expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

01 Maret 2013

EXODUS (Part 1)

Title : EXODUS

Author : Duele

Finishing : Mei 2012

Genre : Fantasy, Romance, AU

Rating : PG15

Chapter(s) : 1/on going

Fandom(s) : Dir en Grey

Pairing(s) : DiexShinya

Note Author : Say thanks to Jekyll and Hyde for the music.

 

*****

 

“Kita istirahat di sini,” Die mengangkat sebelah tangan kirinya untuk memberikan perintah kepada pasukan di belakangnya.

 

Mereka mulai menurunkan barang-barang bawaannya dari kuda. Menyiangi rerumputan liar yang menghalangi jalan mereka dan membuat sebuah lapangan kecil di tengah hutan. Beberapa tenda putih kusam telah berdiri, beberapa orang datang sambil mengumpulkan kayu bakar ke tengah-tengah.

 

“Di sana sepertinya ada sungai, kalian isilah beberapa drum untuk persediaan minum kita.” Kaoru memberi perintah.

“Baik, Tuan.”

 

Kaoru menengok ke belakangnya, Die duduk di atas sebuah batang kayu sambil memijat-mijat pergelangan tangannya.

 

“Kita harus cepat mencari tabib,” kata Kaoru.

“Di mana kita bisa mencari tabib?”

“Aku tahu sebelum perbatasan ada sebuah desa kecil di daerah Warsaw. Mungkin saja ada tabib di sana.”

“Itu berarti kita harus memutar lebih jauh sebelum masuk ke perbatasan. Itu membuang banyak waktu.” Die berdiri. “Tidak perlu.”

“Die, pasukanmu dan pasukanku banyak yang terluka setelah perang dengan gerombolan siluman srigala itu.” Kaoru menyergah. “Kau harus pikirkan nasib mereka. Mereka kelelahan dan butuh pengobatan.” Kaoru memegang bahu pria itu, “...kau juga.”

 

Die mengepalkan tangannya. “Aku tidak apa-apa,”

 

“Bukankah kau terkena cabikannya?”

“Itu bukan masalah. Hanya luka kecil, aku bisa mengatasinya.” Die melenggang masuk ke dalam tenda. Kaoru menghela sambil berkacak pinggang menoleh ke arah para pasukannya yang kelihatan lelah. Ia kembali menengok lagi ke arah tenda yang tertutup. Karena sudah memutuskan bergabung dengan pasukan Die, mau tidak mau Kaoru harus berdiskusi segala hal dengannya. Tetapi kalau dibiarkan,

“Tetapi kalau memang menurutmu mereka butuh tabib, kita akan berputar arah besok siang.”

 

Kaoru tertegun melihat Die keluar dari tenda dan melihatnya. Kaoru tersenyum kecil membalasnya.

 

Tiba-tiba, seorang prajurit datang dengan tergesa.

 

“Tuan!” Kaoru menoleh padanya, begitu juga Die di ujung tenda. “Kami menemukan beberapa mayat di pedalaman hutan!” Kaoru mengernyitkan alisnya.

 

 

 

“Bangsa hobbit,” Kaoru dan Die saling bertatapan setelah melihat mayat mereka.

 

“Sepertinya mereka bukan dari kerajaanku,” Kaoru mengidentifikasi.

“Bukan, mereka sepertinya hobbit dari rakyat jelata.” Die menoleh lagi pada mayat lain di dekat pohon. “Mungkin mereka sedang dalam pelarian diri tetapi mereka di serang,”

“Apa mungkin mereka di serang hewan buas?”

“Menurutmu?” Die melihat pada luka menganga besar di dada mayat itu. “Ini ulah srigala,”

“Bulan ini, beberapa hari memang sedang purnama. Aku tidak heran.” Kaoru berpikir.

“Tuan! Tuan!” seorang prajurit datang lagi. “Ada beberapa mayat lagi di dekat sungai!”

 

Mereka berjalan dengan kuda-kuda mereka ke sebuah anak sungai yang tak jauh dari mayat-mayat tadi. Di sana ada dua mayat lagi dengan kondisi yang aneh. Tubuhnya sama sekali tidak terluka, tetapi ada sebuah jantung tergeletak tak jauh dari mayat tersebut.

 

“Ini ulah penyihir,” Die mencengkram kepala pedangnya.

“Apa mungkin mereka yang mengendalikan siluman-siluman itu untuk menyerang?” Kaoru mencoba melihat mayat itu lebih dekat.

“Siapa lagi?” kali ini Die melihat ke sekeliling hutan tersebut. “Kalian!” lalu memanggil beberapa prajurit. “Sebelum senja, kita bersihkan tempat ini dan pastikan hutan ini benar-benar tidak ada penyihir. Jangan lupa untuk membawa beberapa sulur untuk menangkap mereka.”

“Baik, Tuan!”

 

“Apa kau pikir mereka masih di sini?” Kaoru berdiri di sebelah Die. “Setidaknya aku mau memastikan tempat ini sebelum kita diserang,” Die berjalan lebih dulu.

 

 

 

Senja hari, pasukan mereka kembali dan memastikan tidak ada siapapun yang berada di dalam hutan tersebut hingga radius 2 kilometer. Malam ini mereka bisa beristirahat dan memulai perjalanan mereka esok hari.

 

Die duduk di depan mulut tendanya. Tempat itu telah gelap gulita dan hanya api unggun mereka yang menyala. Hampir semua pasukannya tertidur. Kaorupun sudah tidak nampak. Tetapi Die tetap terjaga seperti biasanya. Malam hari justru membuatnya semakin waspada. Walaupun pasukannya sudah memeriksa tempat ini, Die tidak mau mengendurkan pengawasannya. Lagipula, dia memang belum merasa kantuk.

 

Die memandangi percikan api yang melahap kayu-kayu bakar di depan matanya. Warna dan panasnya hampir sama seperti kebakaran yang melahap negerinya. Api-api yang besar, dan magma yang muncul ke permukaan karena ulah penyihir. Melenyapkan hampir seluruh negerinya. Membinasakan semua rakyatnya dan membunuh kedua orangtuanya juga mengubah seluruh isi istana menjadi batu, termasuk saudara-saudaranya. Dia tidak akan pernah lupa dengan kejadian terkutuk itu dan bersumpah akan membawa kepala penyihir itu kepada rakyatnya.

 

Api dendamnya tidak akan pernah padam walaupun kejadian itu telah berlalu hampir setahun. Setahun pulalah Die pergi bersama pasukannya untuk mencari seorang penyihir jahat bernama Ursula yang sudah mengubah seluruh keluarganya menjadi batu. Die harus menemukannya untuk memaksanya menarik kembali semua sihirnya. Bukan hanya itu, Die bersumpah akan membinasakan semua bangsa sihir untuk menggantikan semua nyawa rakyatnya yang telah menjadi korban. Walaupun itu bisa saja membuatnya terbunuh. Ia tidak peduli.

 

Srrk!

 

Die tersadar akan sesuatu. Suara mencurigakan itu tertangkap oleh telinganya. Die menoleh ke sekitarnya, tetapi sepi. Suara itu pun hilang. Tapi ini membuat Die semakin berdebar-debar, pikirannya tidak jauh dengan siluman dan penyihir yang biasanya memang muncul di malam hari. Die bangkit, melihat pada bulan yang tidak purnama. Bangsa srigala tidak akan menjadi soal, walaupun bentuk asal mereka juga cukup membahayakan. Yang Die kuatirkan adalah penyihir-penyihir jahat yang biasanya muncul dan membunuh siapapun.

 

Die berjalan ke arah semak dengan berhati-hati. Kedua tangannya sudah bersiap-siap untuk menarik pedangnya dari dalam sarungnya. Bisa jadi yang ia hadapi kali ini hanya seekor binatang. Tetapi Die tidak tahu. Dia harus tetap meningkatkan kewaspadaannya jika tidak mau mati. Dicabutnya pedang, lalu diarahkan ke semak belukar yang menghalangi jalannya. Dia kini berjalan ke dalam hutan yang gelap sendirian. Die menajamkan telinganya, hingga desau-desau anginpun terdengar senyap. Die mungkin bukan seorang pemburu yang hebat, tetapi ia adalah seorang ksatria yang hebat. Pengalaman berperang selama setahun telah membuatnya banyak belajar untuk bisa mengenali pergerakan makhluk hidup.

 

Shat!

 

Die menekan kakinya, melemparkan satu tarikan kencang dari kakinya dari bumi dan berlari setelah menyadari ada sesuatu yang bergerak di arah kirinya. Sesuatu itu berlari dengan cepat. Die berlari mengejarnya. Jika bukan binatang, dia tentu seorang manusia. Tapi jika dia seorang manusia, mau apa malam-malam seperti ini berkeliaran di tempat ini? Di hutan gelap ini? Sendirian?

 

Penyihir!

 

Tanpa sadar kecepatan lari Die semakin menggebu sejalan dengan kemarahan di kepalanya.

 

 

 

Dia berlari, dibalik kerudung hitamnya dia berlari sekencang mungkin. Meskipun ranting-ranting kering mencabiknya karena dia terus menerobos. Yang jelas dia yang berbaju serba hitam itu tidak mau orang tadi menangkapnya dan membunuhnya. Melihat dia mencabut pedangnya cukup membuatnya sadar bahwa orang tersebut adalah seorang tentara yang bisa saja membunuh apapun tanpa belas kasihan.

 

Brak!

 

Dia segera masuk ke dalam sebuah pohon besar yang berpintu. Menutupnya dengan terburu-buru lalu menguncinya dengan cepat. Dia berlari ke arah jendela dan mengintip keberadaan orang tersebut dengan nafasnya yang memburu. Semoga dia tidak menemukannya di sini. Di tempat persembunyiannya.

 

Lama dia memperhatikan sekeliling tempat itu lewat lubang jendelanya yang kecil di dalam pohon besar tersebut. Ia tidak melihat tanda-tanda bahwa orang tadi masih mengejar dan menemukannya. Dia menurunkan kerudungnya yang sedari tadi menutupi kepalanya. Rambutnya yang cokelat terang bersinar terterpa cahaya bulan yang masuk dari lubang jendela di belakangnya. Nafasnya pun masih memburu dan belum mau hilang, sama seperti debaran jantungnya, meskipun rasa takutnya tidak sebesar seperti tadi.

 

Perlahan dia mundur ke belakang setelah memastikan orang itu tidak menemukannya. Dia pasti telah kehilangan dirinya, dan dia bersyukur bahkan berharap tidak bertemu dengan orang itu lagi. Kemudian dia terduduk di sebuah dipan panjang, seorang pria tertidur di sana dengan muka pucat. Ia mengamati pria itu juga lukanya. Perban yang tadi baru saja dia ganti sekarang sudah merembes lagi dengan darah. Ia harus segera menggantinya dengan perban baru. Namun, lebih daripada itu, dia seharusnya mencari dedaunan obat untuk mengobati pria ini. Tapi bagaimana dia bisa bebas berkeliaran di dalam hutan jika orang-orang itu masih di sana?

 

Dia melihat ke luar jendela dengan wajah yang bingung sekaligus cemas.

 

 

*****

 

“Penyihir?” Hakuei terlonjak. “Kau serius melihat penyihir itu?!”

 

“Aku tidak jelas melihatnya, larinya sangat kencang.” Kata Die.

“Berarti dia lolos?” Die mengangguk. Hakuei memukul tangannya. “Gawat!”

 

Kaoru yang juga ikut dalam rapat dadakan itu hanya diam sambil berpikir. Die menoleh ke arahnya. “Menurutmu bagaimana?”

 

“Kita jangan tunda lagi perjalanan kita,” katanya. “Cepat kemasi barang-barang dan pergi dari sini.”

“Apa?” Die kaget.

“Aku tidak mau ambil resiko untuk mengepung penyihir itu dengan kondisi pasukan yang terluka. Itu sama saja membinasakan diri kita.”

“Pangeran Kaoru benar!” Hakuei menyambutnya, “Kita harus segera pergi dari sini, Tuan. Mungkin saja dia sengaja memata-matai kita untuk penyerangan di malam selanjutnya.”

 

Kaoru mengangguk-angguk, Die masih membisu.

 

“Ayolah, Die. Kita harus cepat bergerak,” ajak Kaoru.

“Aku punya rencana lain.” Kata Die membuat kedua pria itu berhenti dari pergerakannya. “Aku yakin ini berhasil dan tidak akan membahayakan siapapun.”

 

Kaoru dan Hakuei saling menatap.

 

 

 

Dua hari setelah itu dia berani membuka pintu rumah pohonnya walaupun hatinya masih berdesir ragu. Tetapi dia harus keluar sekarang juga untuk mencari bahan makanan di hutan juga dedaunan obat yang sudah dia tahan sejak beberapa hari lalu. Dia memakai sebuah kerudung hitam, di tangannya menggantung sebuah tas jerami yang dia sulam sendiri. Sebelum dia pergi, dia berdiri sebentar tepat di pintu rumah sambil memejamkan matanya dan mengucapkan beberapa lafal mantra sampai sebuah hembusan angin kecil menyibak wajahnya.

 

Tidak ada kemunculan manusia lain selain orang yang sedang dia rawat di dalam. Itu berarti pasukan yang dia lihat beberapa hari kemarin telah pergi meninggalkan hutan ini. Dengan langkah ringan, dia meninggalkan rumah pohon menuju ke pedalaman hutan di atas gunung untuk mencari daun obat yang dia butuhkan. Ia berjalan seorang diri melewati lebatnya hutan seolah sudah sangat tahu dan tidak akan tersesat jika ingin kembali. Terkadang dia berhenti dan meraba batang pohon di dekatnya untuk merasakan auranya pagi ini.

 

Dia sudah berjalan hampir lima ratus meter dari tempat tinggalnya, menaiki bukit dan melewati anak sungai. Ia ingin bergegas sampai sebelum tengah hari dan kembali sebelum malam hari. Di balik kerudung dan jubah hitamnya, dia menggantungkan sebuah rantai kecil di pinggangnya yang membuat gemerincing setiap kali berjalan. Itu membuat beberapa hewan seperti kelinci jutan dan burung-burung muncul. Hutan telah kembali lagi padanya.

 

“Oh..” dia terpana ketika melihat tumbuhan yang dia cari. Dengan cepat dia mendatanginya dan memastikan bahwa itu adalah tanaman obat yang dia cari. Ia memetik beberapa lembar daun dari tanaman tersebut. Tapi ketenangannya harus terhenti ketika ia menyadari ada desau angin yang aneh menyibak ke arahnya. Ia berdiri dan berputar di situ.

 

Dibalik kerudung hitam, mata cokelatnya melihat setiap inchi dari hutan untuk memastikan bahwa yang ia rasakan meleset. Tetapi sepertinya ia baru sadar bahwa ia sedang diikuti oleh orang lain. Dan semuanya terlambat ketika dia melihat kilau dari mata pedang mengenai dirinya.

 

“Ah!” Dia berlari!

 

Die kali ini bertindak lebih cepat hingga hampir mendapatkannya. Tetapi penyihir itu berlari lebih cepat darinya.

 

“Hey! Berhenti!!” teriak Die memecah kesunyian hutan. Burung-burung yang bertengger di ujung pohon beterbangan karenanya.

 

Orang itu masih terus berlari dari kejaran Die. Mereka berlari seperti beberapa waktu lalu di malam hari, tapi kini Die sudah bisa melihat bentuknya walau wajahnya tidak jelas karena kerudung hitam yang dia gunakan. Warna yang selalu digunakan oleh para penyihir jahat. Amarah Die selalu naik, dan kali ini dia tidak mau kehilangan penyihir yang hobinya selalu berlari ini. Dengan cepat dia mengambil sebuah batu kecil dan melemparkannya pada penyihir itu hingga ia jatuh tersungkur.

 

Gabruk!

 

“Berhenti, kau!” Die mendapatkannya jatuh tertelungkup dengan kesusahan. Dengan kasar dia merambat kerudung yang menutupi kepalanya. “Tunjukkan siapa kau sebenarnya, penyihir!” dia membalikan badan orang itu paksa.

“Akh!”

 

Orang itu terguling beberapa kali hingga akhirnya jatuh terlentang. Die menusukan pedangnya tepat ke sisi wajahnya hingga matanya terkesiap. Matanya membundar menatap Die yang juga menatapnya dengan bingung.

 

“Penyihir...wanita?”

 

Dia terkejut. Die berdiri di atas tubuhnya dengan mata yang terbelalak juga. Die tidak pernah menyadari bahwa ada penyihir wanita semuda ini tinggal di dalam hutan. Ketika dia masih terkesima, orang itu meniupkan sesuatu ke mata Die hingga ia merasakan pedih seperti kemasukan debu. Dia menggulingkan Die dari tubuhnya dan kembali bangkit untuk kabur.

 

“Berhenti, kataku!” Die yang masih belum bisa mengejar berusaha mengucek matanya yang perih. Dia menarik pedangnya kembali dan berlari mengejar penyihir tadi.

 

Tidak sampai beratus-ratus meter mereka berlari, Die kembali mendapatkannya. Kali ini dia mencengkram lengan penyihir itu dan membantingnya ke tanah.

 

“Awhh!!” ia mengaduh. Die kembali mengunci tubuhnya dengan kakinya dan mencengkram wajah penyihir cantik tersebut. “Katakan kau berasal dari mana?!”

 

Dia tidak menjawab, matanya masih menatap Die yang kelihatan galak dengan ketakutan.

 

“Jawab!!” gertaknya.

 

Tapi dia masih tidak mau menjawab. Die semakin marah, untuk memastikan bahwa wanita ini adalah penyihir dia harus melihat tandanya. Tangannya mencengkram kain di dadanya dan menariknya,

 

“Apa yang kau lakukan! Lepaskan aku!” jeritnya. Die terkejut ketika mendengarnya. “Apa katamu!?”

“Lepaskan aku...!”

 

Die menatap wajah di depannya dengan mata yang membundar tidak percaya. Telinganya sedang bermasalah ataukah dia memang mendengar suara laki-laki dari mulut wanita ini? Die langsung merunduk ke arah dadanya yang memang datar.

 

“Kau anak laki-laki?!” pekiknya. Dia tidak menjawab lagi. Die dibuatnya bingung bukan main. Tapi dengan rambut panjang ini, mata indah itu, dan wajah secantik ini? Dia laki-laki. Die cepat sadar dari keterkejutannya dan langsung menarik kain pemuda itu hingga sobek. Dia menjerit. Die melihat dadanya dan menemukan sebuah simbol hitam di sana.

“Kau penyihir...” ujarnya.

 

Die menarik pedangnya dan mengayunkannya ke atas kepala pemuda itu. Pemuda itu menutup matanya dan membuang wajahnya ke arah lain. Dan,

 

Jleb!

 

Kerikil-kerikil kecil di atas kepalanya terangkat beberapa centi dari tanah saat pedang itu menembus bumi. Pemuda itu mengintip dari balik kelopak matanya. Die bangkit darinya. Pemuda itu melihat nanar ke arah Die yang berdiri perkasa di depannya. Die sendiri tidak bisa melepaskan matanya ke arah pemuda di bawahnya. Dia masih belum paham.

 

Beberapa orang prajurit datang. Pemuda itu segera menutupi dadanya yang terbuka ketika mereka memperhatikannya. Sesekali mereka menatap Die dan wanita yang tersungkur di bawah dengan bingung.

 

“Tuan, kami menemukan seorang pria yang sekarat di dalam sebuah rumah di akar pohon. Tapi sejam yang lalu dia mati.”

 

Die langsung menatap tajam pada pemuda di bawahnya itu. “Bawa dia!” Sebelum Die pergi, dia melemparkan sebuah sulur pohon. “Dia penyihir. Ikat dengan sulur pohon itu supaya dia tidak bisa mengeluarkan sihirnya.”

 

 

*****

 

 

Kaoru membisu sejak tadi. Sebelah tangannya memangku dagunya yang sedari tadi sedang memerhatikan sesuatu yang menarik di depan matanya. Hakuei pun sama, walaupun tidak sekalem Kaoru dengan berjalan mengitari pemuda yang duduk terikat di depan mereka.

 

“Kau yakin dia laki-laki, Tuan Die?” mata Hakuei melihat Die yang duduk sambil membuang muka. “Hei, apa kau yakin kau itu anak laki-laki?” goda Hakuei. Pemuda itu menjauhkan wajahnya dari tangan usilnya.

“Haku, jangan ganggu dia.” Kaoru menengahi. Hakuei kemudian mundur saat Kaoru mendekat. “Kau ini siapa?”

“Sudah jelas dia itu penyihir!” Die menimpali dengan kesal. “Kalian tidak bisa lihat simbol di dadanya? Dia penyihir!”

 

Kaoru dan Hakuei kembali melihat pemuda di depannya. “Maksudku, kau berasal dari mana? Di mana teman-teman penyihirmu?” tanya Kaoru lagi.

 

“Juga kenapa kau berdandan seperti perempuan?” tambah Hakuei yang tidak sadar tatapan aneh dari Kaoru dan Die di belakangnya.

 

Tapi dia tidak menjawab.

 

“Kami tidak akan melukaimu. Kami juga akan membebaskanmu kalau kau membantu kami. Maka dari itu, bekerjasamalah dengan kami.” Kaoru kembali membujuk. Pemuda itu menatap Kaoru dengan serius.

“Ya, jika kau tidak mau membantu, kau pasti dibunuh!”

 

Ancaman Die membuat pemuda itu kembali diam. Kaoru meliriknya dengan mata kesal. Sementara Hakuei masih memerhatikan penyihir aneh ini dengan penuh minat.

 

 

 

“Bagaimana, Pangeran? Apa dia mau menjawab pertanyaanmu?” Hakuei datang dengan selongsong pertanyaannya saat Kaoru keluar dari tenda. Tapi Die sepertinya tidak tertarik sama sekali.

“Iya. Dia bilang, hanya dia sendiri yang tinggal di hutan ini. Dia tidak mengakui kalau dirinya penyihir. Dia bilang, dia seorang tabib.” Kaoru menjawab, tapi matanya melihat ke arah Die.

“Hmh? Tabib?” Die tertawa mengejek. “Pendusta.”

“Dia juga bilang, dia tidak tahu siapa itu Ursula atau Dorothy,”

“Lalu kau percaya?” Die menyahut. “Kau percaya pada penyihir itu bahwa dia tidak mengenal Ursula atau Dorothy? Bahkan kita bangsa hobbit saja tahu siapa mereka. Kenapa dia yang satu kaum justru tidak tahu? Itu aneh!”

“Dia bilang sejak kecil, dia sudah berada di sini bersama orangtuanya menjadi tabib.”

“Penyihir mana yang menjadi tabib?” ejeknya.

“Die, orangtuanya bukan penyihir. Tapi bangsa hobbit.”

“Bangsa hobbit mana yang begitu bodohnya memelihara anak seorang bangsa penyihir?” Die menaikan alisnya. “Lalu kemana orangtuanya? Mati? Karena apa? Sakit? Atau justru dibunuh oleh si penyihir itu sendiri.”

“Dia tidak bicara banyak soal itu,” ujar Kaoru.

“Terserah,” Die tidak mau dengar. Kaoru juga tidak tahu harus bicara apa.

 

“Lalu, apa yang akan kita lakukan kepadanya? Apa kita membunuhnya saja?” suara Hakuei terdengar. Kaoru menoleh lagi pada Die yang masih kelihatan cuek. “Die, dia tawananmu. Akan kau apakan dia?”

 

Die menatap kedua pria itu dengan serius.

 

“Akan kupaksa dia menunjukan jalan ke tempat penyihir-penyihir itu.”

 

 

*****

 

 

Kaoru berulang kali menoleh ke barisan belakang pasukan dimana penyihir bernama Shinya itu berjalan di antara para prajurit dengan tangan terikat ke depan. Sulur-sulur yang mengikat kedua tangannya terikat pada sebuah kuda prajurit.

 

“Pangeran Die, bisakah kita beristirahat?” kata Kaoru sengaja mendekatkan kudanya dengan kuda Die. “Kupikir tawananmu kelelahan.”

“Perjalanan kita masih jauh, aku tidak bisa menghentikan rombongan di tempat seperti ini.” Die tidak peduli.

“Kau bisa membunuhnya,”

“Masa iya baru berjalan setengah hari saja bisa membunuhnya, kau ini bisa sa—”

“Tuan!” sebuah suara keras tiba-tiba memanggil mereka. Kaoru dan Die serta para prajurit berkuda membalikan kuda mereka. “Tawanannya pingsan!”

 

 

 

“Seharusnya aku membunuhnya saja sejak kemarin.” Komentar Die.

“Kau sendiri, kan, yang menjadikannya tawananmu.” Sindir Kaoru.

“Kalau seandainya dia tidak menyusahkan seperti ini,” balas Die sambil melihat tubuh lunglai Shinya yang terkulai di atas rumput.

“Sebaiknya kau mulai berbagi kuda dengan tawananmu, hihihi.” Kata Kaoru sambil melewatinya.

 

Shinya melihat dari bawah hingga ke atas kuda putih yang berdiri tegak di depannya. Seorang pria dengan baju baja duduk di atasnya.

 

“Kau menunggu apa? Ayo, naik!” gertak Die. Kaoru dan Hakuei di belakang terkekeh. Melihat Shinya tidak bergerak juga akhirnya Die meminta beberapa prajurit mengangkatnya paksa.

“Baru kali ini aku punya tawanan semanja ini. Seperti perempuan!” sindir Die.

“Turunkan aku.”

 

Die tertegun, begitu juga Hakuei dan Kaoru.

 

“Hoo! Baik! Kau yang meminta, ya! Kalau kau pingsan lagi dan menyusahkan rombonganku, kau akan kubunuh!” ia membiarkan Shinya turun. Sebelum Shinya di bawa oleh prajurit, ia menatap sengit pada Die.

 

 

*****

 

 

Pada kegelapan di malam berikutnya, saat bulan purnama tengah memancarkan sinarnya. Hutan saling bersahutan dengan desau angin malam yang berhembus begitu kencang. Tapak seekor srigala masih baru, bertanda di atas tanah merah di sela rerumputan hijaunya hutan sepi kala itu.

 

Tap! Tap!

 

Suara langkahnya yang pelan terdengar begitu nyata mendekati sebuah pintu rumah di tengah hutan. Bulu-bulu bergetar karena angin malam yang menyibakannya. Moncong mulutnya memeletkan ujung lidahnya yang panjang sembari mendekati pintu. Bau darah tercium pekat dari dalam.

 

Krieeet..!

 

Matanya yang perak menangkap daging manusia teronggok mati di atas dipan kayu. Santapan yang nikmat untuk mengganjal perut srigala hutan yang liar. Srigala itu datang mendekati mayat itu, mengendus-endus baunya yang busuk. Ia mundur, lalu melirik kesana-kemari sambil mengendus-endus lagi. Ia membuka matanya dan berlari ke luar. Dengan cekatan dia berhenti di sebuah lapangan kecil di tengah hutan, matanya melihat secarik kain hitam yang tergeletak di tanah. Ia mengendus-endus baunya. Srigala itu kembali mengitari hutan beberapa kali putaran, lalu kembali lagi ke tempat itu.

 

Awan hitam bergerak perlahan, sinaran bulan mulai memantul ke tanah. Angin malam terus berdesah memecah kesunyian. Srigala itu merunduk menggigit kain tersebut. Saat sinar rembulan mengenainya, dia mengaum. Auman yang sangat keras. Disambut dengan auman-auman lainnya. Lalu sebuah kejadian menakutkan terjadi. Saat tubuh srigala mulai mengeras, ototnya mulai terbentuk. Kedua kaki belakangnya yang kurus, mendadak memanjang dan membentuk layaknya kaki manusia dengan tapak srigala besar. Kedua tangannya keluar. Taring srigalanya semakin runcing. Kepalanya membulat, rambut-rambut perak tumbuh menjulur lebat. Tubuhnya yang semula bungkuk kini bisa berdiri setengah bongkok menatap ke arah angkasa dan rembulan yang menyinarinya penuh. Memberikannya kekuatan yang sangat besar.

 

“Aauuuuuuuuuuuuu!!!”

 

Auman yang lain menyahut. Menandakan mereka para srigala mendengar apa yang dia katakan.

 

“Grrhh...Shi...nya...”

 

 

 

Shinya menatap pada kumpulan pria-pria di seberang sana. Mereka sedang mengitari api unggun yang hangat sambil menyantap makan malamnya. Sedangkan Shinya di sini. Diikat pada sebuah pohon sambil dijagai oleh seorang prajurit kecil. Shinya merunduk, ia ingin sekali duduk tapi ikatannya memaksanya untuk tetap berdiri.

 

“Waktunya makan!”

 

Shinya mendongak ketika melihat Hakuei datang membawakannya senampan makanan. Ada sepotong daging di sana dengan roti yang kelihatannya masih hangat.

 

“Nah, aku punya makanan enak di sini.” Hakuei meletakannya tepat di bawah kakinya. Lalu dia bersedekap di depan Shinya. “Kenapa diam?” matanya kemudian melihat sulur-sulur yang mengikatnya. “Oh, ya. Aku lupa.” Ia lalu mengambil kembali nampan tersebut dan menyerahkannya kepada sang prajurit. “Kau suapi dia.”

 

Shinya hanya diam ketika Hakuei meninggalkan mereka. Dari kejauhan, Die memerhatikan tawanannya yang kelihatannya sulit dibujuk untuk makan malam. Kaoru yang memerhatikan Die yang sejak tadi menoleh ke arah pohon jadi ikut memerhatikannya. Hakuei datang dari arah sana.

 

“Bagaimana?”  tanya Kaoru.

“Aku sudah menyuruh prajurit itu untuk melayaninya. Semuanya beres!” ujar Hakuei lalu duduk di antara mereka.

 

Kaoru mengangguk-angguk kemudian kembali melanjutkan makan malamnya. Tapi Die sesekali menoleh ke arah pohon, dimana Shinya terus menggeleng saat diberi makan. Namun itu tidak terlalu ia gubris. Bukankah Die sudah cukup baik untuk tetap memberikan tawanannya makan daripada membiarkan dia mati kelaparan?

 

 

“Ayo, makanlah!”

 

Shinya menggeleng lagi. Prajurit itu terus memaksa, namun dia tetap menolek. Sampai mereka dikejutkan oleh kedatangan Die.

 

“Kenapa dengannya?”

“Oh, Tuan. Dia tidak mau makan.” Jawabnya.

 

Die melirik nampan makanan yang masih utuh dan Shinya yang tetap menatap tanah.

 

“Kemarikan nampannya,” Die mengulurkan tangannya ketika si prajurit menyerahkan nampan makanan tersebut. “Kau bergabunglah dengan yang lainnya.”

“Baik, Tuan.”

 

Die menghela sebentar ketika kepala itu tetap tidak mau melihat kearahnya.

 

“Kenapa kau tidak mau makan?”

 

Shinya tetap diam, sampai kemudian dengan sedikit kasar Die mengangkat dagunya hingga kedua mata mereka bertemu.

 

“Kau berusaha mengujiku, Nona?” ejeknya.

“Aku bukan ‘Nona’.” Jawabnya pelan.

“Lalu? Harus kupanggil apa seorang pemuda dengan gaun seperti ini?”

“Ugh!” Shinya berusaha melepaskan cengkraman di dagunya. Tetapi tidak berhasil, justru membuat wajahnya kaku dan berlaku serong membiarkan pipinya yang pucat terlihat terang. Die mendekatkan wajahnya ke pipinya, “Dengarkan aku, Nona...” bisiknya, “Aku tidak pernah sebaik ini sebelumnya kepada semua tawananku, apalagi pada seorang penyihir. Kau kuperlakukan dengan baik, karena kau bisa menunjukan jalan ke tempat para penyihir itu. Jadi, berhentilah bersikap memberontak dan nikmati makan malammu selagi bisa.”

 

Die kembali menatap wajah Shinya yang memerah. Ia tersenyum puas.

 

“Aku tidak pernah memohon padamu untuk rasa kasihanmu. Kalau kau memang mau membunuhku, bunuh saja.”

“Baik. Jika itu keinginanmu, aku turuti.”

 

Shinya menutup matanya. Berpikir jikalau benar pria ini akan segera mencabut pedangnya dan membunuhnya sekarang juga. Tetapi, ternyata perkiraannya meleset. Saat dia membuka, Die sudah melenggang pergi membawa makanannya. Tetapi kemudian dia berbalik.

 

“Pedangku terlalu bagus kalau kugunakan untuk membunuhmu. Kalau kau ingin mati, bagaimana kalau kau kusiksa sampai kau benar-benar tahu artinya sebuah kematian...” dia menyipitkan matanya, “...Nona?”

 

 

 

Panas terik membakar kulit para prajurit. Langkah mereka semakin lama semakin lambat. Kuda-kuda mereka selalu mengibaskan ekor memberi angin pada kaki belakang mereka. Tanah-tanah yang mereka pijak sepertinya bisa mengeluarkan asap yang begitu panas. Rombongan Die sudah melewati dari hutan dan berjalan di sebuah jalanan tanah yang berbatu.

 

Kaoru kelihatan cukup lelah dengan perjalanan kali ini. Rasa haus juga membuat Hakuei berkali-kali minum persediaan airnya hingga isi kantong minumnya kosong kali ini. Shinya berjalan di belakang, dengan tangan masih terikat sulur yang dikaitkan ke sebuah pelana kuda di depannya. Keringatnya mengucur sejak tadi, dan dia sudah berjalan dengan begitu payah. Rasanya ia sudah beberapa kali berhalusinasi.

 

“...air..” desisnya. Tetapi tak seorangpun mampu mendengarnya. Suara tapal kuda di depannya membuat suaranya tenggelam. “Air... aku butuh air!” Shinya mendengus. Tapi semuanya seperti benar-benar tuli. Shinya sudah benar-benar tidak tahan dan kembali ambruk ke tanah.

 

Beberapa orang prajurit di belakangnya berteriak. Memberhentikan kuda prajurit di depannya juga kuda Die yang berada di barisan paling depan. Die turun dari kudanya dan mendatangi kerumunan prajurit yang berusaha menolongnya.

 

“Kenapa lagi?”

“Sepertinya dia kehausan, Tuan.”

“..haaah...ai..r...” igau Shinya.

 

Die melihatnya, tubuhnya penuh dengan keringat dan wajahnya begitu pucat. Rasanya sebentar lagi dia akan mati. Die menerobos para prajurit dan melihat keadaannya. Tubuhnya lunglai dan dia terus meracau tentang air. Die segera membopongnya ke depan, membawanya naik bersamanya ke kudanya.

 

“Katakan di mana ada mata air?!” tanyanya.

“Setengah mil lagi dari sini, ada sebuah desa bernama Tisdale. Kita bisa menemukan peradaban di sana.” Hakuei menjawab dari petanya.

 

Die segera memacu kudanya.

 

 

*****

 

 

Mata Shinya terbuka perlahan. Dia sadar, dia sudah tidak lagi berada di jalan saat melihat kain-kain kelambu yang menutupi sekitarnya. Ia bangkit dari pembaringannya dan melihat bayangan seorang pria duduk di kursi. Saat Shinya menyibakan kain kelambunya, wajah serius Die menyapanya.

 

“Bagaimana rasanya?”

 

Shinya diam. “Ba—baik.”

 

“Bukan itu,” Die bangkit. “Bagaimana rasanya mencoba untuk mati?”

 

Shinya memerjap, ternyata dia salah mengira. Wajahnya kembali datar.

 

“Sekarang kau masih mau mati?” Die mendekat ke ranjangnya.

“Kenapa kau begitu membenciku?” tanyanya.

“Karena aku benci pada penyihir seperti kalian,”

“Tapi aku bukan penyihir.”

“Kenyataan tidak bisa untuk disangkal,” Die memerhatikan simbol hitam di dada Shinya. “kau tetap seorang penyihir.”

“Tapi aku tidak pernah menyihir siapapun,”

“Sekarang mungkin belum,” Die memandanginya. “...tapi nanti?”

 

Shinya tertunduk ketika Die meninggalkannya sendirian. Entah kenapa dia menjadi sangat sedih. Dalam diam, dia mengusap simbol aneh yang sejak lahir muncul di sana. Benar, ini adalah simbol bahwa Shinya seorang penyihir. Itu kenyataan. Bahkan ketika Shinya ingin menyangkalnya, justru itu akan menjadi sebuah kebohongan. Dan siapapun tidak senang dibohongi.

 

 

Die benci penyihir. Itu kenyataan. Sama nyatanya dengan simbol yang tertera di dada Shinya. Die akan membencinya selamanya. Selama ini Die terus memburu mereka. Semua penyihir-penyihir yang sudah menghancurkan negerinya beserta keluarganya. Bagaimana dengan picik dan jahatnya mereka mengubah seluruh keluarganya menjadi batu dan membinasakan kedua orangtuanya? Kejam.

 

Jangan salahkan jika sekarang Die berganti membabi buta menghancurkan mereka. Ia tidak kenal ampun. Ia tidak kenal dengan belas kasihan seperti apa yang dia saksikan ketika kedua orangtuanya dibunuh di depan matanya dengan cara yang menyakitkan. Bagaimana bisa seorang penyihir bisa dengan begitu tega menghabisi segalanya hanya demi satu tujuan yang sama sekali tidak berguna. Tidak manusiawi dan tidak berharga.

 

Dan sekarang dia menemukan satu lagi bangsa penyihir yang kecil yang tersesat di hutan. Dia penyihir. Dia sama saja dengan bangsa penyihir yang lainnya. Seharusnya sejak awal Die membunuhnya seperti penyihir-penyihir lain yang sudah pernah ia temui. Tetapi, entah mengapa Die sepertinya tidak bisa melakukannya. Selain karena kemungkinan dia bisa menunjukan jalan ke tempat Ursula berada. Die tidak merasakan aura jahat sama sekali. Die mungkin hanya bangsa hobbit—manusia—, tetapi Die bukanlah seorang manusia yang lemah.

 

“Hhh...” Die membaringkan dirinya.

 

Ada yang salah dengan dirinya. Mungkin dia terlalu banyak berpikir akhir-akhir ini. Dia tidak sabar untuk segera membinasakan Ursula lalu pulang kembali ke negerinya.

 

 

*****

 

 

Malam itu penginapan tutup lebih cepat. Baru saja senja tenggelam di ufuk barat, toko-toko dan rumah-rumah di desa itu telah menutup pintu rumahnya rapat-rapat dan membuat jalan sesepi kuburan. Hakuei dan Kaoru yang saat itu sedang bersantai tentu saja penasaran dengan apa yang terjadi. Setahu mereka desa ini adalah desa yang sedang berkembang. Tetapi tidak pernah tahu bahwa mereka telah menutup toko di jam-jam sore seperti ini.

 

“Itu karena penyihir,” si pemilik penginapan bercerita. Kaoru dan Hakuei bertatapan sejenak. “Setiap bulan purnama kami selalu was-was dengan kedatangan penyihir yang selalu menculik anak-anak gadis di desa kami. Kami benar-benar takut, karena mereka bisa muncul di mana saja.”

“Menculik anak gadis?” Hakuei mengulang.

“Benar.” Ibu berumur paruh baya itu mengangguk kecil. “Kami dengar para penyihir menghisap darah gadis-gadis perawan untuk menambah kekuatannya. Suatu kali, penduduk kami pernah menemukan mayat seorang anak dengan kondisi yang menyedihkan. Seluruh badannya jadi keriput dan kering. Kalau saja saat itu Ayahnya tidak bisa mengenalinya, kami sudah tidak bisa mengenali lagi wajahnya. Padahal dulu anak itu adalah kembang desa di sini. Pokoknya benar-benar mengerikan!”

“Apa kau tahu siapa penyihir yang melakukan itu semua?”

“Kami tidak pernah tahu,” jawabnya enggan, “...tapi...”

“Tapi?” Kaoru dan Hakuei bersuara.

 

Wanita itu melirik ke sekelilingnya seperti hendak mengamankan situasi, kemudian dia mendekatkan badannya ke depan meja. Kaoru dan Hakuei melakukan hal yang sama. Ini seperti sebuah rahasia besar.

 

“Beberapa bulan lalu, seorang penduduk mengintip dari dalam rumahnya. Dia mengaku melihat seorang wanita muda dengan gaun hitam dan selendang panjang berjalan di tengah-tengah jalan pada tengah malam. Sejak kemunculan wanita itu, keesokan harinya pasti ada seorang anak gadis di desa kami yang menghilang. Terkadang tubuhnya tidak pernah ditemukan. Ada yang bilang, tubuh gadis-gadis itu setelah dihisap darahnya mayatnya lalu diberikan kepada srigala jadi-jadian untuk dimakan.” Ia berjingit ketakutan. “Kami benar-benar takut...!”

“Sekarang purnama, berarti penyihir itu akan datang?” tanya Hakuei.

 

Wanita itu mengangguk ragu.

 

“Apa... di desa ini masih ada anak gadisnya?” tanya Kaoru. Tiba-tiba wanita itu terkejut. “Oh, ya Tuhan! Yorin!” pekiknya. “Ayahnya kemarin hendak menikahkan ia paksa, tetapi dia tidak mau dan mengancam bunuh diri. Sekarang hanya tinggal Jessica satu-satunya perawan di desa kami!”

 

 

*****

 

 

Die memerjapkan matanya saat itu juga lalu melirik ke arah pintu ketika sebuah bayangan berlari melewati kamarnya. Dia tertegun sejenak lalu berlari ke arah pintu dan,

 

“Akh!” dia terkejut. Kaoru muncul di depannya. “Kau mengagetkanku, tahu!”

“Aku baru mau mengetuk pintu kamarmu, kau sudah membukanya duluan.” Balas Kaoru.

“Jangan bahas itu dulu,” Die melihat sekelilingnya yang sepi. “Kau tadi liat seseorang lewat sini?”

“Tidak.” Jawabnya. “Sejak aku naik tangga, tidak ada seorangpun yang melewatiku,”

“Sial!” Die teringat sesuatu dan langsung berlari ke kamar ujung tempat dimana Shinya beristirahat. Kaoru mengikutinya dengan cepat langkah pria gondrong itu.

 

Brak!

 

Dia membuka pintu dan mendapati kamar itu kosong.

 

“Dia kabur!”

 

 

 

Di bawah kamar penginapan, Hakuei bersama seorang gadis yang katanya akan diculik oleh si penyihir. Setelah mendengar cerita dari si pemilik penginapan, Hakuei dan Kaoru memintanya untuk membawa gadis itu ke penginapan. Jika benar penyihir itu adalah Ursula, maka mereka tak perlu jauh-jauh mendatangi sarangnya. Mereka bisa langsung menghabisinya di sini.

 

“Tapi dengan cara apa kalian bisa membinasakan mereka?”

“Tenang saja, Bu. Kami adalah prajurit yang sudah terlatih.” Hakuei sombong.

“Kakak, tolong aku. Aku takut sekali.” Gadis itu mencengkram lengan Hakuei. Hakuei tersenyum. “Tenang saja, kau pasti aman.”

 

Die dan Kaoru muncul dari tangga dengan tergesa. Kali ini dia terkejut lagi dengan apa yang sudah Kaoru sampaikan padanya tentang penyihir yang menghisap darah manusia. Usahanya untuk mencari Shinya pun kali ini harus urung demi memastikan dugaan Kaoru dan Hakuei.

 

“Di mana dia?” tanya Die.

“Belum kelihatan.” Hakuei menjawab.

“Lalu?! Sedang apa kau!?” Die melotot memerhatikan tangan Hakuei yang mencari kesempatan. Hakuei nyengir. “Kau yakin dia akan muncul?” kali ini Die melirik Kaoru.

“Hanya gadis itu perawan satu-satunya di sini. Dia pasti akan muncul.”

 

Wusshh!

 

Serentak, mereka semua mematung ketika merasakan semilir angin yang menusuk kulit mereka. Gadis itu bersembunyi di belakang Hakuei ketakutan. Sang pemilik penginapan menjauh dari tempat itu dan bersembunyi ke balik pilar. Setengah jam mereka di sana, tetapi tak ada satupun yang terjadi. Hingga Die mulai merasa frustasi. Kehilangan tawanannya dan sekarang menunggu sesuatu yang tidak jelas.

 

“Aku akan mencari penyihir itu!” Die bangkit. Kaoru menahan, “Kau akan mencari ke mana?”

“Ke manapun, asal bukan di sini. Lagipula, dia masih belum jauh, kan?!” Die berjalan ke arah pintu.

“Mungkin maksudnya bukan Ursula, tapi Shinya...” bisik Hakuei. Kaoru menghela kecil.

 

Saat Die membuka pintu keluar, angin memaksa masuk. Hembusannya begitu kencang sampai bisa menerbangkan semua sampah di luar dan debu-debu. Tiba-tiba, gadis yang bersama Hakuei berdiri dan menjadi aneh.

 

“Nona, kau kenapa?” tanya Hakuei. Tetapi gadis itu tidak menghiraukannya. Dia berjalan ke arah pintu keluar tepat dimana Die berdiri. Die melihat ada sesuatu yang berbeda dengannya.

“Kau tidak boleh pergi!” Die menahannya, Kaoru dan Hakuei tercenung. Die menahan kedua bahu gadis itu, tapi sesuatu yang mengejutkan terjadi. Dia perlahan tergeser mundur sedikit demi sedikit. Dia seperti tidak bisa menghentikan kekuatan dari gadis ini. “Kalian bantu aku! Gadis ini dikendalikan!”

 

Saat itulah Kaoru dan Hakuei sadar mereka sudah berhadapan dengan seorang penyihir!

 

Kaoru dan Hakuei menyongsong ke arah mereka, membantu Die menahan gadis itu. Tetapi gadis itu seperti berubah menjadi orang yang 10 kali lebih kuat dari mereka. Bahkan ketiganya kini terseret mundur karena tidak kuat menahan langkah gadis itu.

 

“Ugh!” Die mengerang. Kaoru menyadari ada yang tak beres dengan kedua tangan Die saat darah merembes dari balik bajunya. “Die..?”

“Nona! Berhentilah!” Hakuei berlari, menarik pinggang gadis itu ke belakang. Tetapi sia-sia, iapun justru ikut maju terbawa.

 

Tiba-tiba Die melepaskannya, Kaoru dan Hakuei bingung. Kemudian Die mencabut pedangnya dan menyingkirkan Hakuei dari belakang gadis itu. Kaoru dan Hakuei sangat terkejut saat Die menghunuskan pedang ke leher gadis tersebut.

 

“Gadis ini akan kubunuh kalau kau tidak menampakan diri!” ancamnya.

“Die...?!” Kaoru memekik.

“Tuan, kau jangan gila! Dia bisa benar-benar mati dipedangmu!” sahut Hakuei.

 

Tapi Die seperti menantang bahaya. Walaupun ia terpaksa harus membunuh gadis itu. Sayangnya, gadis itu tetap melaju jalan hingga lehernya terhunus. Darah mengucur dari sisi tajam pedangnya. Die merenggangkannya.

 

“Lepaskan dia!” Hakuei mencoba membantu. Tapi Die segera menjatuhkannya. “Aku serius! Kalau kau tidak menampakan diri, gadis ini akan mati!” Die mencengkram sebelah lengan gadis itu kembali menghunuskan pedangnya.

“Die, itu tidak ada gunanya! Penyihir itu tetap akan membunuhnya dan mengambil darahnya. Kau justru akan membantunya mendapatkan darah perawan dengan lebih mudah!”

 

Die mulai gentar. Ia harus apa?

Saat Die mulai bingung, dari arah samping Shinya datang menyongsong. Merebut pedang Die dan mengayunkannya tepat di depan mereka. Mereka semua tercengang karena Shinya sama sekali tidak mengenai apapun, kecuali hanya angin. Setelah itu Shinya seperti menarik sesuatu. Sesuatu yang kosong yang tak kasat mata. Tetapi mereka semua baru sadar, bahwa Shinya sedang menarik sesuatu yang tak terlihat. Bentuknya bergaris, bahkan kini melukai tangannya.

 

“Benang!” seru Kaoru.

 

Pemuda itu bisa melihat kilauan seutas benang yang terpantul oleh cahaya. Saat itu juga, gadis dicengkraman Die jatuh tak berdaya seperti lepas dari sihir. Shinya menarik benang itu sendirian hingga kemudian terbakar seperti sebuah sumbu yang mengarah pada satu arah.

 

“Lihat!” Hakuei berseru sambil menunjuk sesuatu yang muncul dari balik pohon.

 

Mereka semua terdiam ketika melihat kemunculan sosok asing dengan gaun pakaian serba hitam. Matanya kekuningan dengan warna rambut serupa. Ia berdiri sambil melepaskan benang-benang dari tangannya yang telah terbakar. Seulas senyum menyambut dibibirnya yang bercorak kehitaman. Die memicingkan matanya benci.

 

“Toshiya...”

 

Penyihir bernama Toshiya itu tersenyum puas, kemudian tertawa keras sambil terbang membumbung ke udara. Kaoru dan Hakuei waspada.

 

“Wah. Wah...! Tidak kusangka aku bertemu lagi dengan kalian di sini, Pangeran-Pangeran tampan.” Godanya.

“Apa maumu?” Die menggeram.

 

Toshiya menyilangkan kedua tangannya dan menatap mereka semua dengan sinis. “Aku mau gadis itu,”

 

“Heuh!” Die mengejek. “Enak saja! Kau kira aku akan menyerahkannya begitu saja padamu?”

 

Toshiya tersenyum mengerikan. “Akan kupaksa,” ia menggumamkan sebuah mantra lalu mengayunkan telunjuknya ke arah mereka. Dalam sekejap sebuah aliran listrik keluar dari sana dan mengacaukan mereka. Die, Hakuei juga Kaoru bersiap bersembunyi dari sihirnya yang mampu menghancurkan apa saja, kecuali Shinya.

 

Trrtt!!

 

Mata mereka semua tertuju pada pemuda ketika Shinya membalas serangan Toshiya dengan aliran listrik yang sama. Toshiya terkejut, karena ada seorang penyihir yang berani melawannya.

 

Duar!!

 

“Akh!!” Toshiya terpental hingga menabrak pohon di belakangnya dan jatuh ke tanah. “Uhh...!” Dia bangkit sambil memegangi dadanya yang nyeri. Ia memandang Shinya dengan mata yang penuh dengan amarah. “Kau...”

 

Shinya berdiri memandangnya dengan wajah yang ragu. Dia sendiri sepertinya takut menghadapi penyihir ini. Walaupun akhirnya dia bisa menang.

 

“Aku akan mencarimu dan menuntut balas. Aku belum kalah...” ujar Toshiya. Sambil terhuyung, ia bangkit dan mundur secara perlahan. Muncul sebuah lingkaran hitam bergelombang yang entah dari mana datangnya hingga Toshiya menghilang di dalamnya. Kemudian lingkaran itu pun lenyap seketika.

 

Bruuk!

 

Shinya terjatuh. Wajahnya kelihatan syok sekali. Kedua tangannya mencengkram kainnya erat-erat. Sebenarnya dia sangat takut untuk menghadapi penyihir tadi. Kaoru dan Hakuei segera mendatanginya.

 

“Kau hebat sekali!” seru Hakuei.

“Terima kasih sudah menolong kami,” Kaoru lalu menepuk punggungnya, tetapi ia cepat sadar bahwa tubuh Shinya gemetaran.

 

Die yang sudah tidak lagi terpana dengan kejadian itu tiba-tiba merasa sebal. Dia bangkit dan meninggalkan mereka semua. Shinya menoleh padanya dengan wajah yang pucat.

 

 

*****

 

 

“Kami tidak punya tabib,” kata si pemilik penginapan ketika Hakuei menanyakan tentang keberadaan tabib padanya. “biasanya, kami membeli obat herbal di pusat kota untuk persediaan.”

“Bagaimana kalian bisa membeli obat kalau kalian tidak bisa tahu soal penyakit yang diderita?”

“Memang sulit. Tapi si tabib dari kota sudah membuat takaran sendiri di setiap bungkusnya dan menuliskan kegunaannya serta gejala-gejala penyakit yang kira-kira muncul kalau ada yang sakit. Jadi kami memberikan obat berdasarkan itu.”

“He?” Hakuei mendelik bingung. Sementara Hakuei sibuk dengan si pemilik penginapan, Kaoru kembali berpikir. Kemudian, ia terpikirkan sesuatu.

 

Pada malam harinya, setelah mereka semua selesai makan malam. Kaoru segera mendatangi kamar Die.

 

“Bagaimana dengan lukamu?”

“Luka apa?” Die bicara seolah tak paham.

“Jangan bohong terus. Tanganmu masih terluka, kan?”

 

Die tidak menggubrisnya dan masih membersihkan pedangnya. Kaoru duduk di kursi di dekatnya.

 

“Aku sudah menemukan tabib,” katanya. Die menoleh, “Benarkah?” Kaoru mengangguk. “Tapi bukankah tadi Hakuei bilang di tempat ini tidak ada tabib?” ia heran.

“Tidak. Sebenarnya ada.”

“Oh, ya? Siapa?”

“... Shinya.”

 

Die mematung. Lalu meletakan pedangnya di atas meja. Pemuda itu tidak bicara. Kaoru menepuk bahunya.

 

“Ayolah, pangeran Die. Kau tahu dia seorang tabib.”

“Hey! Yang aku tahu dia adalah seorang penyihir!”

“Penyihir dan tabib.”

 

Die menghela. “Dari mana kau tahu dia bisa menyembuhkan orang sakit?” ejeknya.

 

“Bagaimana kalau kita menguji kemampuannya,” Kaoru tersenyum.

“Mengujinya?” Die bingung. “Dengan apa?”

 

Kaoru menarik lengan Die dan meletakannya di atas meja. “Dengan lukamu, Pangeran!”

 

 

 

Die terus memandangi keramik Cina yang terpajang di sudut ruangan. Sesekali mulutnya mendesis menahan rasa ngilu pada lengannya yang saat ini sedang Shinya obati.

 

“Aaahhh!! Aww!” Dia mengerang, “Kau bisa pelan sedikit? Ini sakit!”

 

Shinya menghela. Die kemudian melihat lukanya yang telah diperban. Sementara Shinya merapihkan kotak obat pinjaman dari sang pemilik penginapan.

 

“Heh,” panggil Die. “kau tidak menggunakan sihir untuk menyembuhkan lukaku, kan? Jangan curang, ya!”

“Aku tidak pernah memakai sihir untuk pengobatan,”

 

Die mendecak. Shinya bangkit dan keluar dari kamarnya. Tinggal Die yang terus memandangi lukanya yang terasa tidak ngilu lagi.

 

“...dia pasti pakai sihir.”

 

 

 

 

 

Continue...

1 komentar:

  1. halo salam kenal...
    sebenarnya aku baca pertama kali part 24..dan hmmm
    terus lanjut ke part 22..dan hhhmm menarik..
    akhirnya aku baca part 1 ini..*aku klo baca biasa dr belakang dulu :)

    aku sukaaaaaaa banget sama ceritanya, tolong dilanjutin ya ke part 25..sedih, nasib Shinya ntar gimana *hiks

    makasih ceritanya :)

    BalasHapus