expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

02 Maret 2013

EXODUS (Part 10)

Title : EXODUS

Author : Duele

Finishing : Januari 2013

Genre : Fantasy

Rating : PG15

Chapter(s) : 10/on going

Fandom(s) : Dir en Grey

Pairing(s) : DiexShinya

Note Author : Thanks for keep reading this story J

 
*****
 

Perjalanan mereka terasa sangat lambat, tetapi nampak menyenangkan. Entah sejak kapan Hakuei dan Kyo kelihatan akrab, mereka banyak mengobrol dan berguyon di barisan belakang sana. Terkadang, Die dan Kaoru sampai menoleh ke belakang demi melihat Hakuei yang tertawa keras. Sepertinya sangat seru. Berbeda dengan Kaoru yang sepanjang perjalanan kelihatan tenang dan nampak santai menunggangi kudanya yang kelihatan menuruti perintahnya. Die dan Shinya pun nampak tenang. Tetapi terlalu diam untuk ukuran seperti Die, karena mereka sama sekali tidak bicara satu sama lain. Padahal sebelumnya, pemuda yang satu kelihatan sudah bisa membuka diri kepada Shinya. Atau mungkin, karena pasangannya adalah Shinya, maka Die ikut-ikutan diam.

 

“Apa benar kau bisa meramal?” tanyanya kemudian.

“Sedikit.” Shinya cukup lama untuk menjawabnya.

“Apa perbedaannya sedikit dan banyak, pada dasarnya kau bisa melihat masa depan kan?”

“Tapi aku tidak sehebat leluhurku.”

 

Die tertawa singkat. “Bagaimana kau tahu mengenai leluhurmu sementara kau itu adalah satu-satunya penyihir putih terakhir yang masih hidup. Kau bahkan tidak tahu siapa orangtuamu.”

 

Kedengarannya memang congkak. Tapi apa yang dikatakan Die memang benar. Shinya tak bisa benar-benar marah walaupun dari nada bicaranya Die seperti mengejeknya. Mungkin sudah dari sananya sifatnya seperti itu. Arogan.

 

“Kau tidak akan tahu…” jawabnya, membuat Die penasaran. “Karena aku tidak tahu, maka kau harus memberitahuku.”

“Kenapa?”

“Karena kita satu kelompok. Kau ingat?”

 

Tanpa sadar mereka saling bertatapan, Die sadar kemudian kikuk.

 

“Ya-ya sudahlah kalau memang kau tidak mau bilang.” Terselip nada sebal di suaranya.

“Leluhurku beberapa kali mendatangiku lewat mimpi. Saat mereka mendatangiku mereka banyak memberitahukanku berita yang tidak pernah kuketahui sebelumnya.” Jelas Shinya kemudian.

“Apa kau hanya memimpikan leluhurmu?”

“Sebetulnya aku jarang bermimpi.” Rasanya Shinya ingin tertawa saat itu. “Roh mereka yang mendatangiku dan membuat aku bagai bermimpi berbicara dengan mereka.”

“Bagaimana dengan orangtuamu?” tanya Die. “Kenapa mereka tidak mendatangimu?”

“Entahlah…” suara Shinya terdengar berbeda saat itu.

“Ooh, maafkan aku.” Tutur Die menyesal.

 

Shinya tersenyum kecil tanpa melihat Die yang menyesal.

 

“Tetapi tidak masalah. Aku tetap punya orangtua, walaupun hanya orangtua asuh.”

“Itu terdengar seperti runutan kesepian.”

“Benarkah?” Shinya berbalik dengan wajah polos. Die menjauhkan sedikit tubuhnya. “Ya-ya, begitulah. Tetapi, kau tetaplah orang yang beruntung.”

“Ya, aku sangat beruntung.” Shinya berbalik lagi. Kali ini dia menatap jalan setapak yang tengah mereka lalui.

 

Shinya memang beruntung karena jika dipikirkan berulang-ulang, maka berpisah dari orangtuanya adalah sebuah takdir yang begitu besar yang membawanya pada kehidupan seperti ini. Seperti saat ini.

 

 

 

Dalam perjalanan mereka kali ini, mereka akan masuk ke sebuah daerah kerajaan sebrang yang sama sekali tidak pernah Die ataupun Kaoru lewati. Perjalanan mereka yang hampir empat bulan lamanya kini telah menempuh jarak yang sangat jauh dan membawa mereka pada tempat-tempat yang belum pernah mereka temui.

 

“Kalau menurut peta, dibalik gunung itu ada sebuah kerajaan kecil bernama Luxur.” Jelas Kaoru saat mereka beristirahat siang.

“Kerajaan macam apa itu? Aku tak pernah mendengarnya.” Sahut Die.

“Aku juga tidak tahu pasti. Perjalanan kita sudah sangat jauh. Aku tak pernah berkelana sebelumnya.” Jawab Kaoru sama.

“Ah, peduli amat. Yang penting kerajaan itu bukan kerajaan setan atau ilusi fiktif. Kita temui Rajanya dan kita bicarakan soal menyusun rencana untuk memerangi Ursula. Beres!” tandas Die.

“Tidak semudah itu, kan?” sanggah Kaoru.

“Oh, ayolah Kaoru. Ini pengalaman kita yang ke berapa menemui raja dari kerajaan lain?”

“Ya, setidaknya aku ingat bahwa aku telah beberapa kali diseret dan hampir dipancung karena ulahmu.” Tiba-tiba suaranya mendesak.

“Loh, kenapa kau jadi menyalahkan aku?” Die mendelik.

“Ingat, gara-gara kau menghunus pedang ke arah Pangeran kerajaan hanya karena dia mirip siluman?!”

“Itu aku tidak sengaja… dan kau…”

 

Wawawawa! Dan bla, bla, bla!

Baru kali ini Shinya dan Kyo melihat kedua Pangeran itu bertengkar seperti anak kecil. Saling menyalahkan dan tidak mau mengalah. Bahkan Kaoru yang biasanya penyabar akhir-akhir ini gampang sekali tersulut amarahnya.

 

“Apa mereka sering begitu?” tanya Shinya pada Hakuei yang santai saja.

“Biarkan saja mereka, nanti juga baik sendiri.”

“Kau yakin?”

 

Hakuei mengangguk. Shinya khawatir. Kyo tidur.

 

“Berani sekali kau melawanku!” Die menghunus pedang.

“Kau pikir aku tak punya pedang!” balas Kaoru mengambil pedangnya.

 

“Mereka akan saling membunuh!” Shinya panik. Hakuei menariknya.

“Biarkan saja, nanti juga capek sendiri.” Hakuei sepertinya sudah sangat terbiasa dengan ini.

 

Setelah hampir dua jam berkelahi akhirnya mereka memutuskan untuk berhenti dan saling berdiam diri. Untuk waktu-waktu sekarang ini yang lebih banyak bicara tentu saja Hakuei, dia bergerak sebagai pencair suasana. Walaupun kadang gagal. Dan perseteruan dua Pangeran beda aliran itupun bisa bertahan sampai beberapa hari.

 

“Pangeran, ganti baju zirahmu.” Kata Hakuei kepada Die.

“Kenapa?”

“Sudah, ganti saja. Berkeliaran dengan baju seperti itu di negeri orang, kau bisa dihukum nanti.” Jelasnya.

 

Sambil melirik Kaoru yang telah berganti pakaian, Die melihatnya dengan judes. Mau tak mau, pemuda itu mengganti baju perangnya dengan pakaian biasa yang lebih sopan.

 

Setelah mengganti pakaian, mereka menuju ke arah kerajaan dominasi warna putih pada kastilnya. Kerajaan yang lumayan besar itu nampak sepi dengan penjagaan yang tidak terlalu ketat. Di pintu gerbang pun hanya beberapa penjaga yang berjaga. Ini agak sedikit aneh. Kerajaan ini terlalu lemah dan gampang untuk diserang, pikir mereka.

 

Berbeda dengan di kerajaan lain yang sempat Die dan Kaoru singgahi. Hal teraneh yang mereka alami adalah saat mereka masuk dan melapor pada penjaga, mereka disambut dengan sangat antusias. Mereka dipertemukan dengan penasihat kerajaan yang kelihatannya benar-benar senang melihat kedatangan mereka saat itu.

 

“Perkenalkan aku Lexus, Penasihat Raja. Aku senang sekali akhirnya kalian tiba di sini. Apakah perjalanan kalian cukup sulit untuk tiba sampai di sini?”

“Sebenarnya…itu…” Kaoru berusaha menjelaskan.

“Ya, ya, ya…aku mengerti kesulitan kalian,” potongnya cepat, “tapi aku benar-benar senang kalian sudah tiba di sini. Ayo, ikuti aku. Raja sudah menunggu kalian.”

 

Kaoru melirik teman-temannya sambil mengangkat bahu.

 

Mereka dibawa ke sebuah ruangan yang sangat besar dimana ada seorang pria berjubah hitam dengan rambut yang gelap duduk sambil memangku dagu. Ia kelihatan tertidur saat itu. Lagi-lagi, saat mereka masuk ke ruangan itu tempat itu sangat sepi. Tempat ini seperti kosong, tak banyak penjaga berjaga di sana. Mereka menunggu tak jauh dari tempat sang Raja duduk saat si Penasehat berkepala setengah botak itu menghampirinya dan membisikannya sesuatu hingga matanya terbuka, mendelik, dan bangkit dari kursinya.

 

“Kalian sudah tiba!” katanya. Membahana. Suara keras sampai-sampai menggema ke seluruh ruangan.

 

Die dan kawan-kawannya hanya diam saja. Jelas saja mereka tak mengerti. Mereka sama sekali belum pernah menginjakan kaki ke tempat ini, tetapi kenapa mereka justru disambut sedemikian rupa. Kaoru yang berdiri sedikit paling depan daripada Die dan Hakuei berhadapan langsung dengan sang Raja berwajah tirus itu.

 

“Kenalkan, namaku Morrie.” Ujarnya.

“Namaku Kaoru.” Jawab Kaoru. “Dan ini teman-temanku, Daisuke, Hakuei, dan Shinya.” Ujarnya. Untuk saat ini Kyo yang masih berbentuk srigala tetap menunggu di luar bersama kuda-kuda mereka.

“Aku sudah menunggu kedatangan kalian!” katanya.

“Huh?” Kaoru berespon bingung. Lagi-lagi dia harus menoleh dan menggeleng bingung.

“Kita tidak usah buang banyak waktu! Ayo, kalian ikut aku! Kita akan menemui Pangeran.” Katanya sambil menarik Kaoru.

“Eh!”

 

Kaoru terpaksa ikut bersama dengan Raja tinggi itu, di belakangnya Die dan yang lainnya mengikuti. Langkah mereka berderap-derap cepat walau tak berlari. Sang Raja kelihatannya bersikap panik dan sangat ketakutan saat itu. Mereka melewati beberapa buah kamar dan lorong yang akhirnya membawa mereka ke sebuah pintu keluar. Mereka melewati lapangan yang sangat luas. Saat itu Die merasa agak sedikit bingung dan ia harus mengakhiri seret-menyeret antara si Raja dan Kaoru.

 

“Tunggu dulu!” Die menghadang di depannya. “Katakan sebetulnya ada apa ini?” tanyanya.

 

Si penasihat Raja di belakang kelihatan panik, tetapi Raja segera menyuruhnya untuk tenang. Ia melepaskan Kaoru dan menatap Die dengan raut bingung juga.

 

“Bukankah kalian adalah penjaga bayaran dari negeri sebrang? Para penjagal yang bisa menjagai Putraku?”

 

“HAH?!” Die, Kaoru dan Hakuei berespon sama; BINGUNG!

 

Sang Raja terlihat kecewa. “Ternyata salah. Aku salah orang. Mungkin, orang-orang yang kusewa ternyata sudah mati juga.” Gumamnya.

 

“Yang Mulia…” Penasihat itu datang menghampirinya.

 

“Kami tidak mengerti apa yang Anda bicarakan, tapi sepertinya Anda butuh bantuan?” kata Die kemudian cepat membaca situasi.

“Siapakah kalian ini?” tanyanya.

“Aku, Jenderal Die dari Negeri Meisyo De Meisyu.”

 

Kaoru dan Hakuei berkeringat dingin. Dari mana lagi nama aneh seperti itu? Pemuda yang satu itu memang pandai berbohong.

 

“Aku tak pernah dengar.” Kata sang Raja.

“Itu tak penting.” Kata Die, “Jadi apa masalahmu, Yang Mulia?” Matanya menyiratkan rasa penasaran dan antusias yang tinggi.

“Apakah aku bisa mempercayai kalian?”

“Tentu saja!”

 

Raja menoleh kepada sang Penasihat terlebih dahulu sebelum akhirnya dia menceritakan permasalahannya. Namun, bukan cerita yang dia dapat, melainkan mereka dibawa ke sebuah menara yang tak jauh dari kastil utama. Justru di menara itulah banyak penjaga yang berjaga.

 

“Apa-apaan ini? Kenapa banyak sekali penjaga di sini daripada di tempatmu, Yang Mulia? Apa kau menyembunyikan sesuatu?” singgung Die. Namun Raja Morrie tak langsung memberitahukan mereka. Dia masih terus menggiring mereka semua ke atas menara.

 

Sesampainya di puncak menara, mereka berdiri di sebuah pintu yang besar. Hanya itulah satu-satunya ruangan yang ada di tempat itu. Ada lima penjaga yang menjagai pintu tersebut dan semuanya memakai baju zirah lengkap dengan senjata perang mereka. Die melirik Kaoru yang masih menggeleng, dia masih belum mendapatkan ide tentang ini semua.

 

“Buka pintunya.”

 

Penjaga-penjaga itu membuka kunci pintu tersebut. Sebenarnya apa yang sedang disembunyikan oleh Raja ini sampai-sampai mereka harus mengerahkan pasukan penjaga sebanyak ini. Dan saat pintu terbuka mereka terdiam. Pasalnya tak ada apapun di depan mereka. Di depan mereka hanya ada sebuah kamar berukuran kecil yang cukup gelap dengan pencahayaan temaram dari lilin-lilin yang dinyalakan di setiap sisi ruangan.

 

“Tempat apa ini?” suara Hakuei terdengar, itu seperti mewakili raut-raut bingung yang lainnya. Mereka sama sekali tidak tahu tempat apa ini? Kenapa Raja membawa mereka ke tempat seperti ini.

 

“Ini adalah kamar Putra Mahkota.” Lexus menjawab.

 

Die hamper tertawa mendengarnya. “Di mana dia?” baru saja Die bertanya begitu, sebuah suara terdengar. Suaranya seperti ketukan rantai yang bergeser di lantai. Dan mereka semua tertuju pada sudut ruangan, saat mereka menyadari bahwa arah mata sang Raja sejak tadi mengarah ke sana. Dari balik kegelapan itulah, akhirnya mereka bisa sedikit melihat sosok bergerak di sana. Kaoru yang tadinya kelihatan biasa saja pun sampai maju selangkah demi melihat baying bergerak yang bergeser dari tempatnya.

 

Entah inisiatif atau memang titah tersembunyi dari Raja, Lexus, sang penasihat Raja muncul dan menyalakan lilin lalu membawanya ke dekat sang Putra Mahkota. Kemudian mereka semua terkejut, mata mereka semua membelalak saat melihat kondisi yang Putra Mahkota yang ternyata terpasung kedua kakinya dengan alat pemasung kaki yang terantai.

 

“Apa-apaan ini…?”

 

 

 

“Kau memasung Putramu sendiri dan membiarkannya hidup sendirian di menara itu? Ayah macam apa kau!?” Die meledak.

“Jenderal…sabar dulu.” Hakuei berusaha melerai dan menggiringnya mundur.

 

Raja kelihatan sangat bersalah dan stress. Die merutuk di belakang karena merasa perbuatan yang dilakukan Raja ini amatlah tak adil. Kaoru yang melihat situasi ini mulai kacau mencoba mencari jawaban. Sang Raja pasti punya alasan mengapa ia sampai tega memasung dan mengurung Putra Mahkotanya sendiri di dalam menara.

 

“Kami tahu Yang Mulia pasti punya alasan. Jika berkenan, ceritakanlah kepada kami.” Ujarnya.

 

Namun kelihatannya sang Raja masih sangat terpukul. Ia sendiri sepertinya sadar bahwa tindakannya sangat tidak manusiawi, terlebih lagi kepada Putranya sendiri. Melihat pemimpin mereka yang belum bisa memberikan jawaban, Lexus angkat bicara.

 

“Sebetulnya Yang Mulia Raja sama sekali tidak berniat memasung Putra Mahkota, hanya saja, belakangan ini Putra Mahkota bersikap sangat aneh. Terutama di malam hari.”

“Huh?”

 

Mereka semua terpancing oleh pembicaraan itu. Sehingga Die yang tadinya merutuk sejak tadi akhirnya diam ikut mendengarkan.

 

“Ada apa dengannya di malam hari?”

“Di malam hari Pangeran bertindak sangat liar.” Lexus kelihatan ragu menceritakannya. “Dia sering melukai orang lain. Bahkan tak jarang menggigit dan menghisap darah mereka.” Ujarnya. Kontan saja mereka terkejut. “Pangeran seperti kerasukan. Tapi sewaktu fajar datang dia akan kembali menjadi seperti dirinya yang lama. Dan terkadang ketika kami tanyai, dia tak pernah ingat dengan apa yang dia lakukan. Akhir-akhir ini perbuatannya semakin buas dan dia sudah membunuh dua prajurit kami. Oleh karena itu, mau tak mau kami harus memasungnya agar dia tidak membahayakan yang lain. Begitulah…”

 

Mereka semua masih mencoba mencerna apa yang sedang terjadi di sini. Dengan penceritaan Lexus yang membuat mereka kebingungan. Apakah benar sang Putra Mahkota kerasukan? Shinya kelihatan sedang berpikir saat Die mengawasinya.

 

“Lalu Anda bilang, Anda sudah menyewa penjagal dari luar. Untuk apa menyewa mereka?” Tanya Hakuei.

“Itu karena sudah beberapa bulan ini ada yang mengincar Pangeran.”

“Bisa Anda jelaskan sejak kapan Pangeran berkelakukan seperti itu?” Shinya akhirnya bertanya.

“Umm…jika tak salah, sekitar dua setengah bulan lalu. Saat Pangeran pergi ke hutan untuk berburu sekaligus melatih panahan. Ketika itu rombongan Pangeran diserang bandit dan Pangeran pulang dengan kondisi yang terluka di atas kudanya. Sejak saat itu beberapa hari kemudian dia mulai bersikap aneh.”

 

Shinya berpikir lagi.

 

“Bisakah aku melihatnya?” pintanya.

“Eeh?!”

“Tolong biarkan dia melihatnya,” sambung Kaoru. Die mengurungkan niatnya setelah Kaoru mendahuluinya. “Shinya ini seorang tabib.”

 

 

*****

 

 

 

“Penyakit yang benar-benar aneh…” gumam Hakuei ketika mereka menunggu di kamar. “Jenderal, apa menurutmu dia kena sihir?” ia menoleh pada Die yang juga sedang berpikir.

“Entahlah.”

“Oh, ya. Kenapa kita menunggu saja di sini? Kita juga bisa ikut dengan Shinya dan Pangeran Kaoru melihat kondisi pemuda itu, kan?” keluhnya.

 

Die mendecak kesal. Hakuei sepertinya tidak tahu bahwa roman dihatinya sedang tak mau membahas itu.

 

“Biarkan mereka. Mereka cocok untuk melakukan penyelidikan dan pengobatan.” Jawab Die agak ketus.

 

 

 

“Siapa kalian?” pemuda berparas cantik itu bersuara saat Shinya mendekatinya.

 

“Tenang saja Pangeran, kami tidak akan melukaimu.” Sahut Kaoru di belakang Shinya. “Aku Kaoru, dan ini Shinya. Dia ingin mencoba mengobatimu.”

“Aku tak sakit. Ayahku saja yang terlalu berlebihan memperlakukan aku seperti ini.” Dia membuang muka. “Dia mempermalukan aku di hadapan banyak orang.”

 

Shinya dan Kaoru saling bertatapan sebentar. Kemudian Shinya duduk di dekat pemuda itu, begitu juga Kaoru. Pemuda itu kelihatan tak terganggu saat Shinya dan Kaoru duduk di dekatnya.

 

“Kalian ini…suami istri?” tebaknya.

 

Shinya tertegun kaget. Kaoru hampir batuk mendengarnya. Jika Die mendengar ini, dia pasti akan sangat kesal sekali. Tidak tahu kenapa, Kaoru bisa memikirkan hal itu sekarang.

 

“Bukan. Kau salah menduga.” Kaoru mengelak. “Rekan kami masih ada lagi di dalam istana.”

“Oh, jadi kalian berkelompok? Apa kalian ini orang-orang sewaan Ayahku?” tanyanya dengan nada tak suka.

 

Mereka bergeleng.

 

“Bukan. Kami hanya pengelana. Kami kebetulan lewat ke negerimu dan bertemu dengan Yang Mulia Raja, ayahmu. Dan seperti yang kau lihat, sekaranglah kami di sini.” Jelas Kaoru. “Siapa namamu, Pangeran?”

 

Pemuda itu mulanya bungkam sambil menatap kedua orang di depannya itu. Kemudian dia tersenyum.

 

“Aku… Hyde.”

 

 

****

 

 

Bulan sedang sabit malam ini. Hamparan bintang dan hembusan angin dari atas membuat Kyo yang masih bersantai menjaga kuda di belakang betah berlama-lama. Namun, sebelah matanya memerjap. Ujung hidungnya bergerak-gerak mengendus bau yang aneh. Sehingga srigala berbulu perak itu mulai bangkit dan berjalan pelan untuk mengintuisi sesuatu yang ia cium melalui udara ini.

 

“Bau darah…”

 

 

“Sebaiknya kalian pergi sekarang!” Hyde mengusir mereka.

 

Kontan saja Kaoru dan Shinya terkejut karena perubahan sikapnya yang dramatis. Mereka berusaha untuk tetap di sana dan mencoba memeriksa kondisi Pangeran Hyde, tetapi pemuda itu kelihatan sangat marah. Terlebih lagi ketika Shinya mencoba menyentuhnya.

 

“Jangan sentuh aku!” dia menggeram.

 

“Shinya! Hati-hati!” Kaoru menarik Shinya mundur ketika dia melihat perubahan aneh yang terjadi pada Pangeran Hyde. “Dia berubah…?”

 

Shinya memandang Kaoru dengan mata cemas, kemudian matanya kembali melihat ke arah pemuda itu. Kaoru membentengi Shinya di depannya saat Pangeran Hyde bersikap seperti orang yang sedang kesakitan. Dia mengaduh tetapi menggeram sekaligus. Tubuhnya mengejang kuat.

 

“Apa yang terjadi padanya?!” Kaoru panik.

“Aku tak yakin!”

 

“Pergi!!” gertak Hyde dengan suara agak buas.

 

“Mundur, Shin!” Kaoru menggiringnya mundur.

 

Di depan mata mereka, Pangeran Hyde bertindak seperti seorang pesakitan yang mencoba melepaskan diri dari rantai belenggu yang membelenggunya, tetapi usahanya sia-sia. Satu hal yang Shinya sadari saat itu bahwa mata Pangeran Hyde berubah total.

 

“Kaoru!!” suara Die terdengar. Pemuda itu tahu-tahu muncul bersama Hakuei di belakang pintu. Kaoru segera kembali. “Pemuda itu seperti kerasukan!”

 

Kening Die mengerut, ia menatap Shinya sebentar kemudian maju mendekati Pangeran Hyde yang masih kejang.

 

“Jadi apa yang harus kita lakukan?!” tanyanya ke semua.

 

“PERGI KALIAN!” Hyde menjerit.

 

Saat itu Raja Morrie dan para prajurit muncul. Mereka panik begitu melihat Pangeran Hyde kembali berubah perangai. Raja segera menitah para prajurit untuk meringkusnya, tetapi hingga lima penjaga yang telah dikerahkanpun semuanya habis dipentalkan. Raja semakin panik. Hal yang paling mengerikan yang mereka lihat selanjutnya adalah saat Pangeran Hyde memandangi mereka semua dan mengigit lengannya sendiri hingga berdarah. Mereka semua ternganga dibuatnya.

 

“Apa yang harus aku lakukan?! Apa yang yang harus aku perbuat untuk menyelamatkan Putraku?! Tolong!”

 

Bagaimana ini?

 

 

 

“Seharusnya sejak awal aku melarangnya datang ke hutan itu!!! Seharusnya aku—”

“Yang Mulia!!” Lexus berusaha menguatkan pemimpin mereka.

 

Die dan kawannya-kawannya hanya bisa diam termangu kala itu. Mereka sama sekali tidak tahu bagaimana caranya untuk menolong Pangeran Hyde karena hal ini sama sekali belum pernah mereka lihat sebelumnya. Raja kelihatan sangat sedih dan frustasi setiap kali melihat anaknya berubah menjadi seperti setan. Semenjak kedua kakinya dipasung, Pangeran Hyde tidak bisa berkutik ke manapun. Rantai besar yang membelenggu kedua kakinya sudah memenjarakannya beberapa bulan ini. Setiap kali dia berubah, rantai-rantai itu mampu menahan tingkah brutalnya untuk tidak melukai orang lain di sekitarnya. Tetapi, itu berimbas kepada dirinya sendiri. Tidak ada orang lain yang bisa dia lukai, maka Pangeran Hyde melukai dirinya sendiri. Itu sebabnya kedua lengannya banyak sekali luka gigitan, yang tak lain adalah hasil perbuatannya sendiri. Dan kembali saat fajar menyingsing, saat itulah Pangeran Hyde akan tak sadarkan diri dan kemudian terbangun dengan rasa nyeri yang teramat sangat pada lukanya.

 

Shinya selesai mengobati luka gigitan di kedua tangan Pangeran Hyde pagi itu. Pemuda bertubuh mungil itu tak sadarkan diri setelah apa yang dia lakukan semalam. Kondisi tubuhnya juga lemah karena dia terserang demam tinggi.

 

“Tolong ganti kain kompresannya setiap setengah jam sekali.” Tutur Shinya pada abdi perempuan yang menjaga Pangeran Hyde pagi itu.

 

Shinya keluar dari sana dan mendapati Die menunggu di luar kamar dengan wajah yang serius.

 

“Kau sudah tahu apa penyakitnya?”

 

Shinya menggeleng.

 

“Kau yakin?” tandas Die. Shinya membisu. “Ah, ternyata kau tidak sehebat dugaanku, Nona.” Die beringsut ke beranda luar di menara tersebut. Ia menghela berat sambil menatap sekitar menara. Shinya mengikutinya, walau tidak berdekatan.

“Kita harus menolongnya,” kata Die.

“Kukira kau tidak peduli.”

 

Die menoleh tajam sambil berdecak, kemudian mengacuhkan Shinya.

 

“Dia itu Pangeran.” Katanya. “Kita harus menolongnya.”

“Apa bedanya Pangeran dengan pemuda dari rakyat jelata?” sindir Shinya.

“Mereka tidak berbeda, karena sama-sama memiliki Ayah yang mengkhawatirkan keduanya.” Die menatap langit, Shinya termenung. “Tetapi… tetap berbeda, karena seorang Pangeran adalah calon pemimpin. Harapan Raja dan rakyatnya.” Kemudian Die berlalu.

 

Shinya memandangi kepergian Die dalam diam. Sebenarnya, Shinya sadar bahwa Diepun adalah seorang Pangeran. Sama seperti Pangeran Hyde.

 

 

****

 

 

“Akhir-akhir ini aku sering mencium bau darah.” Tukas Kyo.

“Eh? Darah?” Hakuei tercenung.

 

Ia kemudian mendekati srigala itu dan berjongkok di depannya.

 

“Darah? Di mana?”

“Asalnya dari bukit di sana.” Kyo menggendikan kepalanya ke arah bukit di belakang Hakuei. Pemuda itu menengok dan memperhatikannya. “Bagaimana kau bisa tahu?”

“Huh, maaf saja, ya. Penciumanku lebih tajam dari kalian.” Kyo sombong.

“Ya, ya, ya, terserah kau saja.” Hakuei menyesal bertanya.

“Tetapi sepertinya hutan itu menyembunyikan sesuatu.” Kata Kyo kembali serius.

“Menyembunyikan sesuatu?” Hakuei mengulang.

“Hu-um.”

 

 

Pengeran Hyde akhirnya bangun. Tetapi tidak seperti biasanya, jika saat dia terbangun dia melihat para abdi perempuannya, kini tak ada satupun di antara mereka yang menungguinya kecuali Shinya.

 

“Kau sudah bangun?”

“Hooh, kau rupanya.”

“Bagaimana perasaanmu?”

“Bai—akh!” Hyde segera menyadari rasa sakit yang menyegat tangan kirinya. “Awwhh!” Ia mengerang.

“Hati-hati lukamu belum kering.”

 

Pangeran Hyde termangu sambil menatap lukanya yang terasa sakit.

 

“Apa kau tahu kenapa kau bisa terluka?” pancing Shinya. Tetapi, Pangeran bertubuh mungil itu hanya diam saja. Ia bahkan meminta Shinya untuk meninggalkannya sementara waktu. “Maaf, tapi bisakah kau tinggalkan aku sendiri?”

 

Shinya bangkit dari sana, “Baiklah. Kalau kau membutuhkan pertolongan, jangan diam saja.”

 

 

****

 

 

“Bukit itu?” Die menunjuk pada perbukitan yang gelap di sebrang matanya. Hakuei mengangguk. “Betul, Jenderal.”

“Kau yakin?”

“Srigala Kyo yang bilang.”

 

Die kelihatan sedang berpikir.

 

“Mungkin apa yang dia katakan benar, Jenderal. Mungkin benar ada sesuatu yang tersembunyi di bukit itu.” Sahut Kaoru. Die masih kelihatan berpikir.

“Bukankah kata Penasihat Lexus pun, Pangeran Hyde berubah sejak dia mengunjungi bukit itu? Mungkin di sana ada penyihir yang membuat Pangeran Hyde jadi seperti ini, Jenderal.” Sambung Hakuei.

“Benar, Jenderal.”

“Baik, aku akan bicara dengan Raja untuk menyelidikinya.” Tandas Die.

 

Kemudian, ketiga pemuda itu menemui Raja. Tetapi Raja Morrie tidak berada di singgasana. Tak sengaja mereka mendengar kericuhan yang datangnya dari luar. Jenderal Die dan kawan-kawannya ikut menghambur ke luar istana dan melihat Raja Morrie berkumpul di tengah lapangan.

 

“Ada apa ini, Yang Mulia?”

 

Saat mereka datang, Die baru bisa melihat dengan jelas bahwa ada seorang prajurit yang mati di atas kudanya. Kuda itu kembali ke istana dengan membawa mayat prajurit tersebut seperti membawa pesan kematian dari orang.

 

“Ada apa ini?!”

 

“Mereka yang melakukannya!” Raja Morrie menunjuk pada bukit gelap di belakang istana mereka.

“Yang Mulia, sebenarnya ada apa?!”

“Di tempat itu banyak sekali Iblis!”

“Iblis?!”

“Lexus!!” suara Raja Morrie kedengaran marah. “Kerahkan semua pasukan yang kita miliki untuk menghancurkan bukit itu! Aku mau bukit itu rata dengan tanah mala mini juga!”

“Ba-baik, Yang Mulia!”

 

Lexus bergegas, Die mencoba dan yang lainnya mencoba mencerna keadaan yang sedang terjadi.

 

“Kenapa prajurit itu mati?” tanyanya.

“Ini sudah tidak bisa dibiarkan. Iblis-iblis itu harus mati!” tandas Raja Morrie.

“Yang Mulia…”

“Merekalah yang membuat Pangeran Hyde berubah menjadi monster seperti itu! Mereka memang sudah mengincarnya sejak awal. Tak ‘kan kubiarkan mereka mengambil Putraku!!” Raja Morrie yang sudah kalap pergi.

 

Die dan yang lainnya masih mencoba mencari tahu karena mereka masih terlalu bingung. Iblis macam apa yang sudah membuat Pangeran Hyde berubah menjadi tidak terkendali seperti itu?

 

“Yang Mulia,” Die muncul di depannya. “Ijinkan saya membawa pasukanmu untuk menghabisi Iblis-Iblis itu. Jika memang ada Iblis yang mampu mengubah orang lain menjadi Monster, dia tak bisa dimaafkan!”

“Jenderal…”

 

Raja Morrie menatap dingin pada Die yang kelihatan sangat serius dengan niatnya tersebut. Akhirnya, Jenderal Die dipercaya untuk memimpin pasukan Raja Morrie untuk maju ke perbukitan.

 

“Jenderal, kau yakin dengan permintaanmu?” Tanya Hakuei.

“Kenapa? Bukankah ini memang tugas kita?”

“Baik. Aku mengerti, Jenderal!” Hakuei tak bicara lagi. Dia pun ikut menyiapkan diri.

 

Kaoru muncul dengan persiapan lengkap; baju zirah dan senjata. Tapi Die menolak keikutsertaannya dalam pasukannya kali ini.

 

“Kau tetap di sini.” Katanya.

“Eeh? Apa maksudmu, Jenderal?”

“Kau harus tetap di sini untuk menjaga istana bersama Shinya. Bantu dia menjaga Pangeran dan keluarga istana yang lain.”

“Jadi maksudmu, kau akan pergi berperang sendirian?”

“Aku bersama Hakuei.”

“Itu sama saja!” Kaoru kelihatan kecewa.

“Kaoru…” Die menepuk bahunya, “Aku mempercayaimu untuk menjaga di istana. Isi istana akan rapuh karena sebagian prajurit istana ikut denganku. Kau akan sangat dibutuhkan di sini.”

 

Kaoru memandang Die tanpa berkata. Die sedang meyakinkannya.

 

“Baiklah.”

 

 

 

“Sebaiknya kalian pergi dari sini. Tempat ini bukanlah tempat yang aman.” Kata Hyde.

“Kenapa? Apa kau tahu sesuatu mengenai tempat ini?”

“Kau tidak perlu banyak tahu. Yang jelas bagi kalian para pendatang, kalau masih ingin tetap hidup dengarkan apa kataku. Kalau bisa malam ini juga kalian segera pergi dari sini.”

“Bagaimana aku bisa meninggalkanmu dengan kondisi seperti ini?”

“Aku baik-baik saja. Kau tidak usah mengkhawatirkan aku. Justru kalianlah yang harus mengkhawatirkan diri kalian sendiri. Jangan sampai kalian terjebak.”

“Terjebak…?”

 

Baru saja Shinya hendak bertanya hal lain, Kaoru tiba-tiba muncul.

 

“Shinya! Tolong kau ke bawah dan lihat mayat prajurit yang tewas tadi siang.”

“Apa?!” Pangeran Hyde terkejut. “Ada prajurit yang tewas?”

“Benar. Sepertinya Yang Mulia Raja tadi pagi meminta pasukannya untuk datang ke bukit belakang istana.”

 

Mata Pangeran Hyde membulat. Shinya bersiap untuk pergi bersama Kaoru.

 

“Apa yang terjadi selanjutnya!?” Tangya Pangeran Hyde penasaran.

“Yang Mulia Raja sudah mengerahkan semua pasukannya untuk menghancurkan bukit itu…” katanya.

“Tidak mungkin…” Pangeran Hyde tercengang.

“Jenderal Die yang memimpin kali ini.” Kaoru berkata sambil menoleh ke arah Shinya yang kelihatan kaget.

“HENTIKAN TEMAN-TEMAN KALIAN SEKARANG JUGA! JANGAN PERGI KE BUKIT ITU MALAM INI!!” tiba-tiba Pangeran Hyde berteriak marah.

 


 

To be continue…

1 komentar:

  1. Akhirnya sampai d part 10..

    Oke, Shinya penyihir putih (cocok sih dia kan sering pk baju putih klo perform n anggun juga walau ngegebuk drum)
    Gak nyangka aja hyde muncul (aku ngikik lagi kayak waktu pertama Lady Uruha muncul)

    Satu lagi..jangan lupa lanjutannya ya, part 25. Tq

    BalasHapus