expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

01 Maret 2013

EXODUS (Part 2)

Title : EXODUS

Author : Duele

Finishing : Mei-Juli 2012

Genre : Fantasy, Romance, AU

Rating : PG15

Chapter(s) : 2/on going

Fandom(s) : Dir en Grey

Pairing(s) : DiexShinya

Note Author : sorry for the late up date D:

 
 

*****
 
 

Toshiya melipat kedua tangannya di atas perut. Matanya yang tajam menatap berkilat-kilat pada bayangan cermin air yang memancar entah dari mana datangnya. Di dalamnya, nampak bayangan orang terlihat seperti putaran film yang gambarnya tak terlalu terang. Redup kadang beriak. Ia hanya memerhatikan seseorang yang terlihat berjalan dengan gontai. Seseorang berkerudung hitam yang membuatnya penasaran.

 

“Kau memanggilku?” tiba-tiba sebuah suara muncul dari balik kegelapan. Perlahan suara itu menampakkan wujud aslinya. Satin hitam yang terayun karena tendangan mungil dari langkah kakinya yang menapak di atas tanah. Rambut pirang emasnya kontras dengan pakaian yang ia kenakan, tetapi tetap tak mengubah apa yang ada dirinya sebagai penyihir hitam.

“Kau kenal dia?” Toshiya menunjuk pada gambar di depannya.

“Tidak,” jawabnya, “Apa dia yang membuat kau kehilangan mangsa?”

 

Toshiya tersenyum lucu, dengan sekali ayunan tangan cermin air itu menabrak tanah dengan keras lalu hilang. Seperti air yang tumpah.

 

“Bagaimana kalau kau membunuhnya untukku?” dia mengatakannya dengan nada nakal.

 

Pemuda berambut pirang emas itu tertegun. “Apa yang akan kudapatkan?”

 

“Hihihihi....” cekikikan mengerikan terdengar miris dari mulut Toshiya yang melebarkan senyum. “Kau pikir untuk apa kau di sini?”

 

Ia menatap Toshiya sambil menyipitkan sebelah matanya. Bibirnya tertekan, dimana bawah bibirnya tergigit keras.

 

 

*****

 

 

“Memberikannya kuda?” Die terkejut. “Untuk penyihir? Oh, tidak!” tolaknya setelah mendengar ide dari Kaoru.

 

Kaoru meminta Die agar menyediakan kuda untuk Shinya selama perjalanan mereka. Alasannya sederhana, dia tidak tega melihat Shinya berjalan kaki dengan kondisi kedua tangan terikat seperti tawanan.

 

“Dia memang tawanan!” Die membenarkan rompinya. “Kau tidak usah terlalu baik padanya, Kaoru.”

 

Mereka keluar dari tenda. Kuda Die telah menunggu dengan seorang prajurit yang menemaninya. Ia melihat rombongan yang telah siap dan mulai melanjutkan perjalanan kembali. Kaoru berjalan ke arah kudanya yang berada di belakang kuda Die. Sebelumnya, dia melirik pada Shinya yang berdiri di antara barisan prajurit. Kedua tangannya terikat ke depan. Satu-satunya pelindungnya dari perjalanan ini hanyalah sebuah kain hitam yang mengerudungi kepalanya.

 

 

Perjalanan itu hampir memakan waktu empat hari sampai mereka tiba di sebuah desa. Desa itu tidak terlalu besar dan sulit untuk mendapatkan tempat untuk menginap. Maka dari itu, rombongan prajurit tidak banyak yang mengikuti mereka dan mendirikan tenda sendiri di sebelah perkampungan ini. Setelah berdebat hebat, Shinya di tempatkan pada sebuah kamar kosong yang cukup sempit. Mulanya, Die akan memasukannya ke dalam kandang kuda, tetapi ide itu segera disanggah oleh Kaoru yang memintanya agar dijagai oleh prajurit di hutan sebelah. Namun, karena Die tidak percaya dan takut Shinya kabur dia tetap berkeras mengajaknya ke penginapan. Hingga akhirnya, Shinya ditempatkan di sebuah ruangan kosong bekas gudang penyimpanan buah.

 

“Aku heran. Kenapa Kaoru begitu perhatian pada penyihir itu?” Die datang lalu duduk dengan kasar ke kursi. Hakuei yang melihat gelagatnya kelihatan tidak heran. “Maklumi saja, Pangeran...” Ujarnya lalu menuangkan teh untuk Die.

“Kau tidak lihat bagaimana dia begitu memikirkan keperluan si penyihir? Dia bahkan memintaku untuk menyediakan kuda!”

 

Hakuei terkekeh.

 

“Aku bingung. Apa memang begitu sifat Pangeran-Pangeran Selatan?” Die menghabiskan tehnya dengan sekali teguk.

“Jangan berkata begitu, Pangeran. Kalian mirip, kok!”

“Apanya yang mirip?! Dia saja lebih pendek daripada aku!” Hakuei hampir saja terbahak, “Aku tidak mengerti sama sekali dengan jalan pikirannya. Padahal dia juga sama sepertiku. Negerinya juga hancur karena penyihir. Kenapa dia malah baik sekali pada penyihir itu?”

 

Hakuei hanya mesem-mesem mendengarnya. Die terus saja mengoceh tentang masalah ini. Semoga saja Kaoru tidak mendengarnya. Kalau iya, tentu mereka akan terlibat perang lagi seperti tahun-tahun sebelumnya.

 

Mungkin, orang yang pertama kali melihat Kaoru dan Die akan mengira bahwa kedua pria tampan itu adalah saudara. Dari sikap, mungkin Pangeran Kaorulah yang pantas terlihat menjadi seorang kakak dengan tingkahnya yang tenang. Dan Pangeran Die, adalah Pangeran kecil yang selalu membuat onar dan arogan. Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa, kedua negeri mereka dulunya adalah musuh bebuyutan.

 

Sudah berabad-abad yang lalu, Shankara Empire dan Fury Kingdom bermusuhan. Peperangan selalu terjadi untuk memperebutkan wilayah kekuasaan ataupun hanya untuk menyelesaikan masalah kecil. Namun lebih dari itu, kedua kerajaan memang terkenal karena wilayahnya yang begitu subur. Maka tidak jarang politik di kedua negeri membuat mereka merasa harus menjajah negeri satu sama lainnya untuk memperluas wilayah dan membangun kota baru.

 

Sayangnya, peperangan mereka harus berakhir karena kedua negeri tersebut mendapat serangan yang hampir serupa. Serangan yang datangnya dari para penyihir jahat yang juga menginginkan kekuasaan di negeri tersebut. Akhirnya, mereka memutuskan untuk berfokus pada pembinasaan para penyihir daripada ribut berperang dengan negeri seberang. Namun takdir mempertemukan mereka. Ketika Pangeran Die diutus sebagai orang terakhir yang masih bisa memegang kendali sistem peperangan dan keprajuritan kerajaan, bertemu dengan Pangeran Kaoru yang juga muncul sebagai Jenderal perang dari kerajaannya. Merasa memiliki tujuan yang sama, akhirnya keduanya sepakat untuk berjalan bersama dan saling bahu-membahu untuk membinasakan semua penyihir hitam yang merusak dunia.

 

“Dia sendiri yang setuju dengan tujuan utama membinasakan penyihir. Sekarang kenapa dia yang ingkar?” Die kembali berkata. “Seharusnya dia tetap pada tujuan utama kami—membinasakana semua penyihir.”

“Pangeran,” Hakuei menepuk bahu Die. “.... aku yakin Pangeran Kaoru hanya merasa kasihan pada penyihir itu,”

“Nah! Itulah yang tidak boleh dirasakannya!” Die menggebrak meja. “Kalau dia merasa kasihan, dia tidak akan tega untuk membinasakannya. Itu pangkalnya dari sebuah kegagalan dalam perang. Dan kau tahu sendiri soal hal itu, kan?” Die memicingkan matanya. “Sekarang aku tidak heran, kenapa bertahun-tahun Fury Kingdom tidak pernah menang dari kita.” Sombongnya.

“Kau sendiri? Apa kau tidak merasa kasihan pada penyihir itu? Dia sepertinya tidak jahat.”

 

Die mengernyitkan alisnya. “Kasihan?! Aku?! Cih!”

 

“Dia sudah mengobati lukamu, loh, Pangeran.”

“Itu karena dia lancang. Lagipula, aku merasa lukaku semakin parah,” Die berpura-pura meringis. Hakuei menggaruk kepalanya. “Mungkin, Pangeran Kaoru kesepian...”

 

Die menoleh kaget kepada Hakuei, matanya membulat. “Maksudmu?”

 

“Kau tidak tahu kalau calon permaisurinya tewas karena dibunuh oleh penyihir yang bernama Dorothy itu?”

“Huh?” Die menganga.

“Dia tidak bercerita kepadamu, ya?” Hakuei menatap pada Die yang masih bermuka kaget. “Ya, tidak salah sih, dia tidak cerita padamu,” ledeknya. Die memutar bola matanya. “Tapi, ini sungguhan. Kau belum tahu soal cerita kematian calon permaisurinya?”

 

Die menggeleng. “Dia cerita apa padamu?”

 

“Begini...”

 

 

 

“Untukmu,”

 

Shinya tertegun melihat bungkusan kain yang Kaoru berikan padanya. Shinya menerimanya dengan ragu. Ketika dia membukanya, dia terkejut saat melihat beberapa potong pakaian terlipat rapih di dalamnya. Ia menatap Kaoru dengan wajah yang gembira.

 

“Aku tahu, ada bangsa Hobbit dimana beberapa pria mengenakan gaun seperti wanita. Jadi aku harap kau tidak berkeberatan kalau aku memberimu pakaian seperti itu,” katanya.

“Ah. Tidak. Terima kasih.” Jawab Shinya merona.

“Itu mungkin bukan pakaian yang bagus. Karena aku tidak tahu seleramu.”

“Ya, tidak apa. Terima kasih.”

 

Kaoru tersenyum kemudian mundur dari sana sebelum Die atau orang lain melihatnya. Bisa gawat kalau Die tahu dia mendekati tawanannya.

 

Kaoru kembali ke kamarnya. Duduk menyendiri di pinggir ranjang bersendi kayu reot. Pria berambut gelap itu memandang arah jendela kamar usang yang menunjukan hari senja. Matahari oranye yang sebentar lagi akan tenggelam. Tanda malam akan segera tiba. Tiba-tiba dia teringat, senja hari ini mirip seperti dini hari saat ia mengharap kebaikan hari esok. Warna merah yang membuatnya bergairah melewati malam dan menghadapi siang. Saat itu, ketika semuanya masih begitu manis diingatannya. Tanpa sadar, Kaoru terbuai.

 

Tidaaaakk!!

 

“!!!” Matanya memerjap seketika tatkala ia terbangun dari mimpinya. Kaoru bangkit dan segera menyadari bahwa dia telah tertidur beberapa saat. Kini kamarnya sudah gelap. Tidak ada lagi cahaya dari luar dan dia belum menyalakan lampu. Mungkin tepat sebelum matahari tenggelam, alam bawah sadarnya telah merenggutnya. Seperti biasa, dalam kesunyian. Bak ritual yang tidak pernah bisa dia lewati hampir setahun ini.

 

Ia mengurut keningnya yang terasa pening. Kepalanya berat memikirkan sesuatu. Asa yang lenyap dengan kenangan buruk. Maut yang merenggut. Dan...

 

Pangeran Kaoru...

 

.... kekasih yang hilang.

 

 

*****

 

 

Die dan Hakuei ternganga di atas kudanya ketika mereka melihat Shinya muncul dengan gaun yang baru. Die melemparkan pandangannya kepada Hakuei yang juga bermuka bingung sepertinya. Mereka tidak tahu dari mana Shinya mendapatkan baju-baju itu.

 

 

“Aku tidak bermaksud apa-apa,” kata Kaoru membela diri saat Die menuduhnya sebagai orang yang berbaik hati memberikan Shinya pakaian-pakaian tersebut. “Aku hanya kasihan melihat pakaiannya yang sudah rusak.”

“Ya, itu kan penderitaannya. Buat apa peduli? Lagipula nanti juga dia akan segera mati, kok.” Die menyilangkan kedua tangannya keki.

“Iya, aku tahu. Makanya aku berbaik hati padanya agar kelak ketika dia mati, arwahnya tidak mencariku untuk menuntut balas,” sindir Kaoru lalu melewatinya. Die mengerutkan keningnya, lalu melirik pada Hakuei yang menahan tawa.

 

 

Sepanjang perjalanan, Kaoru diam tidak bersuara sama sekali. Begitupun dengan Die yang kelihatannnya menangkap perasaan kesal Kaoru padanya. Tapi dia juga tidak mau ambil pusing. Dia tetap menentang perbuatan baik Kaoru terhadap si penyihir; Shinya. Die masih tidak menangkap apa maksud Kaoru yang sebenarnya. Dia masih berpikir bahwa sikap pengasih Kaoru-lah yang membuat pria itu tidak pernah mendapatkan kemenangan selama memimpin perang.

 

Hingga suatu malam, ketika mereka menginap di tengah hutan dalam perjalanan mereka. Di tengah malam, Die melihat Kaoru mendatangi Shinya dan melihat mereka bercakap-cakap. Entah apa yang mereka bicarakan, namun mimik keduanya kelihatan begitu senang ketika berbicara. Dan itu mulai memicu kekesalan Die semakin besar.

 

“Apa yang membuatmu begitu marah?” tanya Kaoru ketika Die muncul dan berbicara kasar padanya keesokan harinya.

“Dia tawananku, dan aku tidak mengijinkan siapapun untuk mendekatinya kecuali dengan seijinku!”

“Aku hanya mengajaknya mengobrol, karena aku tidak bisa tidur semalam. Kau pikir aku mendekatinya?”

“Aku tidak mengerti apa yang kau mau, Kaoru. Kenapa kau kelihatan begitu tertarik kepadanya?”

 

Kaoru diam. Die terus memandanginya dengan serius, sampai Kaoru membuang muka kemudian minta maaf.

 

“Baik. Aku tidak akan mendekatinya lagi. Maafkan aku, Pangeran Die.” Ada air muka kecewa ketika Kaoru mengatakannya. Tetapi Die tidak berminat untuk menarik lagi semua perkataannya walaupun ia menyadari bahwa semua yang ia katakan terlalu arogan.

 

 

“Mungkin dia suka si penyihir!” celetuk Hakuei suatu kali. Die membulatkan matanya, berbalik dan menjenggut kerah bajunya. “Jangan gila kau!” gertaknya.

 

Hakuei bergidik ngeri sambil menyeringai. Die melepaskannya dan kembali berpikir. Walau tidak masuk akal, sekarang Die jadi ikut memikirkan kemungkinan yang Hakuei katakan. Tapi, demi Tuhan! Kaoru menyukai seorang penyihir? Dia kan laki-laki!

 

“Dia pasti terkena sihir.” Kata Die yakin.

“Benarkah?” Hakuei kagum.

“Ya. Tentu saja. Penyihir selalu bisa melakukan apa saja. Dia bisa mengubah dirinya menjadi orang lain, juga menyihir orang menjadi batu. Tentu saja memikat hati seorang pria kesepian seperti Kaoru itu bukan hal yang sulit, kan?”

“Hmm...benar juga,” Hakuei mengangguk-angguk.

 

Die melirik Hakuei dengan serius. “Penyihir itu licik. Aku yakin dia sudah melakukan sesuatu pada Kaoru tanpa sepengetahuan kita,” Hakuei kelihatan bingung. “Apa yang harus kita lakukan, Pangeran? Mungkin saja, Pangeran Kaoru sudah terjerat dengan sihirnya!”

 

Die kembali berpikir.

 

 

*****

 

 

“Kenapa kau begitu baik padaku?” Shinya bertanya.

 

Kaoru menyunggingkan senyuman tipis. “Apa berbaik hati kepada orang lain itu harus memiliki alasan?”

 

“Mm... kau benar.”

“Aku tidak punya alasan untuk bersikap kejam kepadamu,” ujarnya.

“Tapi pria itu punya,”

“Siapa? Die? Um... maksudku, Jenderal Die?” tebaknya.

“Dia seorang Jenderal?” Shinya menurunkan sebelah alisnya.

“Ya. Kenapa? Bukankah dia Jenderal yang tampan untuk ukuran orang yang selalu menghabiskan waktunya di medan pertempuran?”

 

Shinya tertawa kilat, “Kau pikir begitu?” Kaoru mengangguk. “Bukankah kalian berdua adalah Pangeran?”

 

Kaoru terdiam, kemudian tersenyum lagi. “Apakah penyihir selalu tahu segala hal?” Shinya menunduk, “Oh, maafkan aku. Aku tidak bermaksud memanggilmu penyihir,” Kaoru tahu Shinya tidak suka julukan itu, walaupun kenyataannya dia memang penyihir.

 

“Aku hanya menebak,” Shinya mendesah di balik jeruji kayunya.

 

“Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu, Shinya?” tanya Kaoru.

“Ya. Tapi kalau itu tidak bisa kujawab, aku mohon kau tidak marah.” Katanya. Kaoru tertawa, “Tentu saja tidak!”

“Baik. Aku dengarkan,”

“Aku hanya mau bertanya padamu, apa yang kau lakukan di dalam hutan?”

 

Shinya menatap pria itu dengan mimik yang aneh. Melihat perubahan itu Kaoru segera menjelaskan maksudnya.

 

“Kau jangan berpikir kalau aku mencurigaimu. Aku hanya ingin tahu apa yang kau lakukan di dalam hutan sendirian. Setahuku hutan itu adalah hutan perbatasan dunia Hobbit dan Penyihir. Tidak ada seorangpun yang berani tinggal di sana. Bahkan penyihir sekalipun. Aku terkesan kau bisa tinggal di sana selama bertahun-tahun. Dari mana kau dapatkan makan dan minum?” Kaoru menatapnya serius. “Lebih dari itu, bagaimana kau bisa mengelabui para penyihir dan bangsa Hobbit untuk menghilangkan keberadaanmu?”

 

Shinya memandang Kaoru dengan sejuta tebakan di kepalanya. Sepertinya orang yang satu ini lebih pintar dan teliti dalam menyelidiki masalah sedetil-detilnya hingga semua yang ingin dia ketahui dapat didapatkan. Sayangnya, sekarang Shinya terjebak.

 

“Kau tidak usah takut. Ini antara kita berdua saja.” Lanjut Kaoru.

“Kenapa kau begitu ingin tahu?”

“Karena aku punya tebakan untuk jawabanmu nanti. Kalau tebakanku benar. Aku mau kau melakukan sesuatu.”

 

 

Kaoru kembali ke kamarnya sambil mengendap-endap di tengah malam. Jubahnya yang besar menyembunyikan wajah serta tubuhnya aman di dalamnya. Tetapi dia tidak pernah tahu bahwa sejak awal Die memerhatikan semua gerak-geriknya. Sadar dengan sikap Kaoru yang berbeda. Die jadi memiliki prasangka yang buruk tentang Kaoru dan si penyihir. Maka, dengan rasa penasaran yang amat besar, malam itu juga dia meminta Hakuei untuk memindahkan Shinya ke kamarnya untuk diinterogasi.

 

“Kau masih tidak mau menjawab pertanyaanku?” Die bersedekap sombong di depannya.

 

Shinya tetap membisu. Bahkan dia sepertinya tidak memiliki minat memandang kepada pria berambut tebal tersebut. Die yang melihat ulahnya yang begitu angkuh, semakin tertantang untuk menyiksanya. Pria yang tidak pernah berpikir dua kali untuk membunuh penyihir itu segera menarik penyihir itu dari lantai ke ranjangnya. Dari situlah, Shinya mulai merasa panik dan takut saat tubuhnya jatuh terhempas ke bibir ranjang.

 

“Sebegitu kesepiannya kau sampai kau menyihir Kaoru untuk jatuh cinta padamu?” ditariknya rambut Shinya hingga ia mengaduh.

“Apa yang kau katakan!?” Shinya terkejut mendengar tuduhannya kali ini. Dia? Menyihir Kaoru untuk jatuh cinta padanya? Gila! “Aku tidak pernah menyihir siapapun!”

“Oooh..” Die merenggangkan cabikannya di rambut Shinya yang terurai. “Masih mau menyangkal?!” Ia menjambaknya lebih keras, kini Shinya menjerit. “Bagaimana kalau sekalian kau kutelanjangi!”

“Aaaaakkhhh!!! Lepaskan aku!!”

“Selama kau tidak mengakui perbuatanmu, jangan harap aku akan melepaskanmu!”

“Jangaaan!!”

 

Dengan kedua tangan yang terikat ke belakang, Shinya terus melonjak dan meronta kesana-kemari untuk mengenyahkan kedua tangan Die yang menggerayangi tubuhnya. Mencabik helai demi helai pakaian yang Kaoru berikan padanya. Menjadikannya serpihan-serpihan kain kecil yang berserakan ke lantai.

 

“Lepaskan aku atau aku akan menyihirmu!” jerit Shinya pada akhirnya. Die langsung menghentikan perbuatannya, setelah sukses mengoyak hampir semua kain di badannya.

“Bagus! Sekarang kau sudah mau mengaku kalau kau memang seorang penyihir!” Die kelihatan senang.

“Aku memang penyihir! Tapi aku tidak pernah menyihir orang lain!”

“Tetap berkeras, huh!?” Die murka. Dia menjadi beringas, kembali mengulangi perbuatannya. Shinya masih meronta. Sampai kemudian, pintu digedor paksa.

 

“Pangeran Die!”

 

Suara Kaoru.

Die berhenti, Shinya segera merapatkan tubuhnya ke balik tirai kelambu. Die mendatangi pintu dan membukanya seperti tidak terjadi apa-apa. Kaoru melihatnya sebentar lalu mencuri pandang ke arah ranjang Die yang semerawut.

 

“Pangeran Die?” dia mendelik.

“Apa?!”

 

Kaoru mengerutkan keningnya. “Apa yang kau lakukan?”

 

“Bercinta...” jawabnya dengan nada dibuat-buat.

“Kau gila!” Kaoru memekik.

“Kau cemburu?” Kaoru memerjap. “Cemburu? Ooh, maaf Pangeran. Aku tidak segila kau sampai aku mau bercinta dengan... laki-laki.”

“Kau yang gila!” Die sadar. “Kau sadar tidak kalau kau sedang dipengaruhi oleh sihirnya! Makanya kau setiap hari terus saja mendekatinya. Kau yang sudah terjerat sihir!”

 

Kaoru memutar bola matanya. “Jadi? Kalian sedang bercinta?” ia menatap Die lagi. “Maaf, aku menganggu kalian,”

 

BRAK!

 

 

*****

 

 

“Sebenarnya apa alasanmu mendekati penyihir itu?!” Die kembali menanyai Kaoru. Tapi seperti sebelumnya, Kaoru enggan menjawab. Dia sepertinya tidak percaya kepada Die.

“Ini urusanku dengan penyihir itu!” Kaoru emosi.

“Urusan apa yang tidak boleh kuketahui? Di sini, aku adalah pemimpinnya. Dan kalian semua yang berada di kelompokku harus terbuka dan demokratis. Tidak ada yang berahasia satu sama lain!” tandas Die.

 

Kedua pria itu saling bertatapan sengit. Hakuei terpaku di dekat bibir tenda dan mengawasi ke luar. Ia sudah tidak heran kalau keduanya sering beradu argumen dan saling mencaci satu sama lain. Tapi biasanya mereka selalu bisa menyelesaikan ini dengan cepat. Namun, kali ini atmosfer yang dia rasakan sedikit lain. Karena Kaoru yang biasanya selalu mengalah tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak mengatakan apapun kepada Die.

 

“Ini urusan pribadiku, Pangeran...” jawabnya.

 

Die dan Hakuei ternganga mendengar jawaban Kaoru. Entah kenapa mereka merasakan sesuatu yang merinding di diri mereka. Terlalu pribadi sampai Kaoru yang selalu menjawab dengan rangkaian filsafat-filsafat teroritis mulai bungkam tentang maksud dan tujuannya yang sebenarnya. Dan itu hanya karena seorang penyihir.

 

“Kaoru! Kau sudah disihir!” Die menjerit. “Cepat minum ramuan obat agar sihir itu lepas dari kepala dan otakmu!” (XDDD)

 

Hakuei di belakang mengangguk setuju, dia berlari kecil menghampiri tas kecil yang tergantung di dekat pintu tenda.

 

“Aku tidak tersihir,”

“Kau itu sudah tersihir, kau hanya tidak sadar saja. Ayo, cepat!” Die menarik lengannya.

“Pangeran, dengarkan aku!” Kaoru menepisnya. “Aku punya urusan lain yang belum bisa kuceritakan padamu. Tapi percayalah, apa yang kau pikirkan tidak seperti yang kelihatannya,” tandasnya.

 

Die melirik Hakuei yang sudah siap dengan botol ramuannya.

 

“Kalau begitu, katakan apa itu?”

“Kubilang, aku belum siap mengatakannya. Setelah aku yakin dengan apa yang aku pikirkan soal penyihir Shinya itu terbukti, aku akan mengatakannya padamu.”

“Jadi kau seperti melakukan penyelidikan diam-diam? Payah!”

“Katakan, begitu,” jawabnya, “tolong, jangan memaksaku.”

 

Kemudian, Kaoru keluar dari tenda tersebut sambil memelototi Hakuei dengan botol obatnya XD

 

 

*****

 

 

Malam itu juga, Die mendatangi Shinya yang dijagai ketat oleh para prajurit. Keputusannya sudah bulat untuk menghabisi penyihir itu agar Kaoru tidak menjadi semakin gila. Die tetap berpikir bahwa pria itu benar-benar sudah dicuci otaknya.

Dari jauh, Die sudah menarik pedangnya dan menghunus langsung ke arah Shinya. Shinya membelalak ketika ujung dari pedang tersebut mengenai lehernya. Membuat sebuah titik di sana sampai darah mengucur.

 

“Kau jangan membodohi Kaoru dengan semua sihirmu,” Die menatap Shinya dengan berang.

 

Shinya tidak mengerti dengan semua tuduhan yang Die tuduhkan padanya. Pertama menyihir Kaoru agar jatuh cinta padanya. Sekarang, dia menuduhnya dengan menyihirnya? Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh orang ini?

 

“Pangeran,” Hakuei berusaha melerainya dengan sangat hati-hati. Bagaimanapun dia tidak mau mengusik Die yang sedang murka saat ini. Tetapi dia tidak pernah digubris.

“Kau pikir dengan membuatnya terus memihakmu kau akan bisa dilepaskan, huh?!”

“Apa maksudmu, orang aneh!?”

 

Hening sesaat...

 

“Orang aneh...?” Die geram, ditusukannya pedangnya ke tanah kuat-kuat hingga menancap di sebelah Shinya yang memejamkan matanya kejut. Kemudian dengan kasar dia mengambil dagu lancip Shinya dan mendongakannya paksa.

 

“Jangan berpura-pura terus!” gertaknya keras. Shinya mendesis nyeri, orang ini seperti akan menghancurkan rahangnya dengan sekali remasan. Die melepaskannya hingga kepala Shinya terayun keras. “Kau benar-benar ingin kuhabisi rupanya,” Die menarik pedangnya ditanah dan bersiap menghabisi Shinya.

 

Shinya memejamkan matanya kuat-kuat ketika pedang itu berayun. Tetapi sesuatu mengejutkan mereka.

 

Kraaak!!

 

Bumi goyah!

Gempa?!

 

Die terhuyung, begitu juga Hakuei di belakangnya.

 

Kraaakkk!!!

 

Mereka panik. Tanah yang mereka pijak perlahan meregang dan terbelah. Die mundur dengan cepat, belahan itu membuat sebuah batas yang panjang antara dirinya dengan Shinya. Semakin besar.

 

“Awas, Pangeran!” Hakuei menarik Die ketika pria itu hampir terpeleset.

 

Mereka menoleh ke belakang tanda. Kondisinya sama, tenda-tenda mereka perlahan jatuh menghilang ke dalam perut bumi. Pasukan mereka kocar-kacir.

 

“Whoaa!!”

“Aaaaa!!”

“Kembali!” jerit Die. Hakuei berlari ke arah perkemahan mereka yang sebagian telah lenyap tak berbekas.

 

Jeritan para prajurit yang tadinya ramai mendadak mulai menghilang. Bumi semakin bergoyang seperti akan runtuh ke dasar. Die berusaha menyeimbangkan diri di tempatnya berdiri.

 

Kraaak!!

 

“Ah!” Mata Shinya membulai ketika tanah di sebelahnya terbelah. Akar pohon yang tempatnya terikat mulai terlihat karena peregangan tanah yang begitu cepat. “Aaah!!” Dan pohon itu akan tumbang ke belakang, menjungkalkan tubuh Shinya yang terikat di batangnya.

 

Die yang melihat segera mengayunkan pedangnya, memotong sulur pengikat Shinya hingga pemuda itu terlepas.

 

“Awas!!” jerit Die.

“Aaaaahhh!!!”

 

Shinya histeris ketika tubuhnya terlepas dari sulur, tetapi tak ada tempat berpijak ketika belahan di tanah semakin besar. Tubuh Shinya meluncur ke dalam perut bumi yang gelap.

 

“Aaaaaaaa~~!!”

 

Namun seseorang menarik tangan kirinya hingga dia tergantung di sana. Shinya mendongak dan mendapati Die mencengkram tangannya kuat-kuat.

 

“Jangan lepaskan tanganmu!” kata Die lirih. “Raih tanganku!” Die mengulurkan sebelah tangannya lagi. Shinya berusaha menjangkaunya tetapi sulit sekali.

“A—aku tidak bisa...,”

 

Die masih tetap memegangi agar Shinya tak jatuh ke dasar jurang. “Coba lagi!”

 

Shinya kembali mencoba, ia berusaha menggapai sebelah tangan Die yang terulur padanya. Namun nasib sial menimpa mereka ketika tanah tempat Die bertahan juga mulai retak.

 

Kraakk!!

 

“Oh, tidak!”

 

Dan mereka pun jatuh.

 

 

Sementara itu di perkemahan, kejadian yang serupa juga menimpa pasukan mereka. Hampir semua isi di atas bumi kini tertelan. Hakuei mencari-cari Kaoru yang menghilang.

 

“Pangeran Kaoru!” Hakuei melihat Kaoru yang sedang menghindari retakan-retakan bumi yang semakin lama semakin amblas.

 

Kaoru sadar Hakuei selamat dan berdiri di salah satu ranting bohon besar.

 

“Naik!” teriak Hakuei.

 

Kaoru meloncat ke dahan pohon besar yang masih kokoh berdiri. Mukanya pucat karena terkejut dan was-was.

 

“Pasukan kita lenyap,” ujarnya melihat ke arah perkemahan yang sudah menghilang.

“Semuanya?!” Hakuei terkejut.

“Tidak ada lagi yang tersisa,”

“Ck! Sial!” Hakuei mengepalkan tangannya, lalu meninju pohon. “Ini pasti ulah penyihir!”

 

Kaoru melihat sekelilingnya. Retakan bumi itu kini berhenti dan menyisakan puing-puing yang begitu mengerikan. Hakuei merutuk di belakang, menyumpahi penyihir yang sudah membuat pasukan mereka lenyap.

 

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” katanya bingung. Kaoru berbalik, lalu menyadari sesuatu. “Hey! Kemana Die dan Shinya?!”

 

Hakuei membelalak, ia baru ingat soal mereka.

 

 

“Ugh...!”

 

Shinya membuka matanya. Kepalanya terasa nyeri saat dia menggerakannya. Ia melihat sekelilingnya yang gelap, semuanya tak terlihat. Lalu ia gunakan sedikit sihir untuk membuat api.

 

Blaar!

 

Shinya terpaku sesaat ketika melihat tempat itu. Bebatuan keras yang begitu kokoh.

 

“Egh...” tiba-tiba Shinya terkejut sewaktu sadar ada orang lain di sana. Itu Pangeran Die. Dia juga jatuh bersamanya. Shinya merangkak mendekati Die yang terbaring tak jauh darinya. “Kau tidak apa-apa?”

 

Die membuka matanya perlahan dan melihat sekelilingnya dengan wajah yang aneh.

 

“Di mana ini?” tanyanya.

“Entahlah,”

 

Die berusaha bangkit walau rasa nyeri terasa menyegat tubuhnya.  Tapi dia lebih merasa penasaran dengan tempat itu karena bentuknya yang seperti gua. Jelas-jelas mereka jatuh ke dasar perut bumi. Inikah bentuknya? Atau mereka sekarang sudah di neraka?

 

“Bagaimana caranya kita keluar dari sini?” Die menendangi dinding bebatuan di sebelahnya. Semuanya sangat keras dan tidak mudah dihancurkan. Kemudian, Die melirik pedangnya lalu mencoba menghancurkannya dengan benda itu. Tapi hasilnya sia-sia.

 

“Mungkin kita bisa lewat sana,” kata Shinya. Die menoleh ke belakangnya ketika Shinya menemukan sebuah mulut terowongan batu yang sangat gelap. Shinya menoleh padanya, “Kau mau ke sana?”

 

 

“Jangan-jangan mereka terjatuh ke dasar bumi,” Kaoru menatap bongkahan bumi dengan dasar jurang yang gelap di bawah kakinya.

“Berarti, Pangeran Die dan Penyihir itu juga tidak selamat?” Hakuei cemas.

“Aku tidak yakin,” katanya Kaoru bingung. “Kita harus memastikannya sendiri,”

“Caranya?”

 

Kaoru meliriknya lalu melirik ke dasar jurang. Hakuei bermuka pucat.

 

“Kau serius mau terjun ke bawah?! Oh, tidak, Pangeran! Itu ide buruk!” tolak Hakuei.

“Hanya itu caranya kita mengetahui keberadaan mereka,”

“Tapi bagaimana kalau sewaktu kita turun ke sana, kita tidak menemukan mereka?”

“Itu, sih, resiko.” Jawab Kaoru enteng.

“Lalu kau akan mengambil resiko itu?”

“Kenapa? Kau takut?”

 

Hakuei menelan ludahnya. Kaoru menghela lalu menggaruk pipinya yang gatal.

 

“Baiklah,” Kaoru bangkit. “Aku yang akan turun ke sana. Kau di sini melihat situasi,”

 

Hakuei bermuka cerah. Kaoru bersiap terjun ke bawah, namun sebelumnya dia mendepak kaki Hakuei hingga pemuda itu terpeleset dan jatuh!

 

“Whoaaaa!!! Pangeran curaaaaa~~~~ng!!!” jeritannya menghilang di balik dasar jurang. Kaoru terkekeh, kemudian ikut terjun.

 

 

*****

 

 

Die bersiaga setiap kali melangkah. Matanya melirik ke segala arah ketika mereka menyusuri terowongan gelap tersebut. Sementara Shinya berjalan setapak jauh di depannya. Dia yang memegangi sumbu api yang mereka temukan di awal gua. Perut bumi itu seolah-olah memang sudah terbentuk sejak lama menjadi sebuah gua dasar tersembunyi. Namun mereka tidak pernah tahu di mana ujung dari terowongan ini.

 

Deg!

 

“Aduh! Kenapa berhenti?” Die terkejut sewaktu menabrak Shinya di depannya. Shinya saat itu hanya diam. “Kenapa berhenti?!” ulangnya.

“Sssth!”

 

Die terheran-heran, namun melihat wajah Shinya yang menjadi aneh; seperti sedang menajamkan telinga, Diepun ikut menajamkan pendengarannya juga. Tapi ia tidak mampu mendengar apapun di sana.

 

“Apa yang kau dengar?”

“Serangga,”

“Serangga?”

“Ya,” alis Shinya mengerut, “dan sepertinya jumlahnya...”

 

Belum sempat Shinya menuntaskan kalimatnya, dari dalam gelap di hadapan mereka, bermunculan serangga-serangga yang jumlahnya sangat banyak. Shinya dan Die terkejut,

 

“Kalajengking!” pekik Die sewaktu sadar apa jenis serangga tersebut.

“Lari!” Shinya kabur XDD

 

Die tertegun sejenak sampai kemudian dia sadar, bahwa dia pun harus lari!

 

 

Gabruk!!

 

“Aww!!!”

“Yeow!!”

 

Rintihan Kaoru dan Hakuei bersahutan tatkala tubuh mereka menabrak tanah. Herannya mereka masih hidup, walaupun jatuh ke dalam dasar bumi yang begitu jauh.

 

“Ini menyakitkan,” Hakuei mengeluh sambil mencoba bangun. Sementara Kaoru sepertinya sudah agak pulih dari rasa sakitnya. Matanya mulai mencari-cari ke sana-sini. “Pangeran, kau ini benar-benar...uugh!”

“Kau prajurit mokondo~”

“APA!?” Hakuei tertohok. “Bahasamu kasar sekali,” sungutnya.

“Sudah, berhenti mengeluh, dan lihatlah sekitarmu,”

“Apa yang berbeda?” tanyanya kemudian berdiri di sebelah Kaoru.

“Kau masih belum sadar?”

“Aku sudah pulih,”

 

Kaoru menggelengkan kepalanya prihatin. Tetapi, dia memutuskan untuk tidak menyesatkan prajuritnya yang satu ini lebih jauh. Dia masih membutuh bantuannya untuk mencari Pangeran Die dan penyihir Shinya.

 

“Lupakan. Kita susuri saja terowongan di sana,” katanya berjalan meninggalkan Hakuei.

“Tunggu aku, Pangeran!”

 

Baru berjalan sebentar, Hakuei mendadak heboh. “Aku baru sadar, kenapa ada sumbu api di dalam terowongan bumi?”

 

Kaoru menghela.

 

Buntu!

Die dan Shinya terjebak. Sudah tidak ada jalan keluar lain lagi ketika mereka bertabrakan dengan dinding-dinding batu di sekitar mereka. Kalajengking-kalajengking itu seperti memamah biak sendiri. Berdatangan dari mana saja dan mengelilingi mereka. Mereka seperti sudah diperintahkan untuk mengepung mereka berdua. Die dan Shinya berdiri saling memunggungi dan waspada pada serangan-serangan kalajengking yang hendak menyerang mereka.

 

“Nah, kau punya ide?” bisik Die.

“Kita bisa membakar mereka dengan api,” jawab Shinya.

 

Mata Die langsung menangkap sumbu api di dinding batu. Tetapi sayang, jaraknya cukup jauh dari tempat mereka berdiri, sementara kalajengking-kalajengking itu terus-menerus bertambah banyak. Die harus segera memutar otak sebelum mereka mati terkena bisa kalajengking yang mematikan. Ketika Die tak sengaja memegang kain kerudung Shinya di belakangnya, ia menemukan sebuah ide.

 

“Berikan kainmu!”

 

Mulanya Shinya kaget. Tetapi dengan cekatan dia melepaskan kain hitam yang setiap hari dia pakai. Dengan benda itu Die melemparkannya ke arah kalanjengking-kalajengking itu sehingga mereka tertututp dan Die memiliki celah untuk berpijak pada bumi. Dengan cepat, dia melangkah dan mengambil dua buah sumbu api yang mampu dia jangkau. Melemparkannya pada Shinya dan segera kembali. Beberapa kali dia menginjak kalajengking-kalajengking hitam itu dengan sepatu kulitnya yang keras. Die semakin memiliki cara lain untuk bertahan. Menginjaki mereka. Tetapi, jumlah mereka terus menerus bertambah dan tidak mau hilang.

 

Shinya mendapatkan api. Dia merapalkan sedikit mantra dan mengembuskan udara dari mulutnya ke sumbu api sehingga api membesar dan membakar hampir setengah dari koloni kalajengking itu.

 

“Berhasil!” Die kegirangan.

 

Namun, tetap saja, kalajengking itu kembali lagi. Jumlah mereka justru semakin banyak dan hampir menggunung.

 

“Ini tidak bekerja!”

“Kita harus menemukan seseorang yang mengendalikan kalajengking-kalajengking ini,” ujar Shinya.

 

Mata mereka mencari-cari. Tetapi, sepanjang mata memandang tempat itu kini dipenuhi oleh kalajengking-kalajengking, bahkan dari dinding-dinding batu mereka mulai bermunculan.

 

“Ini pasti ulah Toshiya!” rutuk Die.

 

Shinya dan Die masih bertahan dengan cara yang sama. Hingga tidak berapa lama tiba-tiba kawanan serangga beracun itu mendadak berpencar dan menyisakan satu daerah kosong dimana langkah seseorang tiba-tiba muncul. Die dan Shinya terpaku menatap orang yang kemudian muncul dari kegelapan tersebut, menampakan dirinya. Berbalut segala kegelapan yang ada didirinya.

 

“...kau?” Die tercekat.

 

Shinya meliriknya lalu kembali menatap penyihir di depan mereka. Dia sama sekali tidak tahu siapa dia. Lagi-lagi penyihir jahat, itu yang dia pikirkan. Karena di depannya sekarang bukanlah penyihir yang pernah dia hadapi di penginapan kemarin. Penyihir ini sama sekali belum pernah ia lihat sebelumnya. Meskipun sama-sama penyihir. Dia menyilangkan tangannya dengan angkuh. Di bawah kakinya, kalajengking-kalajengking itu mengitarinya bagai raja. Mereka tahu, penyihir inilah yang menggerakan semua binatang itu untuk mengusik mereka.

 

“Siapa dia?” bisik Shinya.

“...Uruha,” jawab Die waspada, “dia kaki tangan Toshiya. Kau harus berhati-hati, dia lebih jahat dari Toshiya.”

 

Shinya menatap pria bershadow gelap pada matanya tersebut dengan pandangan aneh. Jika melihat tatapannya yang dingin maka yang dikatakan Die harus ia perhatikan baik-baik. Mungkin benar, dia adalah penyihir yang jahat. Sangat jahat, seperti apa yang dikatakan.

 

Penyihir jahat—Uruha—itu menatap kedua orang mangsanya kali ini. Ini bukan pertama kalinya dia bertemu dengan Pangeran Die, namun Uruha belum pernah melihat ‘gadis’ yang bersamanya. Inikah penyihir yang harus dia lenyapkan sesuai dengan permintaan Toshiya? Namun, jika ia perhatikan penyihir kecil itu sepertinya sangat lemah. Toshiya mungkin kalah kemarin karena kekuatannya memang sedang terserap karena bulan purnama. Tetapi, siapa peduli? Uruha harus segera melenyapkan mereka semua!

 

Drap! Drap!

Shinya dan Die tercenung sesaat ketika mendengar suara langkah kaki yang begitu nyaring. Mengguncang tanah tempat mereka berpijak. Saat itu mereka benar-benar tidak tahu apa yang sedang mereka hadapi, sampai kemudian, mereka melihat sebuah capit besar mencengkram dinding batu dan meremukkannya menjadi serpihan. Mata Die dan Shinya membulat besar. Ketika badan besar itu muncul dari balik terowongan di belakang tempat Uruha berdiri tenang. Seekor makhluk berbadan manusia, namun berkaki kalajengking dengan capit seperti kepiting dan ekor sengat kalajengking yang begitu besar dan menakutkan kini muncul di depan mereka. Die dan Shinya mendongak dengan rasa ketir di dalam diri mereka.

 

Itu monster!

 

 
 

Continue...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar