus mengejar kelinci aneh itu. Maka Nao putuskan untuk pulang.

 

Tetapi di tengah jalan lagi-lagi ia bertemu dengan kelinci itu. Nao mematung melihatnya, begitupun kelinci itu.

 

“Sebenarnya kau ini makhluk apa?” rutuk Nao kesal. Kelinci ini seperti sedang mempermainkannya. Kelinci itu menggerakan bibirnya hingga kedua gigi besarnya terlihat. “Kau meledekku?” Nao geram.

 

Nao mengambil sebuah kayu untuk mengusir kelinci aneh itu dari jalan. Tetapi hanya sebentar saja dia mengalihkan perhatiannya dari kelinci itu, dia hilang!

 

“Ck!”

 

 

Pintu lift terbuka, Nao keluar dari lift. Tangannya merogoh sakunya untuk mengeluarkan kunci apartmennya. Saat Nao membuka pintu dan hendak masuk ke dalamnya, sejenak Nao terdiam. Ia merasa ada seseorang di belakangnya. Ketika Nao menengok kosong. Nao sempat terdiam sejenak sambil mengawasi koridor sekitar apartmennya. Tak ada siapapun.

 

Nao selesai mandi, dia menyalakan tivi dan mengambil roti isi yang ia beli di mini market tadi. Matanya tak lepas dari tivi saat suara aneh terdengar. Karena terusik, Nao mengecilkan tivi-nya dan menajamkan pendengarannya. Hingga kemudian, suara aneh itu hilang. Terus terang Nao agak sedikit takut.

 

Ssshhh!

 

Ia sadar bahwa pintu kaca di sebelahnya belum ia tutup. Nao menghela kecil sebelum kemudian beranjak dari sofanya menuju ke depan pintu. Namun tiba-tiba dia berhenti tepat di sana saat matanya melihat bayangan kelinci di atas balkonnya. Nao tertegun dengan jantung yang berdegup kencang. Sesaat kemudian angin berhembus begitu kencang hingga menerbangkan tirai-tirai gordennya, sejenak penglihatan Nao tertutupi oleh benda itu. Saat tirai itu tersingkap, bayangan kelinci itu telah hilang. Perlu beberapa saat bagi Nao menenangkan hatinya yang dilanda kegelisahan akan kemunculan binatang misterius itu. Tetapi kemudian dia memberanikan diri untuk mendatangi balkon.

 

Di tempat itu Nao menemukan selembar kartu. Kartu remi.

 

Nao tak pernah bermain remi ataupun domino. Ia tak tahu kenapa kartu ini ada di sana. Rasa aneh dan penasaran bercampur menjadi satu, bayang-bayang kelinci tadipun kini seolah bermain-main di kepalanya. Apakah kelinci itu yang membawa kartu ini?

 

Nao membolak-balikan kartu tersebut. Tak ada yang istimewa. Yang ia pikirkan sekarang hanyalah tentang kelinci aneh itu. Itu menganggu pikirannya.

 

“Ck!”

 

 

*****

 

 

“Nah, tertangkap kau, ya!”

 

Hiroto memegangi kelinci putih yang kabur darinya. Ia memeganginya erat-erat agar kelinci itu tak kabur lagi. Saat Hiroto kembali ke kandang kelinci yang berada di belakang sekolah, ia memasukannya ke dalam bersama dengan kelinci-kelinci lainnya.

 

“Saburo, jangan nakal, kau! Kalau kau kabur lagi, akau ku ‘kreek!’.” Kata Hiroto sambil berpura-pura memotong leher untuk menakuti kelinci-kelinci itu.

 

Hiroto berlari ke bawah pohon, dimana dia menaruh tas dan kotak bentonya. Ada sekitar 25 kotak bento yang ia bawa hari ini. Hiroto harus bergegas pulang ke rumah untuk menyetor kotak-kotak bento ini pada Ibu. Di tangannya sudah ada list tambahan permintaan bento untuk makan siang besok.

 

“Sip! Tambah dua orang. Jadi total yang bisa dibawa berjumlah 27 buah.”

 

Hiroto pulang sambil mengayuh sepeda sore itu itu. Hari ini dia tak boleh telat karena Ibunya sudah memintanya untuk pulang lebih awal. Oleh karena itu, Hiroto yang bertugas menjadi pemelihara binatang sekolah pada semester ini melakukan pekerjaannya lebih awal; membersihkan kandang, member makan, menghitung ulang para hewan peliharaan sekolah. Hiroto sama sekali tak berkeberatan melakukannya, karena pada dasarnya dia memang suka sekali dengan binatang lucu, terutama kelinci.

 

“Ibu, aku pulang!”

“Hei, hei, cepat ganti pakaian. Ibu sudah siapkan makan. Setelah itu pergilah ke pasar dan belikan Ibu bahan-bahan makanan ini.”

“Nggak kurang?” kata Hiroto sambil melihat daftar belanjaannya hari ini. “Naomi dan Sora mau beli juga bento makan siang kita.”

“Tambah lagi?”

“Iya, dong!” Hiroto gembira.

“Bagus! Bagus! Kalau begitu tambahkan lagi.”

“Aku akan ganti pakaian dan makan sebelum pergi belanja.”

“Oke!”

 

Sejak Hiroto duduk di kelas satu, Hiroto sudah mulai berjualan bento buatan Ibu untuk makan siang. Awalnya, pihak sekolah berkeberatan, tetapi akhirnya beberapa guru mulai tertarik dan menyukai menu makan siang yang ia tawarkan. Hingga Hiroto duduk di kelas dua seperti sekarang ini, langganannya satu persatu bertambah. Meskipun tidak ada permintaan dari sekolah untuk membeli makanan padanya secara resmi, tetapi hampir semua guru-guru dan beberapa teman sekelasnya selalu membeli makan siang padanya. Hal ini Hiroto lakukan untuk membantu sang Ibu yang kini sudah tak lagi bekerja.

 

Dulu, Sang Ibu yang memang pandai memasak sempat membuka kedai. Tetapi hal itu dilarang oleh sang Ayah yang menurutnya bisa menafkahi mereka. Namun setelah Ayahnya meninggal beberapa tahun lalu, Ibunya mulai mencoba untuk bekerja kantoran. Sayangnya, sepertinya pekerjaan itu tak cocok untuknya. Sehingga ia memutuskan untuk keluar dan berdagang. Hiroto tak pernah merasa malu dan risih dengan keadaan keluarga mereka. Justru ia sangat senang sekali membantu Ibunya yang sama sekali tak mengeluh dengan kehidupan mereka yang memang tak berkecukupan. Hiroto cukup bangga dengan apa yang dia dapat sekarang.

 

“Uh…”

 

Hiroto tertegun melihat seorang wanita yang kira-kira seumur Ibu melintas di depannya. Ia bersama dengan seorang anak perempuan yang umurnya dua tahun lebih muda dari Hiroto. Bagaimana Hiroto tahu? Tentu saja dia tahu. Karena wanita dan anak perempuan yang melintas di depannya itu adalah Bibi dan sepupunya sendiri.

 

“Eh, Hiro-nii!” gadis itu sempat melihat Hiroto dan memanggilnya.

 

Ibu gadis itu yang ternyata kakak Ipar dari Ibunya tersebut tidak mau menghiraukan Hiroto yang berdiri di sana. Bukannya mendatangi Hiroto seperti apa yang hendak anak perempuannya lakukan, wanita itu menarik anaknya menjauh dari Hiroto. Hiro bisa melihat jelas gadis itu seperti bingung. Mungkin gadis itu belum tahu apa yang sedang terjadi di antara keluarga mereka. Bukan hanya orangtua gadis itu saja, namun seluruh keluarga dari pihak Ayah yang terlalu acuh pada keluarga Hiroto.

 

“Biarkan saja. Hiro kan sudah tahu watak mereka seperti apa?” kata Ibu lembut setelah mendengar cerita Hiroto malam itu.

“Tapi, Bu. Tetap saja rasanya aku kesal. Jangankan menyapa, menoleh saja tidak!” ucap Hiro sebal.

“Iya, iya, Ibu tahu, kok.” Katanya menyudahi memotong wortelnya. “Jangan dipikirkan. Ada atau tidaknya mereka, keluarga kita tetap utuh, kok.” Ujarnya sambil mengelus punggung pemuda itu. “Nah, cepat bantu Ibu cucikan piring sana.”

“Baik, Bu.”

 

 

Siang itu Hiroto bergegas keluar kantin setelah membagi-bagikan kotak bentonya kepada para pembelinya. Ia mengantarkan makanan itu secepat mungkin. Setelah ruang guru selesai, tinggal tersisa dua kotak bento lagi. Ini milik dua pelanggan barunya, Naomi dan Sora. Mereka mungkin masih berada di dalam kelas. Sebenarnya Hiro agak enggan datang ke kelas mereka, karena dia malas berurusan dengan salah satu siswa sombong bernama Shin. Tetapi, ia memutuskan untuk tetap datang menengok mereka ke kelas itu.

 

“Ah, Ogata, terima kasih banyak sudah diantarkan sampai kemari.” Seru Sora sambil menyongsong kedua kotak makanan itu.

“Iya, aku pikir kalian nggak tahu kalau tempat pembagiannya di kantin, jadi aku kemari.”

“Kami tahu, kok. Cuma tadi kami sedikit sibuk, hihi.”

“Gomen ne, Ogata-kun.” Naomi mengatupkan kedua tangannya.

“Ah, gak apa-apa.” Hiro mengumbar senyum. “Oke, deh. Kalian nikmati saja makanannya, nanti sepulang sekolah kotak bentonya aku ambil.”

“Baik!”

 

Hiroto berbalik dan hampir menabrak pria di depannya. Tak perlu menatap badan bongsor siapa ini, Hiroto sudah mengetahuinya dari baunya.

 

“Wah, wah! Ogata, jualannya makin gesit, ya.” Ledeknya.

“Shin, kau jangan menganggu Ogata.” Kata Sora.

“Memangnya kau siapa berani menyuruh-nyuruh? Dasar cewek!”

 

Hiro tak ingin berkelahi kali ini, ia mencoba menyingkir tetapi pria ini sepertinya senang sekali membuatnya kesal. Ia selalu menghalangi langkahnya sehingga Hiroto tertahan di sana. Dengan mata sinis, Hiroto mencoba bicara dengannya.

 

“Kau ini mau apa, sih?”

“Sombong sekali, kau.”

“Aku mau lewat, minggir!”

“Hey, kalau mau lewat bilang permisi, dong, jangan bar-bar seperti itu? Kau ini pernah dididik oleh orangtuamu tidak? Eh, salah, ya. Mana mungkin Ibumu bisa mendidik tatakrama padamu, Ibumu saja binal dan kaca begitu-”

 

Duk!

 

Shin tersungkur, dibantu kedua temannya ia berdiri. Sementara Hiroto kelihatannya sudah tidak bisa mentolerir lagi perkataannya yang seenaknya.

 

“Apa masalahmu denganku? Kenapa kau suka sekali mencari masalah denganku?!” hardiknya keras.

“Karena aku sebal melihat anak yatim sepertimu sok kuat di sini! Kau tidak harus selalu berpura-pura menjadi orang yang menyenangkan dengan keluarga aneh seperti itu!”

“Apa yang kau tahu soal keluargaku!”

“Banyak! Tante Nanase banyak bicara tentang keluargamu yang aneh. Karena Ibumulah Ayahmu meninggal karena kecapekan bekerja. Seharusnya kau tahu diri.”

“Kau orang luar, jangan banyak omong!”

“Lalu kau mau apa?” tantangnya, “Menghajarku?!”

“Sialan!”

 

 

Sore itu Hiroto berjongkok sendirian di depan kandang kelinci peliharaannya sekolah. Wajahnya sedikit lebam karena perkelahian siang tadi. Ia dihukum sampai pulang sekolah menuliskan karya sastra sebanyak dua folio. Hiroto menatap kelinci-kelinci yang sedang makan di dalam kandang, rasanya kali ini dia ingin menangis.

 

Kenapa Bibi Nanase bisa secerewet itu pada orang lain, ia menceritakan segala hubungan keluarga pada anak seperti Shin. Hiroto memang tahu bahwa Shin punya hubungan khusus dengan salah satu sepupunya, maka tak heran jika ia sering bertandang ke rumah mereka. Mendengar cerita mereka, berbicara banyak lebar dengan mereka. Tetapi siapa sangka bahwa topik yang paling banyak dibahas adalah aib keluarga mereka.

 

Ah, tanpa sadar airmata Hiroto menetes. Ia segera menyekanya.

 

Hiroto memang bukan anak yang cukup kuat dalam perkelahian, ia juga bukan anak yang tegar dalam menghadapi masalah. Ia kadang kesepian, ia kadang merasa sangat sedih. Hiro juga bukan orang yang pandai bergaul seperti anak-anak yang lainnya. Pekerjaannya membantu orangtuanya membuatnya meninggalkan kehidupannya sebagai anak-anak remaja pada umumnya. Terkadang Hiroto ingin memiliki teman dari saudaranya sendiri, sayang saudara yang banyak ia harapkan seperti apa yang ia lihat di sekitarnya terlalu busuk.

 

Semenjak Ayah menikah dengan Ibu, mereka mengasingkan diri. Pernikahan kedua orangtuanya memang tak mendapat restu dari pihak keluarga Ayah karena Ibu dulunya bekas penghibur di pub. Tetapi bukan pelacur seperti apa yang difitnahkan orang lain padanya. Ibu hanya seorang waitress, Ayah melihatnya dan jatuh cinta padanya. Tak ada kata menjijikan dihubungan keduanya. Mereka hanya melihat dari luar dan mengambil kesimpulan sebegitu jauhnya sehingga menimbulkan banyak sekali pertentangan di sana-sini. Rasa sombong dan arogan karena tak bisa menerima derajat yang lebih rendah membuat mereka semua meninggalkan dan melupakan ikatan persaudaraan di antara mereka. Mereka seperti telah melupakan bahwa mereka pernah memiliki keluarga seperti Ayah Hiroto.

 

Dalam upacara kremasi kematian Ayahnya saat itupun tak ada satupun keluarga dari pihak Ayah yang menjenguk mereka. Mereka benar-benar orang yang sangat menyedihkan. Hiroto kadang tak pernah habis pikir, bagaimana mungkin mereka bisa hidup dengan jalan pikiran seperti itu?

 

Hiroto sudah cukup banyak menangis hari ini. Pemuda itu bangkit dari sana sambil menarik tas sekolahnya. Ia harus kembali ke kelas da kantin untuk mengumpulkan kotak-kotak bentonya. Saat Hiroto berbalik, ia tertegun melihat semak di dekatnya bergerak-gerak. Pemuda bertubuh kecil itu mengamatinya dan mencoba mendekat. Ia terkejut saat kepala seekor kelinci muncul dari semak.

 

“Huh?” Hiroto menoleh ke arah kandang kelincinya dan mulai menghitung, “…5…6… Kurang satu!” dan kemudian ia menyadari bahwa kelinci berwarna putih bernama Saburo itu menghilang.

“Saburo!”

 

Hiroto melepaskan tasnya dan mengejar kelinci itu. Ia bingung, kelinci itu selalu berhasil lari kabur dari kandangnya. Jangan-jangan di kandangnya ada lubang tersembunyi. Hiro berniat setelah berhasil menangkap Saburo, ia akan segera memeriksa kandang mereka dan memperbaikinya.

 

“Saburo, tunggu!”

 

Namun Hiroto merasa sedikit aneh dengan kelinci yang sekarang sedang ia kejar. Seingatnya Saburo tidak bergerak selincah ini. Dan warna putihnya sedikit bercampur dengan warna gading. Kelinci yang berada di depan matanya kini berwarna putih alami, benar-benar bersih.

 

“Saburo!” Hiro kehilangan jejaknya di dalam hutan sekolah. Pemuda itu memanggil-manggil nama kelinci itu, berharap dia gelisah dan mulai bergerak lagi. “Saburo!” ia juga menepuk-nepuk tangannya berusaha memancing perhatiannya. Tapi cara itu tidak berhasil.

 

Hiroto hanya berputar-putar di sana, ia mulai agak cemas karena Saburo benar-benar menghilang. Jika guru Biologi tahu dan mengecek jumlah mereka Sabtu ini, Hiroto akan kena omelan yang sangat panjang. Lelah mencari Saburo, Hiroto memutuskan untuk kembali. Namun saat dia melewati semak belukar, kelinci putih itu berada di sana. Ia melompat-lompat tapi tak bergerak ke manapun karena sebelah kakinya tersangkut pada tali plastik yang terbuang.

 

“Ah!” Hiro membantu kelinci itu untuk melepaskan diri. “Tenang, aku tidak akan menyakitimu kelinci manis. Akan kulepaskan kau secepatnya, bertahanlah!”

 

Saat Hiro sedang berusaha melepaskan tali dari kaki kelinci itu, dari semak lainnya muncul seekor kelinci lain. Hiroto mengerutkan keningnya.

 

“Sa-saburo?” ujarnya ragu. Ia melihat kelinci berwarna putih gading yang sedang berdiri di sisi semak. Ia mendekati Hiroto yang terbengong di sana. Kemudian dia melompat ke pangkuan Hiroto yang lalu sadar pada kelinci putih yang ia tolong.

“Eh!”

 

Kelinci putih itu melompat lambat sambil sesekali menoleh ke arah Hiroto. Hiro bangkit dari sana sambil memegangi Saburo di tangannya. Kelinci putih itu bergerak lagi. Hiro diam di sana, tetapi kelinci putih itu seolah memintanya untuk mengikutinya. Hiroto tak yakin dengan apa yang ia lakukan, tetapi pemuda itu mengikuti kelinci putih tersebut.

 

Hiroto seperti dipandu olehnya untuk menyusuri jalan yang tidak pernah ia lewati sebelumnya. Ia terus saja mengikuti kelinci itu sampai akhirnya ia berhenti pada sebuah semak. Hiroto benar-benar bingung sekaligus penasaran dengan kelinci putih itu. Ia menurunkan Saburo dari tangannya kemudian mengambil kelinci itu, tetapi kelinci itu menghindar dan melompat masuk ke dalam semak. Hiroto panik dan kaget. Ia berusaha mengejar kelinci tersebut. Ia menerobos semak yang tadi dilewati oleh kelinci tersebut.

 

“…dia hilang.”

 

Kelinci itu menghilang. Keanehan yang tak bisa Hiroto jelaskan karena, dibalik semak ini adalah sebuah tembok dari gedung sekolah lamanya. Jika kelinci itu tadi melompat ke dalam semak ini seharusnya dia terjebak. Tetapi setelah Hiroto mencari sosoknya sampai ke dalam semak sekalipun sosok kelinci putih itupun tetap tak ditemukan.

 

“Aneh.”

 

 

 

Hiroto pulang malam sambil mengayuh sepedanya setelah selesai mengantar pesanan ke blok sebelah. Hari ini dia bekerja cukup keras padahal di hari Minggu.

 

“Aku pulang!” serunya sambil menaruh sepeda kesayangannya di pinggir rumah.

“Selamat datang!” suara Ibu terdengar di dalam ruangan. “Ibu sudah buatkan makan malam dan air untuk mandi.”

“Terima kasih, Bu. Aku mandi dulu!”

 

Setelah mandi dan makan malam sembari menonton acara tivi Hiroto berencana untuk memperbaiki sepedanya yang rusak.

 

“Rantainya kendur, sepertinya ada bautnya yang tidak kencang.” Ujar Hiroto sambil menenteng perkakas.

“Tidak sebaiknya besok saja dikerjakan?”

“Besok ‘kan Senin, Bu. Lagipula besok aku harus sekolah, aku butuh sepeda ini.” Hiroto mulai membuka tas perkakasnya.

 

Ibunya menghela di depan pintu. “Kalau begitu, jangan sampai larut, ya.” Ujarnya kemudian masuk ke dalam rumah.

 

Hiroto memperbaiki kerusakan sepedanya sendiri. Hal ini memang sudah biasa terjadi. Umur sepedanya memang sudah lumayan karena sepeda ini sudah menemaninya sejak masuk SMP. Pernah terpikir olehnya untuk membeli sepeda baru, tetapi uangnya masih belum terkumpul. Ia sendiri enggan untuk meminta dibelikan sepeda baru kepada Ibu.

 

Saat Hiroto hampir menyelesaikan pekerjaannya, suara berisik dari semak mengganggunya. Rumah Hiroto memang rumah bergaya Jepang lama, sehingga banyak sekali rumput dan semak yang dibiarkan tumbuh dan di tata. Hiroto menoleh ke sekitarnya, suara itu hilang. Dia kembali melanjutkan pekerjaannya. Setelah pekerjaannya benar-benar selesai, Hiroto mulai merapihkan isi perkakasnya. Baru saja hendak masuk ke dalam rumah langkah Hiroto terhenti. Entah kenapa kepalanya ingin sekali menengok ke belakang. Saat dia menoleh, ia sedikit terkejut dengan kemunculan seekor kelinci. Itu adalah kelinci yang sama dengan yang ia temukan di sekolah. Si kelinci putih.

 

“…kamu.”

 

Dia melompat masuk ke dalam semak. Hiroto menaruh kembali perkakas di tangannya ke tanah dan mengejar si kelinci. Dalam kegelapan, dia masih bisa melihat sosok kelinci itu melompat ke halaman belakang rumahnya.

 

“Hey, tunggu!”

 

Hiroto berbelok ke halaman, kemudian dia berhenti ketika melihat kelinci itu berhenti di tengah-tengah halaman. Hiroto mencoba mendekatinya pelan-pelan.

 

“Jangan takut…aku nggak bakal menyakitimu…” sejauh ini kelihatannya berhasil, karena sudah beberapa langkah Hiroto mencoba, kelinci itu kelihatan tenang. Hiroto memasang senyum, sebentar lagi dia bisa menangkapnya.

 

“Hiro!”

“Huh!”

 

Hiroto menoleh ke arah rumahnya, Ibunya berdiri di depan pintu geser di belakang rumah dengan wajah yang bingung di sana.

 

“Sedang apa? Ini sudah malam. Kau sudah membereskan sepedamu di depan?”

“Umm…ya..ya, Bu.”

“Cepat masuk, anginnya semakin dingin. Nanti kau masuk angin.”

“Iya, Bu. Sebentar lagi.”

 

Ibunya kembali ke dalam rumah, Hiroto menoleh ke arah kelinci tadi.

 

“Ah, dia kabur, kan!” pekik Hiroto gemas.

 

Hiroto kelihatan kecewa, ia menghela pendek. Namun sesaat sebelum dia pergi, sesuatu berkerlip terlihat oleh matanya. Hiroto tercenung dan mendekat. Di tanah bekas berdirinya kelinci misterius tadi, tergeletak sebuah kartu aneh. Warnanya keemasan. Hiroto memungutnya. Kartu itu seperti kartu remi biasa, tapi dengan ukuran yang lebih besar. Warnanya pun unik dan menarik.

 

“Huh, ini apa, ya?”

 

 

 Continued…

8 komentar:

  1. Pah, komennya di rapel ya, hihii

    aaaa, senangnya papa bikin fic arisu XD
    hmm, penasaran, orang2 terpilih ini nanti bakal mo dapet kisah apa selanjutnya, apa mereka bakal ketemu atau gimana ya..

    ini genre fantasy kan pah? gk sadis2 kan? lol

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe... orang-orang terpilih itu akaaaaan *off record*
      baca aja deh lanjutannya ntar :3

      Iya, ini genre fantasy, ah gak sadis-sadis kok. Papa ngikutin kyk Alice In the Wonderland yg asli :3
      cuman yaaaa ada sedikit bumbunya, hehe...

      Hapus
  2. aaaaaaaaahh..
    Ini seru XDD

    Gimana lanjutan kisah mereka di wonderland nanti ya..XD
    Penasaran!
    Pasti banyak yg akan terjadi nantinya
    Pasti seru XD

    BalasHapus
    Balasan
    1. nantikan selanjutnya yaa~

      siap menghentak dunia Wonderland...huhuhu!

      Hapus
  3. aaaaaaa...

    Sangat dinantikan!!
    XD

    btw,ini sachi.
    Folback boleh tak?..
    Hehehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. yup, tunggu ya!

      Iya, Sachi....
      di folbek DONE hunni ~ :D

      Hapus
  4. waaaah alice nine in wonderlanddd. Bunny-san sedang mencari orang2 buat dikasi kunci ke wonderland ya? iih ga sabar nunggu kelanjutannya. >_<

    versi apapun, alice in wonderland itu selalu menarik buat diikuti :3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Usagi-chan lagi cari kesatria hhahha

      Yup yup, ntar dilanjutin lagi sm koko :D

      Hapus