expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

02 Maret 2013

ALICE in The WONDERLAND (Part 2)

Title : ALICE in The WONDERLAND

Author : Duele

Finishing : Februari 2013

Genre : Fantasy, AU, School-fic, Drama, Adventure

Rating : PG15

Chapter(s) : 2/10

Fandom(s) : Alice Nine

Pairing(s) : NO Pair. General.

Notes Author : Thank you for keep reading this story J

 
*****
 

YOU LOSE!

 
Saga kalah lagi.

 
Duk!!

 
Spontan dia tendang mesin pachinko tua yang membuatnya kalah hari ini. Sialnya, kali ini penjaga game centre di tempat itu sudah terlalu jengah melihat ulah Saga yang selalu onar.

 

“Kalau kau tidak bisa bermain, pulang saja sana!” usir penjaga berseragam itu.

“Heh, Pak Tua! Sudah bagus ada pengunjung ke tempat ini kau malah sombong!”

“Aku tidak pernah berharap mendapatkan pelanggan sepertimu. Sudah, sana pergi!”

 

Saga di dorong paksa keluar game centre tersebut. Sebelum pergi pemuda itu mengacungkan jari tengahnya ke arah pria setengah baya itu. Memang bukan pertama kalinya Saga diusir dari sana, dan bukan pertama kalinya juga Saga bilang tak akan datang ke sana lagi. Namun kota ini benar-benar membosankan, sehingga mau tak mau pemuda itu datang lagi dan lagi ke tempat seperti itu.

 

Sudah empat hari ini dia membolos. Sekolah menjadi tempat menjengkelkan kedua setelah rumah. Teman-temannya terlalu sibuk untuk mengurusi ujian dan bimbel yang tidak ada habisnya. Maka Sagapun mulai menghabiskan hari-harinya sendirian. Beberapa minggu lalu, dia bertemu dengan geng anak sekolah lain dan bertengkar dengan mereka. Tetapi karena pertengkaran itu justru membuatnya dan kepala geng dari sekolah lain menjadi cukup akrab. Mereka satu hobi, membolos. Jadi jikalau tak ada hal yang menarik yang bisa dia kerjakan, Saga akan datang ke tempat berkumpulnya mereka.

 

Tetapi hari ini rasanya dia agak malas berkumpul dengan mereka. Saga ingin melewatkan harinya sendiri dulu. Saga membuka bungkus permen mint yang dia curi di mini market tadi siang. Sambil duduk pada sebuah pagar jalan ia mengamati setiap orang yang lewat. Beberapa gadis lewat di depannya, ia menggoda dan bersiul. Dia mencoba menikmati hari-hari kosongnya untuk memulihkan moodnya yang sedang tak baik hari ini.

 

“Ssshh…” ia mendesis tatkala rasa perih terasa di sekitar bibirnya yang sedikit lebam. Namun ini bukan luka perkelahian antar siswa SMU yang sering ia lakukan. Ini merupakan luka abadi. Luka yang tak akan sembuh dan akan selalu ia ingat dalam hati.

 

Semalam dia bertengkar dengan Ibunya di rumah sewa mereka. Rumah sewa kumuh dengan 3 ruangan kecil yang sudah 2 tahun mereka tempati. Entah apa yang memicu pertengkaran mereka sehingga Ibu menamparnya malam itu. Namun Saga tidak bisa terima dengan sikap kasar wanita jalang itu. Sejak semalam ia tidak pulang dan lebih memilih untuk tidur di stasiun. Walau masih mengenakan seragam sekolahnya, Saga acuh. Ia tak ada keinginan untuk pulang ke rumah dulu sekarang. Bertemu dengan wanita itu di saat-saat sekarang ini bisa memperburuk moodnya.

 

Saga masih berada di sana saat beberapa siswa dari SMU lain muncul. Ia tersenyum cerah ketika melihat targetnya muncul. Ia melompat dari pagar jalan dan berjalan ke arah pemuda itu. Pemuda yang menyadari Saga mulanya hendak kabur, tapi Saga lebih cepat mendapatkannya.

 

“Hey, kau kan masih punya urusan denganku.” Katanya sambil menangkap tas pemuda berkacamata itu. “Ayo, ikut!”

 

Saga membawanya ke belakang pertokoan yang sudah tak terpakai. Di sana tak seorangpun yang melihat mereka.

 

“Ayo, berikan.” Saga meminta.

“Aku bersungguh-sungguh, uangku habis.”

“Mana mungkin habis. Kau kan anak orang kaya, kenapa tidak meminta uang saku lebih pada Ayahmu yang Jenderal itu?”

“Karena bukan hanya kau saja yang mengambil uangku,”

“Apa?! Jadi ada anak lain yang sudah mendahuluiku?”

 

Pemuda itu mengangguk takut. Saga berdecak kecewa, tetapi kemudian dia seperti mendapat akal.

 

“Berikan dompetmu,”

“Ap-apa?”

“Berikan. Biar aku memeriksanya.”

 

Dengan ragu-ragu pemuda itu memberikan dompetnya yang bermerek kepada Saga. Saat Saga melihatnya dia bersiul, namun bukan itu yang membuatnya begitu tertarik. Memang isi dari dompet mahal itu kosong, tetapi Saga menemukan harta karun di sana.

 

“Ini kartu debitmu, kan?”

“Ah, jangan!! Jangan!! Aku mohon jangan pakai itu!!” anak itu panik dan berusaha mengambil kartu itu dari Saga, tetapi Saga cepat menyelamatkannya ke saku celananya. “Saga…” dia merengek, hampir menangis.

 

Saga segera menarik lehernya dengan lengannya seperti kawan.

 

“Ayo, teman! Kau bisa memberikan uang lebih banyak kepadaku, atau…” Saga mengeratkan lengannya hingga membuat pemuda itu mengaduh.

“Ampun! Ampuni, aku!”

“Nah, gitu, dong! Jadi anak baik tidak terlalu buruk, kan? Kau anak pintar, berbagilah dengan temanmu yang miskin ini.” Ujar Saga setengah tertawa. “Kau akan memberikan uangmu, kan?” tanyanya lagi dengan nada yang ditekan.

“Ba-baik.”

 

 

Saga mendapat jackpot kali ini!

 

“….delapan ribu, sembilan ribu.” Saga usai menghitung lembaran-lembaran uang hasil paksaannya kali ini.

 

Sebenarnya dia merasa kasihan kepada pemuda yang sering dia jahati. Tetapi apa boleh buat, Saga butuh uang. Tersirat dibenaknya bahwa dia ingin sekali tinggal sendiri dan memisahkan diri dari Ibunya yang tak pernah mengurusnya. Kerjanya hanya membuat Saga kesal, mengomel dan sama sekali tak bisa membuat makanan enak. Ia tak heran jika wanita itu dua kali mengalami perceraian. Siapapun pria yang menikahinya pasti menyesal.

 

Aah, tapi siapa peduli. Saga tak harus pusing memikirkan wanita kolot itu. Sekarang kira-kira permainan apa lagi yang bisa menyenangkannya?

 

Saga mencoba berpikir-pikir opsional tempat bermain yang mungkin saja bisa dia kunjungi untuk membunuh waktu bosannya.  Sempat terpikirkan olehnya untuk datang ke sekolah khusus perempuan dan melihat-lihat wajah-wajah bening gadis SMU yang terhormat di sekolah khusus tersebut. Akhirnya, dia memutuskan ke sana. Tak ada salahnya mencuci mata, pikirnya.

 

Saga berjalan mencari jalan singkat terdekat sehingga ia bisa sampai lebih cepat. Dia melewati gang-gang kecil di pertokoan sempit tersebut. Seingatnya, di sekitar sini ada lubang besar pada tembok yang menghubungkan gang toko sepatu dengan jalan di depannya. Hal ini dia lakukan agar tidak memutar. Gang itu sepi seperti biasa. Bak-bak sampah organik dan non organik dari toko makanan siap saji di sampingnya nampak menggunung, belum lagi dengan bungkusan-bungkusan sampah plastik berwarna hitam yang lebih mirip seperti mayat yang dibungkus.

 

Saat Saga menendang beberapa kerikil kecil di bawah kaki, kerikil itu berhenti tepat di depan kaki seekor kelinsi putih. Saga tercenung. Matanya seperti sedang melakukan scanning khusus untuk menegaskan bahwa yang dia lihat memang benarlah seekor kelinci. Kelinci itu kemudian melompat dengan lincah. Saga segera sadar dan mengejarnya.

 

“Kelinci itu!”

 

Kelinci itu bukan sekali atau dua kali muncul di hadapan Saga. Sudah sejak seminggu lalu kelinci itu muncul secara mengejutkan. Ia membuat Saga beberapa meloloskan target siswa yang hendak dia ambil uangnya. Saga sebal pada kelinci itu dan berniat untuk menangkapnya dan ia jual, atau kalau memang benar dia sangat membenci kelinci itu dia akan membunuhnya dan menjadikannya yakitori.

 

Kelinci itu bergerak sangat lincah, Saga tidak pernah melihat kelinci selincah ini. Saat duduk di sekolah dasar, Saga sempat menjadi penjaga hewan di sekolah. Ada beberapa kelinci di sana, tetapi larinya tak selincah kelinci ini. Belum lagi kelinci itu berlagak sedikit aneh. Dia selalu muncul di manapun Saga berada. Pernah suatu kali dia muncul di atas rumah tetangganya pada malam hari. Saat itu Saga dibuatnya keheranan luar biasa. Bagaimana seekor kelinci bisa berada di atas atap rumah sewa berlantai empat?

 

Ada yang aneh dengan kelinci itu! Karena itulah, Saga bertekad untuk menangkapnya!

 

Saga berlari sekencang mungkin, ia melompat melewati halangan di depannya. Ia menerobos lubang sempit di tembok penghalang antara gang toko dengan jalan. Saga beberapa kali mengalami kesulitan dan hampir saja kehilangan jejak dari kelinci itu, untung saja matanya gesit melihat kelinci itu melompat ke arah semak belukar di sebrangnya.

 

“Ck!”

 

Saga berlari lagi, walaupun rasa lelah mulai menghinggapi tubuhnya. Tapi rasa sebal dan penasarannya kepada kelinci itu tak menyurutkan rasa acuhnya. Ia menerobos semak itu dan mencari-cari keberadaan kelinci itu, namun sepertinya dia sudah menghilang. Saga mendecak, matanya masih menyusuri tempat-tempat tersembunyi di taman kecil tersebut. Ia berjalan pelan-pelan sambil melongok kesana-kemari. Dan benar saja kelinci itu sedang bersembunyi di balik pohon dan rerumputan yang lumayan tinggi. Saga tersenyum melihat targetnya, kali ini dia tak akan lolos!

 

Saga harus melepas sepatunya agar suara langkah kakinya tidak terlalu berisik dan menakuti kelinci aneh itu. Kedua tangannya sudah bersiaga untuk menangkap dan meremukan tubuh kelinci berompi biru tersebut. Siapapun pemiliknya dia pastilah orang yang aneh, sama seperti kelincinya.

 

“Kena!!”

 

Gabruk!!

 

Saga terjatuh dengan kedua tangannya yang berusaha menangkap kelinci itu. Rasanya dia sudah berhasil menangkap kelinci itu. Tapi ternyata dia gagal.

 

“Ah, sial! Kemana perginya kelinci itu?” ujarnya sambil berdiri dan membersihkan bajunya yang kotor. “Awas, saja kalau tertangkap!”

 

Saat Saga sedang membersihkan pakaiannya, tepat di bawah kakinya menempel sebuah benda. Benda itu seperti kartu remi. Saga memungutnya dan membalik-balikan kartu tersebut.

 

“Kartu?” Saga melongok ke kiri-kanannya. Apa mungkin di taman ini ada orang yang habis bermain kartu remi dan meninggalkan salah satu kartunya? Tetapi bukankah ini taman yang jarang sekali dikunjungi orang. Entahlah. Saga membuang kartu tersebut dengan sembarangan. Ia kembali untuk mengambil sepatunya yang terserak. Namun kemudian dia terkejut karena di dalam sepatunya terselip kartu yang sama. Saga merasa heran. Ia melihat ke arah tempat dimana tadi dia membuang kartu tadi. Kartu itu hilang. Saga melihat horror pada kartu As wajik hitam yang masih terselip di sepatunya. Dengan rasa ngeri dia mengeluarkannya dan membuangnya sekali lagi. Setelahnya dia kabur.

 

“Hii!”

 

 

Saga keluar dari semak-semak dan menyebrang. Perasaannya sudah sedikit tenang setelah tadi dia merasa agak sedikit takut dengan kejadian aneh yang menimpanya. Kelinci ghaib, lalu kartu yang menakutkan. Saga berusaha menghilangkan bayangan-bayangan horror yang menghinggapi kepalanya. Mungkin inilah saatnya dia untuk pulang.

 

Sesampainya di rumah, keadaan begitu kosong. Ibunya mungkin masih belum pulang bekerja. Saga menaruh sepatunya asal di depan pintu depan. Ruangan itu benar-benar berantakan dengan pakaian-pakaian kotor. Ibunya benar-benar tidak bisa diharapkan. Saga mulanya acuh, tetapi kemudian dia agak gerah juga melihat kondisi rumah yang lebih mirip seperti tempat sampah daripada tempat tinggal manusia. Maka dari itu dia kembali lagi ke ruang tengah dan memunguti pakaian kotor dan sampah-sampah makanan cepat saji yang terserak begitu saja. Ia pergi ke dapur dan melihat piring kotor yang menggunung di bak cucian piring. Ia menghela, sedikit geram. Tetapi pada akhirinya selalu berakhir dengan Saga yang membereskan segalanya.

 

Hampir satu setengah jam Saga berkutat membersihkan rumah. Pakaian-pakaian kotor itu dia masukan ke dalam plastik dan diikat, sebentar lagi ia akan mengantarkannya ke laundry umum tak jauh dari rumah. Piring-piring kotor sudah ia cuci, sampah-sampah yang berserakanpun sudah ia buang sesuai dengan jenisnya. Kini Saga yang sudah berganti pakaian ingin sedikit meregangkan otot-ototnya sembari menikmati semangkuk mie instant sambil menonton tivi.

 

Ia menyiapkan makan malamnya sendiri yang selalu ia beli di mini market. Ibunya sama sekali tak pernah menyiapkan makan di rumah seperti kebanyakan ibu-ibu yang lain. Ia hanya sibuk dengan dirinya sendiri, pekerjaannya dan kehidupannya. Sepertinya ia tak ingat bahwa dia memiliki seorang anak yang membutuhkannya. Ibunya bekerja sebagai piƱata rambut di salon yang letaknya berada di dalam mall besar. Dia bekerja sejak pukul 9 pagi hingga pukul 10 malam. Tak jarang ia tak pulang ke rumah, entah menginap di mana. Ia tak pernah memberitahu Saga. Setiap hari, dia hanya menyisihkan uang Dua ribu Yen untuk Saga di atas meja ruang tengah.

 

Saga sudah merasa kenyang dengan makan malam instantnya. Kini saatnya dia pergi untuk mencuci pakaian ke laundry. Ia menaikan jaket tebalnya dan mulai menyeret dua buat plastik besar berisi pakaian kotor. Siapa peduli dengan dirinya yang selalu mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti ini?

 

“Eh, Saga-kun, kau mau ke laundry?” sapa bibi tetangga.

“Iya, Bi.”

“Bibi jarang melihatmu, kau kemana saja?”

“Aku menginap di rumah teman, Bi.”

“Bertengkar lagi dengan Ibumu?”

“Hahaha, nggak, kok, Bi.”

“Ya sudah kalau begitu. Nanti setelah pulang mencuci main ke rumah Bibi. Bibi dapat oleh-oleh banyak dari Hokkaido, Bibi sudah menyisihkan untukmu.”

“Terima kasih, Bi.”

 

Namanya Bibi Machi. Dia adalah tetangga Saga yang tinggal tepat di sebelah kamar kontrakannya. Oleh karena itulah dia menjadi orang yang paling banyak tahu jika Saga dan Ibunya bertengkar mulut. Perawakannya gemuk dan pendek. Dia sering memberi makanan dan oleh-oleh yang dia dapatkan dari saudara-sudaranya yang tinggal di luar kota. Bibi Machi sendiri tinggal seorang bersama suami dan seorang anak laki-lakinya yang masih berusaha 12 tahun bernama Ryu. Kadang-kadang Saga diminta bantuan untuk menjaga Ryu jika Bibi Machi sedang keluar kota bersama suaminya. Mereka tak jarang memberi uang kepada Saga sebagai ucapan terima kasih, walaupun itu sepertinya uang untuk rasa kasihan.

 

“Hhh…”

 

Saga menghela setelah menekan tombol ‘Wash’ di mesin cuci. Dia beringsut mencari majalah lama yang disediakan pemilik untuk membuang waktunya menunggu cuciannya selesai. Saat Saga duduk, kakinya tersandung sesuatu. Ternyata plastik pakaian yang dia bawa.

 

“Ah, sial, ketinggalan satu!” pekiknya. “Bagaimana ini?” sementara ia sudah memasukan semua pakaian kotornya ke dalam mesin cuci. Tidak mungkin Saga membeli koin lagi untuk mencuci satu kaos lepek yang ini saja. “Ya sudahlah.”

 

Akhirnya dengan terpaksa ia menggulung kaos miliknya yang lupa tercuci, tiba-tiba ada yang terjatuh dari balik kaosnya. Perhatian Saga teralih pada selembar kertas tergeletak di lantai. Matanya membulat. Rasa tak percaya sekejap langsung menghinggapinya saat dia memungut benda tersebut.

 

“Ini kartu yang kemarin?”

 

Jika benar itu kartu remi yang Saga temukan bersamaan menghilangnya kelinci itu, dia benar-benar merasa takut. Kenapa tiba-tiba kartu tersebut bisa muncul di balik kaos Saga. Yang lebih mengejutkan lagi, kali ini kelinci itu muncul lagi. Dia berdiri di depan pintu kaca toko laundry. Saga panik, kemudian mengejarnya saat kelinci itu melompat pergi.

 

“Tunggu!”

 

Jalanan saat itu ramai, Saga terpaksa menerobos mereka satu persatu agar tak kehilangan jejak kelinci aneh tersebut. Dari ratusan orang ini apakah tak ada yang melihat kelinci itu selain Saga? Karena mereka semua kelihatan mengabaikan kelinci aneh itu. Pengejaran Saga berakhir pada sebuah jalan taman kota yang telah senyap. Jam di taman itu menunjukan pukul 9.18 malam. Hanya ada beberapa orang berlalu lalang sepulang kerja.

 

Saga masih berkeliaran di sana mencari kelinci itu, namun tak kunjung dia temukan. Sepertinya kelinci itu berhasil melarikan diri lagi. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke laundry. Saat dia melewati jalan taman, seorang penjaga kebersihan di taman itu sedang membakar sesuatu. Saga mendekati tempat pembakaran sampah yang tak jauh dari taman tersebut setelah penjaga kebersihan itu pergi. Sesampainya di sana, ia mengeluarkan kartu As yang ia temukan tadi. Saga menatapnya dengan bingung bercampur takut. Ya, kondisi ini membuatnya takut. Bagaimana mungkin kartu ini bisa muncul begitu saja. Dan kelinci itu…

 

“Kubakar saja.” Saga menyodorkan kartu tersebut ke atas pembakaran. Tetapi ia masih penasaran, mengapa kartu ini selalu kembali lagi padanya. Tapi tak pelak, rasa takut dan was-was kini menghinggapi perasaannya. Kartu apa ini dan kelinci apakah itu?

 

Saga ragu kali ini untuk memusnahkan kartu tersebut.

 

“Sebenarnya ini apa, sih?”

 

 

*****

 

 

“Kau ini bagaimana, sih? Bagaimana bisa project sebesar itu bisa hilang dari tanganmu? Kau tahu tidak berapa nilai project itu?”

“Maafkan, saya, Pak.”

“Berpikirlah, Amano. Perusahaan kita ditarget tinggi. Kau harus lebih berhati-hati dalam mengerjakan tugasmu, apalagi ini sebuah project besar…”

“Iya, Pak. Maafkan, saya.”

 

Kesalahan fatal yang membuat Tora harus mengenyam omelan panjang dari Managernya. Ia menghilangkan softcopy project pekerjaannya sehingga klien mereka memutuskan untuk bekerjasama lagi. Hal yang mungkin bisa membuatnya dipecat dari pekerjaannya sebagai Marketing.

 

“Aku tidak mau tahu, Amano. Kau kerjakan ulang pekerjaanmu!”

“Baik.”

 

Tora sudah menjalani pekerjaan ini selama setahun lebih setelah sebelumnya dia memutuskan untuk menyudahi masa kuliahnya yang sudah setengah jalan. Karena tuntutan pernikahan dari kekasihnya yang telah hamil dan memintanya untuk bertanggung jawab akhirnya Tora terpaksa meninggalkan bangku kuliahnya. Diterima bekerja di tempat ini merupakan kesempatan besar baginya yang hanya lulusan SMA biasa. Karena itulah ia berusaha melakukan pekerjaannya dengan baik. Hal itu semakin kuat sejak Tora dikaruniai seorang bayi perempuan bernama Lily.

 

Ia menatap potret kecil bayi mungil berumur lima bulan tersebut dengan mata nanar. Seketika perhatiannya akan pekerjaan terhenti secara emosinal. Rasa gagal menjadi seorang Ayah dan suami mencekik perasaannya sehingga istrinya memutuskan untuk pergi meninggalkannya dengan membawa anak mereka. Tora sudah berusaha mencari mereka tetapi mereka sulit ditemukan. Kini Tora dicekam rasa ketakutan dan kegagalan secara emosional. Pernah suatu ketika ia memutuskan untuk mengakhiri hidup, tetapi hal itu gagal dengan cara yang amat menggelikan. Beruntungnya istrinya menghubunginya, walaupun dia belum memutuskan untuk kembali. Ia berkata, jika Tora ingin tetap bersamanya dan putrinya ia harus bisa memberikannya sebuah rumah pribadi yang jauh dari tempat tinggal kedua orangtua mereka. Padahal pekerjaannya belum memungkinkannya untuk membeli sebuah rumah sesuai dengan permintaan istrinya yang manja itu. Tetapi istrinya mengancam, itulah yang membuat Tora mau tak mau harus bekerja ekstra keras untuk memenuhi keinginannya. Tak lain dan tak bukan hanyalah untuk bisa kembali mendapatkan putri kecilnya, Lily.

 

Kantor sudah sepi, semua pegawai sudah pulang sejak pukul 6 sore tadi. Hanya Tora yang masih berkutat di depan komputernya untuk mengerjakan ulang projectnya yang hilang karena kecerobohannya tempo hari. Tora benar-benar sial hari itu karena seekor kelinci yang hampir saja tertabrak mobil di tengah jalan. Mungkin saat dia menyelamatkannya flashdisknya terjatuh di suatu tempat. Ia sudah berusaha mencarinya kemarin malam tetapi tak berhasil. Hingga pagi tadi akhirnya dia diomeli dan terpaksa bekerja lembur.

 

“Ugh!”

 

Tora meregangkan otot-ototnya yang menegang karena duduk seharian di depan komputernya. Jam sudah menunjukan hampir tengah malam. Semua kubik kerja teman-temannya yang lain sudah gelap, hanya kubik kerjanya saja yang masih menyala terang. Beberapa kali Tora menguap karena lelah, bahkan sempat menitikan airmata saking lelahnya. Lehernya sudah sangat pegal dan perutnya lapar sekali. Pekerjaannya baru selesai setengah, namun rasanya ia sudah tak kuat untuk tetap berkutat lagi di sana. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang setelah meng-copy seluruh data yang sudah ia kerjakan.

 

 

Malam itu Tora pulang sangat larut karena ketinggalan kereta terakhir. Sesampainya ia di rumah sewanya, ia segera membuat makanan instant untuk pengganjal perutnya yang lapar sejak tadi. Acara tivi dinihari tak banyak menyiarkan acara yang seru, sehingga ia memutuskan untuk mematikan dan berkonsentrasi pada makan malamnya.

 

Ngiing~!

 

Suara nyaring dari teko berbunyi, air panas yang sedang ia didihkan sudah matang. Walau mengantuk berat, Tora tidak berencana untuk segera tidur. Setelah menyeduh secangkir kopi panas, dia kembali duduk di meja kerjanya dan mulai mengerjakan kembali sisa pekerjaannya yang belum terselesaikan. Ditemani secangkir kopi, dan beberapa lembar data yang telah di bawa dari tempat kerjanya Tora mulai bekerja. Tetapi baru satu jam dia berkutat dengan komputernya, rasa kantuk itu semakin kejam memaksanya untuk tidur.

 

“Geez!” Tora beranjak dari kursinya dan menuju ke balkon. Ia membuka pintu geser kaca yang langsung menuju ke arah balkon. Di sana ia disambut oleh jemuran-jemurannya yang belum sempat ia benahi. Ia terlalu malas untuk bebenah selarut ini.

 

Angin dinihari menyapu rambutnya yang mulai memanjang. Secangkir kopi di tangan kiri dan sebatang rokok yang hampir habis di tangan kanannya. Tora menikmati kesendirian saat itu. Sejenak dia ingin melupakan segala permasalahan yang sedang ia hadapi. Namun rasanya mereka semua terlalu kuat dan sulit untuk dilupakan. Hal yang tidak bisa ia lupakan tentu saja adalah putri mungilnya Lily. Dia ada di mana sekarang, Tora tak tahu. Kemana lagi dia akan mencari istri dan anaknya yang pergi. Dia mungkin tidak terlalu peduli dengan istrinya yang manja dan banyak menuntut, tetapi ia hanya ingin putrinya kembali.

 

Istrinya telah melayangkan surat perceraian, tetapi sidangnya belum bisa terproses karena Tora bersikeras untuk tetap mempertahankan pernikahan mereka demi anak. Biasanya perempuan yang akan lebih banyak mempertahankan pernikahan mereka ketimbang laki-laki demi keluarga dan anak, tetapi ternyata Tora lebih mengerti bagaimana rasanya memiliki keluarga yang hancur. Ia sudah lebih dulu menghancurkan impian kedua orangtuanya yang berharap bahwa Tora bisa menjadi seorang yang hebat. Impiannya menjadi seorang designer automotive seperti Almarhum kakaknya. Namun kejadian yang menimpanya mengharuskannya mengubur dalam-dalam impian yang telah direncanakan. Tora menyesal, sangat menyesal.

 

Satu-satunya jalan baginya untuk menebus kegagalannya sebagai anak adalah tetap mempertahankan keluarga kecilnya. Tapi hal itu tidaklah mudah, Tora salah menikahi wanita yang menurutnya tak bisa menjadi istri dan Ibu yang baik bagi putri kecil mereka. Sekarang dia menggunakan darah dagingnya sendiri untuk memerasnya. Jika saja Tora berhasil menemukannya maka dia bersumpah akan merebut putrinya dan jalang biadap itu. Kini, Tora hanya ingin melakukan apa yang ia bisa tanpa melibatkan lagi kedua orangtuanya yang sudah ia kecewakan. Tora tak mau membebani mereka, tetapi terus terang beban ini terlalu berat baginya. Seringkali terpikir olehnya untuk mengakhiri hidupnya, tetapi di saat yang sama bayang bayi mungilnya selalu terbesit memudarkan segala keinginan buruknya. Lily memberinya kekuatan untuk tetap hidup. Tetapi ia kini menghilang, dan Tora harus berusaha mendapatkannya kembali.

 

Rencananya, setelah dia berhasil mencicil rumah sesuai permintaan istrinya, dia akan segera menceraikannya dan mencoba untuk mengambil hak asuh putrinya tersebut. Tora tak akan mengalah. Namun…

 

“Hhh…” asap rokok itu memuai di udara.

 

Semuanya terasa sulit baginya sekarang. Pekerjaannya yang berat, tuntutan istri dan rasa emosi yang harus ia tahan selama ini. Ia rindu mendekap Lily, ia rindu kembali pada kehidupannya yang jauh dari kata susah. Karena semenjak dia menikah, Tora terusir dari keluarganya yang berada. Kini, dia hidup menyendiri. Di rumah sewa dengan hanya dua ruang. Ia merasa hampir membusuk hidup sendirian di tempat seperti ini. Hanya Lily-lah alasan mengapa ia tetap hidup hingga saat ini.

 

 

Tora kesiangan. Secepat mungkin ia keluar dari rumah dan berlari menuju halte bus. Tetapi ia ketinggalan bus pagi itu, perlu waktu lima belas menit untuk menunggu bus lainnya datang. Tora tak punya waktu sebanyak itu sehingga dia memutuskan untuk memanggil taksi. Ia sudah telat 20 menit. Lampu merah di depan jalan semakin memperlambat waktunya hingga akhirnya dia memutuskan untuk turun dari taksi dan memilih untuk berlari. Tempatnya sudah hampir dekat. Bisa gawat jika atasannya tak menemukannya pagi ini. Tugasnya harus segera diserahkan agar pria paruh baya itu tak mengamuk seperti kemarin.

 

Namun ketergantungannya kepada rokok akhir-akhir membuat stamina lebih cepat terkuras. Paru-parunya tercekik sehingga dia tidak kuat berlari lagi. Pemuda tinggi itu akhirnya menyerah dan menelepon kantor untuk ijin datang terlambat. Apapun yang akan terjadi, Tora hanya berharap semoga ada celah kecil untuknya tetap hidup hari ini.

 

“Terima kasih, Miyano.” Tora menutup ponselnya pasrah.

 

Kelelahan ini memaksanya untuk beristirahat dulu. Di sebuah kursi taman yang usang dia duduk menyendiri. Di sebrangnya sebuah kolam ikan kecil, kursi-kursi kayu memanjang terpajang. Pepohonan hijau di sekitarnya bergerak tertiup angin, membuat Tora terbuai dan memilih untuk berlama-lama di sana. Ia mengeluarkan pak rokok di dalam kantung jasnya. Tersisa beberapa batang rokok putih di dalamnya, kemudian ia merogoh pemantik di kantung jas lainnya dan menyalakan rokoknya. Tora tak awas melihat larangan merokok di tempat itu sehingga seorang petugas menegurnya.

 

“Maafkan, saya…”

“Tolong lebih bertanggung jawab sedikit, Pak.”

 

Tora membungkuk-bungkuk minta maaf walaupun petugas itu telah pergi. Ia merasa malu karena beberapa pengunjung lanjut usia memperhatikannya. Dengan helaan berat ia memutuskan untuk pergi dari sana. Langkah gontainya seakan memberitahukan bahwa Tora amat malas ke kantor hari ini. Tetapi dia harus tetap muncul di sana daripada terkena omel lagi. Ia mulai mempercepat langkahnya.

 

Baru melewati setengah perjalanan yang tak kurang dari lima menit, langkah Tora terhenti. Matanya menangkap seekor kelinci yang berdiri tak jauh darinya. Kira-kira jaraknya hanya 3 meter dari tempatnya berdiri. Kelinci berwarna putih bersih itu mengenakan sebuah rompi. Ia terlihat aneh. Dan Tora ingat dengan kelinci aneh ini. Dialah yang menggagalkan usahanya untuk bunuh diri beberapa minggu lalu. Saat Tora hendak terjun dari atap gedung, kelinci itu tiba-tiba muncul dan mengalihkan perhatiannya sehingga ia terjatuh kembali ke atap gedung. Hal selanjutnya ketika temannya muncul dan membawanya pergi kembali. Tora tak bisa melupakan kejadian itu. Bukan karena percobaan bunuh dirinya yang gagal, tetapi karena kemunculan kelinci aneh berompi yang tiba-tiba di atas atap gedung?

 

“……”

 

Kelinci itu seperti sedang menatapnya. Tora tak berkedip membalasnya. Pelan-pelan dia melangkahkan kakinya, kelinci itu tetap bergeming di tempatnya. Dua langkah kemudian Tora semakin berani, rasanya dia ingin mengacuhkan saja kelinci itu. Akhirnya, dia berjalan memutar untuk menghindari kelinci aneh yang masih memandanginya itu. Terus terang saja, Tora agak sedikit takut dengan kemunculan kelinci bermata merah itu.

 

Setelah berhasil menghindari kelinci tadi, Tora mencoba menoleh ke belakang. Ia agak terkejut karena kelinci itu telah menghilang. Ia kembali berjalan tetapi kali ini jantungnya berdegup kencang karena sekarang kelinci itu muncul lagi di depan Tora. Jaraknya kurang lebih sama seperti tadi.

 

“Bagaimana bisa…?”

 

Sekarang Tora benar-benar merasa takut. Secepat mungkin pria itu angkat kaki dari sana dan berlari meninggalkan taman itu.

 

Pukul 10.18 siang barulah Tora sampai. Hari ini dia masih beruntung karena atasannya sedang dinas dadakan sehingga ia tidak mengecek kehadiran Tora. Miyano, teman sekantor yang kubiknya berdekatan memberikan pesan dari atasannya sebelum dia pergi.

 

“Ya, katanya kau diminta untuk mengirimkan e-mail project yang hilang kemarin. Kau sudah mengerjakannya?”

“Ya.”

“Aku tahu bagaimana kerasnya kau bekerja sampai-sampai kau kesiangan.” Ledeknya setengah tertawa.

 

Tora tak bisa menjawab, dia hanya mengangkat kedua tangannya. Miyano adalah satu-satunya orang yang tahu tentang masalah keluarga Tora. Dialah satu-satunya orang yang tahu betapa depresinya pemuda itu. Karena Miyanolah, Tora masih tetap mempertimbangkan kehidupan demi anak, seperti apa yang dia katakan.

 

“Jadi kau masih belum bisa menghubungi istrimu?”

“Belum.”

“Hhh…” dia menghela lalu menepuk sebelah bahu Tora, “Bersabarlah kawan, aku tahu kau bisa melewati ini. Kalau kau butuh bantuan jangan sungkan panggil aku.”

“Thank’s!”

 

Namun apa mungkin Tora bisa menyeret Miyano lebih dalam ke kubangan lumpur yang ia injak? Miyano sendiri sedang kerepotan dengan persiapan pernikahannya. Sama saja meminta bantuan pada cermin. Satu hal yang tak ia ceritakan kepada Miyano adalah mengenai kemunculan kelinci aneh yang sering ia jumpai.

 

 

Jam makan siang sudah tiba, satu per satu pegawai meninggalkan kubik kerja mereka. Miyano juga sudah pamit lebih dulu untuk mengajak makan kekasihnya di lantai atas. Hanya Tora yang sepertinya tidak begitu berminat untuk meninggalkan komputernya. Ia masih mencoba membenarkan lagi pekerjaannya sebelum ia serahkan kepada atasannya yang galak. Tetapi keterlambatannya tadi memang menyisakan rasa lapar luar biasa karena ia melewatkan sarapan paginya. Dengan langkah malas, akhirnya Tora pergi juga dari kursinya.

 

Walau ia sangat lapar, tetapi ia tak berminat untuk memesan makanan di kantin kantor. Ia hanya menyeduh se-sachet minuman outmeal yang sudah ia siapkan di dalam laci mejanya. Sambil menepuk-nepuk punggungnya yang sedikit sakit dan pegal Tora berjalan ke arah mejanya. Tetapi tiba-tiba ia menjatuhkan gelasnya.

 

“Hey!!!” ia berteriak keras. Lalu dia berlari panik ke arah mejanya tatkala ia melihat seekor kelinci berada di atas mejanya. “Sialan!” pekiknya.

 

Kelinci itu melompat dari mejanya, Tora menyelamatkan lampiran data-datanya yang mungkin dirusak. Untung saja semuanya lengkap dan tak cacat sedikitpun, meskipun sedikit lusuh karena terinjak. Namun Tora menyadari ada yang hilang di sana.

 

“Kertas data grafiknya!” ia pun berlari mencari kelinci tersebut. Matanya awas melihat lompatan kelinci putih itu ke balik kubik lainnya. Di kakinya menempel kertas laporan grafiknya yang penting. “Tunggu, kelinci aneh!”

 

Beberapa kali Tora hampir mendapatkannya tetapi beberapa kali juga dia meleset dan terjatuh karena sepatunya yang licin.

 

Sraak!!

 

Kali ini dia terpeleset di lorong. Tora bangkit, ada rasa kesal saat dia tak bisa menangkap kelinci itu.

 

“Kurang ajar!”

 

Bagaimana bisa kelinci itu bisa masuk kemari? Apa dia menaiki escalator atau menaiki lift? Cih, kucing ajaib macam apa itu? Pikir Tora yang sebal setengah mati.

 

Kelinci itu terus bergerak. Tora juga sama. Dia tidak mau kehilangan data grafiknya yang sudah susah payah dia minta dari divisi lain setelah terkena sindiran pedas. Ia terlalu malas untuk memohon yang ketiga kalinya. Bisa-bisa dia diarak keliling kantor dengan menggunakan kertas ‘dummy’ karyawan.

 

“Tunggu!”

 

Aneh! Tak ada seorangpun di sana. Padahal setahunya tidak semua warga kantor di lantai ini yang menghabiskan waktu makan siangnya di luar. Tora menengok pada ruangan kaca Ny. Willis yang biasa menikmati makan siang sendiri di dalam ruangan pun kali ini senyap!

Kemana semua orang?

 

“Kelinci bodoh, kubilang berhenti!”

 

Tora benar-benar kesal sekarang. Diambilnya sebuah gagang pel yang menganggur di sudut ruangan di dekat lorong untuk melumpuhkan kelinci itu. Tetapi cara itupun sepertinya tak berhasil karena kelinci itu melompat dengan gesit. Tora sudah kelelahan, ia berhenti dengan nafas terengah-engah. Tetapi ia tak kehabisan akal saat ia menemukan suatu cara untuk menjebak kelinci itu. Ia tahu di ujung sana hanya ada tangga darurat dan sebelahnya adalah lift. Seingatnya tangga darurat itu sedang di perbaiki karena pegangannya yang lapuk. Hanya lift yang bisa digunakan. Ia berencana untuk menggiring kelinci itu masuk ke dalam lift lalu meringkusnya. Tapi bagaimana caranya?

 

Tora berlari dan mengambil sapu kain lebar yang biasa digunakan para Office Boy kantor untuk membersihkan debu lantai. Dengan ini dia akan mendorong dan memaksa si kelinci pergi ke tempat yang dia ingini. Tora mencari sapu tersebut dan menemukan di dalam pantry. Hebat, di sinipun sepi tak berpenghuni! Batinnya.

 

Sekuat tenaga dia menyongsong kelinci itu. Kelinci itu nampak panik dan melompat secepat mungkin. Tora bertaruh dia akan berhasil untuk meringkus kelinci aneh tersebut. Ia tak akan kalah! Jika iya, hancurlah karirnya!

Kelinci itu akhirnya terpojok, dia mencari jalan lain dan menemukan sebuah lift. Tora yang senang targetnya terkena jebakan semakin bernafsu untuk mendapatkannya.

 

“Nah! Mau kemana kau sekarang?”

 

Kelinci itu menatap Tora. Tora bersiap untuk menangkapnya. Lift di depan kelinci itu terbuka, kelinci aneh itu segera masuk. Tora kegirangan karena berhasil menangkap kelinci aneh tersebut. Kali ini dia tak akan lari lagi. Tora berjalan cepat ke arah lift yang hampir tertutup dan menarik paksa pintu liftnya. Dan yang terjadi kemudian, Tora mundur beberapa langkah hingga badannya membentur dinding lorong.

 

“Hhh!!”

 

Jantungnya berdebar keras kala itu. Betapa tidak, kelinci yang sudah ia jebak masuk ke dalam lift sekarang menghilang!

 

Ketakutan Tora semakin besar. Namun perlahan ketakutan itu berubah menjadi rasa penasaran tinggi tatkala ia melihat sesuatu tergeletak di dalam lift kecil itu. Dengan langkah yang ragu-ragu ia mendekati lift dan mencoba memastikan tebakannya. Selain kertas grafik yang menempel di kaki kelinci tadi, kali ini Tora juga menemukan sebuah kartu.

 

“Kartu As?”

 

Ia kebingungan saat memungut benda tersebut. Apakah kucing itu adalah kucing ajaib yang bisa sulap? Tapi semuanya ini masih terasa ganjal baginya. Banyak sekali pertanyaan yang muncul di kepalanya mengenai kemunculan kelinci berompi tersebut. Tora seperti sedang digiring untuk menebak sesuatu yang tak pernah dia hadapi sebelumnya.

 

“Sebenarnya, tadi itu apa…?”

 

Continued…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar