expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

01 Maret 2013

EXODUS (Part 3)

Title : EXODUS
Author : Duele
Finishing : Oktober 2012
Genre : Fantasy, Romance, AU
Rating : PG15
Chapter(s) : 3/on going
Fandom(s) : Dir en Grey
Pairing(s) : DiexShinya
 
 
*****  
 
Itu monster!!
 
Die dan Shinya terlonjak bersamaan saat melihat makhluk buas di belakang Uruha kini. Die bersiap, mengeluarkan pedang dan menghunusnya. Shinya terputar ke belakang saat Die menariknya.
 
“Itu monster...” Shinya berbisik ngeri.
“Ya, aku tahu!” Die senewen.
 
Sementara Uruha masih memperhatikan keduanya dengan muka tanpa ekspresi. Walau pun sebetulnya dalam pikirannya, dia masih bertanya-tanya tentang penyihir di depannya.
 
“Bunuh mereka!” satu titah yang kemudian membuat monster bercapit itu maju. Menyongsong ke arah mereka. Die dan Shinya terkejut.
“Ugh!” Die menarik Shinya ke arah lain, membawanya berlari ke arah lorong lainnya.
 
Graoooowww!!!
 
Monster itu mengejar!
 
“Cepat lari!” Die masih menarik Shinya yang berlari di belakangnya agar tak tertinggal.
“Monster itu mengejar kita!”
“Iya, aku tahu! Tidak perlu diberi tahu!”
 
Mereka akhirnya sampai di sebuah gua yang lebih besar. Cahaya temaram dari bulan menyusup ke celah bebatuan besar di atas kepala mereka. Die dan Shinya masih berlari, monster di belakang mereka mengejar dan kemudian melompat ke dinding di sebelahnya. Berjalan miring menyusul mereka.
 
“Sial!” Die mengerem kakinya mendadak, Shinya terombang kembali ke belakang saat Die menariknya untuk berhenti. Die menghunus pedangnya dan mendorong Shinya jauh darinya. “Baik! Sudah cukup pemanasannya! Sekarang kucincang kau!”
 
Die maju, berlari lebih cepat ke arah si monster. Shinya terpana melihatnya melompat dari tanah ke udara dan mengayunkan pedangnya.
 
Graaaawww!!
 
Duak!
 
“Agh!”
 
Gabruk!
 
Die tersungkur ke tanah saat tubuhnya dihantam capit besar tersebut. Tubuhnya terasa ngilu, namun kesadarannya tak hilang. Dia merasakan manis darah mengalir dari sela-sela giginya.
 
“Haks cuih!” Die meludah. Cairan lengket berwarna merah itu menggumpal ke tanah. “Segini saja, huh?!”
 
Dia bangkit kembali. Terlihat seulas senyum penuh gairah di bibir Die kini. Semburat rasa amarah dan perasaan tertantang dengan lawan besarnya yang bermain capit di depannya. Die menyeka darah yang menempel di pipinya. Wajahnya kelihatan beringas. Dia memutar-mutar tuas pedangnya dengan ahli.
 
“Kau mau memakan tubuhku?” Die menggoda. “Atau mau memotong kakiku, Besar?”
 
Monster berkepala manusia serengah kalajengking itu beringas. Dia seperti mengerti ejekan yang Die berikan padanya. Kemudian dia mengerahkan kedua capitnya untuk melenyapkan ksatria berbadan kurus itu.
 
“Awas!” Shinya panik.
 
Die menghindar. Saat capit itu hampir mengenainya, kakinya cekatan naik dan berlari di atasnya. Shinya tidak bisa melihat perubahan posisi pedang Die yang kini terpegang ke arah sebaliknya. Gerakan kakinya yang berlari di ketinggian tangan sang monster benar-benar di luar dugaan. Sadar bahwa musuh kecilnya merayap di atas badannya, monster itu menghempaskan lengannya mencoba membanting tubuh mungil Die ke udara. Tetapi justru itulah yang Die mau, sehingga dia bisa mengapung ke udara dan menghunus pedangnya.
 
“Mati kau!”
 
Gravitasi membuat tubuh Die meluncur kembali ke arah sang moster dengan begitu cepat. Dan kemudian dia mendarat sambil menancapkan ujung pedangnya ke mata sang monster.
 
Jleb!
 
GRAAAOOOWWW!!!
 
 
 
Kaoru dan Hakuei langsung menoleh spontan ke arah suara mengerikan yang baru saja mampir ke telinga mereka. Tanpa aba-aba mereka segera berlari mencari sumber suara tersebut.
 
“Suara itu datangnya dari sana!”
“Sepertinya Pangeran Die sedang bertarung!”
“Ayok, taruhan siapa yang menang!” Kaoru berujar.
“Tentu saja...” Hakuei tersenyum penuh percaya diri.
 
 
Mata Shinya masih membulat dengan mulut yang setengah terbuka. Rasanya tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat. Di depan matanya kini monster itu menggelinjang kesakitan. Die mencabut pedangnya yang satu lagi lalu mengayunkannya ke udara,
 
Crash!!
 
Darah cair berwarna kehitaman mengalir di tanah sewaktu Die memotong kedua sisi tangan capit si monster. Dia kelihatan begitu beringas saat menghabisi monster itu dan memotong-motongnya menjadi beberapa buah bagian. Benar-benar tak kesulitan sama sekali seperti seorang penjagal.
 
Shinya tertegun di belakang sana, memegangi dadanya yang berdenyut. Ngeri rasanya. Namun kengeriannya tak berlangsung lama karena Uruha tiba-tiba muncul dari balik batu. Die yang sadar kemudian berbalik.
 
“Cuman segitu saja?” katanya. “Aku kira kau akan mengeluarkan monster-monster yang jauh lebih hebat dari ini?”
 
Uruha tidak menjawab, dia hanya memandanginya dengan matanya yang berubah menjadi keemasan. Tidak lama wajah tanpa ekspresinya berubah, senyumnya melengkung seperti menunggu-nunggu sesuatu. Bertepatan dengan itu, Die tiba-tiba merasakan tubuhnya terasa panas seperti terbakar.
 
Clang!
 
“Aa...aarggh...” tubuhnya menjadi begitu sakit dan dia jatuh ke tanah dengan perlahan.
 
Shinya melihatnya kebingungan. Dia bangkit dan mendekati Die, tetapi baru saja dia mendekat Shinya mundur kembali. Alisnya menyatu saat melihat aura aneh yang ada di sekitar Die dan monster tersebut.
 
“Ini...” Shinya tergagap.
 
“Apa kau bisa melihatnya?” Kata Uruha berjalan pelan ke arah mereka. “Kau bisa merasakannya, wahai Penyihir?”
 
Shinya berbalik menatap Uruha yang kini di belakangnya dengan wajah dingin. Sementara Die mulai menjerit kesakitan. Dia tidak tahu mengapa badannya begitu panas. Kulitnya mulai melepuh.
 
“Aaargghh!!”
 
Shinya mulai mengerti apa yang sudah dilakukan Uruha sekarang.
 
“Kau sengaja meracuninya dengan darah monster tadi.”
 
Uruha tersenyum sinis.
 
“Kau tahu Pangeran Die bisa mengalahkan monstermu, maka kau...”
“Aaarrgghh!! Keparat kau!” Die mulai frustasi dengan rasa sakitnya.
“Hehehe...” tawa kecil Uruha terdengar seram. “Sebagai Penyihir kecil, kau bisa berpikir juga, ya?”
“Kau...”
“Lalu apa yang akan kalian lakukan sekarang?”
“Berikan penawarnya!” Shinya meminta.
 
Tawa Uruha semakin kencang dari balik jemarinya yang anggun.
 
“Kau pikir aku akan memberikannya?”
 
Shinya diam. Uruha mundur perlahan hingga tubuhnya mendekati pada bebatuan di belakangnya. Shinya mencoba mengejar saat ia sadar tubuh Uruha mampu menembus bebatuan.
 
“Tunggu!! Tunggu!!” Shinya terlambat dan hanya mampu menjangkau bebatuan itu. “Kembali!!!” jeritnya.
 
“PANGERAN!!”
 
Shinya berbalik sewaktu mendengar suara pria di belakangnya. Sosok Kaoru dan Hakuei kelihatan kaget sekali melihat kondisi Die yang sudah tergolek di tanah dengan badan yang berasap.
 
“Hati-hati!!” jerit Shinya. “Jangan sampai terkena darah hitam dari monster itu! Itu beracun!”
 
Kaoru dan Hakuei saling menatap bingung.
 
 
*****
 
 
“Ugh!”
 
Die dibaringkan di sebuah dipan kecil di sebuah penginapan yang tak jauh dari hutan. Mereka membawanya ke pemukiman sesegera mungkin setelah mengetahui kondisi Die yang semakin memburuk.
 
Shinya mulai melucuti baju besi Die dengan perlahan. Membuka setiap helai dari baju yang melekat di badannya. Sesekali Die mengerang kesakitan karena sebagian kulitnya sepertinya menempel dengan kain tersebut.
 
“Pinjamkan aku pisau.” Pintanya.
 
Dengan lembut dan hati-hati, Shinya merobek dan memisahkan sebagian kecil kain-kain yang melekat di badan Die. Hingga akhirnya semuanya terlepas. Kaoru dan Hakuei menganga terkejut. Tubuh Die melepuh, kulitnya seperti terbakar. Kondisi yang paling parah kini mengenai kedua lengannya yang bersentuhan langsung dengan darah monster kalajengking tadi.
 
“Pangeran Die, kau baik-baik saja?” tanya Kaoru memastikan.
“Aku...ya...” jawabnya parau.
“Katakan apa yang kau rasakan?”
 
Die menutup matanya. Rasanya dia harus mengakui sesuatu.
 
“... aku tidak bisa merasakan kedua tanganku.”
 
Mereka terkejut.
 
 
 
Die tertidur setelah seluruh tubuhnya dilumuri oleh obat hasil racikan Shinya. Walau tidak bisa langsung menyembuhkan luka yang setiap jamnya bertambah parah, obat darinya mampu mengurangi rasa panas di tubuh Die. Hakuei dan Kaoru berjaga di kamar Die secara bergantian.
 
Tengah malam, secara diam-diam Shinya keluar dari penginapan. Dia menuju ke arah hutan. Hanya dengan bermodalkan sebuah lampu minyak di tangannya, Shinya berani menerobos kegelapan malam sendirian. Dia tidak memikirkan resiko apa yang mungkin dia hadapi di hutan nantinya.
 
Setengah jam berjalan kaki, pria berambut coklat kemerahan itu pun akhirnya sampai ke hutan. Dengan langkahnya yang pelan, Shinya menyisiri setiap bagian hutan untuk mencari sesuatu. Dalam ingatannya, ia sedang berpikir untuk mengolah sesuatu menjadi obat untuk Die minum nantinya.
 
“Kalau tidak salah di musim sekarang dia sudah tumbuh..” gumamnya sambil melirik ke setiap batang pohon besar di dekatnya.
 
Srrkk!!
 
Shinya tertegun. Ia seperti mendengar bunyi-bunyi yang aneh. Dengan waspada Shinya melihat ke sekitarnya yang gelap. Jantungnya mulai berdegup kencang. Saat itulah Shinya sedikit menyesali perbuatannya untuk datang sendirian ke hutan ini. Bagaimana kalau ternyata ada binatang buas di sekitarnya. Apa yang akan Shinya lakukan.
 
Srrkk!!
 
“!!!” Shinya benar-benar dibuat ketakutan kali ini. Ia melihat cahaya lampu pemukiman yang cukup jauh. Kira-kira seberapa kuat bagi Shinya untuk berlari ke sana untuk menghindari kejaran binatang buas yang sekarang mungkin sedang mengincarnya.
 
Shinya menempelkan tubuhnya ke batang pohon di belakangnya. Matanya melihat ke sana-sini untuk memastikan bahwa tak ada binatang buas. Ia berharap semoga itu hanya suara ranting yang tersapu angin kencang malam ini. Shinya melihat sebatang kayu yang cukup besar. Dia mengambilnya untuk menjadikannya senjata jika saja binatang itu muncul. Lalu kembali menempelkan tubuhnya ke batang pohon sambil mendekap batang kayu yang dia temukan. Matanya masih terus melirik ke area hutan yang sepertinya sudah sepi. Semoga saja benar kalau yang dia dengar hanyalah suara dari hutan. Shinya menghela lega untuk saat ini. Sampai kemudian sesuatu menempel dibahunya.
 
 “AH!!”
 
Shinya langsung berjongkok spontan. Menutup matanya dan mengacungkan kayu yang tadi dia dapat.
 
“Jangan mendekat!” katanya dengan mata terpejam. Dia mengayun-ayunkan kayunya secara sembarang.
“Shinya, hati-hati! Kau bisa melukai orang!” kata suara itu.
 
Shinya segera mendongak. “Kaoru?”
 
“Kau sedang apa di sini sendirian? Kau tidak takut dengan srigala yang bisa saja muncul?”
 
Shinya bangkit dan merasa begitu lega walau pun kedengarannya sekarang Kaoru sedang mengomelinya.
 
“Aku mencari obat.”
“Aku tahu. Tapi jangan bertindak sendirian.” Omelnya. “Kenapa tidak mengajakku atau Hakuei?”
“Aku lihat kalian sibuk menjaga Pangeran Die.”
 
Kaoru menghela kecil. Dia tak mau berdebat.
 
“Sekarang apa yang kau cari?”
“Jamur.”
“Jamur?”
“Ya. Jamur itu seharusnya tumbuh di hutan semacam ini. Lagipula sepertinya ini sudah masuk musim penghujan. Biasanya jamur-jamur itu tumbuh di batang-batang pohon.”
“Seperti apa bentuknya?”
“Kecil. Kecil sekali.” Kata Shinya berbalik ke arah batang pohon di belakangnya. “Seperti ini.” Dia sudah menemukannya.
“Kita butuh berapa banyak?”
“Aku membutuhkannya sebanyak segenggam tangan.”
“Mau kau apakan?”
“Akan kurebus. Lalu airnya bisa diminum untuk menahan sakit.”
“Menahan sakit?” Kaoru mengulang. “Maksudmu, jamur ini pun bukan obat penawarnya?”
 
Shinya terdiam kemudian berbalik lagi. Dia menggeleng kecil. “Maaf, tapi ini adalah racun yang dibuat orang. Kalau mau mendapatkan penawarnya kita harus memintanya dari orang yang meraciknya sendiri.”
 
“Uruha?”
 
Shinya mengangguk. “Jamur-jamur ini hanya akan bertahan setiap sehari. Jadi kalau bisa kita harus menemukan banyak. Untuk stok.”
 
“Lalu luka bakar di kulitnya bagaimana? Terakhir luka bakarnya mulai mencapai leher. Apa yang harus kita lakukan?”
“Untuk luka bakarnya aku akan mengoleskannya dengan getah pohon.”
“Getah? Bukankah getah itu lengket?”
 “Ada satu pohon yang getahnya seperti minyak. Aku sudah menemukannya tadi. Dengan getah itu, luka bakar di kulitnya mungkin bisa mengering dengan cepat.”
 
Kaoru kelihatan bingung. Tak mungkin setiap hari mereka melakukan ini. Ini akan menghambat perjalanan mereka.
 
“Aku harus mendapatkan penawarnya!”
 
 
*****
 
 
Die duduk setelah meminum obat dari Shinya. Wajahnya kelihatan sakit.
 
“Bagaimana rasanya?”
“Pahit.” Jawabnya sambil membuang muka.
“Apakah tubuhmu masih terasa panas?” tanya Hakuei.
“Iya.”
“Aku akan mengoleskan obatnya.” Shinya beranjak mengambilkan obat di meja.
 
Kaoru mendekati Die yang kelihatannya masih lemah.
 
“Kau bisa menggerakan tanganmu?” tanyanya. Die menoleh lalu menggerakan tangannya. Seperti tidak percaya, tangannya bisa bergerak. “Obat dari Shinya ternyata cukup manjur.” Kaoru terlihat puas.
 
Die melirik Shinya yang menatap mereka. “Tapi kau harus rutin meminumnya. Itu hanya penahan rasa sakit, kau belum sembuh sepenuhnya.”
 
“Ya, ya setidaknya Pangeran bisa merasakan lagi tangannya, kan?” Hakuei berujar.
 
Tetapi sepertinya keadaan berlanjur kikuk. Kaoru beranjak dari sana membawa Hakuei.
 
“Mau kemana?” tanya Die.
“Kami akan menunggu di luar selama kau diobati.” Kaoru terkekeh.
“HAH! Hey, kalia—aargh!” Die mulai merasa sakit lagi.
 
Shinya menatap mangkuk getahnya dengan muka yang aneh. Die menghela dengan wajah yang agak aneh; canggung.
 
“Jadi kapan kau akan mengolesi lukaku?”
 
Shinya tersadar, kemudian duduk di samping ranjangnya. Die memunggunginya. Shinya menaruh mangkuk getahnya di kursi kecil di sampingnya. Ia mengambilnya dan mulai mengolesi punggung Die yang melepuh. Tak ada kata-kata usil dari Die saat Shinya bekerja. Pria itu lebih memilih diam. Aneh rasanya.
 
“Tanganmu,” Shinya meminta. Die memberikan tangan kirinya. Shinya memilih tak beranjak dari sana meskipun mengolesinya agak sedikit sulit karena posisi Die yang memunggunginya. Seharusnya, Shinya pindah duduk di depannya. Namun, dia agak enggan. Entahlah.
“Satunya,”
 
“Aku tidak bisa bergeser,” akhirnya Die mengucapka kata-kata itu. Shinya diam dulu sebentar, sampai akhirnya dia beranjak dan duduk di depan Die. Die memberikan tangan kanannya yang kondisinya paling parah. Daging merahnya benar-benar kelihatan, membuat Shinya sedikit merasa ngilu saat memegangnya.
 
“Apakah ini sakit?” tanya Shinya spontan. Die diam. Shinya menunduk.
“Sakit sekali.” Jawabnya.
 
Shinya membisu, melakukan pekerjaannya mengolesi luka Die dengan getah obat. Ia tidak memperhatikan sejak tadi mata Die menatapnya tak berkedip. Saat selesai, Shinya memandanginya kaget.
 
“Ke—kenapa?” tanyanya.
 
Die pun sadar. “Oh, aku...aku baru sadar kalau kerudungmu menghilang,”
 
Shinya mengingat. Kerudungnya saat itu tertinggal di dalam gua bumi. Kondisinya sudah sangat parah dan Shinya sudah tak bisa memakainya lagi.
 
“Kau bisa bantu aku?” pinta Die.
“Apa?”
“Di dalam tas besar itu ada barang milikku. Bisa kau ambilkan?”
 
Shinya berjalan menghampiri tas kulit itu dan mengambil isinya. Sebuah tas kulit lainnya. Dia membawakannya kepada Die yang masih duduk di sana.
 
“Ini,”  Shinya menyodorkannya.
“Bukalah.”
 
Shinya menatap Die. Lalu dia membuka tali dari tas tersebut. Sebuah kain merah yang panjang dan besar. Sisinya ada ornamen berwarna keemasan dengan gambar-gambar simbolik yang mencerminkan dari keluarga bangsawan.
 
“Itu untukmu,” kata Die. “anggap saja untuk pengganti dari kerudungmu yang kupinjam waktu itu.”
 
 
 
*****
 
 
Shinya membisu. Menatap kain merah yang terlipat di dekat bantalnya. Sejak tadi dia memandanginya terus. Ada rasa enggan setiap kali Shinya menyentuh kain merah tersebut. Bukan sebab karena kain tersebut lebih berat dari kerudungnya yang sebelumnya. Namun Shinya merasa kain itu cukup mengganggu pikirannya. Sebut saja ini perasaan terbodoh yang Shinya rasakan saat ini. Namun, sebetulnya Shinya merasa tak nyaman karena dengan adanya kain merah pemberian dari Die tersebut membuatnya jadi tak bisa tidur. Dia merasa kini Die ada di sekitarnya. Itu benar-benar sungguh menganggunya.
 
Maka, Shinya menaruh kain merah itu ke dalam kotak di dekat kursi yang di sediakan pemilik penginapan agar bentuknya tidak terlihat.
 
“Aneh.” Tutur Shinya saat kembali menatap kotak di sebrang matanya.
 
 
 
“Sekarang kau mengerti kebingunganku?”
 
Toshiya membalikan badannya dari cermin besar di depannya. Uruha masih menatap cermin yang memperlihatkan keadaan penyihir kecil yang kemarin dia serang; Shinya.
 
“Dia penyihir, namun dia mampu meracik obat dan tahu sesuatu yang tidak banyak orang tahu.” Toshiya duduk di singgasananya. “Jelas, dia bukan berasal dari kaum penyihir hitam.”
 
Uruha berbalik dengan wajah tak percaya. “Maksudmu dia...”
 
“Kalau memang benar itu ‘dia’, kita harus segera menghabisinya.”
 
Uruha terdiam sesaat sambil melihat ke arah cermin kembali. Benarkah penyihir kecil itu adalah orang yang harus mereka lenyapkan?
 
 
*****
 
 
Hakuei menyenggol lengan Kaoru yang kelihatannya sedang sibuk memperhatikan dua pria berbeda di depan matanya.
 
“Tidakkah kau pikir bahwa ada perubahan yang terjadi?” bisik Hakuei.
“Apa?”
“Pangeran Die...”
 
Kaoru kembali melirik pemuda yang sedang diobati oleh Shinya.
 
“Kau terlambat kalau baru terpikir itu sekarang.” Kaoru berjalan keluar.
“Eh?! Sungguhkah?!” Hakuei mengejarnya.
 
Shinya dan Die menoleh ke arah mereka yang menghilang di balik pintu. Shinya melirik Die yang masih menatap ke luar, lalu kembali lagi mengoles lukanya yang sudah perlahan mengering. Ini sudah hari ketiga sejak pertarungan itu terjadi. Sudah tiga hari pula Shinya selalu siaga setiap pagi dan sore hari untuk mengobati luka Die yang tak kunjung sembuh. Memasakannya ramuan obat dan mengambil getah pepohonan untuk pengoles lukanya.
 
“Ini tidak akan berhasil.” Katanya. Shinya mendongak, dia tak menjawab.
 
Die mungkin sudah mulai frustasi dengan kondisinya yang sama sekali tidak kunjung membaik. Ini sudah menghambat perjalanan mereka. Shinya menghela kecil, kemudian beranjak dari sana untuk merapihkan peralatannya. Terpikirkan olehnya, bagaimana menemukan Uruha dan meminta obat penawar darinya.
 
 
Suatu malam ketika Shinya baru saja selesai membersihkan dirinya setelah seharian mencari jamur dan getah, dia dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba ada di dalam kamar penginapannya. Dan itu sama sekali bukan Hakuei, Kaoru apalagi Die.
 
Shinya mematung di dekat pintu saat melihat bayangan seseorang yang duduk membelakanginya menatap cahaya rembulan yang masuk ke balik jendela kamarnya yang terbuka. Pelan-pelan dia menoleh melihat Shinya yang terhuyung ke daun pintu saat tahu siapa tamu tak diundang yang kini berada di dalam kamarnya.
 
“Kau... Uruha?”
 
 
*****
 
 
Die memerjapkan matanya saat ia merasakan rasa sakit mulai menyegat di kedua tangannya. Pemuda itu kemudian bangun dari tidurnya sambil mengerang.
 
“Sssh!! Aaarrrgghh!!”
 
Entah mengapa rasanya luka di tubuhnya terasa semakin panas saja. Die melihat kedua tangannya yang mulai berasap. Kedua tangannya seolah mendidih, membara begitu panas. Die memejamkan matanya kuat-kuat sambil menahan kesakitannya. Menahan suaranya agar tak keluar.
 
 
Shinya berancang-ancang hendak menerobos pintu. Tetapi saat dia berlari ke sana, pintu menutup sendiri dengan keras. Shinya menariknya tetapi terkunci. Dia berbalik lagi.
 
“Kau mau apa?!” tanyanya.
 
Uruha kemudian beranjak dari sana mencoba mendekati Shinya. Shinya berusaha menghindarinya. Matanya menatap kotak dimana dia menaruh jubah dari Die.
 
“Kenapa kau menghindar?”
“Kau bisa saja menyerangku,”
“Aku tidak akan menyerangmu. Aku mau bernegosiasi denganmu.”
 
Shinya terdiam. “Bernegosiasi?”
 
Uruha mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Sebuah botol kecil seukuran kelingkingnya yang terisi oleh cairan biru.
 
“Itu!” Shinya tersadar.
“Ya, ini penawar yang kau minta.”
“Kenapa kau memperlihatkannya padaku?”
“Kau membutuhkannya, bukan?”
“Apa maumu sebenarnya? Kau mau menjebakku?” tanya Shinya sambil terus menghindar saat Uruha terus mendekatinya.
“Aku tidak mau menjebakmu, aku hanya mau bernegosiasi denganmu.”
“Apa yang kau inginkan?”
 
Uruha terhenti. Pria bermata sayu itu menatap Shinya dengan mata tajam.
 
 
 
*****
 
 
“Pangeran Die?!”
 
Hakuei terkejut saat melihat Die yang terjungkal dari tempat tidur. Prajurit itu segera membantu Die, tetapi dia malah ternganga begitu melihat luka Die menjadi sangat aneh. Akhirnya, dia memutuskan untuk memanggil Kaoru.
 
“Pangeran Kaoru, tolong...!!” jeritnya sambil menuju ke kamar pria tersebut.
 
Tapi di sana Kaoru sama sekali tak muncul. Kemana perginya dia?
Saat Hakuei dilanda kebingungan, tiba-tiba saja dia merasakan sesuatu mengintainya.
 
Crash!
 
Hakuei segera menghindar saat seseorang menebas pedang ke arahnya. Baju di daerah perutnya sampai sobek terkena ujung mata pedang.
 
“Pangeran Kaoru!?”
 
Hakuei bingung karena sekarang Kaoru menghunus pedang padanya.
 
“Pangeran!”
 
“Heaah!”
 
Trang!
 
Hakuei melompat ke tempat tidur. Kaoru menebasnya. Hakuei menghindari ke lantai, Kaoru mengayunkan pedangnya menusuk tanah. Hakuei segera bangkit dan mengambil pedang yang berada tak jauh dari meja. Dia melawan Kaoru!
 
Trang!!
 
Kedua pria itu saling menahan pedang mereka masing-masing. Hakuei menatap mata Kaoru yang kosong.
 
“Pangeran, kau dihipnotis!”
 
Trang! Trang!!
 
 
 
“Aku tidak mau!” jerit Shinya.
 
“Kenapa?” Uruha tersenyum. “Kalau kau mau menurutiku, kau bisa mendapatkan penawar ini dan menyelamatkan pemuda itu. Bukankah itu yang kau mau?”
 
Shinya terdiam.
 
“Apakah kau akan membiarkan dia terus menderita lalu mati? Kuberi tahu kau satu hal, racun itu akan mematikan seluruh ototnya, membakarnya dari dalam. Menghancurkan tulangnya sampai remuk menjadi debu. Kalau dia tidak segera meminumkan obat penawar dariku, kurang dari 5 jam lagi dia akan mati.”
 
Shinya menatapnya bingung.
 
 
Die merayap dari lantai ke meja. Tangannya berpegangan pada meja kayu yang kokoh untuk pegangan. Pemuda itu berusaha bangkit. Ada yang aneh di sekitarnya, dan dia seperti tahu ada sesuatu yang tak beres di sana.
 
Ia mengambil pedangnya dan menancapkannya ke lantai. Berdiri dengan bantuannya sampai akhirnya dia berdiri dengan tegak meski pun agak terhuyung. Dia berjalan keluar kamar dengan bertelanjang dada. Suara kerasnya adu pedang terdengar. Saat ia melihat, Hakuei dan Kaoru sedang bertarung.
 
“Haku!!”
 
“Pangeran!” Konsentrasi Hakuei terpecah, ia dipentalkan oleh Kaoru yang kemudian beralih mengincar Die.
 
Die terkejut, mundur sedikit. Hakuei segera bangkit dan menghadangnya dengan pedangnya.
 
“Ada yang tak beres di sini!!” ujarnya sambil menahan Kaoru.
“Kau urus dia!”
 
Die berjalan tergesa-gesa ke kamar Shinya yang sejak tadi tenang. Ia merasakan aura yang aneh dari dalam. Dan benar saja, pintu kamarnya tak bisa di buka.
 
“Sialan!”
 
 
 
“Bagaimana?” Uruha menyodorkan botol kecil itu ke tengah-tengah.
 
Pelan-pelan Shinya mendatanginya, mencoba mengambilnya. Dengan gerakan yang ragu-ragu Shinya mendekatinya dan mengulurkan tangannya hendak mengambil botol kecil itu. Dengan itu Pangeran Die bisa sembuh, itu yang ada dibenaknya. Tapi saat Shinya hampir mendapatkannya, Uruha menariknya kembali.
 
“Bagaimana? tegasnya. “Kalau kau mau menurutiku maka obat ini menjadi milikmu.”
“Berikan dulu obatnya. Aku tidak tahu itu benar obat penawar atau ini hanya perangkapmu.”
“Aku tidak pernah berbohong dengan ucapanku.” Uruha seperti tersinggung. Dia menyodorkan obat itu sekali lagi. Kali ini Shinya berhasil memegangnya dan berniat merebutnya saat...
 
BRUAAK!!
 
“Jangan bermain-main denganku!” suara Die menjelma masuk ke dalam ruangan sempit itu.
 
Saat itulah Shinya menarik botol obatnya dan berlari.
 
“Berhenti!” Uruha mengeluarkan sihirnya, langkah Shinya terhenti karena aliran listrik yang menahannya. Tubuhnya melunglai lalu jatuh ke lantai.
 
Die berang. Pemuda itu seperti tak lagi merasakan rasa sakit saat dia melihat Uruha di sana. Perasaan kesalnya mencuat lebih besar daripada rasa sakitnya. Maka, dia menghunus pedangnya untuk melawan penyihir hitam itu.
 
“Jangan menganggunya!” hardik Die mengayunkan pedangnya.
 
Dengan sekali tebasan pada aliran listrik yang menyambung dari Uruha kepada Shinya, semuanya langsung terputus begitu saja.
 
“Haa~” Shinya bisa sadar dan bangkit kembali.
 
Die mengacungkan pedangnya ke arah Uruha yang mematung di sana.
 
“Kau belum mati?”
“Aku tidak akan mati semudah yang kau kira!”
 
Uruha tersenyum kecil. Penyihir itu kemudian mundur teratur, di belakangnya lagi-lagi muncul gelombang hitam berbentuk elips memanjang seperti sebuah pintu masuk dunia kegelapan. Uruha menghilang saat dia masuk ke dalamnya. Namun matanya masih menatap sosok Shinya yang berdiri jauh di belakang Die. Dia menunjuk Shinya sebagai janjinya.
 
Shinya tertegun saat Uruha terakhir menunjuknya. Dilihatnya botol kecil dalam genggamannya yang telah dia dapatkan.
 
Gabruk!!
 
“!!!”
 
Shinya sadar saat Die terjatuh ke lantai. Pemuda itu tak sadarkan diri dengan luka yang terbakar parah. Kali ini Shinya mampu melihat debu aneh yang menempel di kedua tangan Die.
 
“Tidak!”
 
Die terbakar!
 
Shinya segera menghampiri tubuh Die yang tak berdaya. Pemuda itu tak sadarkan diri. Shinya panik saat melihat debu-debu itu beterbangan. Tangan Die hampir tak utuh. Dengan cepat Shinya membuka tutup botol penawarnya dan mencoba meminumkannya pada pangeran tersebut. Sayangnya, cairan itu tak bisa terteguk karena Die yang tak bisa menelan.
 
“Bagaimana ini?” Shinya kebingungan.
 
Cairan penawar itu kini tertinggal setengah. Die tak bisa meminumnya. Shinya menatap botol itu dan Die secara bergantian. Shinya harus berpikir cepat, sementara luka bakar di tubuh Die semakin lama semakin parah saja. Akhirnya, Shinya memutuskan untuk meminumkannya sendiri. Dia meneguk obat itu kemudian dia memandangi Die yang tak sadar. Shinya memejamkan matanya saat meminumkan obat tersebut melalui mulutnya. Mendorong cairan itu masuk agar Die bisa menelannya.
 
“Hh...”
 
Shinya melihat Die yang masih tak sadar. Tetapi cairan itu sudah terminum. Dan perubahan mulai terjadi saat luka dia tangan Die perlahan menghilang. Lukanya yang tadinya membuat tangannya tak utuh seolah menghilang. Tangan dan tubuhnya yang terbakar kini kembali seperti sedia kala. Shinya bersyukur sekali.
 
“Syukurlah...”
 
 
Continue....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar