Title : EXODUS
Author : Duele
Finishing : Oktober 2012
Genre : Fantasy, Romance, AU
Rating : PG15
Chapter(s) : 3/on going
Fandom(s) : Dir en Grey
Pairing(s) : DiexShinya
*****
Itu monster!!
Die dan Shinya terlonjak bersamaan saat
melihat makhluk buas di belakang Uruha kini. Die bersiap, mengeluarkan pedang
dan menghunusnya. Shinya terputar ke belakang saat Die menariknya.
“Itu monster...” Shinya berbisik ngeri.
“Ya, aku tahu!” Die senewen.
Sementara Uruha masih memperhatikan
keduanya dengan muka tanpa ekspresi. Walau pun sebetulnya dalam pikirannya, dia
masih bertanya-tanya tentang penyihir di depannya.
“Bunuh mereka!” satu titah yang
kemudian membuat monster bercapit itu maju. Menyongsong ke arah mereka. Die dan
Shinya terkejut.
“Ugh!” Die menarik Shinya ke arah lain,
membawanya berlari ke arah lorong lainnya.
Graoooowww!!!
Monster itu mengejar!
“Cepat lari!” Die masih menarik Shinya
yang berlari di belakangnya agar tak tertinggal.
“Monster itu mengejar kita!”
“Iya, aku tahu! Tidak perlu diberi
tahu!”
Mereka akhirnya sampai di sebuah gua
yang lebih besar. Cahaya temaram dari bulan menyusup ke celah bebatuan besar di
atas kepala mereka. Die dan Shinya masih berlari, monster di belakang mereka
mengejar dan kemudian melompat ke dinding di sebelahnya. Berjalan miring
menyusul mereka.
“Sial!” Die mengerem kakinya mendadak,
Shinya terombang kembali ke belakang saat Die menariknya untuk berhenti. Die
menghunus pedangnya dan mendorong Shinya jauh darinya. “Baik! Sudah cukup
pemanasannya! Sekarang kucincang kau!”
Die maju, berlari lebih cepat ke arah
si monster. Shinya terpana melihatnya melompat dari tanah ke udara dan
mengayunkan pedangnya.
Graaaawww!!
Duak!
“Agh!”
Gabruk!
Die tersungkur ke tanah saat tubuhnya
dihantam capit besar tersebut. Tubuhnya terasa ngilu, namun kesadarannya tak
hilang. Dia merasakan manis darah mengalir dari sela-sela giginya.
“Haks cuih!” Die meludah. Cairan
lengket berwarna merah itu menggumpal ke tanah. “Segini saja, huh?!”
Dia bangkit kembali. Terlihat seulas
senyum penuh gairah di bibir Die kini. Semburat rasa amarah dan perasaan
tertantang dengan lawan besarnya yang bermain capit di depannya. Die menyeka
darah yang menempel di pipinya. Wajahnya kelihatan beringas. Dia memutar-mutar
tuas pedangnya dengan ahli.
“Kau mau memakan tubuhku?” Die
menggoda. “Atau mau memotong kakiku, Besar?”
Monster berkepala manusia serengah
kalajengking itu beringas. Dia seperti mengerti ejekan yang Die berikan
padanya. Kemudian dia mengerahkan kedua capitnya untuk melenyapkan ksatria
berbadan kurus itu.
“Awas!” Shinya panik.
Die menghindar. Saat capit itu hampir mengenainya,
kakinya cekatan naik dan berlari di atasnya. Shinya tidak bisa melihat
perubahan posisi pedang Die yang kini terpegang ke arah sebaliknya. Gerakan
kakinya yang berlari di ketinggian tangan sang monster benar-benar di luar
dugaan. Sadar bahwa musuh kecilnya merayap di atas badannya, monster itu
menghempaskan lengannya mencoba membanting tubuh mungil Die ke udara. Tetapi
justru itulah yang Die mau, sehingga dia bisa mengapung ke udara dan menghunus
pedangnya.
“Mati kau!”
Gravitasi membuat tubuh Die meluncur
kembali ke arah sang moster dengan begitu cepat. Dan kemudian dia mendarat
sambil menancapkan ujung pedangnya ke mata sang monster.
Jleb!
GRAAAOOOWWW!!!
Kaoru dan Hakuei langsung menoleh
spontan ke arah suara mengerikan yang baru saja mampir ke telinga mereka. Tanpa
aba-aba mereka segera berlari mencari sumber suara tersebut.
“Suara itu datangnya dari sana!”
“Sepertinya Pangeran Die sedang
bertarung!”
“Ayok, taruhan siapa yang menang!”
Kaoru berujar.
“Tentu saja...” Hakuei tersenyum penuh
percaya diri.
Mata Shinya masih membulat dengan mulut
yang setengah terbuka. Rasanya tidak percaya dengan apa yang baru saja dia
lihat. Di depan matanya kini monster itu menggelinjang kesakitan. Die mencabut
pedangnya yang satu lagi lalu mengayunkannya ke udara,
Crash!!
Darah cair berwarna kehitaman mengalir
di tanah sewaktu Die memotong kedua sisi tangan capit si monster. Dia kelihatan
begitu beringas saat menghabisi monster itu dan memotong-motongnya menjadi
beberapa buah bagian. Benar-benar tak kesulitan sama sekali seperti seorang
penjagal.
Shinya tertegun di belakang sana,
memegangi dadanya yang berdenyut. Ngeri rasanya. Namun kengeriannya tak
berlangsung lama karena Uruha tiba-tiba muncul dari balik batu. Die yang sadar
kemudian berbalik.
“Cuman segitu saja?” katanya. “Aku kira
kau akan mengeluarkan monster-monster yang jauh lebih hebat dari ini?”
Uruha tidak menjawab, dia hanya
memandanginya dengan matanya yang berubah menjadi keemasan. Tidak lama wajah
tanpa ekspresinya berubah, senyumnya melengkung seperti menunggu-nunggu
sesuatu. Bertepatan dengan itu, Die tiba-tiba merasakan tubuhnya terasa panas
seperti terbakar.
Clang!
“Aa...aarggh...” tubuhnya menjadi
begitu sakit dan dia jatuh ke tanah dengan perlahan.
Shinya melihatnya kebingungan. Dia
bangkit dan mendekati Die, tetapi baru saja dia mendekat Shinya mundur kembali.
Alisnya menyatu saat melihat aura aneh yang ada di sekitar Die dan monster
tersebut.
“Ini...” Shinya tergagap.
“Apa kau bisa melihatnya?” Kata Uruha
berjalan pelan ke arah mereka. “Kau bisa merasakannya, wahai Penyihir?”
Shinya berbalik menatap Uruha yang kini
di belakangnya dengan wajah dingin. Sementara Die mulai menjerit kesakitan. Dia
tidak tahu mengapa badannya begitu panas. Kulitnya mulai melepuh.
“Aaargghh!!”
Shinya mulai mengerti apa yang sudah
dilakukan Uruha sekarang.
“Kau sengaja meracuninya dengan darah
monster tadi.”
Uruha tersenyum sinis.
“Kau tahu Pangeran Die bisa mengalahkan
monstermu, maka kau...”
“Aaarrgghh!! Keparat kau!” Die mulai
frustasi dengan rasa sakitnya.
“Hehehe...” tawa kecil Uruha terdengar
seram. “Sebagai Penyihir kecil, kau bisa berpikir juga, ya?”
“Kau...”
“Lalu apa yang akan kalian lakukan
sekarang?”
“Berikan penawarnya!” Shinya meminta.
Tawa Uruha semakin kencang dari balik jemarinya
yang anggun.
“Kau pikir aku akan memberikannya?”
Shinya diam. Uruha mundur perlahan
hingga tubuhnya mendekati pada bebatuan di belakangnya. Shinya mencoba mengejar
saat ia sadar tubuh Uruha mampu menembus bebatuan.
“Tunggu!! Tunggu!!” Shinya terlambat
dan hanya mampu menjangkau bebatuan itu. “Kembali!!!” jeritnya.
“PANGERAN!!”
Shinya berbalik sewaktu mendengar suara
pria di belakangnya. Sosok Kaoru dan Hakuei kelihatan kaget sekali melihat
kondisi Die yang sudah tergolek di tanah dengan badan yang berasap.
“Hati-hati!!” jerit Shinya. “Jangan
sampai terkena darah hitam dari monster itu! Itu beracun!”
Kaoru dan Hakuei saling menatap
bingung.
*****
“Ugh!”
Die dibaringkan di sebuah dipan kecil
di sebuah penginapan yang tak jauh dari hutan. Mereka membawanya ke pemukiman
sesegera mungkin setelah mengetahui kondisi Die yang semakin memburuk.
Shinya mulai melucuti baju besi Die
dengan perlahan. Membuka setiap helai dari baju yang melekat di badannya.
Sesekali Die mengerang kesakitan karena sebagian kulitnya sepertinya menempel
dengan kain tersebut.
“Pinjamkan aku pisau.” Pintanya.
Dengan lembut dan hati-hati, Shinya merobek
dan memisahkan sebagian kecil kain-kain yang melekat di badan Die. Hingga
akhirnya semuanya terlepas. Kaoru dan Hakuei menganga terkejut. Tubuh Die
melepuh, kulitnya seperti terbakar. Kondisi yang paling parah kini mengenai
kedua lengannya yang bersentuhan langsung dengan darah monster kalajengking
tadi.
“Pangeran Die, kau baik-baik saja?”
tanya Kaoru memastikan.
“Aku...ya...” jawabnya parau.
“Katakan apa yang kau rasakan?”
Die menutup matanya. Rasanya dia harus
mengakui sesuatu.
“... aku tidak bisa merasakan kedua
tanganku.”
Mereka terkejut.
Die tertidur setelah seluruh tubuhnya
dilumuri oleh obat hasil racikan Shinya. Walau tidak bisa langsung menyembuhkan
luka yang setiap jamnya bertambah parah, obat darinya mampu mengurangi rasa
panas di tubuh Die. Hakuei dan Kaoru berjaga di kamar Die secara bergantian.
Tengah malam, secara diam-diam Shinya
keluar dari penginapan. Dia menuju ke arah hutan. Hanya dengan bermodalkan
sebuah lampu minyak di tangannya, Shinya berani menerobos kegelapan malam
sendirian. Dia tidak memikirkan resiko apa yang mungkin dia hadapi di hutan
nantinya.
Setengah jam berjalan kaki, pria
berambut coklat kemerahan itu pun akhirnya sampai ke hutan. Dengan langkahnya
yang pelan, Shinya menyisiri setiap bagian hutan untuk mencari sesuatu. Dalam
ingatannya, ia sedang berpikir untuk mengolah sesuatu menjadi obat untuk Die
minum nantinya.
“Kalau tidak salah di musim sekarang
dia sudah tumbuh..” gumamnya sambil melirik ke setiap batang pohon besar di
dekatnya.
Srrkk!!
Shinya tertegun. Ia seperti mendengar
bunyi-bunyi yang aneh. Dengan waspada Shinya melihat ke sekitarnya yang gelap.
Jantungnya mulai berdegup kencang. Saat itulah Shinya sedikit menyesali
perbuatannya untuk datang sendirian ke hutan ini. Bagaimana kalau ternyata ada
binatang buas di sekitarnya. Apa yang akan Shinya lakukan.
Srrkk!!
“!!!” Shinya benar-benar dibuat
ketakutan kali ini. Ia melihat cahaya lampu pemukiman yang cukup jauh.
Kira-kira seberapa kuat bagi Shinya untuk berlari ke sana untuk menghindari
kejaran binatang buas yang sekarang mungkin sedang mengincarnya.
Shinya menempelkan tubuhnya ke batang
pohon di belakangnya. Matanya melihat ke sana-sini untuk memastikan bahwa tak
ada binatang buas. Ia berharap semoga itu hanya suara ranting yang tersapu
angin kencang malam ini. Shinya melihat sebatang kayu yang cukup besar. Dia
mengambilnya untuk menjadikannya senjata jika saja binatang itu muncul. Lalu
kembali menempelkan tubuhnya ke batang pohon sambil mendekap batang kayu yang
dia temukan. Matanya masih terus melirik ke area hutan yang sepertinya sudah
sepi. Semoga saja benar kalau yang dia dengar hanyalah suara dari hutan. Shinya
menghela lega untuk saat ini. Sampai kemudian sesuatu menempel dibahunya.
“AH!!”
Shinya langsung berjongkok spontan.
Menutup matanya dan mengacungkan kayu yang tadi dia dapat.
“Jangan mendekat!” katanya dengan mata
terpejam. Dia mengayun-ayunkan kayunya secara sembarang.
“Shinya, hati-hati! Kau bisa melukai
orang!” kata suara itu.
Shinya segera mendongak. “Kaoru?”
“Kau sedang apa di sini sendirian? Kau
tidak takut dengan srigala yang bisa saja muncul?”
Shinya bangkit dan merasa begitu lega
walau pun kedengarannya sekarang Kaoru sedang mengomelinya.
“Aku mencari obat.”
“Aku tahu. Tapi jangan bertindak
sendirian.” Omelnya. “Kenapa tidak mengajakku atau Hakuei?”
“Aku lihat kalian sibuk menjaga
Pangeran Die.”
Kaoru menghela kecil. Dia tak mau berdebat.
“Sekarang apa yang kau cari?”
“Jamur.”
“Jamur?”
“Ya. Jamur itu seharusnya tumbuh di
hutan semacam ini. Lagipula sepertinya ini sudah masuk musim penghujan.
Biasanya jamur-jamur itu tumbuh di batang-batang pohon.”
“Seperti apa bentuknya?”
“Kecil. Kecil sekali.” Kata Shinya
berbalik ke arah batang pohon di belakangnya. “Seperti ini.” Dia sudah
menemukannya.
“Kita butuh berapa banyak?”
“Aku membutuhkannya sebanyak segenggam
tangan.”
“Mau kau apakan?”
“Akan kurebus. Lalu airnya bisa diminum
untuk menahan sakit.”
“Menahan sakit?” Kaoru mengulang.
“Maksudmu, jamur ini pun bukan obat penawarnya?”
Shinya terdiam kemudian berbalik lagi.
Dia menggeleng kecil. “Maaf, tapi ini adalah racun yang dibuat orang. Kalau mau
mendapatkan penawarnya kita harus memintanya dari orang yang meraciknya
sendiri.”
“Uruha?”
Shinya mengangguk. “Jamur-jamur ini
hanya akan bertahan setiap sehari. Jadi kalau bisa kita harus menemukan banyak.
Untuk stok.”
“Lalu luka bakar di kulitnya bagaimana?
Terakhir luka bakarnya mulai mencapai leher. Apa yang harus kita lakukan?”
“Untuk luka bakarnya aku akan
mengoleskannya dengan getah pohon.”
“Getah? Bukankah getah itu lengket?”
“Ada satu pohon yang getahnya seperti minyak.
Aku sudah menemukannya tadi. Dengan getah itu, luka bakar di kulitnya mungkin
bisa mengering dengan cepat.”
Kaoru kelihatan bingung. Tak mungkin
setiap hari mereka melakukan ini. Ini akan menghambat perjalanan mereka.
“Aku harus mendapatkan penawarnya!”
*****
Die duduk setelah meminum obat dari
Shinya. Wajahnya kelihatan sakit.
“Bagaimana rasanya?”
“Pahit.” Jawabnya sambil membuang muka.
“Apakah tubuhmu masih terasa panas?”
tanya Hakuei.
“Iya.”
“Aku akan mengoleskan obatnya.” Shinya
beranjak mengambilkan obat di meja.
Kaoru mendekati Die yang kelihatannya
masih lemah.
“Kau bisa menggerakan tanganmu?”
tanyanya. Die menoleh lalu menggerakan tangannya. Seperti tidak percaya,
tangannya bisa bergerak. “Obat dari Shinya ternyata cukup manjur.” Kaoru
terlihat puas.
Die melirik Shinya yang menatap mereka.
“Tapi kau harus rutin meminumnya. Itu hanya penahan rasa sakit, kau belum
sembuh sepenuhnya.”
“Ya, ya setidaknya Pangeran bisa
merasakan lagi tangannya, kan?” Hakuei berujar.
Tetapi sepertinya keadaan berlanjur
kikuk. Kaoru beranjak dari sana membawa Hakuei.
“Mau kemana?” tanya Die.
“Kami akan menunggu di luar selama kau
diobati.” Kaoru terkekeh.
“HAH! Hey, kalia—aargh!” Die mulai
merasa sakit lagi.
Shinya menatap mangkuk getahnya dengan
muka yang aneh. Die menghela dengan wajah yang agak aneh; canggung.
“Jadi kapan kau akan mengolesi lukaku?”
Shinya tersadar, kemudian duduk di
samping ranjangnya. Die memunggunginya. Shinya menaruh mangkuk getahnya di
kursi kecil di sampingnya. Ia mengambilnya dan mulai mengolesi punggung Die
yang melepuh. Tak ada kata-kata usil dari Die saat Shinya bekerja. Pria itu
lebih memilih diam. Aneh rasanya.
“Tanganmu,” Shinya meminta. Die
memberikan tangan kirinya. Shinya memilih tak beranjak dari sana meskipun
mengolesinya agak sedikit sulit karena posisi Die yang memunggunginya. Seharusnya,
Shinya pindah duduk di depannya. Namun, dia agak enggan. Entahlah.
“Satunya,”
“Aku tidak bisa bergeser,” akhirnya Die
mengucapka kata-kata itu. Shinya diam dulu sebentar, sampai akhirnya dia
beranjak dan duduk di depan Die. Die memberikan tangan kanannya yang kondisinya
paling parah. Daging merahnya benar-benar kelihatan, membuat Shinya sedikit
merasa ngilu saat memegangnya.
“Apakah ini sakit?” tanya Shinya
spontan. Die diam. Shinya menunduk.
“Sakit sekali.” Jawabnya.
Shinya membisu, melakukan pekerjaannya
mengolesi luka Die dengan getah obat. Ia tidak memperhatikan sejak tadi mata
Die menatapnya tak berkedip. Saat selesai, Shinya memandanginya kaget.
“Ke—kenapa?” tanyanya.
Die pun sadar. “Oh, aku...aku baru
sadar kalau kerudungmu menghilang,”
Shinya mengingat. Kerudungnya saat itu
tertinggal di dalam gua bumi. Kondisinya sudah sangat parah dan Shinya sudah
tak bisa memakainya lagi.
“Kau bisa bantu aku?” pinta Die.
“Apa?”
“Di dalam tas besar itu ada barang
milikku. Bisa kau ambilkan?”
Shinya berjalan menghampiri tas kulit
itu dan mengambil isinya. Sebuah tas kulit lainnya. Dia membawakannya kepada
Die yang masih duduk di sana.
“Ini,”
Shinya menyodorkannya.
“Bukalah.”
Shinya menatap Die. Lalu dia membuka
tali dari tas tersebut. Sebuah kain merah yang panjang dan besar. Sisinya ada
ornamen berwarna keemasan dengan gambar-gambar simbolik yang mencerminkan dari
keluarga bangsawan.
“Itu untukmu,” kata Die. “anggap saja
untuk pengganti dari kerudungmu yang kupinjam waktu itu.”
*****
Shinya membisu. Menatap kain merah yang
terlipat di dekat bantalnya. Sejak tadi dia memandanginya terus. Ada rasa
enggan setiap kali Shinya menyentuh kain merah tersebut. Bukan sebab karena
kain tersebut lebih berat dari kerudungnya yang sebelumnya. Namun Shinya merasa
kain itu cukup mengganggu pikirannya. Sebut saja ini perasaan terbodoh yang
Shinya rasakan saat ini. Namun, sebetulnya Shinya merasa tak nyaman karena
dengan adanya kain merah pemberian dari Die tersebut membuatnya jadi tak bisa
tidur. Dia merasa kini Die ada di sekitarnya. Itu benar-benar sungguh
menganggunya.
Maka, Shinya menaruh kain merah itu ke
dalam kotak di dekat kursi yang di sediakan pemilik penginapan agar bentuknya
tidak terlihat.
“Aneh.” Tutur Shinya saat kembali
menatap kotak di sebrang matanya.
“Sekarang kau mengerti kebingunganku?”
Toshiya membalikan badannya dari cermin
besar di depannya. Uruha masih menatap cermin yang memperlihatkan keadaan
penyihir kecil yang kemarin dia serang; Shinya.
“Dia penyihir, namun dia mampu meracik
obat dan tahu sesuatu yang tidak banyak orang tahu.” Toshiya duduk di
singgasananya. “Jelas, dia bukan berasal dari kaum penyihir hitam.”
Uruha berbalik dengan wajah tak
percaya. “Maksudmu dia...”
“Kalau memang benar itu ‘dia’, kita
harus segera menghabisinya.”
Uruha terdiam sesaat sambil melihat ke
arah cermin kembali. Benarkah penyihir kecil itu adalah orang yang harus mereka
lenyapkan?
*****
Hakuei menyenggol lengan Kaoru yang
kelihatannya sedang sibuk memperhatikan dua pria berbeda di depan matanya.
“Tidakkah kau pikir bahwa ada perubahan
yang terjadi?” bisik Hakuei.
“Apa?”
“Pangeran Die...”
Kaoru kembali melirik pemuda yang
sedang diobati oleh Shinya.
“Kau terlambat kalau baru terpikir itu
sekarang.” Kaoru berjalan keluar.
“Eh?! Sungguhkah?!” Hakuei mengejarnya.
Shinya dan Die menoleh ke arah mereka
yang menghilang di balik pintu. Shinya melirik Die yang masih menatap ke luar,
lalu kembali lagi mengoles lukanya yang sudah perlahan mengering. Ini sudah
hari ketiga sejak pertarungan itu terjadi. Sudah tiga hari pula Shinya selalu
siaga setiap pagi dan sore hari untuk mengobati luka Die yang tak kunjung
sembuh. Memasakannya ramuan obat dan mengambil getah pepohonan untuk pengoles
lukanya.
“Ini tidak akan berhasil.” Katanya.
Shinya mendongak, dia tak menjawab.
Die mungkin sudah mulai frustasi dengan
kondisinya yang sama sekali tidak kunjung membaik. Ini sudah menghambat
perjalanan mereka. Shinya menghela kecil, kemudian beranjak dari sana untuk
merapihkan peralatannya. Terpikirkan olehnya, bagaimana menemukan Uruha dan
meminta obat penawar darinya.
Suatu malam ketika Shinya baru saja
selesai membersihkan dirinya setelah seharian mencari jamur dan getah, dia
dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba ada di dalam kamar penginapannya. Dan itu
sama sekali bukan Hakuei, Kaoru apalagi Die.
Shinya mematung di dekat pintu saat
melihat bayangan seseorang yang duduk membelakanginya menatap cahaya rembulan
yang masuk ke balik jendela kamarnya yang terbuka. Pelan-pelan dia menoleh
melihat Shinya yang terhuyung ke daun pintu saat tahu siapa tamu tak diundang
yang kini berada di dalam kamarnya.
“Kau... Uruha?”
*****
Die memerjapkan matanya saat ia
merasakan rasa sakit mulai menyegat di kedua tangannya. Pemuda itu kemudian
bangun dari tidurnya sambil mengerang.
“Sssh!! Aaarrrgghh!!”
Entah mengapa rasanya luka di tubuhnya
terasa semakin panas saja. Die melihat kedua tangannya yang mulai berasap.
Kedua tangannya seolah mendidih, membara begitu panas. Die memejamkan matanya
kuat-kuat sambil menahan kesakitannya. Menahan suaranya agar tak keluar.
Shinya berancang-ancang hendak
menerobos pintu. Tetapi saat dia berlari ke sana, pintu menutup sendiri dengan
keras. Shinya menariknya tetapi terkunci. Dia berbalik lagi.
“Kau mau apa?!” tanyanya.
Uruha kemudian beranjak dari sana
mencoba mendekati Shinya. Shinya berusaha menghindarinya. Matanya menatap kotak
dimana dia menaruh jubah dari Die.
“Kenapa kau menghindar?”
“Kau bisa saja menyerangku,”
“Aku tidak akan menyerangmu. Aku mau
bernegosiasi denganmu.”
Shinya terdiam. “Bernegosiasi?”
Uruha mengeluarkan sesuatu dari balik
bajunya. Sebuah botol kecil seukuran kelingkingnya yang terisi oleh cairan
biru.
“Itu!” Shinya tersadar.
“Ya, ini penawar yang kau minta.”
“Kenapa kau memperlihatkannya padaku?”
“Kau membutuhkannya, bukan?”
“Apa maumu sebenarnya? Kau mau
menjebakku?” tanya Shinya sambil terus menghindar saat Uruha terus
mendekatinya.
“Aku tidak mau menjebakmu, aku hanya
mau bernegosiasi denganmu.”
“Apa yang kau inginkan?”
Uruha terhenti. Pria bermata sayu itu
menatap Shinya dengan mata tajam.
*****
“Pangeran Die?!”
Hakuei terkejut saat melihat Die yang
terjungkal dari tempat tidur. Prajurit itu segera membantu Die, tetapi dia
malah ternganga begitu melihat luka Die menjadi sangat aneh. Akhirnya, dia
memutuskan untuk memanggil Kaoru.
“Pangeran Kaoru, tolong...!!” jeritnya
sambil menuju ke kamar pria tersebut.
Tapi di sana Kaoru sama sekali tak
muncul. Kemana perginya dia?
Saat Hakuei dilanda kebingungan,
tiba-tiba saja dia merasakan sesuatu mengintainya.
Crash!
Hakuei segera menghindar saat seseorang
menebas pedang ke arahnya. Baju di daerah perutnya sampai sobek terkena ujung
mata pedang.
“Pangeran Kaoru!?”
Hakuei bingung karena sekarang Kaoru
menghunus pedang padanya.
“Pangeran!”
“Heaah!”
Trang!
Hakuei melompat ke tempat tidur. Kaoru
menebasnya. Hakuei menghindari ke lantai, Kaoru mengayunkan pedangnya menusuk
tanah. Hakuei segera bangkit dan mengambil pedang yang berada tak jauh dari
meja. Dia melawan Kaoru!
Trang!!
Kedua pria itu saling menahan pedang
mereka masing-masing. Hakuei menatap mata Kaoru yang kosong.
“Pangeran, kau dihipnotis!”
Trang! Trang!!
“Aku tidak mau!” jerit Shinya.
“Kenapa?” Uruha tersenyum. “Kalau kau
mau menurutiku, kau bisa mendapatkan penawar ini dan menyelamatkan pemuda itu.
Bukankah itu yang kau mau?”
Shinya terdiam.
“Apakah kau akan membiarkan dia terus
menderita lalu mati? Kuberi tahu kau satu hal, racun itu akan mematikan seluruh
ototnya, membakarnya dari dalam. Menghancurkan tulangnya sampai remuk menjadi
debu. Kalau dia tidak segera meminumkan obat penawar dariku, kurang dari 5 jam
lagi dia akan mati.”
Shinya menatapnya bingung.
Die merayap dari lantai ke meja.
Tangannya berpegangan pada meja kayu yang kokoh untuk pegangan. Pemuda itu berusaha
bangkit. Ada yang aneh di sekitarnya, dan dia seperti tahu ada sesuatu yang tak
beres di sana.
Ia mengambil pedangnya dan
menancapkannya ke lantai. Berdiri dengan bantuannya sampai akhirnya dia berdiri
dengan tegak meski pun agak terhuyung. Dia berjalan keluar kamar dengan
bertelanjang dada. Suara kerasnya adu pedang terdengar. Saat ia melihat, Hakuei
dan Kaoru sedang bertarung.
“Haku!!”
“Pangeran!” Konsentrasi Hakuei
terpecah, ia dipentalkan oleh Kaoru yang kemudian beralih mengincar Die.
Die terkejut, mundur sedikit. Hakuei
segera bangkit dan menghadangnya dengan pedangnya.
“Ada yang tak beres di sini!!” ujarnya
sambil menahan Kaoru.
“Kau urus dia!”
Die berjalan tergesa-gesa ke kamar
Shinya yang sejak tadi tenang. Ia merasakan aura yang aneh dari dalam. Dan
benar saja, pintu kamarnya tak bisa di buka.
“Sialan!”
“Bagaimana?” Uruha menyodorkan botol
kecil itu ke tengah-tengah.
Pelan-pelan Shinya mendatanginya,
mencoba mengambilnya. Dengan gerakan yang ragu-ragu Shinya mendekatinya dan mengulurkan
tangannya hendak mengambil botol kecil itu. Dengan itu Pangeran Die bisa
sembuh, itu yang ada dibenaknya. Tapi saat Shinya hampir mendapatkannya, Uruha
menariknya kembali.
“Bagaimana? tegasnya. “Kalau kau mau menurutiku
maka obat ini menjadi milikmu.”
“Berikan dulu obatnya. Aku tidak tahu
itu benar obat penawar atau ini hanya perangkapmu.”
“Aku tidak pernah berbohong dengan
ucapanku.” Uruha seperti tersinggung. Dia menyodorkan obat itu sekali lagi.
Kali ini Shinya berhasil memegangnya dan berniat merebutnya saat...
BRUAAK!!
“Jangan bermain-main denganku!” suara
Die menjelma masuk ke dalam ruangan sempit itu.
Saat itulah Shinya menarik botol
obatnya dan berlari.
“Berhenti!” Uruha mengeluarkan
sihirnya, langkah Shinya terhenti karena aliran listrik yang menahannya.
Tubuhnya melunglai lalu jatuh ke lantai.
Die berang. Pemuda itu seperti tak lagi
merasakan rasa sakit saat dia melihat Uruha di sana. Perasaan kesalnya mencuat
lebih besar daripada rasa sakitnya. Maka, dia menghunus pedangnya untuk melawan
penyihir hitam itu.
“Jangan menganggunya!” hardik Die
mengayunkan pedangnya.
Dengan sekali tebasan pada aliran
listrik yang menyambung dari Uruha kepada Shinya, semuanya langsung terputus
begitu saja.
“Haa~” Shinya bisa sadar dan bangkit
kembali.
Die mengacungkan pedangnya ke arah
Uruha yang mematung di sana.
“Kau belum mati?”
“Aku tidak akan mati semudah yang kau
kira!”
Uruha tersenyum kecil. Penyihir itu
kemudian mundur teratur, di belakangnya lagi-lagi muncul gelombang hitam
berbentuk elips memanjang seperti sebuah pintu masuk dunia kegelapan. Uruha
menghilang saat dia masuk ke dalamnya. Namun matanya masih menatap sosok Shinya
yang berdiri jauh di belakang Die. Dia menunjuk Shinya sebagai janjinya.
Shinya tertegun saat Uruha terakhir
menunjuknya. Dilihatnya botol kecil dalam genggamannya yang telah dia dapatkan.
Gabruk!!
“!!!”
Shinya sadar saat Die terjatuh ke
lantai. Pemuda itu tak sadarkan diri dengan luka yang terbakar parah. Kali ini
Shinya mampu melihat debu aneh yang menempel di kedua tangan Die.
“Tidak!”
Die terbakar!
Shinya segera menghampiri tubuh Die
yang tak berdaya. Pemuda itu tak sadarkan diri. Shinya panik saat melihat
debu-debu itu beterbangan. Tangan Die hampir tak utuh. Dengan cepat Shinya
membuka tutup botol penawarnya dan mencoba meminumkannya pada pangeran
tersebut. Sayangnya, cairan itu tak bisa terteguk karena Die yang tak bisa
menelan.
“Bagaimana ini?” Shinya kebingungan.
Cairan penawar itu kini tertinggal
setengah. Die tak bisa meminumnya. Shinya menatap botol itu dan Die secara
bergantian. Shinya harus berpikir cepat, sementara luka bakar di tubuh Die
semakin lama semakin parah saja. Akhirnya, Shinya memutuskan untuk
meminumkannya sendiri. Dia meneguk obat itu kemudian dia memandangi Die yang
tak sadar. Shinya memejamkan matanya saat meminumkan obat tersebut melalui
mulutnya. Mendorong cairan itu masuk agar Die bisa menelannya.
“Hh...”
Shinya melihat Die yang masih tak
sadar. Tetapi cairan itu sudah terminum. Dan perubahan mulai terjadi saat luka
dia tangan Die perlahan menghilang. Lukanya yang tadinya membuat tangannya tak
utuh seolah menghilang. Tangan dan tubuhnya yang terbakar kini kembali seperti
sedia kala. Shinya bersyukur sekali.
“Syukurlah...”
Continue....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar