expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

02 Maret 2013

EXODUS (Part 7)

Title : EXODUS

Author : Duele

Finishing : Desember 2012

Genre : Fantasy

Rating : PG15

Chapter(s) : 7/on going

Fandom(s) : Dir en Grey

Pairing(s) : DiexShinya

Note Author : Thanks for keep reading this story J

 
*****
 

Shinya menatap ke angkasa, sederet burung bangau terbang melintas di langit. Membentuk sebuah barisan berbentuk V besar dengan kepakan sayap bergelombang yang membuat mereka kelihatan cantik. Shinya sebenarnya bukan sedang bersantai-santai memandang awan, melainkan sedang menghitung sesuatu. Tak ada seorangpun yang sadar bahwa kini dia sedang menghitung sesuatu yang hanya bisa dilakukannya pada saat tertentu.

 

Hanya si srigala yang mengetahui tentang apa yang Shinya kerjakan saat itu. Sambil berjalan leha, srigala berbulu perak itu menghampirinya.

 

“Kau sedang apa?”

“Uhm?” Shinya memandang srigala itu. Dia tidak menatap Shinya namun jelas dia sedang mengajaknya bicara serius. “Tidak ada.” Jawabnya kemudian berlalu meninggalkan Kyo.

 

Kyo hanya bisa melihat Shinya berlalu, wajahnya yang datar sama sekali tak bisa menggambarkan apa yang sedang dia pikirkan. Namun sebetulnya dalam hati, dia khawatir.

 

 

 

Die menatap Shinya dari jauh. Ia melihat Shinya berjalan sendirian sambil mengumpulkan kayu bakar. Sejak Shinya jadi tawanan, dia memang diperlakukan untuk mengerjakan segalanya sendirian. Tak pernah sekalipun dia bergabung dengan Die dan kawan-kawan saat bermalam di hutan. Hanya Shinya yang terasing sendiri.

 

“Ada apa?” Kaoru muncul.

“Ooh, tidak apa-apa.” Katanya kemudian duduk.

“Tidakkah kita terlalu jahat pada Shinya?”

“Apanya?”

“Membiarkan dia mengurus kebutuhannya seorang diri. Padahal dia sudah bukan tawanan lagi, bukan?”

“Dia mau melakukannya sendiri, kok.”

“Itu karena tidak ada seorangpun yang mengajaknya untuk bergabung bersama kita.”

 

Die hanya diam, Kaoru terus memandanginya saat Die sadar, dia kelihatan tidak senang.

 

“Kenapa melihatku begitu?” tanya Die dengan suara agak tinggi. Kaoru masih melihatnya dengan mata yang penuh arti. Die mendecak. “Kau ingin aku mengajaknya untuk bergabung di tenda kita?”

“Aku tidak mengatakannya, tapi kau sendiri sadar bahwa sepertinya kau memang harus melakukan itu.”

“Kenapa harus aku?”

“Kurasa karena kau pemimpin di sini,”  ujarnya. Tak berapa lama Tashiya muncul di antara mereka. “lagipula, aku ada urusan yang lebih penting.” Kaoru tersenyum penuh arti kemudian meninggalkannya.

“Heh!!”

 

Sungguh Die tak memiliki ide bagus bagaimana mengajak Shinya bergabung bersamanya setelah sebelumnya dia merasa sudah menjatuhkan harga dirinya untuk mengajak penyihir itu menjadi rekan seperjalanan mereka.

 

“Ck! Menyebalkan!”

 

 

Malam kian larut, api unggun rombongan masih menyala. Die masih kelihatan menatap pusara api yang besar membara membakar patahan-patahan kayu bakar. Kaoru kelihatannya sibuk dengan pacar barunya, Hakuei sudah tumbang di dalam tenda. Die kikuk dengan suasana seperti ini. Terkadang dia menyalahkan Kaoru yang bisa-bisanya membawa wanita turut serta dalam perjalanan mereka. Tapi sudah kepalang tanggung, Die tidak bisa tiba-tiba menyalahkan Kaoru untuk keputusan yang dia ambil sendiri. Tapi itu berujung kepada kekesalan Die sendiri.

 

“Mau ke mana?” Tanya Kaoru saat Die beranjak.

“Berjalan-jalan, mencari angin.”

“Ohh…”

 

Tanpa menatap Tashiya; yang masih setia menempel pada Kaoru, Die berlalu. Meninggalkan mereka, menjauhi tenda. Sekali-kali dia menengok pada sudut api unggun tempat Shinya berada. Pemuda itu tidak ada!

 

 

 

Shinya berdiri sambil menatap angkasa malam itu. Dia berusaha melihat bintang-bintang yang tersemai di langit. Kemudian dengan telunjuknya dia mencoba untuk menyatukan garis bintang yang ada di angkasa. Entah apa yang sedang dia lakukan, namun hal itu terlihat oleh Die dari balik pohon. Pemuda itu sebenarnya penasaran dengan apa yang sedang Shinya lakukan sendirian di tempat ini. Karena sudah beberapa hari ini Die memperhatikan gerak-geriknya yang mencurigakan. Tapi Die tidak segera menyergapnya, ia lebih memilih untuk melihat langsung apa yang sebenarnya dilakukan oleh penyihir aneh tersebut.

 

Namun, sial. Sepertinya Shinya menyadari kehadiran Die saat dia menoleh dengan wajah penuh keterkejutan ke arah pohon tempat dimana Die bersembunyi. Merasa sadar sudah ketahuan, akhirnya Die menunjukan dirinya.

 

“Sebetulnya kau sedang apa?”

“Tidak…tidak ada apa-apa.”

“Kau masih belum mau jujur juga, ya?” Die mendekatinya. Shinya mundur selangkah, matanya masih bersiaga mengawasi gerak-gerik Die yang mengerikan. Siapa tahu pemuda itu akan menghunuskan pedangnya kembali padanya. Tetapi sepertinya pemuda ini tidak membawa pedangnya untuk saat ini.

 

Die kini semakin dekat. Berdiri hanya selisih selangkah dari tempatnya berdiri. Pemuda berambut panjang itu kelihatan ingin sekali menghakiminya saat itu juga. Shinya pasrah saja. Dia tak punya banyak kekuatan untuk melawan pemuda ini. Walaupun dia punya sihir, tetapi Shinya tidak pernah ingin menggunakannya untuk menyakiti orang lain. Itu sumpahnya.

 

“Kau ini sebenarnya siapa?” tanya Die dengan suara agak berat. Mungkin inilah suara aslinya jika moodnya sedang bagus. Apa? Bagus? Bukankah Die sekarang sedang menghakimi Shinya? Tatapannya. Gerakannya. Jelas sekali dia ingin sekali Shinya bicara jujur saat itu. Ia seperti menampilkan sosok hakim yang tersembunyi di dalam dirinya. Sosok hakim yang ingin segera menghakimi sang terdakwa.

 

Shinya hanya bergerak mundur perlahan, semakin lama semakin ke belakang. Hingga ia tak sadar bahwa tak ada tempat lain ketika punggung menabrak pohon. Ia melihat pemuda di hadapannya, ia berdiri dengan wajah serius. Shinya beranjak, tetapi Die segera mengunci ruangnya. Saat Shinya bergerak ke arah lain, tangan lain menguncinya juga.

 

“Katakan, apa yang sedang kau kerjakan? Apa kau sedang merencanakan sesuatu?” Die memaksanya untuk melihat mata hitamnya. Mengintimidasinya dengan guratan keras berkerut di kedua sisi alisnya yang menyatu. Namun Shinya masih tetap bungkam, tapi bukan berarti dia tak memiliki jawaban.

“Kau tahu aku paling kesal dengan orang yang tidak jujur. Sebaiknya kau katakan tentang siapa dirimu sebenarnya, atau—”

“Aku belum bisa mengatakannya.” Jawab Shinya tak mau melihat pandangan intimidasi tersebut.

 

Kemudian Die melepaskannya. Pemuda itu menghela berat sampai terdengar oleh Shinya.

 

“Kau merencanakan rencana untuk menjebak kami?”

“Tidak.”

“Atau kau sedang berusaha membuat sesuatu?”

“…mungkin.”

“Apa itu?” Die menoleh.

“Maaf. Aku belum bisa mengatakannya.”

“Kau sedang bermain teka-teki denganku?”

“Tidak.”

“Apa ada jawaban lain selain ‘tidak’ dan ‘iya’?” Die benar-benar ingin tahu.

 

Shinya memandangi tanah di bawah kakinya. “…maaf.”

 

“Ck!” Die mendecak kecewa.

 

 

*****

 

 

Ada yang berbeda dengan Die beberapa hari ini. Pria yang biasanya sering berbicara ngelantur itu sekarang lebih banyak diam selama perjalanan. Ia juga kelihatan lebih tenang dan tidak terlalu banyak bergerak seperti biasanya. Ternyata selama beberapa saat, Die selalu terfokus pada Shinya. Pemuda itu sedang berusaha berpikir keras dan menebak-nebak, kira-kira apa yang sedang Shinya rencanakan. Instingnya mengatakan bahwa apa yang dia rencanakan pastilah mengejutkan. Tetapi di sisi lain, Die sama sekali tidak merasa tergigit dengan suatu perasaan cemas atau semacamnya. Die hanya ingin melihat langkah selanjutnya yang akan Shinya ambil setelah ini.

 

Pada malam-malam berikutnya, Shinya kembali melakukan hal yang sama; berdiri dalam gelap sambil menghitung bintang. Benarkah dia hanya sedang sekadar menghitung bintang-bintang cantik di angkasa? Sehebat apakah Shinya sampai bisa menghitung ratusan juta bintang yang tersebar di langit?

 

Namun bukannya Shinya tak pernah menyadari bahwa gerak-geriknya kini sedang diawasi oleh Die. Walaupun Shinya sedikit resah, namun perlahan dia mulai membiasakan diri selama sepasang mata itu memandangnya dari jauh, maupun dekat.

 

“Sampai kapan kau mau terus bungkam? Sampai kapan kau mau berahasia terus?”

 

Untuk kesekian kalinya Die memaksanya untuk mengaku. Die menginginkan kejujuran walaupun dia berusaha untuk tidak terlalu percaya pada pemuda ini. Namun sesuatu yang bergejolak di dalam dada Die tidak mampu disembunyikannya. Die hampir tidak bisa menahan rasa penasarannya terhadap Shinya. Apa yang dia sembunyikan selama ini telah berhasil mengalihkan perhatiannya sepenuhnya. Sampai dia lupa bahwa ancaman bahaya dari penyihir-penyihir lain mungkin mengusik mereka.

 

Shinya menatap pria itu. Tatapan yang sama seperti di awal mereka bertemu. Bengis dan sadis. Shinya bukannya takut padanya, hanya saja dia harus tetap bungkam sampai saatnya tiba. Setidaknya Shinya sudah tahu kapan dia harus berterus terang tentang masalah ini.

 

Die kelihatannya sedang diuji kesabarannya oleh pemuda ini. Karena sampai sekarang dia masih belum mau mengatakan apapun kepadanya. Padahal Die sangat penasaran. Dia seperti sedang berada dalam kondisi penipuan yang sama sekali tak bisa dia prediksikan, kapan meledaknya dan kapan mereka mati karena dia tetap membiarkan penyihir gagu ini bersama rombongannya.

 

“Kalau kau masih terus bungkam seperti itu, lebih baik kau tidak perlu ikut dengan kami lagi.” Ujarnya kemudian. Shinya tercengang. Die berbalik kecewa meninggalkannya dengan segala kebisuannya.

 

 

*****

 

 

“Jadi dia penyihir?” Tashiya memerjapkan matanya kaget.

 

Dia sedang bertanya-tanya mengenai rombongan kecil mereka. Dan kali ini pertanyaannya mampir pada penyihir berparas cantik yang mereka panggil Shinya.

 

“Tapi dia tidak jahat.” Jawab Kaoru.

“Kau yakin? Setahuku penyihir banyak sekali akalnya. Mungkinkah dia berpura-pura?”

“Entahlah. Tapi selama dia mengikuti kami, dia selalu membantu kami. Baik dengan ilmu pengobatannya juga sihirnya.”

“Apakah dia sehebat itu?”

“Aku tidak tahu.” Kaoru menatap ke arah hutan. “Tapi aku punya perasaan bahwa dia bukanlah orang yang jahat.”

“Tapi dia penyihir…”

“Aku tahu…” dia menatap Tashiya lekat. “tapi mungkin saja Shinya berbeda.”

 

Tashiya merengutkan wajah. Dia merasa tidak suka.

 

“Kenapa?”

“Kalau kau bicara begitu, kau kelihatan seperti menyukainya.” Dia membuang muka.

“Ah?! Kenapa begitu…?”

“Tidak tahu…” Tashiya membalikkan badan.

“Aeh, kau cemburu?”

“Tidak.”

 

Kaoru hampir tertawa, “Kau cemburu.”

 

“Tidak..”

 

Dan sesaat kemudian suara tertawa geli Tashiya terdengar dari dalam tenda. Diselingi dengan suara-suara nakal lainnya. Hakuei melirik ke arah tenda dengan wajah memerah.

 

“Dasar, pangeran.” Cibirnya.

“Kau iri?” suara dari srigala perak itu terdengar. Hakuei menoleh kepadanya. “Ah, tidak.” Jawabnya sambil melempar kayu ke arah api.

 

Srigala itu nampak tenang sambil tidur-tiduran.

 

“Oh, ya… sudah berapa lama kau menjadi seperti ini?” Hakuei membuka topik pembicaraan.

“Lama sekali.”

“Hey, Tuan srigala…”

“Namaku Kyo!”

“Ah, iya, iya! Maaf.” Hakuei menggigit bibirnya. “Hey, Kyo, benarkah kau tidak tahu asal-usul dari penyihir Shinya?”

“Huh? Kenapa kau bertanya begitu?”

“Terus terang, aku juga sama penasarannya dengan Pangeran Die. Aku tahu Penyihir Shinya adalah seorang penyihir. Tetapi aku merasa dia berbeda dari penyihir-penyihir yang pernah kami temui selama ini.”

 

Srigala itu mengangkat kepalanya saat Hakuei mulai bercerita mengenai beberapa penyihir yang pernah mereka temui. Beberapa diantaranya sepertinya pernah Kyo dengar namanya.

 

“Jadi sebetulnya, Penyihir Shinya itu berasal dari mana?” satu pertanyaan akhir Hakuei yang masih membutuhkan jawaban yang benar. Karena sampai saat ini diapun tak memiliki bayangan dari manakah Shinya berasal.

“Aku tidak tahu…”

 

Hakuei menoleh pada srigala itu dengan wajah yang pasrah.

 

“Ooh..begitu…”

“Tapi bagaimana menurutmu tentang Shinya?”

“Eh?” Hakuei menunjuk dirinya sendiri. “Ssshh… sebetulnya aku tidak tahu banyak, sih,” Hakuei melemparkan kayu lagi pada api. “Tapi kurasa Penyihir Shinya tidak seperti penyihir yang lainnya.”

“Kau menyukainya?”

“Oh, maaf…aku normal.”

“Bukan itu bodoh!” Srigala menggeretakan giginya.

“Oh, maaf…” Hakuei tertawa kikuk. “Ya, sepertinya aku suka padanya. Seperti aku suka kedua Pangeran itu dan merasa senang mengikuti mereka.”

“Haha, kau terlalu jujur. Hati-hati dengan perasaanmu.” Kyo tidur-tiduran lagi.

“Eeeehhh! Jadi apakah Penyihir Shinya itu jahat?!” Hakuei menggeser duduknya ke depan si srigala itu.

 

Srigala malas itu hanya membuka sebelah matanya. “Wah, tidak tahu, ya…”

 

“Ah, kau ini! Coba katakan sesuatu, dong…!”

“Bagaimana kalau aku mengatakan kau jangan mengangguku karena aku mau tidur…”

“Hih! Dasar hewan mamalia.”

“Sekali lagi kau sebut aku mamalia, kucakar wajahmu!”

 

Hakuei mundur. Kembali ke posisi duduknya sambil melirik-lirik pada srigala tersebut.

 

“Dasar…”

 

 

Keesokan paginya hal yang mengejutkan terjadi sebelum mereka memulai perjalanan. Atas keputusan yang tiba-tiba dari Jenderal Die, Shinya sudah tidak boleh ikut dengan rombongan mereka. Jelas saja ini membuat yang lain bingung dan mulai berdebat. Mereka sama sekali tidak mengerti kenapa Jenderal Die mengambil keputusan itu. Padahal rencana lain sudah disusun.

 

“Jenderal…?”

“Aku tidak mau berdebat denganmu, Kaoru.” Katanya dengan mata sinis. “Aku sudah cukup lama bersabar untuk ini. Penyihir itu sama sekali tidak jelas asal-usulnya. Dan aku sudah mengambil keputusan kita sudah tidak bisa membawanya bersama kita.”

“Jadi kau akan meninggalkan dia di sini?”

“Ya.”

“Jenderal, lalu bagaimana dengan rencana yang sudah kita susun? Kita membutuhkannya untuk membantu kita.”

“Satu-satunya orang yang tahu kita membutuhkannya atau tidak, adalah aku. Dan aku merasa kita tidak akan kehilangan banyak tenaga kalau penyihir itu tidak bersama dengan kita!”

“Jenderal Die, kau jangan keras kepala! Apa yang membuatmu berubah pikiran secepat ini?”

 

Die mendekati Kaoru dengan pandangan tajam.

 

“Aku tidak mau membahayakan kelompokku hanya untuk mendapatkan bantuan dari orang yang sama sekali tidak jelas dan tidak mau diajak bekerjasama. Dan kau sebaiknya berhenti bertanya karena aku sudah bosan dengan pembicaraan ini.”

 

Kaoru tercenung saat Die meninggalkannya. Tashiya mendekatinya dengan wajah cemas sambil mengelus bahu pria itu. Dia mendekap lengan pria itu dengan wajah takut.

 

“Kau jangan membantahnya, mungkin apa yang dikatakan oleh Jenderal Die ada benarnya.”

“Orang itu… benar-benar sulit untuk dibaca pikirannya.”

“Pangeran Kaoru…”

 

 

*****

 

 

“Jadi kalian akan meninggalkan kami di sini?” Srigala itu menatap serius ke arah Die di atas kudanya.

“Ya, anggap saja aku telah melepaskan kalian.”

“Kau adalah manusia paling tidak tahu diri yang pernah aku temui,” kata Kyo.

 

Die menatap dingin.

 

“Kau yang meminta Shinya untuk ikut dengan rombonganmu, tetapi tanpa alasan yang jelas kau meninggalkan dia di sini sendirian? Apakah kau pantas disebut sebagai seorang pimpinan?”

“Terserah apa katamu, srigala. Yang kutahu adalah kalian tidak bisa kami percayai.”

“Alasan bodoh untuk sebuah keputusan bodoh.” Cibir Kyo. “Kau akan merasakan akibatnya nanti…”

 

Die tidak mau mendengar ejekan lebih dari srigala berbulu perak itu. Dia sudah menendang kudanya berbalik dan meninggalkan mereka di sana. Shinya hanya bisa mematung melihat rombongan itu pergi meninggalkannya.

 

“Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang, Shin?”

 

Shinya hanya menunduk saja.

 

 

*****

 

 

Sudah dua hari berlalu. Tak ada obrolan sama sekali di perjalanan itu. Semuanya kelihatan tenang di posisinya masing-masing. Kaoru pun sama sekali tak banyak menyinggung soal Shinya lagi. Rombongan kecil itu sebentar lagi akan memasuki kawasan pegunungan berbatu yang menurut informasi yang mereka tahu, bahwa di atas pegunungan itulah tempat Ursula tinggal. Ada sebuah kastil besar yang tak sering orang temukan berdiri di sana. Hanya pada malam hari saja mereka bisa melihatnya. Benar-benar seperti sarang iblis.

 

“Di atas gunung itu…” Die menunjuk ujung gunung berkabut yang berdiri kokoh di hadapan mereka. “Mungkin seminggu berjalan akan sampai dan kita bisa menemukan Ursula.”

 

Mereka semua mengangguk.

 

“Jenderal, hari sudah mulai senja, bagaimana kalau kita mendirikan tenda di dekat sini.”

“Di sini gersang sekali…” keluh Tashiya.

 

Mereka semua melihat ke sekeliling mereka. Tempat itu memang seperti tanah lapang dengan bebatuan yang menonjol dari tanah. Tak ada tumbuhan yang tumbuh di sana.

 

“Haku, apa persediaan air kita masih ada?”

“Masih Jenderal, tapi mungkin hanya akan cukup 2-3 hari saja.”

“Kalau begitu ayo kita cari mata air di sekitar sini.” Ajak Die.

“Mau mencari ke mana? Tempat ini sepertinya kering.”

“Kering bukan berarti tidak ada air.” Die berkacak pinggang, kemudian dia mengambil sebuah batu dari kakinya yang ukurannya cukup besar. “Lihat ini!” dia memperlihatkan batu kusam tersebut.

“Itu batu… apanya yang spesial?” Hakuei polos.

“Hhh…” Die menghela pasrah.

“Batu itu berlumut.” Jawab Kaoru.

“Lalu…?”

“Kalau berlumut berarti lembab. Lembab, berarti ada air yang membasahinya.” Sambung Die.

“Ah, begitu!” Hakuei baru mengerti.

“Mungkin di sini beberapa hari lalu sudah turun hujan.” Lanjut Tashiya.

“Mungkin masih ada air yang tersisa atau menggenang.”

“Ya, sudah. Semuanya bergerak. Kita akan mencari air dan ketika matahari sudah benar-benar tenggelam kita semua berkumpul lagi di sini. Kita akan bagi menjadi dua kelompok,” belum sempat Die menyelesaikan kalimatnya, Tashiya kelihatan sudah mendekap lengan Kaoru erat-erat. Die menggaruk dagunya yang sedikit gatal. “Ah, oke… sepertinya kalian sudah tahu harus pergi dengan siapa.”

 

 

Mereka terbagi menjadi dua kelompok, Die bersama Hakuei ke arah utara, Kaoru dan Tashiya ke arah selatan. Sepanjang perjalanan Tashiya sama sekali tidak mau melepaskan pegangannya dari Kaoru.

 

“Kaoru, aku takut…”

“Tidak apa-apa.”

“Tempat ini menyeramkan.”

“Tenang saja.”

 

Mereka masih berjalan mencari sumber air. Hakuei melihat ke pinggir-pinggir bebatuan  untuk memastikan kemungkinan ada air di sana.

 

“Hati-hati…” Die memperingatkan.

 

Karena gelap, jalanan di sekitar mereka jadi mulai samar dan tak terlihat. Sesaat kemudian, suhu tempat itu perlahan berubah. Hakuei yang mengenakan baju zirah hanya setengah lengan sudah merasakan hawa dingin yang tak biasa. Disusul kemudian kabut asap yang perlahan muncul entah dari mana.

 

“Dingin sekali, Pangeran.” Keluh Hakuei sambil menggosok-gosokan kedua belah tangannya hingga hangat. “Aku akan mencari lebih cepat sebelum tempat ini benar-benar tertutup kabut.”

 

Die diam saja saat Hakuei berlalu darinya. Pemuda itu memegangi sarung pedangnya kuat-kuat. Ini bukan kabut biasa. Tempat rendah seperti ini mana mungkin muncul kabut. Ini pasti ulah penyihir.

 

“Jenderal! Jenderal! Lihat ke sebelah sini! Kita beruntung! Lihat ini, aku menemukan air!” seru Hakuei. Namun beberapa detik setelah itu yang terdengar hanyalah sebuah jeritan yang kemudian menghilang.

 

Die segera berlari kecil menuju arah suara Hakuei, namun kabut itu semakin lama semakin pekat. Saat Die menembusnya, dia tak menemukan Hakuei.

 

“Hakuei!”

 

Die mencari-cari, tetapi wujud Hakuei tidak dia temukan.

 

“Hakuei!!”

 

Die menginjak sebuah genangan air di kakinya. Saat dia melihat genangan air dangkal tersebut, kakinya terasa begitu dingin. Die menyingkir darinya dan mengeluarkan pedangnya. Dia tak yakin sesuatu apa yang sedang dia hadapi. Dia menunggu cukup lama, tapi sama sekali tak terjadi apapun. Saat Die hendak meninggalkan tempat itu untuk mencari Hakuei, tiba-tiba perhatiannya teralih pada genangan air tersebut. Karena genangan air tersebut tiba-tiba beriak.  Die mematung di tempat dan menatap pada pantulan air tersebut. Ia hanya melihat pantulan wajahnya di sana. Tetapi ada sesuatu yang menarik di sana.

 

Perlahan, Die berjongkok di depan genangan air tersebut. Kemudian, dia bersujud dan semakin mendekatkan wajahnya pada air. Ada sesuatu di sana. Ada sesuatu…

 

Pyak..!

 

Die menyentuh permukaan air itu dan memasukan tangannya ke dalamnya. Pelan-pelan, setengah tangannya masih ke dalam. Heran, itu hanya sebuah genangan air yang dangkal. Namun kini hampir seluruh lengan Die masuk ke dalamnya. Wajahnyapun perlahan-lahan ikut terendam ke dalamnya. Sebelum Die benar-benar terperosok ke dalam, ia menggumamkan sesuatu…

 

“…ibu..”

 

 

 

“Tashiya!!!”

“Kao--- blppp,…!”

 

Kaoru berusaha menarik tangan Tashiya walaupun hampir seluruh bagian tubuh gadis itu telah tertelan oleh genangan air yang mereka temukan.

 

“Tashiya!!!” Dia menjerit saat tangan Tashiya yang dia pegangi perlahan-lahan ikut tertelan. Bahkan kini tangan Kaorupun mulai tertelan. “Tashiya!”

 

Tiba-tiba sebuah tarikan kuat menarik Kaoru dan ia terpaksa melepaskan Tashiya dari genggamannya. Kaoru tersungkur begitu rupa, hingga ia terguling. Namun kemudian dia sadar dan mendapati seorang pria asing bertelanjang dada dengan bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya. Pria itu berdiri membelakangi genangan air dimana Tashiya hilang. Kaoru naik naik pitam. Dia pikir pria inilah yang membuat sihir seperti ini untuk menjebak mereka.

 

“Siapa kau!?” Kaoru mengambil pedangnya.

 

Pria bertubuh pendek itu kelihatan menjaga jarak saat Kaoru menghunuskan pedangnya.

 

“Kau tidak akan bisa menolongnya.” Ucapnya.

“Siapa kau sebetulnya?” Kaoru mengerutkan kedua alisnya.

 

Samar-samar Kaoru bisa melihat sesuatu yang aneh dari pria di hadapannya ini.

 

“…kuping runcing?” gumamnya.

 

 

Die memerjapkan matanya. Dan ketika ia tersadar, dia sedang berada di sebuah ruangan yang sangat besar. Langit-langit yang sangat tinggi dan pilar-pilar kokoh berwarna pucat. Di dinding-dindingnya menempel obor-obor api yang tertampah pada piringan berwarna keemasan. Dan kini Die tengah duduk di sebuah singgsana besar di tengah-tengah ruangan.

 

Pelan-pelan Die beranjak dari sana, kakinya melangkah gemetaran. Pikirannya sudah mengacu pada satu jawaban mengenai tempat ini. Tempat yang sangat ia kenali.

 

“…ini rumah.”

 

 

Kaorupun sadar bahwa pemuda yang tengah berdiri di hadapannya kini adalah srigala berbulu perak yang dia kenal.

 

“Kau…Kyo?” tanyanya dengan nada ragu.

 

Pemuda itu mengangguk. Kaoru hampir menggeleng tak percaya sebelum akhirnya Kyo menjelaskan.

 

“Ini siklus perubahanku, Pangeran. Pada malam bulan Purnama penuh aku akan kembali ke wujudku sebagai elf.”

“Jadi ini wujudmu yang sebetulnya?”

 

Kyo mengangguk lagi. Kemudian, Kaoru sadar akan sesuatu.

 

“Kau mengikuti kami?”

“Ya. Kami mengikutimu.”

“Di manakah Shinya?”

“Dia…”

 

Die tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Saat Ayah dan Ibunya datang dan memeluknya suka cita. Saudara-saudaranya berdatangan menyambutnya. Inikah mimpi? Tapi kenapa begitu nyata? Die bahkan bisa membalas memeluk mereka dan menggenggam tubuh mereka secara nyata.

 

“…Ibu…”

“Semuanya baik-baik saja, Daisuke.”

 

Semuanya baik-baik saja.

Ya, seperti yang dia lihat, segalanya kembali seperti semula. Kembali seperti sedia kala. Saat Die menengok ke beranda istanapun semuanya tak berubah sesaat terakhir dia memimpikannya. Masa-masa damai yang membuatnya begitu betah berada di rumah. Benarkah Die sudah kembali ke rumah?

 

“Kau ingat, besok adalah hari perayaan panen. Ibu sudah meminta Tung untuk membuatkan baju untukmu…”

 

Die terdiam, saat dia menoleh senyum Ibu tak ada yang berubah. Sentuhannya, kehangatannya, dia memang benar-benar Ibu.

 

“…Ibu…”

 

 

Kaoru dan Kyo berlari mencari genangan air serupa. Menurut Kyo, bahwasanya genangan air yang sudah menelan korban warnanya akan berubah menghitam. Saat mereka sedang mencari genangan air tersebut, mereka justru bertemu dengan Hakuei.

 

“Pangeran! Jenderal Die menghilang!” Hakuei panik. Namun kemudian perhatiannya teralih pada sosok pemuda asing di samping Kaoru. “Si-siapa dia?”

“Tak penting!” Kaoru menarik Hakuei. “Bagaimana kalian bisa terpisah?”

“Saat aku menemukan air, aku terperosok jatuh dan pingsan. Waktu itu keadaan sudah mulai berkabut. Aku meninggalkan Jenderal Die karena sangat senang menemukan air.” Hakuei bercerita.

“Di mana terakhir kali kalian bersama?” tanya Kyo.

“Aku tak ingat. Kalian tidak lihat tempat ini menjadi begitu pekat? Kabut sudah menyelimuti tempat ini.”

“Ini sihir! Ada yang membuat tempat ini menjadi berkabut sehingga perhatian kita terpecah.” Kata Kyo. “Kalian harus mencari genangan air yang berwaran hitam sebelum kita terlambat.”

“Apa yang akan terjadi dengan Jenderal kalau kita terlambat?” Hakuei panik.

“Genangan air itu akan mengering. Memakan korban di dalam. Dia tak akan hidup.” Jawab Kyo.

“Tashiya!” Kaoru teringat.

“Apa? Nona Tashiya juga?”

“Aku harus menyelamatkannya!”

“Percuma. Mungkin sekarang dia sudah mati.” Kata Kyo menyurutkan tindakan Kaoru.

“Aku tidak bisa membiarkan dia mati!”

“Pangeran!”

“Aku harus menyelamatkannya!” Kaoru berbalik.

“Pangeran!” tanpa pikir panjang, Hakuei ikut mengejar Kaoru dan meninggalkan Kyo.

 

Kyo mematung sendirian di sana.

 

Die…

 

Die bangun. Hari sudah siang. Suara terompet-terompet istana terdengar menggema di telinganya. Kini dia tengah berada di dalam kamarnya sendiri. Sehabis tidur tenang semalaman membuatnya merasa lebih baik. Pakaian-pakaian khusus sudah tertata rapih di atas meja. Ia ingat hari ini adalah hari perayaan panen milik rakyat. Seluruh keluarga istana akan datang merayakan dan mengadakan pesta panen.

 

Die…

 

Die menoleh ke belakang. Sesaat, Die merasa dipanggil oleh seseorang.

 

“Mungkin hanya perasaanku saja.”

 

Die…

 


 

Continue...

1 komentar:

  1. aaaaaaaaarrrrrggghhh..tegang,,
    itu Shinya siapa sih..trus Tashiya itu penyihir yg nyamar kan ya..

    oiya, jangan lupa lanjutin ke part 25 ya.makasih :)

    BalasHapus