Author : Duele
Finishing : Januari 2013
Genre : Fantasy
Rating : PG15
Chapter(s) : 9/on going
Fandom(s) : Dir en Grey
Pairing(s) : DiexShinya
Note Author : Thanks for keep
reading this story J
*****
“Bagaimana
keadaannya?” Kaoru memeriksa.
“Panasnya sudah
turun.” Shinya mengganti kompresan kain di dahi Die.
Kaoru
mengangguk-angguk.
“Shinya, nanti
setelah selesai, bisakah kau bertemu dengan kami?”
*****
Mereka
berkumpul mengelilingi api unggun. Baik Shinya, Kyo, Kaoru maupun Hakuei hanya
saling menatap satu sama lain. Kaoru akhirnya bertanya mengenai siapa jati diri
Shinya yang sebenarnya, karena dia ingat sebelum Jenderal Die tak sadarkan
diri, dia mengungkit-ungkit mengenai siapa Shinya. Tetapi karena kondisinya
yang memburuk, mereka tak sempat diberitahukan.
“Oleh karena
itulah, jika memang kau tidak berkeberatan, kami ingin tahu mengenai siapa
dirimu yang sebenarnya.” tandas Kaoru.
Shinya melirik
Kyo yang menatapnya singkat. Mungkin inilah saatnya bagi Shinya untuk
mengatakan siapa dirinya yang sebetulnya.
“Aku…
penyihir,” jawab Shinya. “….penyihir putih.”
Kaoru dan
Hakuei tercengang bersamaan. Mereka tak menyangka bahwa Shinya adalah penyihir
putih. Bangsa yang telah lama hilang dan punah semenjak beberapa dekade.
“Lalu, tanda di
dadamu? Bukankah itu adalah tanda untuk penyihir hitam?” Tanya Kaoru. Dulu,
saat Jenderal Die menemukannya, Kaoru ingat betul bahwa dia melihat tanda yang
sama di dada Shinya dengan penyihir-penyihir hitam yang lain.
“Itu tanda
tipuan.” Sambung Kyo. “Setidaknya saat Shinya diketemukan oleh Ayahku,”
lanjutnya. “Sebetulnya, Ayahku menemukan bayi Shinya terdampar di tepi sungai.
Saat dia melihat bayi Shinya untuk pertama kalinya, dia sadar bahwa Shinya
adalah keturunan Penyihir Putih.”
Penyihir putih
adalah rival berat bangsa penyihir hitam. Penyihir putih berdiri dengan dasar
nilai yang menyanjung kedamaian dan ketentraman hidup. Mereka memiliki ilmu
sihir yang secara level jauh lebih tinggi daripada penyihir hitam. Namun,
karena jumlahnya yang semakin sedikit, penyihir hitam dengan mudah
menghancurkan bangsa penyihir putih dan menghabisi semua keturunannya. Penyihir
hitam percaya bahwa jika mereka membiarkan keturunan dari bangsa penyihir putih
hidup barang seorang saja, maka penyihir itu akan membuat perubahan besar yang
dapat menghancurkan bangsa penyihir hitam.
Sejak dua dekade,
nama Ursula adalah nama yang paling terkenal di kalangan penyihir hitam dan
dianggap sebagai ratu dari penyihir hitam. Dialah orang yang benar-benar
antipati terhadap bangsa penyihir putih dan mengerahkan segala penyihir hitam
di penjuru dunia untuk mencari dan membunuh siapapun mereka yang bertanda
penyihir putih.
“Invasi itu
membuat orang tua Shinya harus menyelamatkan bayi Shinya ke dalam hutan
terlarang meskipun resikonya berat. Bisa saja Shinya terbunuh saat itu.” Lanjut
Kyo.
“Lalu kenapa
kau membantunya?” Hakuei penasaran. “Bukankah kalian bangsa Elf lebih banyak
membantu penyihir hitam?”
“Tidak semua
bangsa Elf tunduk pada bangsa penyihir hitam. Ayahku salah satunya,” Kyo
bercerita. “Setelah kami dibuang oleh Ursula, kami pergi ke hutan terlarang dan
menetap di sana. Tepat beberapa hari setelah kami mengungsi, Ayahku menemukan
Shinya dan merawatnya. Untuk menyelamatkannya agar tetap hidup, Ayahku membuat
tanda yang serupa dengan bangsa penyihir hitam di dadanya, sehingga ketika kami
bertemu bangsa penyihir hitam mereka hanya akan mengira kami abdi yang terbuang
oleh Ursula.”
“Jadi, selama
ini kau berbohong pada kami?”
“Itu karena
Shinya harus menunggu saat yang tepat.”
“Saat yang
tepat?” Kaoru mengulang. “Saat seperti apa?”
Kyo menoleh
pada Shinya yang kelihatan agak kikuk menjawab.
“Kalian tahu
kelebihan bangsa penyihir putih selain tingkat sihirnya yang tinggi?” Kyo
memandang kedua pria itu. “Mereka bisa meramal masa depan.”
Kaoru dan
Hakuei langsung menatap Shinya dengan kaget.
“Sejak kecil,
Shinya sudah bisa melihat masa depan yang belum diketahui orang lain. Dia
pernah mengatakan bahwa suatu hari akan ada ksatria yang akan menggulingkan
penyihir hitam dan membinasakan mereka dan membawa kehidupan damai bagi umat
lain. Itu sebabnya, di hutan terlarang Shinya menolong para korban perang,
mereka para prajurit yang terdampar di sana. Dia mengobatinya dan berharap
salah satu di antara mereka adalah ksatria yang dimaksud.”
“Berarti…”
Kaoru ragu.
“Tapi aku tak
yakin kalau yang dia maksud itu si angkuh itu!” tutur Kyo sadis.
Kaoru dan
Hakuei saling menatap satu sama lain. Kemudian, Pangeran Kaoru melihat pada
Shinya.
“Apakah
sekarang sudah saat yang tepat bagimu?” tanyanya.
“Kalian semua
bisa membawa perubahan. Maka dari itu aku berusaha membantu kalian. Aku harap
kalian berhati-hati setelah ini. Karena ancaman bahaya dari penyihir-penyihir itu
sepertinya akan semakin jahat dan mengerikan.”
“Kau juga sama
saja, Shin!” celetuk Kyo. “Kau juga harus lebih berhati-hati, karena sekarang
kaupun jadi incaran mereka!”
“Ah, benar
juga!” sahut Hakuei. “Shinya sekarang sudah jujur, mungkin saja
penyihir-penyihir itu juga sudah tahu siapa dirimu yang sebetulnya. Jadi,
kaupun terancam.”
“Kami akan
melindungimu, Shin!” kata Kaoru.
“Bagaimana
kalian akan melindunginya, sementara kalian ini lebih sering dibantu oleh
Shinya.” Sindir Kyo.
“Aku yang akan
melindunginya.”
Mereka semua
melirik pada sumber suara tersebut. Kyo langsung memasang muka sebal saat
melihat Die muncul dengan wajah lesu tapi memaksakan diri.
“Jenderal Die!”
Hakuei membantunya untuk berjalan.
Shinya
memandangi pria itu.
“Aku yang akan
melindungimu, jika kau benar-benar penyihir putih.”
*****
“Benarkah itu
Pangeran? Bahwa Shinya adalah Penyihir Putih?” Hakuei berbisik-bisik.
“Iya.”
“Aku masih
belum bisa percaya sepenuhnya. Bagaimana mereka bisa bertahan dan menghilang selama
hampir tiga dekade?” Sambung Kaoru.
“Entahlah. Tapi
aku melihatnya..”
Ketiga pemuda
itu sedang berdiskusi. Mereka masih berusaha menyimpulkan hal-hal yang berhubungan
dengan penyihir putih yang sebetulnya belum pernah mereka lihat.
“Tapi menurut
buku, bukankah penyihir putih penampilannya agak mencolok? Dengan rambut putih,
mata yang indah, baju yang bersih seperti dewa.” Hakuei, anak yang paling
pintar saat sekolah di istana tentu saja sangat mengetahui isi buku sejarahnya.
Ia masih berpegangan pada ilmu buku yang ia ketahui. Baginya, Shinya tidak
seperti penyihir putih walaupun dia sangat baik dan manis.
“Aku melihat
itu semua.” Die bersikeras.
“Sungguh? Di
mana?” lanjut Kaoru.
“Saat aku
terperangkap dalam sihir genangan air itu, Shinya menolongku ke dalam dasar
danau. Aku melihat semuanya berubah. Aku memang tak yakin itu Shinya atau
bukan, tapi dia sudah menolongku.”
“Hmm…”
Kaoru kemudian
langsung memasang wajah berpikirnya. Sama halnya dengan Hakuei yang masih tidak
bisa percaya. Terus terang saja, kenyataan menemukan Penyihir Putih itu seperti
mukjizat yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Banyak hal yang mereka
ketahui dari buku, namun mereka juga tidak banyak tahu tentang penyihir putih
yang sebetulnya. Sejarahwan tak banyak menulis mengenai bangsa itu. Mereka
hanya menyebutkan bahwa penyihir putih adalah penyihir yang paling baik bagi
kaum lain karena mereka mau hidup berdampingan dengan para peri dan manusia.
“Lalu apa yang
harus kita lakukan padanya?”
Shinya memandang
ketiga pemuda itu berkedip-kedip. Shinya merasa aneh karena ketiganya berubah
menjadi sangat baik dan manis. Sebetulnya, kata-kata itu mungkin hanya cocok
ditujukan kepada Die. Karena pria pemarah itu akhirnya tak pernah berkata kasar
lagi padanya. Sekarang dia malah mempersilahkan Shinya memakai kudanya.
“Kenapa harus
kudaku!?” protes Die di belakang.
“Kan, kau
sendiri yang bilang akan melindunginya? Itu berarti kau harus berkorban paling
banyak. Setidaknya, berikan kudamu padanya.” Ujar Kaoru berbisik-bisik.
“Benar. Benar.
Kudamu paling kuat, Jenderal. Shinya harus diberikan yang terbaik.”
“Sepertinya aku
menyesal sudah mengatakan hal itu kemarin.”
“Oh, ayolah,
Jenderal.” Hakuei menepuk pundaknya.
Die berdiri di
depan Shinya sambil menunjuk kudanya di belakang.
“Kau bisa
memakai kudaku kalau kau mau. Atau kau pilih saja kuda yang mana yang menurutmu
paling enak kau tunggangi.” Kata Die.
Kaoru membalas
menatap galak pada Die yang tersenyum sinis padanya. Shinya hanya diam saja.
“Hahaha!” Kyo
tertawa. “Lucu sekali!”
“Apanya yang
lucu?!” Die menggeram.
“Setelah kalian
tahu bahwa Shinya adalah penyihir putih, kalian langsung berbaik hati. Apa
kalian tidak malu dengan sikap kalian dulu? Kalian memenjarakan Shinya dan
memperlakukannya seperti seorang tawanan. Hahaha! Lucu sekali!”
“Itu karena
kami tidak tahu bahwa Shinya adalah teman.” Jawab Kaoru di saat semua orang
membuang muka.
“Teman? Apa kau
yakin Shinya mau menjadi teman kalian? Hahahaha!”
Mereka melihat
pada Shinya dengan mata yang ragu. Benar apa kata srigala berbulu perak itu.
Mungkin saja sekarang Shinya tak sudi berteman dengan mereka karena ulah jahat
mereka di masa lalu.
“Terima kasih
atas tawarannya. Tapi aku tidak bisa menerimanya.” Kata Shinya.
Duh!
Die menatap
yang lainnya dengan bingung. Jangan-jangan Shinya memang sudah tidak mau
bekerjasama dengan mereka.
“Ka—kau yakin,
Shin? Kalau kau membutuhkan sesuatu yang lain, katakan saja.” Ujar Kaoru.
“Tidak. Terima
kasih.” Shinya menggeleng.
“A—apa kau
mungkin membutuhkan peralatan obat? Aku bisa menyiapkannya.” Sambung Hakuei.
Lagi-lagi
Shinya menggeleng. Die termenung di tempatnya. Kedua temannya bersikeras ingin
menahannya, namun itu seperti menjatuhkan harga diri mereka. Ini membuat Die
sedikit kesal. Maka dia memotong pembicaraan mereka sebelum semuanya
menggadaikan harga diri mereka.
“Lakukan apa
maumu.” Katanya. “Kalau kau mau pergi, silahkan. Kami tak melarang. Jika kau
merasa hanya sampai di sinilah tugasmu membantu, kami berterima kasih.” Tutur
Die dingin.
“Jenderal!”
Mereka berusaha
menyadarkan Die. Tetapi justru sebetulnya yang paling sadar adalah Die. Die tak
mau mereka semua mengorbankan harga diri mereka untuk memohon bantuan penyihir;
bahkan penyihir putih sekalipun, dan membuat mereka nampak seperti kaum lemah
yang sangat membutuhkan bantuan orang lain. Sejak awal mereka sudah seperti
itu, dan dengan ada atau tidaknya Shinya dalam kelompok mereka, Die tidak akan
gentar.
Tanpa
mempedulikan rutukan yang lain, Die naik ke kudanya dan bersiap untuk pergi.
“Anu..” Shinya
berkata. Die menoleh padanya. “sebetulnya aku tidak bisa menerima kudamu
karena…” mereka semua terdiam. “aku tidak bisa mengendalikan kuda.”
Gubrak!
*****
“Jadi dia
benar-benar penyihir putih?” Uruha maju selangkah ke arah cermin ajaib yang
memperlihatkan rombongan Pangeran Die di sana.
Toshiya duduk
dengan sikap malas, ia tidak terlalu memperhatikan cermin tersebut saat Uruha
kelihatan sangat serius memperhatikan mereka. Kepala Toshiya miring ke samping
sambil melihat gelagat Uruha yang gusar.
“Aku sudah
mengatakannya kepadamu, kan?” ujarnya malas.
“Apa kita perlu
memberitahu Ursula?” ia menoleh pada Toshiya.
“Kurasa dia
sudah tahu, biarkan saja.” Kali ini kaki Toshiya naik ke kursi lainnya.
“Ada apa
denganmu?”
“Tidak ada
urusannya denganmu. Sebaiknya kau pikirkan rencana bagaimana melenyapkannya.”
Uruha terdiam,
ia tetap memandangi Toshiya dengan wajah datar.
“Kau yakin mau
menghabisinya?”
Dari balik bulu
mata lentiknya, Toshiya melirik ke arah pemuda itu. “Apa kau berpikir yang
lain?” sorot matanya berusaha menelanjangi pikiran Uruha yang tak berekspresi.
“Aku harap kau tidak memiliki rencana lain selain menghabisi mereka semua,
Uruha.”
Uruha terdiam.
“…atau kau
punya rencana licik yang lain? Hihihi...” Toshiya terkikik.
Mimik Uruha
berubah. Matanya berkilat menatap benci pada sosok Toshiya yang sok berkuasa.
Hingga kemudian pemuda itu memutuskan untuk pergi dari sana saat tawa Toshiya
mulai terdengar keras. Toshiya melirik pada sosok Uruha yang telah menghilang,
tawanya perlahan raib. Dilihatnya cermin besar yang masih memperlihatkan
rombongan itu. Namun Toshiya hanya berfokus pada satu orang di antara mereka.
*****
“Kalian sadar
tidak, sebelumnya gunung di depan kita itu tadinya ada dua.” Ujar Hakuei. “Sekarang
gunung itu menghilang.”
“Ah, mana
mungkin. Kau salah lihat barang kali.” Sahut Die.
“Dia tidak
salah lihat,” lanjut Shinya. “Gunung yang kalian lihat dulu, memang terlihat
ada dua.”
“Lalu? Kenapa
menghilang? Memangnya gunung punya kaki?” Die hampir tertawa.
“Gunung itu
memang bisa berpindah-pindah.”
“Mustahil…”
Kyo yang
berjalan tepat di belakang merekapun ikut menyahut.
“Kalian bangsa
hobbit yang tahunya cuman berperang demi mendapatkan wilayah jajahan mana
mengerti hal-hal seperti itu? Jauh dari dunia kalian banyak hal yang tak bisa
diterima oleh akal. Itulah kenapa ada banyak penyihir di muka bumi ini.”
Jelasnya.
Die melirik
padanya sambil mencibir, “Sok!” dibalas dengan geraman sebal dari srigala itu.
“Berarti,
makhluk-makhluk seperti dalam cerita seperti hantu dan Iblis itu benar-benar
ada?” sambung Hakuei lagi.
“Tentu saja.”
Seloroh Die cepat. “Kalau tidak, mana mungkin kau bisa melihat siluman srigala
yang bisa bicara, hahahaha!”
“Kau!” Kyo
menggeram semakin kesal.
“Sudah. Sudah.
Obrolannya dilanjutkan nanti saja.” Kaoru memotong. “Jenderal, persediaan
makanan kita menipis. Kita harus segera memangkas perjalanan kita dengan
berlari sebelum hari gelap.”
“Baiklah kalau
begitu. Haku, Kaoru… kita balapan sampai ke desa selanjutnya, ya!!”
“Siapa takut!”
seru Hakuei.
“Hey, Nona…
kalau kau tidak mau jatuh, berpeganganlah pada pelana!”
“Jangan
memanggilku ‘Nona’!” sergah Shinya sebal.
“Hahaha!!”
Kuda mereka
mulai berlarian dengan kencang. Mereka saling berkejaran dan saling
berseru-seruan satu sama lainnya. Sebenarnya mereka tetaplah anak-anak dari
bangsa manusia biasa. Pangeran-pangeran muda yang masih sedang bertumbuh dan
bermain. Walaupun pada awalnya mereka merasa bahwa perjalanan ini sebagai
beban, namun akhir-akhir ini mereka mulai menikmati perjalanan mereka. Terutama
Die.
“Pelan-pelan!”
tanpa sadar Shinya berbalik dan memegangi tubuh Die yang melonjak bersamanya.
Shinya tak pernah naik kuda sebelumnya. Dibawa berlarian dengan kuda secepat
ini benar-benar membuatnya takut.
“Ah, tenang
saja! Kalau kita muncul paling terakhir kita akan kalah!”
“Ugh!!” Shinya
benar-benar takut dibuatnya. Ia tidak berani melihat sekelilingnya kecuali
berpegangan pada Die. Die hanya tersenyum sambil melihat arena pacu di depannya.
*****
“Oh, sial!”
Kaoru merutuk kesal. “Aku pikir kita salah jalan.”
Mereka semua
saling menatap satu sama lain. Kaoru kelihatan menyesal sekali. Karena dialah
yang memegang peta dan menjadi penunjuk jalan selama ini. Bagaimana bisa dia
salah membaca peta?
Sekarang mereka
tersesat di sebuah hutan pohon pinus yang mereka sama sekali tidak tahu di mana.
Sepengetahuan Kaoru di petanya tak pernah ada lahan untuk hutan pinus. Kini
mereka tersesat tak tahu jalan. Apalagi keadaan sudah gelap.
“Sudahlah.
Bukan salahmu.”
“Tapi—”
“Kau kelelahan,
Kaoru.”
“Aku…”
“Tidak apa-apa,
Pangeran Kaoru. Lebih baik kita bermalam saja di sini. Tanah di sini lapang,
jadi kita bisa melihat keadaan dengan lebih baik daripada di hutan-hutan yang
sebelumnya.” Sambung Hakuei, menghibur.
Kaoru hanya
tersenyum saat Die mengangguk untuk membenarkan perkataan Hakuei.
“Baiklah kalau
begitu.” Katanya.
“Aku akan
mencari air.” Tutur Hakuei.
“Aku ikut.”
Sahut Kyo. “Aku haus.”
“Bagus.”
Sementara
Hakuei dan Kyo pergi mencari sumber air, Die mencoba mengambil peralatan mereka
di atas kuda. Shinya memandangi Kaoru yang kelihatan menggeleng-geleng sambil
memperhatikan kertas petanya. Tiba-tiba saja Die berdiri di belakangnya.
“Kau khawatir?”
ujarnya setengah berdeham.
Shinya menoleh
padanya, namun Die melewatinya seolah tidak ingin mendapat jawaban dari Shinya.
Shinya menghela kemudian mencoba membantunya sebisa mungkin. Tetapi mereka tak
mampu mendirikan tendanya karena tenda mereka setengahnya rusak karena telah
terbakar.
“Kalian butuh
bantuan?” tawar Kaoru.
“Kurasa kita
harus membeli kain tenda baru.” Jawab Die sambil membentangkan tenda milik
mereka dan tanpa sengaja…
Wreekk!!
Mereka semua
diam.
“…bagus.” Die
menyesal. “Sepertinya malam ini kita semua akan tidur di luar.”
Kaoru terkekeh.
Shinya tak berekspresi sama sekali.
Tengah
malamnya, Jenderal Die terbangun karena rasa gatal akibat nyamuk di sekitarnya.
Ia memandangi sekelilingnya. Dilihatnya, Hakuei yang tertidur sigap sambil
memeluk pedangnya. Di sampingnya, srigala berbulu perak menyebalkan itu juga
kelihatannya sudah pulas. Shinya tertidur bersandar padanya, terselimuti oleh
jubah merah pemberian darinya. Mereka semua nampak tidur begitu nyenyak. Die
juga harus melanjutkan tidurnya. Tetapi baru saja dia mengambil posisi tidurnya
kembali, matanya melihat sosok Kaoru yang masih terjaga.
“Kaoru..”
panggilnya. Pemuda itu menoleh. Ternyata benar, dia masih belum tidur. “Kau
belum tidur?”
“Aku tidak
mengantuk.” Jawabnya sambil melayangkan senyum. Namun, walaupun dia berkata demikian
wajahnya mengatakan lain. Kaoru kelihatan lesu sekali. Die bangun. Ia pun duduk
di sebelah pria itu.
“Apa kau masih
memikirkan wanita itu?” tanyanya, pelan sekali. Ia tak mau yang lain terganggu,
atau mungkin dia tak ingin mereka mendengar pembicaraan mereka.
Kaoru tidak
langsung menjawab. Ia hanya menatap kobaran api yang semakin lama semakin
mengecil baranya.
“Kau
benar-benar jatuh cinta pada wanita itu?” tanya Die lagi. Kaoru tetap tidak
menjawab. “Dia Toshiya, bukan Tashiyamu. Dia menyamar menjadi Tashiya agar bisa
menjebakmu. Kuharap kau tidak akan terkecoh. Ini tipu muslihat penyihir itu.”
“Aku tahu.”
Jawabnya. Tetapi ada semacam perasaan yang mengganjal di hatinya. Semacam luka
tak terlihat yang Kaoru rasakan seperti saat dia melihat kematian Tashiya di
depan matanya dulu. “Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku, Jenderal.”
“Aku tidak
khawatir. Aku tahu kau orang hebat.” Ujarnya. Kaoru tersenyum simpul, tidak
bermakna. “Tetapi dia mengkhawatirkanmu…” lanjut Die dengan suara semakin
pelan.
Kaoru menoleh,
Die memandangi Shinya yang tertidur. Kaoru ikut melihat ke arah penyihir itu
dengan mata nanar.
“Baiklah. Kalau
kau belum ngantuk, kau sekalian berjaga saja. Aku mau tidur.” Kata Die beranjak
tiba-tiba. Dia kembali di posisinya di dekat pohon.
“Jenderal…”
panggil Kaoru.
“Hm?”
“Apa kau yakin
Shinya khawatir kepadaku?”
Die diam
memandangnya. Mimiknya sedikit berubah. Kemudian, matanya menghindar melihat ke
tanah dengan malas.
“Iya.”
Jawabnya. Terdengar seperti nada terpaksa, tetapi dia tetap menjawabnya. “Ng…
sudah, ya. Aku tidur.” Katanya kemudian memejamkan matanya.
Kaoru hanya
tersenyum kecil sambil melihat ke arah api.
*****
Shinya
mendongak ke atas sejak tadi. Matanya menatap penuh minat pada buah-buahan
segar yang menggantung di atas pohon. Tetapi Shinya tidak tahu bagaimana cara
mengambilnya. Ia sudah mencoba melemparkan beberapa buat batu ke atas tetapi
lemparannya tidak ada satupun yang kena. Kemudian dia mencoba untuk mengambil
kayu ataupun ranting-ranting yang panjang tetapi tak ada kayu yang mampu
menggapai buah tersebut. Pohon ini terlalu besar dan sangat tinggi.
Dari jauh
terdengar suara Hakuei dan Kyo yang saling bersahut-sahutan mencari makanan tak
jauh dari tempatnya berdiri. Tetapi sosok mereka tidak nampak. Shinya tetap
memandangi pohon itu sambil berpikir. Lalu ia mencoba lagi, mengambil sebuah
batu untuk dilemparkan ke atas. Berharap lemparannya kali ini bisa mengenai
buah itu dan jatuh. Tapi lagi-lagi dia tidak mengenainya sama sekali. Shinya
benar-benar putus asa. Saat sedang berputus asa begitu, Die muncul secara
tiba-tiba.
“Kau sedang
apa?”
“Itu…” Shinya
menunjuk pada kumpulan buah besar yang menguning di atas sana.
“Ooh… kau mau
mengambilnya.” Ujarnya, dilihatnya ada sebuah batu di dekat pohon itu. Die mengambilnya
dan melemparkannya dengan sekuat tenaga. Tapi sayang, lemparannya terlalu
tinggi dan tidak mengenai sasaran. “Ah, meleset!” kemudian dia mencari beberapa
buah batu lagi dan melemparkannya lagi. Hampir berhasil, saat batu itu mengenai
sedikit bagian buahnya.
“Ah!” Shinya
bertepuk dengan wajah gembira sambil terus melihat ke arah buah yang berhasil
dikenai oleh Die. Die meliriknya sambil tertawa kecil. Ia mengambil beberap
buah batu lagi. Namun kali ini tak ada yang berhasil.
Saat Die sudah
merasa sedikit kecapekan karena mendongak terus, Hakuei muncul.
“Jenderal,
kalian sedang apa?” tanyanya. Die dan Shinya menoleh padanya, ia membawa
sekantung buah dan umbi-umbian.
“Dari mana kau
dapatkan itu semua?” Die takjub.
“Alah, soal
mencari makanan di hutan, sih, kecil.” Haku sombong. “Oh, ya. Kalian sedang
apa?”
“Shinya ingin
buah itu,” jawab Die. Shinya mencelos menatap Die yang tidak menatapnya. Ia
menunduk.
“Oh, mudah.”
Kata Hakuei. “Aku bisa memanjat. Aku panjat saja, ya!” katanya.
Ketika Hakuei hendak
melepaskan sepatunya, Kaoru muncul kali ini. Pemuda itu kelihatan penasaran
kenapa teman-temannya berkumpul di sana.
“Ada apa ini?”
“Aku mau
mengambil buah itu.” Jawab Hakuei melepaskan satu lagi sepatunya.
“Kelihatannya
enak.” Katanya.
“Ya, enak.”
Sahut Shinya.
Die meliriknya,
kemudian dia menarik Hakuei yang hendak menuju ke pohon tersebut.
“Daripada kau
memanjat lama, bagaimana kalau Kaoru saja.” Katanya. Mereka semua terkejut.
“Kaoru, kau kan bisa memanah. Daripada menunggu si lamban ini naik pohon, lebih
baik kau pakai panahmu saja.” Die berkata antusias sambil menarik Hakuei dari
sana.
“Ooh…”
“Cepat bawa
sepatumu.” Bisik Die pada Hakuei. “Nah, Kaoru. Kau bantu dia, ya! Aku tadi
sepertinya melihat ayam hutan tak jauh dari sini. Ayo, Haku!”
“Ba—baik!”
Kaoru dan
Shinya melihat Die pergi bersama Hakuei dengan wajah yang bingung.
“Ya sudah,
Shin. Biar kupanah saja buah itu. Semoga kena.”
Tak jauh dari
sana, Die dan Hakuei berjalan. Hakuei bertanya kenapa tiba-tiba Die mengajaknya
pergi dari sana. Tapi Die tidak banyak menjawab soal pertanyaan itu. Dia malah
mengalihkan pembicaraan soal babi dan ayam hutan yang mungkin saja ditemukan.
Hakuei bingung. Namun beberapa saat kemudian, mereka mendengar suara seruan
Shinya.
“Kena!”
Die sempat terdiam,
lalu kembali melanjutkan jalannya. “Aku mau ke sungai.” Katanya kemudian
berbelok arah.
Hakuei mematung
di sana dengan wajah yang bingung. “Oy, Jenderal! Tunggu!”
Mereka makan
dengan tenang. Sumber makanan yang mereka dapatkan hari ini cukup melimpah
sehingga mereka makan sangat banyak dan kekenyangan. Tapi sepertinya yang
merasa demikian hanya Hakuei, sementar Die kelihatan tidak bersemangat.
Walaupun beberapa jenis makanan tersedia, Die tak banyak menyentuhnya.
“Kau akan
habiskan itu?” Tanya Hakuei menunjuk daging bakar di sisi api dekat Die. Die
mengambilnya, kemudian memberikannya kepada Hakuei. “Aku tidak lapar. Kau makan
saja.”
Dengan senang
hati ia menerimanya karena memang sudah lama mereka tak makan daging. Die
beringsut dari tempat itu ke tempat yang lebih sepi.
“Kau mau ke
mana, Jenderal?”
“Ke sungai.”
“Kebelet, ya?
Hahaha…” goda Hakuei. Tetapi tawanya cepat surut saat sadar tak ada satupun
yang tertawa di sana.
Cemplung!
Batu itu
mungkin sudah tenggelam ke dasar sungai saat Die melemparkannya. Pria itu duduk
menyendiri di atas sebuah batu besar di pinggiran sungai. Die hanya ingin
melewatkan waktunya sendirian kali ini walaupun itu dalam kegelapan sekalipun.
Tetapi cahaya dari api unggun dari perkemahan mereka masih terlihat sehingga
tempat itu tidak gelap sepenuhnya. Sewaktu Die sedang menyendiri, ia tak
menyadari bahwa ada seseorang datang ke dekatnya.
“Kau mau
manisan mangga?”
Die tersentak,
sontak dia berbalik. Dilihatnya Shinya berdiri tak jauh darinya. Mereka
bertatapan sebentar, kemudian Shinya mendatanginya dengan langkah yang
terbata-bata.
“Kau mau
mencoba manisan mangga?” ulangnya. Di tangannya tersaji segenggam potongan buah
menguning yang kelihatannya sudah agak kecoklatan. Shinya menatap pemuda yang
masih terdiam di tempatnya. “Warnanya memang tidak menarik, tapi rasanya enak.
Ini tidak terlalu asam. Jadi ini aman untuk lambung.” Jelasnya.
Die masih
memandanginya. Wajah putih yang tersembunyi di balik kerudung merah. Gaun
menjuntai yang mengiringi setiap langkahnya. Dan gerakan lamban seperti anak
perempuan. Kenapa Die bisa bertemu dengan orang semacam dia? Orang yang
benar-benar di luar dugaan, bahwa dia adalah penyihir putih sang legenda yang
hilang.
Die mengambil
sepotong mangga dari tangan Shinya. “Terima kasih.” Dia memakannya. Ekspresi
awalnya kelihatan kecut, namun setelahnya rasa manis yang Die kecap dalam
mulutnya. “Ini enak.”
Shinya tersenyum.
Ia kelihatan puas sekali mendengar respon positif dari Die. Kemudian dia
bergerak mendekat ke bebatuan di samping Die. “Kuletakan di sini.” Katanya
sambil menaruh sisa potongan buah tersebut.
Die menelan
potongan mangga di dalam mulutnya dengan rasa tercekat sewaktu Shinya berbalik
untuk kembali. “Tunggu,” tanpa sadar Die memintanya berhenti. Saat Shinya menengok
kembali kepadanya, Die sadar dia tak tahu kenapa dia meminta Shinya berhenti.
“Umm…” Die mencari-cari kata. “Terima kasih.”
Shinya tak
berekspresi kali ini, dia berbalik dan berjalan lagi. Die tertegun melihat
Shinya pergi, kemudian matanya melihat ke arah perkemahan yang kelihatan masih
ramai dengan suara-suara yang ia kenal. Die melihat sisi lain dari gelapnya
sungai dan terdiam. Sejenak, dia menginginkan Shinya tetap di sini. Tetapi Die
berhenti berpikir demikian dan terkadang dia seperti orang kesurupan tiba-tiba
karena sebentar kemudian dia merasakan bahwa Die tidak membutuhkan Shinya sama
sekali. Terkadang, Die tak mengerti dengan jalan pikirannya sendiri.
Tanpa
sepengetahun Die, sesekali Shinya menoleh ke belakang tatkala Die memandangi
sungai seorang diri. Shinya sungguh tidak tahu mengapa pemuda itu akhir-akhir
bersikap aneh. Menjadi tidak bersemangat dan pemurung. Shinya takut hal ini
dikarenakan karena dia telah tahu siapa jati diri Shinya yang sebenarnya. Dan
mungkin tanpa Shinya sadaripun, dia menjadi khawatir.
****
Sebuah elips
berwarna gelap mendadak muncul di dinding. Sebuah kaki muncul dari dalamnya
disusul dengan anggota tubuh lainnya.
Tuk!
Suara nyaring
dari tapak sepatu kulit yang Uruha kenakan menyapa lantai bebatuan di dalam gua
lembap tersebut. Ada suara titik-titik air yang mengiringi setiap langkah
pemuda itu saat dia masuk ke dalam perut gua lebih dalam. Beberapa lorong dalam
gua mungkin mampu membuat orang yang baru menginjakan kaki ke tempat itu
menjadi terkecoh. Tetapi, Uruha sudah mengetahui pasti lorong mana yang akan
dia sebrangi.
Ia melewati
lorong gelap tersebut dan sampai di tengah-tengah ruangan besar di perut. Di
tengah sana sebuah bongkahan es mengkilap terasa mengalirkan hawa dingin.
Dinding-dinding batu dari gua tersebut nampak memutih dan mengkilap, sama
seperti bongkahan batu di depannya. Palung-palung besar di atas langit-langit
gua yang kelihatannya gelap dan kotor pun sama; beku. Di balik bongkahan es
besar itu ada seorang anak kecil berdiri sambil mengalirkan titik-titik salju
ke sekeliling bongkahan es tersebut. Uruha mendekatinya. Anak kecil yang
berpakaian serba putih dan nampak pucat itu membuka matanya ketika dia
menyadari kehadiran si penyihir tampan itu.
“Kau boleh
pergi sekarang.” Kata Uruha.
Anak kecil
bermata abu-abu itu mengangguk kemudian mundur perlahan dan menghilang ke
dinding es. Uruha menoleh pada bongkahan es di sebelahnya. Matanya nanar
memandang isi dari bongkahan tersebut. Ia menyentuh es tersebut, kulitnya
terasa segera membeku dan dingin. Bongkahan es itu seolah tak akan pernah bisa
mencair walaupun Uruha berusaha untuk melelehkannya. Namun, jika dia salah
melelehkannya maka manusia di dalam bongkahan es tersebut akan ikut mencari.
Uruha menghela
nafas saat dia rasanya dia menemui jalan buntu untuk menyelamatkan pria di
dalam bongkahan es tersebut. Namun, tiba-tiba menatap tajam pada arah lain. Ia
ingat bahwa sekarang dia sudah menemukan jalan lain agar bisa melelehkan
bongkahan es ini tanpa melukai pria di dalamnya.
“Penyihir
itu….” Gumamnya. “Aku harus mendapatkannya.”
Ia mengepalkan
tangannya kuat.
Continue….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar