Author : Duele
Finishing : November-Desember
2012
Genre : Fantasy
Rating : PG15
Chapter(s) : 6/on going
Fandom(s) : Dir en Grey
Pairing(s) : DiexShinya
Note Author : Thanks for keep
reading this story.
*****
Sudah tiga hari kelompok Jenderal Die
melanjutkan perjalanan mereka. Namun mereka masih belum menemukan desa untuk
beristirahat. Persediaan makanan dan air mereka juga sudah mulai menipis.
Rombongan mereka masih berjalan dengan
santai. Kuda-kuda mereka juga sudah tidak berlari selama dua hari ini. Mereka
hanya berjalan mengikuti arah matahari dan berhenti di waktu malam. Shinya saat
itu masih menumpang pada kuda Die. Sepanjang perjalanan mereka tak bicara satu
sama lain. Die tidak pernah bertanya, Shinyapun tak pernah memulai pembicaraan.
Namun begitu, sekarang sikap Die lebih tenang.
“Kenapa
kita masih belum juga sampai?” Hakuei sudah merutuk.
“Tenanglah, sebentar lagi juga kita akan
sampai.” Jawab Kaoru.
“Pangeran, aku sudah sangat capee~”
keluhnya.
Kaoru menoleh pada Hakuei lalu pada
srigala perak yang berjalan di samping kudanya.
“Ya, aku juga mau tidur.” Tukasnya.
Kaoru mencoba mengejar kuda Die yang
berada tak jauh di depan mereka. “Jenderal, bagaimana kalau kita mulai
menyiapkan tenda untuk bermalam? Sepertinya yang lain sudah sangat kelelahan.”
“Baik. Setelah kita melewati jalan
setapak ini, kita berhenti dan mendirikan tenda.” Ujarnya.
“Baik.”
Die kembali memacu kudanya sedikit
lebih kencang untuk meninggalkan Kaoru. Kuda Hakuei kini mensejajarkan dengan kuda
mereka.
“Bagaimana?”
“Sabar saja dulu. Sepertinya Pangeran
Die sedang menikmati perjalanannya.”
Kaoru menatap kuda Die yang kini sudah
memimpin lagi di depan. Sebenarnya dia agak penasaran dengan kebisuan Die kali
ini. Apa yang membuatnya begitu tenang? Tak biasanya.
Die menjaga kudanya agar tetap berjalan
santai. Tubuhnya menegak sejak tadi. Saat dia sadar bahwa Shinya tertidur
selama perjalanan, Die berusaha tak mengusiknya. Shinya tertidur sangat pulas.
Sepertinya setiap malam dia sengaja terbangun untuk menjaga mereka. Dan kini
akhirnya dia tumbang juga.
Tiba-tiba, Die sedikit terkejut saat
tubuh Shinya mengejat spontan. Sepertinya dia sedang bermimpi. Die hampir saja
tertawa, untung saja dia bisa menahannya. Kepalanya Shinya hampir jatuh, Dia
memiringkan badannya sedikit untuk menahannya. Kemudian membuat posisi
kepalanya kembali tegak. Kini Die mencondongkan tubuhnya sedikit ke belakang
agar Shinya mampu bersandar penuh padanya. Dan saat itulah Die tersenyum aneh.
*****
Di sebuah tempat yang gelap, ada sebuah
kolam air. Walau tempat itu sangat gelap, namun dasar dari kolam tersebut
bercahaya. Cahayanya berwarna kebiruan, memancar berpendar hingga ke permukaan
kolam. Dari dasar kolam yang tenang, tiba-tiba terdengar suara air beriak.
Kemudian perlahan-lahan, dari sana munculah sesosok tubuh seorang wanita yang
muncul ke permukaan. Wajahnya sempurna. Kecantikannya luar biasa walau tak
bersolek. Wajah alaminya terbasuh air dingin dari kolam itu. Kulitnya yang
bersih pucat benar-benar tidak cacat.
Seorang wanita lain dengan kecantikan
yang tak kalah masuk ke dalam kolam. Mendekati tubuh wanita itu secara
perlahan. Tangannya memegangi tubuh wanita itu dalam lunglai. Wanita itu bagai
tak sadar saat wanita itu mulai menggerayanginya. Memegangi dan menyentuh
seluruh bagian tubuhnya yang tak berbalut. Sesaat kemudian, ia menangkap wanita
itu dengan kedua tangannya dan menariknya kembali ke dasar kolam sehingga
keduanya menghilang dari permukaan.
Hingga permukaan kolam itu tenang,
mereka sama sekali tak muncul. Barulah sesaat kemudian hentakan hebat terjadi
saat sosok seorang wanita berdiri sambil merapihkan rambutnya yang menjuntai.
Wanita cantik yang lunglai tadi kini mendapati kesadarannya. Sementara wanita
yang lain hilang.
Ia menguntai senyum, tanpa mempedulikan
sekitar. Ia bangkit dari kolam tanpa mengenakan apapun.
*****
Die dan Shinya menatap orang-orang yang
mereka lewati. Mereka kelihatan ketakutan dan menghindari mereka. Hal yang sama
terjadi pada Kaoru dan Hakuei. Tatapan orang-orang di desa ini sepertinya tak
suka dengan kehadiran mereka.
“Apa yang terjadi?” tanya Hakuei ketika
dia mengaitkan tali kuda mereka.
“Entahlah, mungkin ada yang salah
dengan penampilan kita.” Jawab Kaoru.
“Kenapa kami tidak boleh masuk?!” suara
Jenderal Die mengalihkan perhatian mereka semua. “Kami bukan pencuri ataupun
perampok, kami hanya rombongan yang mau menginap di sini.”
“Iya, maafkan kami Tuan, tapi...”
Pangeran Kaoru segera mendatangi
mereka. Mencoba melerai sebelum Jenderal Die merusak segalanya.
“Maaf, Tuan.” Sapanya. “Kami hanyalah
orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Bisakah kami menginap di tempatmu?”
“Tuan...”
“Kami memiliki sedikit uang jika itu
dibutuhkan.” Kaoru mengibas, memanggil Hakuei. Maka datanglah prajurit itu
sambil membawakannya sekantung emas.
Saat mereka melihatnya, matanya
membelalak. Die tersenyum sinis. Kaoru kembali bernegosiasi.
“Apakah kami boleh menginap barang
semalam dua malam di penginapan Anda?”
“Dengan satu syarat.”
Mereka saling berpandangan.
“Kami mohon kalian berganti pakaian.”
Kata pria tua itu.
“Heh! Memangnya kenapa dengan
penampilan kami!” Die berang, Kaoru menahan. “Maaf, Tuan? Memangnya kenapa
dengan pakaian kami?”
“Baju yang kalian kenakan adalah baju
perang. Kami di sini tidak suka dengan lambang seperti ini. Desa kami adalah
desa yang damai sehingga kami sedikit anti terhadap sesuatu yang berbau
peperangan dan perpecahan.”
Kaoru mengangguk-angguk mengerti.
“Baik. Tidak masalah. Bisakah kau beri tahu di mana kami bisa menemukan
baju-baju murah?”
Ia menunjukan letak-letak toko kecil
penjual pakaian dan makanan. Jika didekati dengan lembut mereka justru disambut
dengan baik. Inilah kehebatan Kaoru yang tidak bisa Die kalahkan. Bernegosiasi
dan sabar.
Mereka berganti pakaian. Baju-baju besi
pembalut tubuh ditanggalkan dan diganti dengan baju-baju yang lebih normal.
Kain-kain yang menjuntai dengan warna-warna khas pria. Die memilih pakaian
merah tanah. Sementara yang lain memadukan warna khaki dan hijau tua.
Pakaian-pakaian itu cukup murah, bahkan terlalu murah bagi mereka yang terbiasa
membeli pakaian serba mahal di kerajaan tempat mereka berasal.
Die selesai mengikat rambutnya setengah
cepol saat Shinya muncul dengan wajah lesu. Die tercenung melihatnya. Saat itu
Shinya memakai gaun dengan ornamen yang manis. Putih dengan tambahan korset
merah muda. Tapi wajahnya kelihatan menekuk.
“Kenapa mukamu begitu?” tanya Die, sok
galak.
“Kenapa kalian tidak membelikanku baju
yang pantas?”
“Maksudmu?”
“Aku juga mau memakai pakaian seperti
kalian.”
“Heh! Badanmu itu kurus kering! Baju
laki-laki ini mana ada yang muat dengan badanmu itu.” Tukas Die.
Shinya semakin sebal saja pada pria
ini. Walaupun dia berasal dari keluarga kerajaan tapi tutur katanya seperti
rakyat jelata yang kampungan. Tidak sopan dan tidak berpendidikan.
“Shinya~ Shinya~ kau manis sekali.” Kaoru
muncul. “Gaun itu cocok denganmu.”
“Hahahaha!” Die sengaja tertawa keras.
“Kalian mengejekku?”
“Ah, bukan begitu! Aku
bersungguh-sungguh. Mungkin karena sudah terbiasa melihatmu dengan gaun, jadi
kau lebih cocok dengan pakaian seperti ini.” Jelas Kaoru sopan.
Meskipun kata-kata Kaoru sama sekali
tidak menyakitkan, Shinya tetap saja berwajah tidak rela.
“Hey, mana Hakuei?” tiba-tiba Die
bertanya.
“Oh, dia sedang berkeliling mencari
makanan.”
Die mengangguk, kemudian matanya
kembali melirik Shinya. Sambil berkacak pinggang dia mulai menggodanya, “Hey,
Nona! Seharusnya kaulah yang bertugas mengurusi makanan. Cepat pergi!”
Shinya spontan mendecak. Dengan wajah
yang kesal ia keluar dari tempat itu. Die tertawa geli.
“Pangeran Die, jangan memperoloknya
seperti itu.”
“Biar saja. Habis dia mau saja, sih,
dikata-katai, hehe...”
“Kau ini...”
“Sudahlah, kau urus pakaian-pakaian
ini. Aku mau menyusulnya. Nanti dia kabur lagi!”
Kaoru hanya menggeleng sewaktu pria itu
berlalu darinya. Terpaksa ia yang membayar segala barang-barang ini. Tapi
melihat begitu pakaian yang dipilih Die, siapa yang akan membantunya untuk
membawa semua ini ke penginapan?
“Kau sudah selesai?”
Kaoru berbalik ketika suara dari
pelayan toko itu terdengar, “Iya, aku sudah selesai...” kemudian dia tertegun
saat seorang gadis tersenyum padanya.
*****
“Loh, mana Kaoru?”
“Bukankah dia denganmu, Jenderal?”
Hakuei membalikkan pertanyaannya.
“Apa jangan-jangan dia masih di tempat
tadi?”
“Mungkin dia sedang berjalan-jalan
mengitari desa.” Hakuei meneguk tehnya. “Eh, Jenderal, bisakah kita tinggal
beberapa hari di sini. Tempat ini menyenangkan.”
“Itu membuang banyak waktu. Kita harus
segera mencari Ursula.”
“Iya, aku tahu. Tapi kita sudah hampir
tiga bulan ini terus mencarinya dan sama sekali belum mendapatkan petunjuk.
Kita juga harus liburan.”
“Selama perjalanan kita itu sudah
termasuk liburan.”
“Yah, Jenderal...”
“Jangan mengeluh!”
Hakuei memasang muka masam, Die
mencibir pelan. Tak lama Kaoru muncul sambil membawa bungkusan.
“Kemana saja kau?”
“Aku berkeliling. Tempat ini
menyenangkan.” Jawabnya. Hakuei langsung sumringah dan mengiyakan, “Benar,
kan?! Desa ini benar-benar menyenangkan!”
“Kalian...” Die mendecak.
“Sudahlah, Jenderal. Jangan kaku
begitu. Kurasa mungkin kita butuh waktu untuk istirahat.”
*****
“Aku mau keluar sebentar.” Kaoru
beranjak dari meja. Die dan Hakuei meliriknya, sementara Shinya masih
melanjutkan makannya.
“Kau mau ke mana?” tanya Die.
“Berjalan-jalan.”
“Aku ikut!” Hakuei beranjak.
“Pengekor!” cibir Die.
“Hihihi... kuberikan kekuasaan penuh
padamu Jenderal untuk mengawasinya.” Hakuei nyengir sambil melirik Shinya yang
tak sadar dengan arah pandangan mereka.
“Kau!”
“Hyaa! Tunggu aku, Pangeran Kaoru!”
Hakuei segera kabur mengikuti Kaoru di
belakangnya. Die mendengus kesal oleh tingkah kedua orang itu. Mereka seperti
sengaja melakukan ini padanya. Die menghela nafas kilat lalu menoleh ke arah
Shinya yang tak bereaksi sama sekali. Ia melanjutkan makan. Saat hendak
mengambil lauk terakhir, sumpitnya dan milik Shinya saling beradu.
“!!!”
Mereka saling melihat. Shinya melirik
sinis, begitu juga Die.
“Kau rakus sekali!” omel Die.
“Kau sudah makan 3 buah.”
“Tapi aku mau makan lagi.”
Shinya memasang muka masam, lalu
perlahan melepaskan sumpitnya dari sana. Die yang tadinya bersungguh-sungguh
ingin memakan bagian terakhir dari lauk tersebut kini merasa tak enak hati.
Kemudian dia meletakan sumpitnya.
“Kalau kau memang mau, kau makan saja.”
“Aku tak mau.” Jawab Shinya ketus.
“Sombong!”
Shinya membuang muka.
“Jangan membuang muka seperti itu saat
bicara dengan orang. Tidak sopan!”
“Kau sendiri tidak tahu tata krama saat
makan. Berbicara keras sampai makananmu muncrat semua.” Balas Shinya sengit.
“Ap—apa...” Die menutup mulutnya.
Shinya mengambil potongan lauk terakhir
lalu memasukannya cepat ke dalam mulutnya cepat.
“Kau!” Die tertipu.
Shinya kembali membuang muka.
Namun, tanpa mereka sadari sepasang
mata mengawasi mereka.
*****
Hakuei menoleh kesana-kemari untuk
mencari-cari sosok Kaoru yang menghilang. Tiba-tiba saja pria itu menghilang di
balik kerumunan orang banyak. Hakuei jadi susah menemukannya.
“Tempat ini ramai sekali.” Gumamnya.
Memang saat itu keadaan benar-benar
ramai seperti pasar malam. Karena banyak sekali penjual-penjual yang berjualan
di pinggiran jalan utama. Padahal seingatnya tadi siang keadaannya tidak
seramai ini. Ah, tapi siapa peduli. Hakuei akan menikmatinya sendirian. Siapa
tahu dia menemukan hal yang bagus di sini.
Sementara itu Kaoru singgah di sebuah
toko pakaian. Tempat itu adalah tempat mereka membeli pakaian tadi siang. Kaoru
kembali ke sana untuk membayar kekurangan uangnya.
“Oh, kau benar-benar datang.” Suara
riang itu terdengar saat Kaoru masuk ke dalamnya.
“Aku tidak akan kabur.”
Gadis itu tersenyum lucu. “Baiklah.
Anda memang pelanggan yang baik.” Ujarnya lalu berbalik ke belakang meja dan
membuka buku kecilnya. “Kekurangannya sebesar 27 koin perak.”
Kaoru mengambil beberapa koin emas dari
kantung pakaiannya dan meletakannya di atas meja.
“Aku hanya butuh 27 koin perak. Kau
tidak perlu mengeluarkan uang sebanyak itu, Tuan.”
“Dan aku tak punya koin perak. Yang aku
punya hanya ini.”
“Baik. Sebentar, kuambilkan
kembaliannya.” Katanya, tapi Kaoru menolaknya. “Kembaliannya untukmu saja.”
“Eh, tak bisa begitu. Kembaliannya
besar sekali. Aku tidak bisa menerimanya.” Dia masih mencari-cari uangnya di
dalam kotak kayu yang ia sembunyikan di bawah meja.
“Boleh kutukar kembaliannya?”
“Oh, apakah kau ingin menukar kembaliannya
dengan beberapa potong baju lagi?” katanya dengan wajah senang sambil keluar
dari belakang meja.
“Tidak.”
“Lalu...?”
Kaoru terdiam sesaat. Gadis itu diam
menunggu apa permintaannya.
“Tukar dengan namamu.”
“Huh...?” gadis itu tak mengerti.
Kaoru cepat meminta maaf sebelum gadis
itu merasa aneh. “Maaf. Maaf. Lupakan saja. Maaf kalau perkataanku
menyinggungmu.”
Gadis itu tersenyum maklum. Wajahnya
kelihatan berseri dengan rona pipi yang kemerahan.
“Namaku Tashiya...”
Jantung Kaoru seakan berhenti berdetak
saat itu. Ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya akan gadis dihadapannya
ini. Ini benar-benar gila. Sangat gila!
“Tuan, apa kau baik-baik saja?” dia
menarik ujung kain dari lengan Kaoru.
“Ooh.. aah... hum, aku tidak apa-apa.”
wajah Kaoru sekarang pucat.
“Kau sakit?” tanya gadis bertubuh
sintal itu cemas.
“Tidak, tidak...”
“Akan kuambilkan air. Sebentar...” ia
cepat masuk ke dalam ruangan yang lain.
“Tidak perlu.” Kaoru menarik wanita
itu, “Terima kasih.”
Mata Tashiya turun ke arah tangannya
yang dipegangi oleh Kaoru. Pria itu segera melepaskannya. Lalu keduanya
bersikap kaku. Kaku sekali.
“Kalau begitu, aku akan pamit.” Kata
Kaoru berhasil menemukan kata yang tepat untuk pergi.
“Tuan...”
Deg!
Kaoru kembali berbalik.
“Kalau kau tak keberatan menunggu, aku
akan menemanimu melihat acara kembang api di lapangan setelah toko tutup.”
“Nona, bukan begitu maksudku. Aku tidak
bermaksud untuk...” Kaoru bingung, tapi gadis itu tersenyum. “Iya, aku
mengerti. Aku hanya menganggap ini sebagai ucapan terima kasih untuk tips yang
kau berikan kepadaku.”
“Maafkan aku,”
“Tidak. Aku melakukannya dengan senang
hati.”
Lagi-lagi, Pangeran Kaorupun tak sadar
bahwa sepasang mata masih mereka.
*****
Suara kembang api yang pecah di langit
mengejutkan Die dan Shinya dari kamar mereka masing-masing. Keduanya sama-sama
menatap langit saat itu. Menatap warna-warni kembang api yang selalu berganti
rupa dan bentuk.
Die termenung menatapnya. Ingatannya
kembali melambung ke kenangan masa silam. Dulu setiap tahun di kerajaannya juga
selalu merayakan kesenian dan perayaan dengan luncuran kembang api yang mewah.
Perayaan panen yang melimpah, sumber daya alam yang mereka olah dan
menjadikannya sebagai sumber penghidupan. Keceriaan dalam istana, sorak sorai
riuh para rakyat. Semuanya seperti baru terjadi kemarin. Semuanya seperti baru
saja dia lewatkan.
Tetapi setiap kali dia menutup mata,
maka bayangan itu akan selalu muncul. Saat-saat bencana itu datang melanda
negerinya dan memporak-porandakan isi istana. Membumihanguskan tanah-tanah
mereka. Die tidak mengerti mengapa para penyihir itu melakukan hal itu. Mereka
mengambil kebebasan mereka dan menawannya dalam kegelapan. Dan kini hanya Die
yang tersisa, hanya Die yang harus menyelesaikan ini semua.
Rasanya tak adil. Dia; Ursula, seperti
sengaja menjebaknya dalam lingkaran setan ini. Penyihir jahat itu membuat
jiwanya meledak marah karena telah sengaja membiarkannya hidup. Sehingga ia
harus hidup terlunta dan mengejarnya seumur hidup tanpa tahu di mana seharusnya
dia menemukan penyihir itu.
Die telah berjanji pada dirinya
sendiri, pada patung batu kedua orang tuanya, saudara dan saudarinya serta
ratusan rakyatnya yang telah membatu dan berlumut, ia akan membinasakan dan
membalas apa yang telah Ursula perbuat padanya, pada negeri dan rakyatnya. Ia
akan membinasakan semua penyihir di dunia ini seperti mereka membinasakan
seluruh rakyat dan kaumnya.
Berarti suatu saat diapun harus
membinasakan Shinya dengan tangannya sendiri.
Aah, Die mulai berpikiran yang radikal
lagi. Mungkin seharusnya tadi dia ikut saja dengan Hakuei dan Kaoru untuk
berkeliling desa. Walaupun tidak suka dikelilingi dengan orang-orang yang tak
ia kenal, mungkin saja itu bisa membuat suasana hatinya sedikit tenang.
Akhirnya dia beranjak juga dari tempat
tidurnya. Mengambil jubahnya dan bersiap keluar. Saat Die baru saja keluar,
tepat di sebelah kamarnya, Shinya juga keluar dari kamar. Dia memakai jubah
merah yang Die berikan sebagai kerudung. Kebiasaan, pikirnya. Namun dengan itu,
gaun yang Shinya kenakan semakin cocok saja dengan tipikal wajahnya yang manis.
HAH!
Sial! Untung saja Die segera sadar.
Bisa-bisanya dia berpikiran begitu.
“Minggir! Minggir!”
Shinya memberi jalan pada pria itu.
Dengan langkah tergesa-gesa dia pergi dari sana. Shinya hanya memperhatikannya
dengan wajah yang bingung.
*****
“Kau mau ke mana?” Srigala perak itu
mendapati Shinya sedang mengendap-endap.
“Ah, aku tak tahu kau di sini.”
“Tidak apa-apa. Aku memang harus
bersembunyi dari warga desa supaya mereka tidak takut.”
“Kau tak kesepian? Kau mau mengobrol?”
“Kau mau ke mana malam-malam begini?”
“Aku tidak bisa tidur.”
Kyo si srigala mendongak pada langit.
“Kau tak akan bisa tidur dengan suasana ramai begini. Ini benar-benar
menganggu.”
“Desa ini lumayan ramah.”
“....”
“Kyo-nii...”
“Apa?”
“Apa sebaiknya aku bicara pada mereka?”
“Jangan dulu!”
Shinya tercenung.
“Ini masih belum saatnya. Jangan pernah
buka mulut sebelum kau menemukan orang itu.”
“Tapi, kupikir orang-orang ini bisa
membantuku.”
“Kau jangan terlalu cepat percaya! Kau
harus ingat, kau itu incaran! Tetaplah seperti ini. Biarkan mereka mengiramu
adalah penyihir. Biarkan mereka yang membawamu pergi menemuinya. Jangan
sekali-sekali kau bicara tentang siapa dirimu yang sebetulnya.”
“Aku mengerti.”
“Lagipula...” Kyo bangkit dari
tempatnya, kemudian dia mengendus angin. “Samar-samar, sejak kita datang ke
tempat ini aku mencium bau penyihir yang pekat. Kau berhati-hatilah...”
Kaoru tak bisa melepaskan pandangannya
dari gadis tinggi di sampingnya. Sesekali dia mencuri pandang, namun ia tak mau
gadis ini tahu bahwa dia sedang memperhatikannya. Kaoru benar-benar tidak
percaya dengan apa yang ia lakukan sekarang. Iapun tak habis pikir dengan gadis
ini. Mengapa dia begitu mirip dengan mendiang calon permaisurinya yang telah
tewas? Mungkin, Kaoru masih bisa menerima kemiripannya hanyalah sebagai
kebetulan belaka. Namun setelah dia tahu nama merekapun serupa, akal pikiran
Kaoru seperti tak bekerja. Di benaknya saat itu Kaoru ingin sekali menanyakan
tentang siapa dirinya yang sebetulnya. Benarkan ada kebetulan semacam ini?
“Apa ada yang salah denganku?” tanya
gadis itu kemudian. Dia sepertinya sadar bahwa sejak tadi Kaoru memperhatikannya.
“Tidak.”
“Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya.
Apakah kau pendatang?”
Jelas bukan. Dia bukan Tashiya milik
Kaoru.
“Ya. Kami hanya melintas di desa
kalian.”
“Kalian akan ke mana setelah ini?”
“Kami hendak mencari seseorang.”
“Siapa?”
Kaoru seperti enggan memberitahunya.
“Kalau sangat rahasia, kau tak perlu
menjawabnya.” Dia tersenyum.
“Bukan begitu. Tapi aku tidak mau
menakutimu. Desamu terlalu damai.”
“Desa kami terpisah dengan kerajaan
Syirna. Kami lebih senang menetap di sini karena tanah di sini gembur dan
banyak menghasilkan hasil bumi. Lagipula, letaknya tak jauh dari mata air.”
Kaoru mengangguk-angguk. “Kau tinggal
sendirian?”
“Tidak. Aku bersama orang tuaku.
Sayangnya, mereka sedang pergi ke negara lain untuk membeli bahan kain yang
baru.”
“Jadi sekarang kau sendirian.”
“Sepertinya begitu...hahaha...”
Kaoru membalas tawanya.
Tidak. Dia terlalu mirip dengan
Tashiya. Bahkan cara dia tertawapun sangat mirip. Apakah sekarang Kaoru mulai
gila jika saat ini dia merasa bahwa Tashiya miliknyalah yang sedang berada
bersamanya?
“Sepertinya hari sudah mulai larut,
kalau kau tidak keberatan aku mau pamit.”
“Ah, ya. Baiklah.”
Gadis itu mulai beranjak pergi, tapi
dia sempat berbalik, “Kalau kau akan lama berada di sini, kau bisa datang ke
tokoku untuk mengobrol.” Kemudian setelah mengatakan itu gadis itu berlari
kecil.
Kaoru mematung di sana, dengan senyum
bahagia.
*****
“Bisakah kita tinggal di sini sampai
besok?” pinta Kaoru.
Die terkejut dengan permintaan Kaoru
kali ini. Begitu juga dengan Hakuei. Tak biasanya Kaoru meminta untuk tetap
tinggal jika menurutnya ada sesuatu yang penting.
“Kita sudah empat hari di sini. Ini
sudah terlalu lama.” Ujar Die.
“Tapi, apa harus malam ini juga kita
berangkat?”
“Tidak masalah kalau kita berangkat
malam hari kan?” Die jadi semakin penasaran. “Sebenarnya, kau ini kenapa?
Sepertinya kau betah sekali tinggal di sini. Ada sesuatu yang menahanmu?”
“Tidak. Tidak ada...”
“Kalau begitu, tunggu apa lagi?”
Die melewatinya menuju ke arah kudanya.
Hakuei melihat wajah Kaoru yang kelihatan agak berbeda. Kemudian dia mulai
bicara.
“Jenderal kupikir kita berangkatnya
besok pagi saja.” katanya.
“Hee~?”
“Sebenarnya, aku juga belum sempat
membeli persediaan makanan.”
“Bukankah kau sudah mengurusnya kemarin
dengan Shinya?” Die langsung menatap galak Shinya yang menatap Hakuei bingung.
“Makanan itu kurang untuk perjalanan
kita. Kemarin aku membelinya sedikit, karena di penjual itu sudah habis
terjual.”
Die menatap mereka semua. Sepertinya
semua orang setuju untuk tinggal lebih lama di sini.
“Baik. Tapi sampai malam ini saja.
Besok pagi-pagi sekali aku mau kita berangkat.” Katanya mendekati mereka, “Kau.
Urus persediaan makanan sekarang.” Tunjuknya pada Hakuei. “Kau juga, Nona!”
sambungnya pada Shinya.
“Sepertinya yang akan membantuku kali
ini Pangeran Kaoru.” Kata Hakuei.
Kaoru terkejut saat Hakuei menyikutnya.
“Kau bukannya ada masalah dengan pembayaran pakaian kita?”
“Pakaian?” Die mengerutkan kening.
“Ya. Aku lupa, aku masih berhutang pada
si pemilik toko pakaian kemarin karena kita kekurangan uang 27 koin perak.”
“Baiklah, terserah kalian. Pergilah.”
Mereka pergi, sementara Die dan Shinya
menunggu di penginapan.
“Sebetulnya aku melihatmu dengan
seorang gadis malam itu. Apa dia yang menahanmu, Pengeran?” tanya Hakuei dalam
perjalanan mereka.
“Kau melihatnya?”
“Ya. Tapi tak jelas. Aku di belakang
kalian malam itu. Siapa dia?”
“Kau tak akan percaya siapa dia...”
“Siapa?” Hakuei penasaran.
Kaoru hanya menjawabnya dengan
senyuman.
....
“Kau akan pergi besok?” Tashiya
kelihatan kaget saat Kaoru berpamitan padanya.
“Iya.”
“Oohh, begitu...” Wajahnya jadi
kelihatan murung. Tetapi dia berusaha untuk menyembunyikannya. “Kalau begitu,
aku akan memberikanmu cinderamata. Tunggu sebentar!” dia masuk ke dalam ruangan
lain. Kaoru menunggunya.
Sementara Hakuei menunggu tak jauh dari
tempat itu. Ia memperhatikan gadis yang bersama dengan Kaoru. Dia masih belum
percaya dengan apa yang dilihatnya. Gadis itu memang benar sangat mirip dengan
mendiang calon permaisuri Hakuei. Hakuei memang belum pernah bertemu sebelumnya
dengannya. Namun dia tahu bahwa Tashiya mirip dengan mendiang calon permaisuri
Kaoru melalui lukisan yang selalu Kaoru bawa.
“Bagaimana bisa ada orang semirip itu
dengan nama yang sama pula?” Hakuei menghela bingung. Tapi jika dia melihat
bagaimana sikap dan mimik wajah Kaoru terhadap wanita itu, dia sudah bisa
memastikan bahwa pria itu sudah jatuh cinta padanya.
Tak lama Tashiya keluar dari ruangan
sambil membawa sebuah perhiasan. Sebuah bandul perak.
“Aku tak pandai menggunakan ini. Jadi
kupikir, ini untukmu saja.” Katanya sambil menyerahkan benda itu ke tangan
Kaoru.
Saat Kaoru membukanya, sebuah jam tua
berada di sana.
“Dalam perjalanan banyak sekali yang
menukar barang kemari. Karena tidak tahu harus ku apakan, menurutku sebaiknya
kau yang membawanya.”
“Hmm...” Kaoru tersenyum kecil.
Tashiya merunduk sambil membenarkan
sikapnya. Ia tak mau kelihatan sedih sekarang.
“Selamat jalan. Sampai bertemu lagi
nanti.” Ujarnya.
“Setelah aku selesai, bisakah aku
kembali lagi kemari?” katanya sambil menatap Tashiya dengan mata serius. Gadis
itu tersenyum simpul dengan wajah yang sedikit merona. “Tentu...”
*****
Tengah malam dari bawah tanah munculah
sebuah lingkaran hitam yang cukup besar. Lingkaran itu membentuk sebuah ruang
waktu dan jalan hingga kemudian Uruha muncul dari sana. Penyihir itu berdiri
tepat di depan jalan masuk ke arah desa tempat di mana rombongan Jenderal Die
singgah.
Penyihir berparas cantik itu sepertinya
kelihatan sudah menyiapkan sesuatu. Dari kedua tangannya, muncul percikan api
berwarna kemerahan. Lalu dia seperti mengangkat sesuatu dari bawah kakinya.
Bertepatan dengan saat itu bumi bergerak dan membuat retakan-retakan besat di
tanah. Angin yang berhembus membesar. Namun kemudian, semuanya berhenti.
Tetapi, tidak sampai beberapa detik kemudian sebuah dentuman besar bergema
hebat. Tepat di belakang penyihir itu, muncul seekor naga yang sangat besar!
“Hah!!”
Mereka semua terbangun!
Die melompat dari ranjangnya sesaat dia
merasakan getaran hebat. Tidak lama setelah itu suara jeritan dan keributan
terdengar di segala penjuru.
Brak!
Saat dia keluar dari kamar, Hakuei dan
Kaoru sudah lebih dulu berlari ke depan penginapan. Die baru sadar kalau atap
penginapan terbakar. Semua penghuni penginapan itu lari tunggang langgang untuk
menyelamatkan diri.
Krrrttkk!!
“Sial! Apa penginapan ini terbakar?!”
Die berlari menuruni anak tangga, di pintu depan di melihat Hakuei berdiri
waspada mendongak ke langit. “Hey! Haku!!”
Baru saja dia hendak mendatangi pemuda
itu, Hakuei sudah melompat dari tempat itu ke dalam penginapan disusul dengan
bayangan dari kaki monster menjuntai ke tanah dan menghancurkan permukaan tanah
tersebut. Die ternganga, namun dia cepat sadar dan membantu Hakuei berdiri.
“Apa itu?!”
“Naga! Itu seekor naga!”
“Grraaaooo!!!”
Di depan mata mereka, semburan api
melewati jalan-jalan. Hawa panas terasa seolah membakar tubuh mereka.
“Kita harus cepat pergi dari sini!!”
Hakuei dan Die berlari ke luar penginapan.
Saat mereka keluar dari penginapan
tersebut, naga itu sedang mengamuk dan menyemburkan api ke seluruh penjuru.
“Perbuatan Toshiya! Itu naga api
Toshiya!”
Die menghindar saat api itu hampir
mengenai mereka. Kedua pria itu menempel pada sisi dinding bersebrangan.
“Mana Shinya?!”
Saat itulah Die baru sadar bahwa Shinya
mungkin masih berada di dalam penginapan. Die keluar dari persembunyiannya dan
mencoba masuk ke dalamnya. Sialnya, naga itu melihatnya dan kini mengejarnya.
“Aaaaaa!!!”
“Pangeran!!! Berlarilah memutar arah!
Dia akan kualihkan perhatiannya!!” Teriak Hakuei sambil memasang badan. “Heh!
Monyet!! Eh, salah!! Monster jelek!! Kau mau daging panggang, huh!?”
Sementara Hakuei mengalihkan perhatian
si monster, Die masuk kembali ke dalam penginapan untuk mencari Shinya.
Ternyata pemuda itu sudah tak ada. Penginapan itu hampir terbakar, Die segera
pergi dari sana sebelum bangunan itu runtuh.
Saat Die keluar dari sana, Hakuei
melewatinya. Dia berlarian menghindari serbuan api panas yang tersembur dari
mulut si naga.
“Awas, Jenderal! Dia sedang mengamuk!!”
jerit Hakuei yang berlari.
Wussshhh!!!
Sapuan angin dari kibasan sayap naga
tersebut membuat benda-benda di sekitarnya beterbangan.
Desa damai itu berubah medan
peperangan. Semua yang berdiri di sana hancur total. Tak ada satupun bangunan
yang tersisa. Semuanya habis terlalap api. Kaoru berlari sekencang mungkin di
antara kerumunan orang-orang yang berlari bercerai berai ke jalan. Saat dia
sampai di tempat Tashiya, tempat itu sudah terbakar. Kaoru maju selangkah untuk
mendobrak pintu dengan kakinya hingga jebol. Di sana dia menemukan Tashiya
terkapar di lantai.
“Tashiya!!”
Tanpa mempedulikan kobaran api yang
terus menjalar semakin besar, Kaoru mendatangi gadis tersebut. Gadis itu masih
hidup, hanya saja dia tak sadarkan diri karena menghirup asap. Kaoru membawa
gadis itu dari sana sebelum bangunan itu runtuh. Dia harus segera menyelamatkan
dan membawanya ke tempat aman.
Sementara itu, Die kini berhadapan
langsung dengan naga lidah api tersebut. Die salah memperkirakan bahwa Toshiya
yang mengendalikannya. Karena di balik punggung naga tersebut, Uruha berdiri
dengan angkuh.
“Kau lagi!”
Die geram. Dia menghunus pedangnya dan
menunjuk telak ke arah naga tersebut.
“Lawan aku binatang buas!” tantangnya.
Saat naga itu hendak menyerang, Uruha
menariknya kembali ketika melihat Shinya berlarian mendatangi Die bersama
srigala perak. Dia datang dengan aura sihir yang kuat. Kedua tangannya mengepal
lalu mengeruk sesuatu dari tanah gersang tersebut. Dari hasil kerukan itulah
muncul semburan air berkekuatan dahsyat yang bahkan membuat Die harus
menyingkir dari sana. Semburan itu membuat lubang besar di tanah retak
tersebut. Semburan air itu mengarah pada naga tersebut.
Wuushh!!
Namun Uruha dan naganya berhasil
menghindari serangan dari Shinya. Tangan Uruha terangkat ke atas, dia membuka
lingkaran kegelapan yang cukup besar hingga dia dan naganya bisa masuk ke
dalamnya.
“Kita akan bertemu lagi penyihir.”
Tukas Uruha sebelum akhirnya lubang itu menyusut dan menghilang.
“Sial dia kabur!” geram Die.
Shinya masih belum berhenti. Pemuda itu
mengarahkan air semburan itu ke atas langit dan membuat percikan seperti air
hujan yang kemudian membasahi seluruh desa untuk memadamkan api. Semuanya
berakhir dengan sia-sia. Semua desa telah terbakar dan hancur tak bersisa.
Suara isakan dan jeritan masih
terdengar. Meninggalkan trauma yang besar di kehidupan mereka. Die dan Shinya
merasa sangat bersalah dengan apa yang menimpa desa itu. Mereka merasa berdosa
karena keberadaan mereka telah mengundang para penyihir tersebut.
“Cepat tinggalkan desa ini.” Ajak Die.
Shinya masih memperhatikan kondisi
tempat itu. Ia sendiri tak bisa melakukan banyak hal selain ini. Maka kemudian
dia berlari mengikuti Die.
Mereka bertemu dengan Hakuei yang telah
mendampingi Kaoru bersama seorang gadis yang tergeletak di tanah. Die sama
sekali tak mengenalnya, namun Kaoru kelihatan begitu mencemaskannya. Dia
berusaha membangunkannya terus.
“Tashiya...!” panggilnya.
“Bangunlah..!”
Akhirnya gadis itu bangun juga, tetapi
dia langsung panik dan berteriak-teriak.
“Api!! Tolong!!!”
Kaoru segera memeluknya, menenangkan
gadis yang masih trauma tersebut.
“Tashiya! Tenang! Ini aku... Kaoru...!”
“Hhh!!! Hhh!!”
Perlahan-lahan, gadis itu mulai tenang
dan sadar bahwa dia sudah berada di tempat yang aman.
“Kaoru... Kaoru...!” Dia memeluknya
kuat-kuat. “Aku...takut...!”
“Sudah tidak apa-apa...”
“Aku takut, Kaoru...!”
“Ssshh...”
“hiks..hkkss..”
Die menyentuh bahu Hakuei, dalam
tatapannya dia seolah bertanya perihal gadis itu. Namun Hakuei menggeleng. Die
berkesimpulan bahwa gadis inilah yang membuat rekan seperjalanannya bertingkah
aneh. Ternyata Kaoru sudah menemukan pengganti permaisurinya.
“Jangan tinggalkan aku,
Kaoru..hkss...bawa aku...”
“Tashiya...”
“Kumohon...”
Kaoru mendekap gadis itu. Dia menoleh
pada Die yang menatapnya. Ia memohon. Die menghela berat lalu mengangguk kecil.
*****
Matahari sudah hampir tenggelam saat
Tashiya bangun dan mendapati dirinya masih berada di atas kuda bersama dengan
Kaoru.
“Kau bangun...?”
“Aku aku merepotkanmu?”
Kaoru menggeleng. “Justru akulah yang
takut kau akan kerepotan setelah ikut denganku.”
“Maksudmu?”
“Ini yang akan kita hadapi, Tash...”
katanya sambil memandanginya. “Monster-monster, penyihir, siluman... kita akan
menghadapinya.”
Wajah gadis itu berubah ngeri. “Ta—tapi
kau akan melindungiku, kan?”
Kaoru hanya tersenyum. “Kau akan
bersamaku.” Senyuman itu mengembang bersamaan saat Tashiya memeluknya erat,
diselingi batuk kesengajaan dari Hakuei yang tak mereka hiraukan.
“Kaoru... terima kasih.”
Tashiya tersenyum. Namun mereka tak
pernah melihat senyuman Tashiya sedikit berbeda. Sekilas matanya berubah
kemerahan dengan seringai yang menakutkan di balik pelukannya.
Continue...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar