expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Follow me

09 Maret 2013

RINKAKU

Title : RINKAKU

Author : Duele
Finishing : Desember 2012
Genre : Fantasy, Mysterie
Rating : PG15
Chapter(s) : Oneshot
Fandom(s) : Dir en Grey
Pairing(s) : General
Note Author : it’s from RINKAKU Eternal Slumber Mix. I don’t know, I really adore with this song more than the original. It’s feels like, I could see a demon :)
 
 
*****
 
 
Dan saat aku membuka mata semuanya sudah menghilang. Hilang tak berbekas, tak meninggalkan jejak barang debu sekalipun. Kadang aku bertanya ke mana semua orang? Matikah?
 
Tap. Tap. Tap.
 
Kuhitung suara-suara langkah kaki menuruni anak tangga kayu. Bunyinya berderit dan menggema. Pegangan sisinya telah lapuk dan bisa jatuh kapan saja. Terendus wangi azalea berembus melewati hidung. Setelahnya melati, lalu kamboja.
 
Tak ada siapapun.
 
Matahari redup. Sinarnya terhalang oleh awan yang berarak menghias biru langit. Tapi di ujung sana warna hitam menyambangi. Berjalan pelan tapi pasti mendatangi kebahagiaan. Mereka ingin memakannya. Bahkan mataharipun takut dan tetap bersembunyi. Ataukah matahari akan dimakannya juga? Sungguh rakus.
 
Bawah kakiku dingin, tanah-tanah gersang berdebu menempel di sana. Membercak bagai gula halus bertabur pada kue gandum. Membayangkan itu sungguh membuat lapar. Tetapi tak ada sesuatu yang bisa dimakan untuk saat ini.
 
Perjalanan kecilku meninggalkan rumah. Berharap menemukan teman sepermainan dan kami akan memainkan sebuah permainan. Mereka biasanya sangat antusias, seantusias apa yang kami mainkan. Kami berlarian, menjerit-jerit, lalu tertawa. Namun setiap senja menguning, mereka hilang. Pulang.
 
Sekarang hari baru, kuharap menemukan teman baru, karena aku punya permainan seru. Ingin rasanya kubagi dengan rasa haru. Dan kami akan saling berseru, menderu-deru.
 
Tetapi ke mana semua orang?
Aku berjalan hingga beberapa mill jauhnya pun tak kutemukan seorangpun. Matikah?
 
Ooh…
 
Kutemukan satu. Sepertinya sedang bermain petak umpet. Karena dia sedang bersembunyi di balik pepohonan rindang sambil mendekap sepotong kayu usang. Wajahnya kelihatan sangat gugup. Apakah dia takut akan diketemukan oleh ‘setan’ penjaganya dan tertangkap?
 
Wah, permainan seru.
 
“Hai…kau mau bermain?”
 
Dia melihatku. Matanya bulat. Mungkin usianya sama denganku; 7 tahun. Sungguh lucu dan menggemaskan.
 
Tapi dia menolak. Tidak asyik. Mungkin dia punya teman-teman lain yang bisa kuajak bermain. Terkadang tidak semua anak-anak itu manis. Dia salah satunya. Atau aku…?
 
Setetes air jatuh di ujung hidungku. Telunjukku membersihkannya, namun sial tetesan-tetesannya kian banyak dan rindang. Hujan.
 
Tetapi ini sangat menyenangkan. Aroma hujan yang tak biasa. Suara rintikannya, asap yang menguap ke angkasa beradu dengan air. Pepohonan bersuka cita, bergoyang melambai dengan gemericik air membasahi dahan dan kayunya. Mereka nampak tampan, cantik dan memikat.
 
Ternyata si awan hitam berhasil memakan kebahagiaan siang hari. Memberikan kegelapan pada siang dan menduduki posisi malam. Seperti sebuah ramalan, saat semuanya akan berubah menghitam. Di dunia ini hanya akan ada kegelapan dan tak mengerti apa itu cahaya.
 
Aku berjalan lagi. Ada aliran menggelikan mengalir di sekitar kaki telanjangku. Tanah-tanah berbatu kecil yang memijat bawa kakiku. Rasa dingin dan lembab membuatku merasa keenakan. Rasa dingin yang menyegarkan badan.
 
Sebenarnya, jika hari aku tidak mendapatkan teman bermain, itu tidak mengapa. Karena masih ada kakak-kakak lelakiku. Namun untuk menemui mereka, aku harus berjalan cukup jauh. Sangat jauh. Melewati jalan setapak yang hampir tak terlihat karena rumput-rumputnya sudah kian meninggi. Tetapi jika sudah sampai ke sana, semuanya terasa menyenangkan. Karena banyak sekali anak-anak tinggal dan bermain di sana. Jauh lebih ramai daripada rumah. Maka dari itu aku senang mengunjungi mereka. Dan setiap kali aku sampai di sana, mereka semua sedang bermain.
 
 Pelukan batang bambu berdawai, bergesek-gesek daun keringnya. Rinai irama dan aroma tanah bekas hujan. Tempat itu…
 
Aku terdiam, menatap nanar pada onggokan makhluk hitam di tengah lapangan. Tubuhnya besar setengah bungkuk. Batu besar sepertinya tersumbat pada punggung belakangnya. Ada ular besar meliuk-liuk di sekitarnya. Dan terakhir tercium amis darah. Tanah merah itu bergerak-gerak, sebuah jari manis terlepas tak jauh darinya. Terputus, dengan sobekan kecil mengeluarkan biji dagingnya.
 
Dan si pria bungkuk berbaju hitam menoleh. Matanya hitam bagai gagak dengan rahang bermoncong bagai srigala. Leleran saliva berbalut darah dan daging terselip di gigi-gigi buasnya dia menatap. Berjalan merangkak bagai bayi ke arahku.
 
Tubuhku tak bisa bergerak, karena telah ada dua makhluk lain di belakangku. Memegangi kedua bahu kecilku yang lunglai. Makhluk itu membuka mulutnya di depan wajahku. Tersempil bola mata dan daging terkunyah di dalam. Kami saling menatap satu sama lain.
 
Aku menepuk wajahnya yang basah dengan lelehan lendir dan darah.
 
“O-nii-chan…”
 
Dia menang. Kakak lelakiku menang. Sebagai setan penangkap anak-anak.
 
Hey… ayo, kita bermain lagi!
 
“Oni-san kochira te no naru hou e, oni o tsukamae watashi to kawa...”
 
Hihihihi….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar