Author : Duele
Finishing : Desember 2012
Genre : Fantasy
Rating : PG15
Chapter(s) : 7/on going
Fandom(s) : Dir en Grey
Pairing(s) : DiexShinya
Note Author : Thanks for keep
reading this story J
Shinya menatap
ke angkasa, sederet burung bangau terbang melintas di langit. Membentuk sebuah
barisan berbentuk V besar dengan kepakan sayap bergelombang yang membuat mereka
kelihatan cantik. Shinya sebenarnya bukan sedang bersantai-santai memandang
awan, melainkan sedang menghitung sesuatu. Tak ada seorangpun yang sadar bahwa
kini dia sedang menghitung sesuatu yang hanya bisa dilakukannya pada saat
tertentu.
Hanya si
srigala yang mengetahui tentang apa yang Shinya kerjakan saat itu. Sambil
berjalan leha, srigala berbulu perak itu menghampirinya.
“Kau sedang
apa?”
“Uhm?” Shinya
memandang srigala itu. Dia tidak menatap Shinya namun jelas dia sedang
mengajaknya bicara serius. “Tidak ada.” Jawabnya kemudian berlalu meninggalkan
Kyo.
Kyo hanya bisa
melihat Shinya berlalu, wajahnya yang datar sama sekali tak bisa menggambarkan
apa yang sedang dia pikirkan. Namun sebetulnya dalam hati, dia khawatir.
Die menatap Shinya
dari jauh. Ia melihat Shinya berjalan sendirian sambil mengumpulkan kayu bakar.
Sejak Shinya jadi tawanan, dia memang diperlakukan untuk mengerjakan segalanya
sendirian. Tak pernah sekalipun dia bergabung dengan Die dan kawan-kawan saat
bermalam di hutan. Hanya Shinya yang terasing sendiri.
“Ada apa?” Kaoru
muncul.
“Ooh, tidak
apa-apa.” Katanya kemudian duduk.
“Tidakkah kita
terlalu jahat pada Shinya?”
“Apanya?”
“Membiarkan dia
mengurus kebutuhannya seorang diri. Padahal dia sudah bukan tawanan lagi,
bukan?”
“Dia mau
melakukannya sendiri, kok.”
“Itu karena
tidak ada seorangpun yang mengajaknya untuk bergabung bersama kita.”
Die hanya diam,
Kaoru terus memandanginya saat Die sadar, dia kelihatan tidak senang.
“Kenapa
melihatku begitu?” tanya Die dengan suara agak tinggi. Kaoru masih melihatnya
dengan mata yang penuh arti. Die mendecak. “Kau ingin aku mengajaknya untuk
bergabung di tenda kita?”
“Aku tidak
mengatakannya, tapi kau sendiri sadar bahwa sepertinya kau memang harus
melakukan itu.”
“Kenapa harus
aku?”
“Kurasa karena
kau pemimpin di sini,” ujarnya. Tak
berapa lama Tashiya muncul di antara mereka. “lagipula, aku ada urusan yang
lebih penting.” Kaoru tersenyum penuh arti kemudian meninggalkannya.
“Heh!!”
Sungguh Die tak
memiliki ide bagus bagaimana mengajak Shinya bergabung bersamanya setelah
sebelumnya dia merasa sudah menjatuhkan harga dirinya untuk mengajak penyihir
itu menjadi rekan seperjalanan mereka.
“Ck!
Menyebalkan!”
Malam kian
larut, api unggun rombongan masih menyala. Die masih kelihatan menatap pusara
api yang besar membara membakar patahan-patahan kayu bakar. Kaoru kelihatannya
sibuk dengan pacar barunya, Hakuei sudah tumbang di dalam tenda. Die kikuk
dengan suasana seperti ini. Terkadang dia menyalahkan Kaoru yang bisa-bisanya
membawa wanita turut serta dalam perjalanan mereka. Tapi sudah kepalang
tanggung, Die tidak bisa tiba-tiba menyalahkan Kaoru untuk keputusan yang dia
ambil sendiri. Tapi itu berujung kepada kekesalan Die sendiri.
“Mau ke mana?”
Tanya Kaoru saat Die beranjak.
“Berjalan-jalan,
mencari angin.”
“Ohh…”
Tanpa menatap
Tashiya; yang masih setia menempel pada Kaoru, Die berlalu. Meninggalkan
mereka, menjauhi tenda. Sekali-kali dia menengok pada sudut api unggun tempat
Shinya berada. Pemuda itu tidak ada!
Shinya berdiri
sambil menatap angkasa malam itu. Dia berusaha melihat bintang-bintang yang
tersemai di langit. Kemudian dengan telunjuknya dia mencoba untuk menyatukan
garis bintang yang ada di angkasa. Entah apa yang sedang dia lakukan, namun hal
itu terlihat oleh Die dari balik pohon. Pemuda itu sebenarnya penasaran dengan
apa yang sedang Shinya lakukan sendirian di tempat ini. Karena sudah beberapa
hari ini Die memperhatikan gerak-geriknya yang mencurigakan. Tapi Die tidak
segera menyergapnya, ia lebih memilih untuk melihat langsung apa yang
sebenarnya dilakukan oleh penyihir aneh tersebut.
Namun, sial.
Sepertinya Shinya menyadari kehadiran Die saat dia menoleh dengan wajah penuh
keterkejutan ke arah pohon tempat dimana Die bersembunyi. Merasa sadar sudah
ketahuan, akhirnya Die menunjukan dirinya.
“Sebetulnya kau
sedang apa?”
“Tidak…tidak
ada apa-apa.”
“Kau masih
belum mau jujur juga, ya?” Die mendekatinya. Shinya mundur selangkah, matanya
masih bersiaga mengawasi gerak-gerik Die yang mengerikan. Siapa tahu pemuda itu
akan menghunuskan pedangnya kembali padanya. Tetapi sepertinya pemuda ini tidak
membawa pedangnya untuk saat ini.
Die kini
semakin dekat. Berdiri hanya selisih selangkah dari tempatnya berdiri. Pemuda
berambut panjang itu kelihatan ingin sekali menghakiminya saat itu juga. Shinya
pasrah saja. Dia tak punya banyak kekuatan untuk melawan pemuda ini. Walaupun
dia punya sihir, tetapi Shinya tidak pernah ingin menggunakannya untuk
menyakiti orang lain. Itu sumpahnya.
“Kau ini
sebenarnya siapa?” tanya Die dengan suara agak berat. Mungkin inilah suara
aslinya jika moodnya sedang bagus. Apa? Bagus? Bukankah Die sekarang sedang
menghakimi Shinya? Tatapannya. Gerakannya. Jelas sekali dia ingin sekali Shinya
bicara jujur saat itu. Ia seperti menampilkan sosok hakim yang tersembunyi di
dalam dirinya. Sosok hakim yang ingin segera menghakimi sang terdakwa.
Shinya hanya
bergerak mundur perlahan, semakin lama semakin ke belakang. Hingga ia tak sadar
bahwa tak ada tempat lain ketika punggung menabrak pohon. Ia melihat pemuda di
hadapannya, ia berdiri dengan wajah serius. Shinya beranjak, tetapi Die segera
mengunci ruangnya. Saat Shinya bergerak ke arah lain, tangan lain menguncinya
juga.
“Katakan, apa
yang sedang kau kerjakan? Apa kau sedang merencanakan sesuatu?” Die memaksanya
untuk melihat mata hitamnya. Mengintimidasinya dengan guratan keras berkerut di
kedua sisi alisnya yang menyatu. Namun Shinya masih tetap bungkam, tapi bukan
berarti dia tak memiliki jawaban.
“Kau tahu aku
paling kesal dengan orang yang tidak jujur. Sebaiknya kau katakan tentang siapa
dirimu sebenarnya, atau—”
“Aku belum bisa
mengatakannya.” Jawab Shinya tak mau melihat pandangan intimidasi tersebut.
Kemudian Die
melepaskannya. Pemuda itu menghela berat sampai terdengar oleh Shinya.
“Kau
merencanakan rencana untuk menjebak kami?”
“Tidak.”
“Atau kau
sedang berusaha membuat sesuatu?”
“…mungkin.”
“Apa itu?” Die menoleh.
“Maaf. Aku
belum bisa mengatakannya.”
“Kau sedang
bermain teka-teki denganku?”
“Tidak.”
“Apa ada
jawaban lain selain ‘tidak’ dan ‘iya’?” Die benar-benar ingin tahu.
Shinya
memandangi tanah di bawah kakinya. “…maaf.”
“Ck!” Die
mendecak kecewa.
*****
Ada yang
berbeda dengan Die beberapa hari ini. Pria yang biasanya sering berbicara
ngelantur itu sekarang lebih banyak diam selama perjalanan. Ia juga kelihatan
lebih tenang dan tidak terlalu banyak bergerak seperti biasanya. Ternyata
selama beberapa saat, Die selalu terfokus pada Shinya. Pemuda itu sedang
berusaha berpikir keras dan menebak-nebak, kira-kira apa yang sedang Shinya
rencanakan. Instingnya mengatakan bahwa apa yang dia rencanakan pastilah
mengejutkan. Tetapi di sisi lain, Die sama sekali tidak merasa tergigit dengan
suatu perasaan cemas atau semacamnya. Die hanya ingin melihat langkah
selanjutnya yang akan Shinya ambil setelah ini.
Pada
malam-malam berikutnya, Shinya kembali melakukan hal yang sama; berdiri dalam
gelap sambil menghitung bintang. Benarkah dia hanya sedang sekadar menghitung
bintang-bintang cantik di angkasa? Sehebat apakah Shinya sampai bisa menghitung
ratusan juta bintang yang tersebar di langit?
Namun bukannya
Shinya tak pernah menyadari bahwa gerak-geriknya kini sedang diawasi oleh Die.
Walaupun Shinya sedikit resah, namun perlahan dia mulai membiasakan diri selama
sepasang mata itu memandangnya dari jauh, maupun dekat.
“Sampai kapan
kau mau terus bungkam? Sampai kapan kau mau berahasia terus?”
Untuk kesekian
kalinya Die memaksanya untuk mengaku. Die menginginkan kejujuran walaupun dia
berusaha untuk tidak terlalu percaya pada pemuda ini. Namun sesuatu yang
bergejolak di dalam dada Die tidak mampu disembunyikannya. Die hampir tidak
bisa menahan rasa penasarannya terhadap Shinya. Apa yang dia sembunyikan selama
ini telah berhasil mengalihkan perhatiannya sepenuhnya. Sampai dia lupa bahwa
ancaman bahaya dari penyihir-penyihir lain mungkin mengusik mereka.
Shinya menatap
pria itu. Tatapan yang sama seperti di awal mereka bertemu. Bengis dan sadis.
Shinya bukannya takut padanya, hanya saja dia harus tetap bungkam sampai
saatnya tiba. Setidaknya Shinya sudah tahu kapan dia harus berterus terang
tentang masalah ini.
Die
kelihatannya sedang diuji kesabarannya oleh pemuda ini. Karena sampai sekarang
dia masih belum mau mengatakan apapun kepadanya. Padahal Die sangat penasaran.
Dia seperti sedang berada dalam kondisi penipuan yang sama sekali tak bisa dia
prediksikan, kapan meledaknya dan kapan mereka mati karena dia tetap membiarkan
penyihir gagu ini bersama rombongannya.
“Kalau kau
masih terus bungkam seperti itu, lebih baik kau tidak perlu ikut dengan kami
lagi.” Ujarnya kemudian. Shinya tercengang. Die berbalik kecewa meninggalkannya
dengan segala kebisuannya.
*****
“Jadi dia
penyihir?” Tashiya memerjapkan matanya kaget.
Dia sedang
bertanya-tanya mengenai rombongan kecil mereka. Dan kali ini pertanyaannya
mampir pada penyihir berparas cantik yang mereka panggil Shinya.
“Tapi dia tidak
jahat.” Jawab Kaoru.
“Kau yakin?
Setahuku penyihir banyak sekali akalnya. Mungkinkah dia berpura-pura?”
“Entahlah. Tapi
selama dia mengikuti kami, dia selalu membantu kami. Baik dengan ilmu
pengobatannya juga sihirnya.”
“Apakah dia
sehebat itu?”
“Aku tidak
tahu.” Kaoru menatap ke arah hutan. “Tapi aku punya perasaan bahwa dia bukanlah
orang yang jahat.”
“Tapi dia
penyihir…”
“Aku tahu…” dia
menatap Tashiya lekat. “tapi mungkin saja Shinya berbeda.”
Tashiya
merengutkan wajah. Dia merasa tidak suka.
“Kenapa?”
“Kalau kau
bicara begitu, kau kelihatan seperti menyukainya.” Dia membuang muka.
“Ah?! Kenapa
begitu…?”
“Tidak tahu…”
Tashiya membalikkan badan.
“Aeh, kau
cemburu?”
“Tidak.”
Kaoru hampir
tertawa, “Kau cemburu.”
“Tidak..”
Dan sesaat
kemudian suara tertawa geli Tashiya terdengar dari dalam tenda. Diselingi
dengan suara-suara nakal lainnya. Hakuei melirik ke arah tenda dengan wajah
memerah.
“Dasar,
pangeran.” Cibirnya.
“Kau iri?”
suara dari srigala perak itu terdengar. Hakuei menoleh kepadanya. “Ah, tidak.”
Jawabnya sambil melempar kayu ke arah api.
Srigala itu
nampak tenang sambil tidur-tiduran.
“Oh, ya… sudah
berapa lama kau menjadi seperti ini?” Hakuei membuka topik pembicaraan.
“Lama sekali.”
“Hey, Tuan
srigala…”
“Namaku Kyo!”
“Ah, iya, iya!
Maaf.” Hakuei menggigit bibirnya. “Hey, Kyo, benarkah kau tidak tahu asal-usul
dari penyihir Shinya?”
“Huh? Kenapa
kau bertanya begitu?”
“Terus terang,
aku juga sama penasarannya dengan Pangeran Die. Aku tahu Penyihir Shinya adalah
seorang penyihir. Tetapi aku merasa dia berbeda dari penyihir-penyihir yang
pernah kami temui selama ini.”
Srigala itu
mengangkat kepalanya saat Hakuei mulai bercerita mengenai beberapa penyihir
yang pernah mereka temui. Beberapa diantaranya sepertinya pernah Kyo dengar
namanya.
“Jadi
sebetulnya, Penyihir Shinya itu berasal dari mana?” satu pertanyaan akhir
Hakuei yang masih membutuhkan jawaban yang benar. Karena sampai saat ini diapun
tak memiliki bayangan dari manakah Shinya berasal.
“Aku tidak
tahu…”
Hakuei menoleh
pada srigala itu dengan wajah yang pasrah.
“Ooh..begitu…”
“Tapi bagaimana
menurutmu tentang Shinya?”
“Eh?” Hakuei
menunjuk dirinya sendiri. “Ssshh… sebetulnya aku tidak tahu banyak, sih,”
Hakuei melemparkan kayu lagi pada api. “Tapi kurasa Penyihir Shinya tidak
seperti penyihir yang lainnya.”
“Kau
menyukainya?”
“Oh, maaf…aku
normal.”
“Bukan itu
bodoh!” Srigala menggeretakan giginya.
“Oh, maaf…”
Hakuei tertawa kikuk. “Ya, sepertinya aku suka padanya. Seperti aku suka kedua
Pangeran itu dan merasa senang mengikuti mereka.”
“Haha, kau terlalu
jujur. Hati-hati dengan perasaanmu.” Kyo tidur-tiduran lagi.
“Eeeehhh! Jadi
apakah Penyihir Shinya itu jahat?!” Hakuei menggeser duduknya ke depan si
srigala itu.
Srigala malas
itu hanya membuka sebelah matanya. “Wah, tidak tahu, ya…”
“Ah, kau ini! Coba
katakan sesuatu, dong…!”
“Bagaimana
kalau aku mengatakan kau jangan mengangguku karena aku mau tidur…”
“Hih! Dasar
hewan mamalia.”
“Sekali lagi
kau sebut aku mamalia, kucakar wajahmu!”
Hakuei mundur.
Kembali ke posisi duduknya sambil melirik-lirik pada srigala tersebut.
“Dasar…”
Keesokan
paginya hal yang mengejutkan terjadi sebelum mereka memulai perjalanan. Atas
keputusan yang tiba-tiba dari Jenderal Die, Shinya sudah tidak boleh ikut
dengan rombongan mereka. Jelas saja ini membuat yang lain bingung dan mulai berdebat.
Mereka sama sekali tidak mengerti kenapa Jenderal Die mengambil keputusan itu.
Padahal rencana lain sudah disusun.
“Jenderal…?”
“Aku tidak mau
berdebat denganmu, Kaoru.” Katanya dengan mata sinis. “Aku sudah cukup lama
bersabar untuk ini. Penyihir itu sama sekali tidak jelas asal-usulnya. Dan aku
sudah mengambil keputusan kita sudah tidak bisa membawanya bersama kita.”
“Jadi kau akan
meninggalkan dia di sini?”
“Ya.”
“Jenderal, lalu
bagaimana dengan rencana yang sudah kita susun? Kita membutuhkannya untuk
membantu kita.”
“Satu-satunya
orang yang tahu kita membutuhkannya atau tidak, adalah aku. Dan aku merasa kita
tidak akan kehilangan banyak tenaga kalau penyihir itu tidak bersama dengan
kita!”
“Jenderal Die,
kau jangan keras kepala! Apa yang membuatmu berubah pikiran secepat ini?”
Die mendekati
Kaoru dengan pandangan tajam.
“Aku tidak mau
membahayakan kelompokku hanya untuk mendapatkan bantuan dari orang yang sama
sekali tidak jelas dan tidak mau diajak bekerjasama. Dan kau sebaiknya berhenti
bertanya karena aku sudah bosan dengan pembicaraan ini.”
Kaoru tercenung
saat Die meninggalkannya. Tashiya mendekatinya dengan wajah cemas sambil
mengelus bahu pria itu. Dia mendekap lengan pria itu dengan wajah takut.
“Kau jangan
membantahnya, mungkin apa yang dikatakan oleh Jenderal Die ada benarnya.”
“Orang itu…
benar-benar sulit untuk dibaca pikirannya.”
“Pangeran
Kaoru…”
*****
“Jadi kalian
akan meninggalkan kami di sini?” Srigala itu menatap serius ke arah Die di atas
kudanya.
“Ya, anggap
saja aku telah melepaskan kalian.”
“Kau adalah
manusia paling tidak tahu diri yang pernah aku temui,” kata Kyo.
Die menatap
dingin.
“Kau yang
meminta Shinya untuk ikut dengan rombonganmu, tetapi tanpa alasan yang jelas
kau meninggalkan dia di sini sendirian? Apakah kau pantas disebut sebagai
seorang pimpinan?”
“Terserah apa
katamu, srigala. Yang kutahu adalah kalian tidak bisa kami percayai.”
“Alasan bodoh
untuk sebuah keputusan bodoh.” Cibir Kyo. “Kau akan merasakan akibatnya nanti…”
Die tidak mau
mendengar ejekan lebih dari srigala berbulu perak itu. Dia sudah menendang
kudanya berbalik dan meninggalkan mereka di sana. Shinya hanya bisa mematung
melihat rombongan itu pergi meninggalkannya.
“Jadi, apa yang
akan kau lakukan sekarang, Shin?”
Shinya hanya
menunduk saja.
*****
Sudah dua hari
berlalu. Tak ada obrolan sama sekali di perjalanan itu. Semuanya kelihatan
tenang di posisinya masing-masing. Kaoru pun sama sekali tak banyak menyinggung
soal Shinya lagi. Rombongan kecil itu sebentar lagi akan memasuki kawasan
pegunungan berbatu yang menurut informasi yang mereka tahu, bahwa di atas
pegunungan itulah tempat Ursula tinggal. Ada sebuah kastil besar yang tak
sering orang temukan berdiri di sana. Hanya pada malam hari saja mereka bisa
melihatnya. Benar-benar seperti sarang iblis.
“Di atas gunung
itu…” Die menunjuk ujung gunung berkabut yang berdiri kokoh di hadapan mereka.
“Mungkin seminggu berjalan akan sampai dan kita bisa menemukan Ursula.”
Mereka semua mengangguk.
“Jenderal, hari
sudah mulai senja, bagaimana kalau kita mendirikan tenda di dekat sini.”
“Di sini
gersang sekali…” keluh Tashiya.
Mereka semua
melihat ke sekeliling mereka. Tempat itu memang seperti tanah lapang dengan
bebatuan yang menonjol dari tanah. Tak ada tumbuhan yang tumbuh di sana.
“Haku, apa
persediaan air kita masih ada?”
“Masih
Jenderal, tapi mungkin hanya akan cukup 2-3 hari saja.”
“Kalau begitu
ayo kita cari mata air di sekitar sini.” Ajak Die.
“Mau mencari ke
mana? Tempat ini sepertinya kering.”
“Kering bukan
berarti tidak ada air.” Die berkacak pinggang, kemudian dia mengambil sebuah
batu dari kakinya yang ukurannya cukup besar. “Lihat ini!” dia memperlihatkan
batu kusam tersebut.
“Itu batu… apanya
yang spesial?” Hakuei polos.
“Hhh…” Die
menghela pasrah.
“Batu itu
berlumut.” Jawab Kaoru.
“Lalu…?”
“Kalau berlumut
berarti lembab. Lembab, berarti ada air yang membasahinya.” Sambung Die.
“Ah, begitu!” Hakuei
baru mengerti.
“Mungkin di
sini beberapa hari lalu sudah turun hujan.” Lanjut Tashiya.
“Mungkin masih
ada air yang tersisa atau menggenang.”
“Ya, sudah.
Semuanya bergerak. Kita akan mencari air dan ketika matahari sudah benar-benar
tenggelam kita semua berkumpul lagi di sini. Kita akan bagi menjadi dua
kelompok,” belum sempat Die menyelesaikan kalimatnya, Tashiya kelihatan sudah
mendekap lengan Kaoru erat-erat. Die menggaruk dagunya yang sedikit gatal. “Ah,
oke… sepertinya kalian sudah tahu harus pergi dengan siapa.”
Mereka terbagi
menjadi dua kelompok, Die bersama Hakuei ke arah utara, Kaoru dan Tashiya ke
arah selatan. Sepanjang perjalanan Tashiya sama sekali tidak mau melepaskan
pegangannya dari Kaoru.
“Kaoru, aku
takut…”
“Tidak
apa-apa.”
“Tempat ini
menyeramkan.”
“Tenang saja.”
Mereka masih
berjalan mencari sumber air. Hakuei melihat ke pinggir-pinggir bebatuan untuk memastikan kemungkinan ada air di sana.
“Hati-hati…”
Die memperingatkan.
Karena gelap,
jalanan di sekitar mereka jadi mulai samar dan tak terlihat. Sesaat kemudian,
suhu tempat itu perlahan berubah. Hakuei yang mengenakan baju zirah hanya
setengah lengan sudah merasakan hawa dingin yang tak biasa. Disusul kemudian
kabut asap yang perlahan muncul entah dari mana.
“Dingin sekali,
Pangeran.” Keluh Hakuei sambil menggosok-gosokan kedua belah tangannya hingga
hangat. “Aku akan mencari lebih cepat sebelum tempat ini benar-benar tertutup
kabut.”
Die diam saja
saat Hakuei berlalu darinya. Pemuda itu memegangi sarung pedangnya kuat-kuat.
Ini bukan kabut biasa. Tempat rendah seperti ini mana mungkin muncul kabut. Ini
pasti ulah penyihir.
“Jenderal!
Jenderal! Lihat ke sebelah sini! Kita beruntung! Lihat ini, aku menemukan air!”
seru Hakuei. Namun beberapa detik setelah itu yang terdengar hanyalah sebuah
jeritan yang kemudian menghilang.
Die segera
berlari kecil menuju arah suara Hakuei, namun kabut itu semakin lama semakin
pekat. Saat Die menembusnya, dia tak menemukan Hakuei.
“Hakuei!”
Die
mencari-cari, tetapi wujud Hakuei tidak dia temukan.
“Hakuei!!”
Die menginjak
sebuah genangan air di kakinya. Saat dia melihat genangan air dangkal tersebut,
kakinya terasa begitu dingin. Die menyingkir darinya dan mengeluarkan
pedangnya. Dia tak yakin sesuatu apa yang sedang dia hadapi. Dia menunggu cukup
lama, tapi sama sekali tak terjadi apapun. Saat Die hendak meninggalkan tempat
itu untuk mencari Hakuei, tiba-tiba perhatiannya teralih pada genangan air
tersebut. Karena genangan air tersebut tiba-tiba beriak. Die mematung di tempat dan menatap pada
pantulan air tersebut. Ia hanya melihat pantulan wajahnya di sana. Tetapi ada sesuatu
yang menarik di sana.
Perlahan, Die
berjongkok di depan genangan air tersebut. Kemudian, dia bersujud dan semakin
mendekatkan wajahnya pada air. Ada sesuatu di sana. Ada sesuatu…
Pyak..!
Die menyentuh
permukaan air itu dan memasukan tangannya ke dalamnya. Pelan-pelan, setengah
tangannya masih ke dalam. Heran, itu hanya sebuah genangan air yang dangkal.
Namun kini hampir seluruh lengan Die masuk ke dalamnya. Wajahnyapun
perlahan-lahan ikut terendam ke dalamnya. Sebelum Die benar-benar terperosok ke
dalam, ia menggumamkan sesuatu…
“…ibu..”
“Tashiya!!!”
“Kao---
blppp,…!”
Kaoru berusaha
menarik tangan Tashiya walaupun hampir seluruh bagian tubuh gadis itu telah
tertelan oleh genangan air yang mereka temukan.
“Tashiya!!!”
Dia menjerit saat tangan Tashiya yang dia pegangi perlahan-lahan ikut tertelan.
Bahkan kini tangan Kaorupun mulai tertelan. “Tashiya!”
Tiba-tiba
sebuah tarikan kuat menarik Kaoru dan ia terpaksa melepaskan Tashiya dari
genggamannya. Kaoru tersungkur begitu rupa, hingga ia terguling. Namun kemudian
dia sadar dan mendapati seorang pria asing bertelanjang dada dengan bulu-bulu
halus di sekujur tubuhnya. Pria itu berdiri membelakangi genangan air dimana
Tashiya hilang. Kaoru naik naik pitam. Dia pikir pria inilah yang membuat sihir
seperti ini untuk menjebak mereka.
“Siapa kau!?”
Kaoru mengambil pedangnya.
Pria bertubuh
pendek itu kelihatan menjaga jarak saat Kaoru menghunuskan pedangnya.
“Kau tidak akan
bisa menolongnya.” Ucapnya.
“Siapa kau
sebetulnya?” Kaoru mengerutkan kedua alisnya.
Samar-samar
Kaoru bisa melihat sesuatu yang aneh dari pria di hadapannya ini.
“…kuping runcing?”
gumamnya.
Die memerjapkan
matanya. Dan ketika ia tersadar, dia sedang berada di sebuah ruangan yang
sangat besar. Langit-langit yang sangat tinggi dan pilar-pilar kokoh berwarna
pucat. Di dinding-dindingnya menempel obor-obor api yang tertampah pada
piringan berwarna keemasan. Dan kini Die tengah duduk di sebuah singgsana besar
di tengah-tengah ruangan.
Pelan-pelan Die
beranjak dari sana, kakinya melangkah gemetaran. Pikirannya sudah mengacu pada
satu jawaban mengenai tempat ini. Tempat yang sangat ia kenali.
“…ini rumah.”
Kaorupun sadar
bahwa pemuda yang tengah berdiri di hadapannya kini adalah srigala berbulu
perak yang dia kenal.
“Kau…Kyo?”
tanyanya dengan nada ragu.
Pemuda itu
mengangguk. Kaoru hampir menggeleng tak percaya sebelum akhirnya Kyo
menjelaskan.
“Ini siklus
perubahanku, Pangeran. Pada malam bulan Purnama penuh aku akan kembali ke
wujudku sebagai elf.”
“Jadi ini
wujudmu yang sebetulnya?”
Kyo mengangguk
lagi. Kemudian, Kaoru sadar akan sesuatu.
“Kau mengikuti
kami?”
“Ya. Kami
mengikutimu.”
“Di manakah
Shinya?”
“Dia…”
Die tidak
percaya dengan apa yang dia lihat. Saat Ayah dan Ibunya datang dan memeluknya
suka cita. Saudara-saudaranya berdatangan menyambutnya. Inikah mimpi? Tapi
kenapa begitu nyata? Die bahkan bisa membalas memeluk mereka dan menggenggam
tubuh mereka secara nyata.
“…Ibu…”
“Semuanya
baik-baik saja, Daisuke.”
Semuanya
baik-baik saja.
Ya, seperti
yang dia lihat, segalanya kembali seperti semula. Kembali seperti sedia kala.
Saat Die menengok ke beranda istanapun semuanya tak berubah sesaat terakhir dia
memimpikannya. Masa-masa damai yang membuatnya begitu betah berada di rumah.
Benarkah Die sudah kembali ke rumah?
“Kau ingat,
besok adalah hari perayaan panen. Ibu sudah meminta Tung untuk membuatkan baju
untukmu…”
Die terdiam,
saat dia menoleh senyum Ibu tak ada yang berubah. Sentuhannya, kehangatannya,
dia memang benar-benar Ibu.
“…Ibu…”
Kaoru dan Kyo
berlari mencari genangan air serupa. Menurut Kyo, bahwasanya genangan air yang
sudah menelan korban warnanya akan berubah menghitam. Saat mereka sedang
mencari genangan air tersebut, mereka justru bertemu dengan Hakuei.
“Pangeran!
Jenderal Die menghilang!” Hakuei panik. Namun kemudian perhatiannya teralih
pada sosok pemuda asing di samping Kaoru. “Si-siapa dia?”
“Tak penting!”
Kaoru menarik Hakuei. “Bagaimana kalian bisa terpisah?”
“Saat aku
menemukan air, aku terperosok jatuh dan pingsan. Waktu itu keadaan sudah mulai
berkabut. Aku meninggalkan Jenderal Die karena sangat senang menemukan air.”
Hakuei bercerita.
“Di mana
terakhir kali kalian bersama?” tanya Kyo.
“Aku tak ingat.
Kalian tidak lihat tempat ini menjadi begitu pekat? Kabut sudah menyelimuti
tempat ini.”
“Ini sihir! Ada
yang membuat tempat ini menjadi berkabut sehingga perhatian kita terpecah.”
Kata Kyo. “Kalian harus mencari genangan air yang berwaran hitam sebelum kita
terlambat.”
“Apa yang akan
terjadi dengan Jenderal kalau kita terlambat?” Hakuei panik.
“Genangan air
itu akan mengering. Memakan korban di dalam. Dia tak akan hidup.” Jawab Kyo.
“Tashiya!”
Kaoru teringat.
“Apa? Nona
Tashiya juga?”
“Aku harus
menyelamatkannya!”
“Percuma.
Mungkin sekarang dia sudah mati.” Kata Kyo menyurutkan tindakan Kaoru.
“Aku tidak bisa
membiarkan dia mati!”
“Pangeran!”
“Aku harus
menyelamatkannya!” Kaoru berbalik.
“Pangeran!”
tanpa pikir panjang, Hakuei ikut mengejar Kaoru dan meninggalkan Kyo.
Kyo mematung
sendirian di sana.
Die…
Die bangun.
Hari sudah siang. Suara terompet-terompet istana terdengar menggema di
telinganya. Kini dia tengah berada di dalam kamarnya sendiri. Sehabis tidur
tenang semalaman membuatnya merasa lebih baik. Pakaian-pakaian khusus sudah
tertata rapih di atas meja. Ia ingat hari ini adalah hari perayaan panen milik
rakyat. Seluruh keluarga istana akan datang merayakan dan mengadakan pesta
panen.
Die…
Die menoleh ke
belakang. Sesaat, Die merasa dipanggil oleh seseorang.
“Mungkin hanya
perasaanku saja.”
Die…
Continue...
aaaaaaaaarrrrrggghhh..tegang,,
BalasHapusitu Shinya siapa sih..trus Tashiya itu penyihir yg nyamar kan ya..
oiya, jangan lupa lanjutin ke part 25 ya.makasih :)